1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH FIQH MUAMALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH FIQH MUAMALAH. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Desember 2018

MAKALAH FIQH MUAMALAH


MAKALAH FIQH MUAMALAH

Kerja Sama Lahan Pertanian
(Muzara’ah dan Mukhabarah)



A.    PENDAHULUAN
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah .Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.[1]

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Muzara’ah
Ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.

2.       Pengertian Mukhabarah
Ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
 Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah.
Diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.[2]



3.      Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَ انَاعَنْذَلِكَ
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)

عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).

4.      Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.[3]

5.       Rukun dan Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama menetapkan rukun muzara’ah adalah
a.              Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap
b.              Ma’qud alaih (objek aqad) yaitu manfaat tanah dan pekerjaan
c.              Ijab qobul
Menurut ulama Hanabilah akad Muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lisan, tetapi dengan perbuatan yaitu dengan mengerjakan tanah yang menjadi objek akad. Hal ini dapat dianggap sebagai qabul.
Syarat-syarat Muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:
1.      Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal.
2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3.      Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), muzara’ah mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.
a.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedang pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap
b.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih, alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
c.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedang pekerjaan berasal dari penggarap.
d.      Muzara’ah tidak boleh jika tanah dan alat penggarap berasal dari pemilik tanah, sedang benih dan pekerjaan dari penggarap.

6.       Hal yang Menyebabkan akad muzara’ah berakhir
a.       Habis masa akad muzara’ah, akan tetapi jika waktu habis namun belum layak panen, maka akad ini tidak batal melainkan tetap dilanjutkan hingga panen dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.
b.       Salah seorang yang akad meninggal, menurut ulama Syafiiyah, akad ini tidak dianggap berakhir dengan keadaan ini.
c.        Adanya uzur, menurut Hanafiyah di antara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah antara lain:
1.      Tanah garapan terpaksadijual, misalnya untuk membayar hutang
2.       Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan sebagainya.

7.       Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punyabenih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya,sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja.
 Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya.[4]


C.    PENUTUP
1.       Kesimpulan
Dalam fiqh terdapat dua akad yang berhubungan dengan kerja sama pengelolaan tanah
a.       akad yang berkaitan dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan
b.       akad yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman.
Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih:
c.       akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara’ah; dan
d.      akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal penggarap tanah disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan/atau penyiraman) tanaman disebut musaqah




DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana
Suhendi, Hendi, 2014, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers



[1] Abdul Rahman, Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010) hal 12-14.
[2]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal 153

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal 156-157


[4] [4]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal 158-159


Selasa, 27 November 2018

MAKALAH FIQH MUAMALAH

MAKALAH FIQH MUAMALAH KONTEMPORER "TAKE OVER"

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bank syariah sebagai salah satu lembaga yang bergerak di bidang keungan berbasis syariah berusaha untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kemudahan akses terutama di bidang bisnis dan keuangan. Selain menyediakan suatu produk seperti produk tabungan, pembiayaan dan lain-lain, bank syariah juga menyediakan jasa pelayanan keuangan yang akan mempermudah masyarakat untuk menjalankan bisnis maupun memenuhi kebutuhannya di bidang ekonomi.berikut ini salah satu jasa pelayanan keuangan yang ditawarkan oleh bank syariah adalah take over.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan Take Over syariah, tujuan, prinsip serta manfaat take over syariah?
2.    Apa yang menjadi dasar hukum serta landasan take over syariah?
3.    Bagaimana Klasifikasi Hutang Nasabah kepada Bank Konvensional dalam Pembiayaan Take Over Syariah?
4.    Bagaimana aplikasi akad take over syariah di perbankan syariah?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui pengertian Take Over syariah, tujuan, prinsip serta manfaat take over syariah
2.    Mengetahui dasar hukum serta landasan take over syariah
3.    Mengetahui Klasifikasi Hutang Nasabah kepada Bank Konvensional dalam Pembiayaan Take Over Syariah.
4.    Mengetahui aplikasi akad take over syariah di perbankan syariah

PEMBAHASAN
A.  Definisi Take Over
Take over dalam kamus bahasa inggris-indonesia berarti mengambil alih. Sedangkan menurut Ahmad Antoni k Muda, take over adalah pengambil alihan atau dalam lingkup suatuperusahaan adalah perubahan kepentingan pengendalian suatu perseroan.
Take over syariah adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi nonsyariah yang telah berjalan yang dilakukan oleh bank syariah atas permintaan nasabah. Sedangkan Take over menurut Dewan Syariah Nasional Nomor 31/ DSN-MUI/VI 2002 disebut juga dengan pengalihan hutang. Pengalihan hutang yang dimaksud di sini adalah pengalihan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah.
Atau take over merupakan proses perpindahan kredit nasabah di bank konvensional menjadi pembiayaan dengan prinsip jual beli yang berdasarkan syariah.
Dalam proses take over ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konvensional, bertidak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang ( yang dikreditkan) menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang yang dikreditkan) tersebut kepada bank syariah. Kemudian bank syariah akan menjual rumah tersebut lagikepada nasabah dengan pilihan kombinasi akad yang tertera dalam fatwa DSN-MUI/VI/2002 tentang pengalihan hutang seperti qardh dan murabahah, syirkah al-milk dan murabahah, qardh dan ijarah serta qardh dan ijarah muntahiyah bittamlik.
Apabila diperhatiakan take over di sini dapat digolongkan sebagai akad hiwalah muthlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada pihak lain, tanpa mengaitkannya pada hutang muhal ‘alaih padanya. Hiwalah jenis ini, tidak semua ahli fiqih membolehkannya.[1]
B.  Rukun dan Syarat Pembiayaan Take Over dan Hiwalah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ketentuan umum tentang hiwalah, 37 sebagai berikut:
a.    Rukun take over
1.    Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhal, muhal bih, yakni utang muhil kepada muhal dan sighat (ijab qabul);
2.    Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad);
3.    Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern;
4.    Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal dan muhal‘alaih;
5.    Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas;
6.    Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhal dan muhal‘alaih, dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
b.    Sedangkan syarat sahnya hiwalah adalah :
1.    Muhil:
a.    Muhil harus akil dan baligh. Hiwalah anak mumayyiz tidak sah dilaksanakannya, kecuali atas izin walinya; dan
b.    Adanya kerelaan muhil. Jika muhil dipaksa, maka hawalah tidak sah.
2.    Muhal:
a.    Muhal harus akil dan baligh. Hiwalah anak mumayyiz tidak sah dilaksanakannya, kecuali atas izin walinya; dan
b.    Adanya kerelaan muhal. Jika muhal dipaksa, maka hawalah tidak sah
3.    Muhal bih:
a.    Adanya kesamaan kedua hutang, baik jenis, jumlah, maupun jatuh tempo;
b.    Kepastian kesanggupan muhal’alaih, jika penghiwalah-an itu kepada buruh/pembantu yang gajinya belum tentu dibayar, maka hiwalah tidak sah, karena sumber pembayarannya belum pasti. Jadi, jika penghiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya pasti dibayar, maka hiwalah sah.
c.    Piutang yang dialihkan itu sudah pasti, jika hutang itu dalam bentuk jual beli yang masih dalam masa khiyar, maka hiwalah tidak sah, karena jual belinya belum pasti.
Praktik hiwalah kontemporer (take over), akad pemindahan piutang nasabah (muhil) dari bank konvensional (muhal) kepada bank syariah (muhal’alaih). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu hhutangnya kepada bank konvensional. Pemindahan hutang ini dilakukan menggunakan akad qardh. Setelah itu nasabah menjualnya kepada pihak bank syariah. Selanjutnya bank syariah menjual secara murabahah kepada nasabah yang dibayar secara cicilan.


C.  Prinsip Take Over syariah
1.    Tolong-menolong
2.    Tidak boleh menimbulkan riba.
3.    Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.

D.  Manfaat Take Over Syariah
1.    Suku bunga bank konvensional yang fluktuatif membuat angsuran kredit menjadi tidak menentu. Dan kondisi ini sangat terasa apabila terjadi krisis ekonomi. Tetapi akan terasa sangat menguntungkan nasabah bank syariah karena sistem yang dipakai adalah sistem jual-beli dimana keuntungan bank telah ditetapkan di awal perjanjian.
2.    Kekecewaan nasabah terkait dengan laporan pembayaran angsuran yang diberikan bank konvensional yang ternyata setiap membayar angsuran kredit pada awal-awal tahun perjanjian sebagian besar hanya untuk membayar bunganya saja dan untuk pembayaran pokoknya hanya sedikit sekali sehingga outstanding pokok kredit turunnya tidak signifikan. Sedangkan di bank syariah setiap pembayaran angsuran antara pembayaran pokok dengan pembayaran margin hampir berimbang, sehingga penurunan outstanding pokok kredit signifikan.
3.    Bebas dari unsur riba, karena pembiayaan tidak didasarkan bunga.

E.  Tujuan Take over
Seiring dengan semakin pesatya perkembangan bank syariah di Indonesia, semakin besar pula keinginan dan kesadaran masyarakat untukmenjalankan rodaperekonomian berdasarkan prinsip al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bank sebagai salah satu lembaga yang berbisnis di bidang perekonomian tentu lebih cepat tanggap dengan hal ini. Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah take over. Disini bank syariah berusaha untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin memindahkan transaksinya agar dapat berjalan sesuai dengan syariah. Take over juga bertujuan untuk membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah.[2]

F.   Dasar Hukum dan Landasan Take over
1.    Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Maidah ayat 1 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu“. (Q,S Al-Maidah :1)
2. Hadits Nabi SAW
ﻋﻦ ﺍﺒﻲ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﺭﻀﻲﷲ ﻋﻧﻪ : ﺃﻦ ﺍﻟﻧﺑﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻗﺎﻞ : ﻤﻄﻞ ﺍﻠﻐﻨﻲ ﻇﻟﻡ ﻓﺈﺬﺍ ﺃﺗﺒﻊ ﺍﺤﺪﻜﻡ ﻋﻟﻰ ﻤﻟﺊ  ﻓﻠﻴﺘﺑﻊ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺍﺭﻯ)
Artinya : “ Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ menunda-nunda pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Maka jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu terimalah”. (HR. Bukhari)
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 31/DSN-MUI/IV/2002 tentang pengalihan hutang.

G. Klasifikasi Hutang Nasabah kepada Bank Konvensional dalam Pembiayaan Take Over Syariah
1.    Hutang pokok plus bunga, dan
2.    Hutang pokok saja
Dalam menangani hutang nasabah yang berbentuk hutang pokok plus bunga, bank syariah memberikan jasa qardh karena alokasi penggunaan qardh tidak terbatas, termasuk untuk menalangi hutang yang berbasis bunga. Sedangkan terhadap hutang nasabah yang berbentuk hutang pokok saja, bank syariah memberikan jasa hiwalah atau pengalihan hutang karena hiwalah tidak bisa untuk menalangi hutang yang berbasis bunga.[3]

H.  Aplikasi akad Take Over syariah pada Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
1.    Bank Syariah memberikan qardh kepada nasabah yang kemudian digunakan oleh nasabah untuk melunasi (kredit) hutangnya pada Bank Konvensional.
Dengan demikian, asset yang telah dibeli nasabahmenjadi miliknya secara penuh. Kemudian nasabah menjual asetnya kepada Bank Syariah. Dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardhnya kepada bank syariah. Lalu bank syariah menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan pembayaran secara angsuran. Dalam hal ini, skema tersebut berdasarkan Fatwa DSN Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang qardh dan Fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahahberlaku dalam pelaksanaa pembiayaan pengalihan hutang.
2.    Bank Syariah membeli sebagian aset nasabah dengan seizin Bank Konvensional, sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-milk antara Bank syariah dengan nasabah atas aset tersebut. Aset yang telah dibeli nasabah ini adalah bagian aset yang senilai dengan hutang (sisa angsuran) nasabah kepada Bank konvensional. Kemudian Bank Syariah menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya kepada nasaba, dengan pembayaran angsuran.
     Dalam hal ini, skema tersebut berdasarkan Fatwa DSN Nomor04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan hutang.
3.    Bank Syariah memberikan qardh kepada nasabah yang kemudian digunakan oleh nasabah untuk melunasi (kredit) hutangnya pada Bank konvensional, dan dengan demikian aset yang telah dibeli nasabah menjadi miliknya secara penuh. Kemudian nasabah menjual asetnya kepada Bank Syariah. Lalu Bank Syariah menyewakan aset tersebut kepada nasabah dengan akad ijarahmuntahiyah bittamlik.
     Dalam hal ini, skema tersebut berdasarkan Fatwa DSN Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang qardh dan Fatwa DSN Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiyah bittamlik berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan hutang.
4.    Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan Bank syariah sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.[4] Dan apabila diperlukan Bank syariah dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan akad qardh sesuai dengan Fatwa DSNNomor 19/DSN-MUI/IV/2001. Kemudian akad ijarah yang digunakan oleh bank harus terpisah dari pemberian talangan yang berdasarkan akad qardh tersebut. Besarnya imbalan jasa ijarah tidak boleh berdasarkan pada jumlah talangan yang diberikan Banksyariah kepada nasabah.
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Take over menurut Dewan Syariah Nasional Nomor 31/ DSN-MUI/VI 2002 disebut juga dengan pengalihan hutang. Pengalihan hutang yang dimaksud di sini adalah pengalihan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah.
Dalam proses take over ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konvensional, bertidak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang ( yang dikreditkan) menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang yang dikreditkan) tersebut kepada bank syariah

B.  Saran
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, kami sadar akan kekurangan dalam pembuatan makalah kami. Karena selain kami masih dalam tahap belajar kami juga manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Untuk kritik dan saran yang diberikan kami ucapkan terima kasih. 


C.   
DAFTAR PUSTAKA
Echols M John dan Sadily Hasan. Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama1990).
Antoni K Muda Ahmad. Kamus LengkapEkonomi ( Jakarta Gramedia Press, 2003.
Karim Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2006).
Al-Qur-an dan Terjemah, Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.




[1]. John M Echols dan Hasan Sadily. Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama1990) hal. 578

[2]. Ahmad Antoni K Muda. Kamus Lengkap Ekonomi ( Jakarta Gramedia Press, 2003) hal. 331

[3]. Al-Qur-an dan Terjemah, Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya

[4]. Adiwarman Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2006) hal 248