MAKALAH FIQH MUAMALAH
Kerja Sama Lahan Pertanian
(Muzara’ah dan Mukhabarah)
A.
PENDAHULUAN
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang
ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi
Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi
kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah
ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu
Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah .Karena di dalam pembahasan ini terdapat
suatu hikmah untuk kehidupan sosial.[1]
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Muzara’ah
Ialah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
2.
Pengertian Mukhabarah
Ialah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah.
Diantaranya Nawawi, Qadhi Abu
Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi
ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.[2]
3.
Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَ انَاعَنْذَلِكَ
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
4.
Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan
Mukhabarah
Dua Hadits di
atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan
melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah
ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di
atas
Ulama yang lain
berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah.
Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil
alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits
yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian
tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di
masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil
penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang
oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan
demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang
banyak.[3]
5.
Rukun dan Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama menetapkan rukun muzara’ah
adalah
a.
Aqid, yaitu
pemilik tanah dan penggarap
b.
Ma’qud alaih
(objek aqad) yaitu manfaat tanah dan pekerjaan
c.
Ijab qobul
Menurut ulama Hanabilah akad Muzara’ah
tidak memerlukan qabul secara lisan, tetapi dengan perbuatan yaitu dengan
mengerjakan tanah yang menjadi objek akad. Hal ini dapat dianggap sebagai
qabul.
Syarat-syarat
Muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:
1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus
sudah balig dan berakal.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus
jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai
berikut:
Menurut Abu
Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), muzara’ah mempunyai empat
keadaan, tiga sahih dan satu batal.
a. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal
dari pemilik, sedang pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap
b. Dibolehkan
muzara’ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih, alat penggarap, dan
pekerjaan dari penggarap.
c. Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat
penggarap berasal dari pemilik, sedang pekerjaan berasal dari penggarap.
d. Muzara’ah tidak boleh jika tanah dan alat penggarap
berasal dari pemilik tanah, sedang benih dan pekerjaan dari penggarap.
6.
Hal yang Menyebabkan akad muzara’ah berakhir
a. Habis
masa akad muzara’ah, akan tetapi jika waktu habis namun belum layak panen, maka
akad ini tidak batal melainkan tetap dilanjutkan hingga panen dan hasilnya dibagi
sesuai kesepakatan.
b. Salah seorang yang akad meninggal, menurut
ulama Syafiiyah, akad ini tidak dianggap berakhir dengan keadaan ini.
c. Adanya uzur, menurut Hanafiyah di antara uzur
yang menyebabkan batalnya muzara’ah antara lain:
1. Tanah
garapan terpaksadijual, misalnya untuk membayar hutang
2. Penggarap
tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan
sebagainya.
7.
Zakat
Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat
hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punyabenih, jadi
pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya
dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya,sedangkan
penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja.
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja.
Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib
dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya,
diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
Dari
sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya praktek mukahbarah sangat
menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun
pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani
dapat meningkatkan tarap hidupnya.[4]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam fiqh terdapat dua akad yang berhubungan dengan
kerja sama pengelolaan tanah
a.
akad yang berkaitan dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan
b.
akad yang berkaitan dengan
pemeliharaan tanaman.
Akad yang berkaitan
dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih:
c.
akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal dari pemilik atau penggarap
tanah disebut muzara’ah; dan
d.
akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal penggarap tanah
disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama
pengairan dan/atau penyiraman) tanaman disebut musaqah
DAFTAR
PUSTAKA
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, 2010, Fiqh Muamalah,
Jakarta: Kencana
Suhendi, Hendi, 2014, Fiqh Muamalah,
Jakarta: Rajawali Pers
No comments:
Post a Comment