1

loading...

Wednesday, June 19, 2019

MAKALAH USHUL FIQIH IFTA, ISTIFA, dan MUFTHI


MAKALAH USHUL FIQIH

IFTA, ISTIFA, dan MUFTHI

BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang
Pada masa awal perkembangan Islam,Rasulullah SAW.telah menghadapi berbagai persola-persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniawian,terutama dikalangan bangsa Arab Makkah.bersamaan dengan itu,Allah menurunkan wahyu sebagaitanda kemukjizatan Rasulullah SAW penutup para nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah SAWmengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk,pedoman dan panduan bagi umat islam dalam memberikan penjelasan,jawaban dan alternatif terhadap persoalan- persoalan yang mencakupi isu-isu akidah, sosial, ekonomi, adat, budaya,politik dan lain-lain.dengan demikian,kehidupan terus berjalandibawah ajaran(hukum-hukum) dan bimbingan Agama Allah. Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kondisi,berbagai persoalan klise ataupun baru,selalu muncul ditengah-tengah masyarakat.
Umat islam kerap dihadapkan pada kegamangan,setiap kali perubahan zaman terjadi.tak heran jika selalu muncul pertanyaan,apakah perubahan itu sesuai dengan syari’at islam?
Guna menjawab kegamangan itu,umat membutuhkan sebuah fatwa dari para ulama.fatwa ibarat setetes air disaat dahaga.fatwa dari sosok alim dianggap menjadi jawaban yang memberikan jaminan ketenangan dan keyakinan,terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya.
    B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ifta’, Istifta’, dan Mufti?
2.      Apa landasan hukum ifta?
3.      Bagaimana kedudukan Ifta’?

                                                 
BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Pengertian Ifta
Kata ifta  adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta ’an, adapun kata futya, atau fatwa adalah isim masdar dari afta , hanya saja kata futya lebih sering digunakan oleh orang Arab sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Mandzur dalam lisanya.
Adapun pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu memberikan penjelasan kepada orang lain. Atas dasar ini, Ifta' berarti memberikan penjelasan kepada orang lain yang menanyakan suatau hal. Usamah 'Umar al-Asyqar menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memberikan penjelasan kepada orang lain, tetapi juga memberikan pertolongan dan petunjuk kepada orang yang meminta fatwa (Mustafti), atau menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah ketika menceritakan tentang kerajaan Ratu Saba' ketika menerima surat dari Raja Sulaiman as.
Adapun pengertian Ifta' secara terminologi adalah: memberikan keterangan hukum Allah swt berdasarkan dalil Syari'. (al-Ikhba>r 'an Hukmillah bidali>lin Syar'iyyin).
 Dari definisi di atas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-Ifta'  adalah mengeluarkan keterangan hukum Allah swt sesuai dengan dalil shari' (al-Qur'an dan al-Sunnah), maka memberikan fatwa yang tanpa didasari dalil al-Qur'an dan al-Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta'.  Ifta’ hanya sebatas "al-Ikhbar", yaitu memberikan jawaban, oleh karena itu seorang mufti tidak mempunyai hak Ijbar (paksa) kepada mustafti atas fatwa yang disampaikan kepadanya. Syaikh Mahmud Syaltut dalam Muqaddimah fatwanya mengatakan, bahwa fatwa adalah jawaban dari seorang mufti atas pertanyaan yang disampaikan oleh Mustafti. Oleh karena itu penjelasan hukum yang bukan dari pertanyaan maka tidak dinamakan sebagai fatwa, tetapi dinamakan sebagai ta'lim atau al-Irsyad.[1]

    B.     Istifa
Istifta atau Al-fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
Artinya:                   
الجَوَابُ عَمَّايُسْكِلُ مِنَ اْلأُمُرِ
“menyelesaikan setiap problem”
Misalnya kalau kita berkata:
اِسْتَفْتَيْتُ فَأَ فْتَانِى بِكَذَا
Artinya:
“Aku minta maaf ke padanya dan ia memberi fatwa begini pada ku”.
Seperti firman Allah
ويستفتونك فى النساء قل لله  يفتيكم فيهن وما يتلى عليكم فى الكتاب فى يتامى
Artinya:
”Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka”.(QS. An-Nisa’ : 127)
فاستفتهم اهم اشد خلقا ام من خلقنا انا خلقنا هم من طين لازب
Artinya:
“ Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu.” (QS. Assafat: 11).
   ياايها الملا افتونى فى رءياي ان كنتم للرءيا تعبرون
Artinya:
"Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu."(QS. Yusuf: 43)
Didalam kitab An-nihabah di katakan:
يُقَالُ : أَفْتَاهُ فِى اْلمَسْأَ لَةِ فَيُفْتِيَهُ اِذَااَجَابِهِ
Artinya:
“misalnya memfatwakan satu masalah (artinya) ia telah memberi fatwa kalau ia telah menjawab pertanyaan itu.”
اِنَّ اَرْبَعَةً تَفَا ئَوْااِلَيْهِ عَلَيْهِ السَّلام
Artinya:
“sesungguhnya empat orang minta fatwa kepada rasul Saw. Maksudnya minta fatwa pada rasul.”
Dan di dalam kitab Al-Misbah di sebutkan:
اَلْفَتْوَاى بِل وَاوِبِفَتْحِ الفَاءِ اَعَمُّ مِن اَفْتَى العَالِمُ اِذَا بَيَّنَ الحُكْمَ
Artinya:
“kata fatwa dengan imbuhan waw dan fa yang di fatahkan bermakna seorang alim memberi fatwa kalau ia menyelesaikan masalah tentang hukum.”
Sedang Istifta secara terminologi (istilah) adalah
اَلْاِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تعلى بِمُقْتَضَى الاَدِلَّةِ الشَّر عِيَّةِ عَلَى جِهَةِ العُمُمِ والشُّمُول
Artinya:
“fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang amenckup segala persoalan.”
Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang di fatwakan itu cukup mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu. Orang yang pertama menjabat mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Yang di turunkan kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
فاان تنازعتم فى شىء ففردوه الى لله  
Artinya:
“kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”(An-nisa’ : 59).
Sedangkan istifta’ secara Etimologi ialah :
الْجَوَابُ عَمَّا يُشْكِلُ مِنَ الأُمِ
“menyelesaikan setiap problem”.
Menurut Hallaq, di dalam Alquran, istilah istifta’ mengandung konotasi permohonan untuk memecahkan satu persoalan yang pelik.
Seperti firman Allah:
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,” (Q.S. An-Nisa’ : 127)
maka dalam hemat kami, Istifta’ dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Sedangkan, Pihak yang meminta fatwa tersebut disebut al-mustafi.
   C.    Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”
Adapun orang yang pertama menjabat mufti di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.
  D.    Landasan Hukum Ifta
Ifta atau fatwa adalah menerangkan hukum Allah di muka bumi-Nya, menjelaskan hal halal dan haram yang harus diketahui oleh ummat Islam. Maka dari itu fatwa harus mempunyai dasar atau landasan yang jelas. Adapun dasar hukum Ifta' sebagaimana yang telah disepakati oleh para Ulama’ adalah: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Ma'qul (akal)
1.      Dalil Al-Qur'an
2.      Dalil al-Sunnah
3.      Dalil Ijma'
4.      Dalil logika (Ma'qul)

    E.     Hukum Fatwa
Seorang mufti adalah khalifah Allah yang menggantikan peran Rasulullah dalam menjelaskan hukum-Nya kepada manusia, para ulama' Us{u>liyyi>n menyatakan bahwa adanya seorang mufti yang menjelaskan hukum Allah adalah wajib. Allah sendiri memerintahkan ummatnya untuk menanyakan perkara agamanya kepada para ahlinya.
Sebagaimana Allah menyuruh untuk bertanya kepada ahlul ‘ilm, maka Allah juga mewajibkan orang yang mempunyai ilmu untuk menyampaikanya dan menggajarkanya kepada Ummat manusia.
Setelah Allah memerintahkan para ulama' untuk menjelaskan hukumNya kepada umat manusia, maka kemudian Allah melarang menyembunyikan ilmu tersebut, dan melaknat orang yang menyembunyikanya.
Hukum asal dari fatwa adalah wajib, namun melihat hukum taklifiyyah yang
berjumlah lima, maka dalam hal ini penulis akan membagi hukum fatwa
menjadi lima, yaitu, wuju>b, nadb, iba>hah, kara>hah dan tahri>m.
1.      Wajib
Wajib disini terbagi menjadi dua, yaitu wajib 'aini dan kifai.
a.      Wajib 'Aini: jika dalam suatu negara hanya ada satu orang mufti, begitu juga ketika dia tunjuk oleh waliyyul amr dan tidak ada orang yang mampu memberikan fatwa kecuali dia, atau jika dikhawatirkan hukum tersebut berlalu tanpa adanya keputusan.
b.     Wajib Kifa’i: yaitu jika dalam sebuah negara ada dua orang mufti atau lebih, maka jika salah satu diantara mereka ada yang sudah berfatwa lebih dahulu, maka mufti- mufti yang lain tidak wajib mengeluarkan fatwa.
Adapun beberapa hal yang menyebabkan fatwa tersebut menjadi wajib adalah:
1.       Hendaknya seorang mufti tersebut mengetahui hokum yang ditanyakan kepadanya, tetapi jika ia tidak mengetahuianya sedang ia mampu untuk berijtihad, maka dalam hal ini wajib atasnya untuk berijtihad dan memfatwakanya., hal ini dikarenakan agar ia tidak mengeluarkan fatwa yang tidak ia ketahui.
2.      Jika Permasalahan tersebut benar-benar terjadi, olehkarena itu jika pertanyaan yang ditanyakan tersebut belum terjadi dan hanya bersifat kemungkinan-kemungkinan, maka seorang mufti tidak wajib menjawabnya.
2.      Nadb (Sunnah)
      Seorang mufti sunnah menggeluarkan fatwa dalam hal-hal yang belum terjadi, kemungkinan-kemungkinan yang akan datang, sebagaimana dalam Madhab Hanafi yang meninggalkan ribuan furu' fiqhiyyah yang belum terjadi.
3.      Kara>ha (Makruh)
Pada permasalahan yang belum terjadi di atas jika dikaitkan dengan zaman sekarang, maka penulis lebih cenderung mengatakan bahwa hukum fatwa dalam hal ini adalah makruh tanzih.
 Pada zaman sekarang ini banyak tayangan-tayangan fatwa di Televisi para pemberi fatwa menjawab segala macam persoalan yang belum terjadi, yang mana mereka hanya mengandalkan koleksi hafalan al-Qur'an dan Sunnah mereka. Maka tidak heran jika fatwa-fatwa ini menimbulkan fitnah di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa menyampaikan fatwa bukanlah pekerjaan menyampaikan al-Qur’an atau hadith, tetapi menggali hukum yang termaktub di dalam keduanya. Berikut ini beberapa alasan kenapa fatwa tersebut hukumnya makruh.[2]
·         Kurangnya sifat wara' dan taqwa pada kebanyakan orang, yang mana banyak dari mereka tidak melakukan perintah agama yang sudah lazim, seperti shalat, infaq, dan puasa.
·         Menghindari fitnah, perpecahan dan ‘as{abiyyah (fanatisme) yang kian merajalela, banyak orang meminta fatwa untuk menguatkan golonganya. Menanyakan sesuatu yang tidak ada, maka dari itu dalam sebuah hadits Rasulullah membenci hal ini.
·         Banyaknya mustafti menanyakan hal-hal yang belum terjadi yang mengandung d{arar baik atas dirinya sendiri maupun orang lain, maka ketika mustafti melakukan hal yang membahayakan dirinya atau orang lain dia berdalih bahwa hal tersebut diperbolehkan oleh Mufti.
4.      Haram
Sebuah fatwa dihukumi haram jika yang mengeluarkan fatwa tersebut adalah orang yang jahil (bodoh) yang tidak mempunyai perangkat dalam menentukan hukum. Orang seperti ini cenderung melakukan kesalahan kesalahan dalam setiap apa yang dilakukanya,
5.      Mubah
Adapun hukum fatwa terahir adalah Mubah, yaitu pada hal-hal yang selain disebutkan diatas.

    F.     Kedudukan Ifta (Fatwa)
Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
  Disebutkan didalam kitab Al-Mjmu’ tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa  berfatwa itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan  sembarang orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan urusan itu” Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah penyambung lidah para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat dibumi ini.
بلغوا عنى ولو اية
”Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.”(HR.Ahmad dan Tirmidzi)

Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.
 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam ilmu ushul feqih, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Istifta’ dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (fatwa) yang dikeluarkan sebagai respon terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi didalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif.
“sedangkan Mufti ialah pemberi fatwa.” Seorang mufti haruslah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.

No comments:

Post a Comment