1

loading...

Monday, December 10, 2018

MAKALAH FIQH MUAMALAH


MAKALAH FIQH MUAMALAH

Kerja Sama Lahan Pertanian
(Muzara’ah dan Mukhabarah)



A.    PENDAHULUAN
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah .Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.[1]

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Muzara’ah
Ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.

2.       Pengertian Mukhabarah
Ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
 Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah.
Diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.[2]



3.      Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَ انَاعَنْذَلِكَ
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)

عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).

4.      Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.[3]

5.       Rukun dan Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama menetapkan rukun muzara’ah adalah
a.              Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap
b.              Ma’qud alaih (objek aqad) yaitu manfaat tanah dan pekerjaan
c.              Ijab qobul
Menurut ulama Hanabilah akad Muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lisan, tetapi dengan perbuatan yaitu dengan mengerjakan tanah yang menjadi objek akad. Hal ini dapat dianggap sebagai qabul.
Syarat-syarat Muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:
1.      Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal.
2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3.      Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), muzara’ah mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.
a.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedang pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap
b.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih, alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
c.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedang pekerjaan berasal dari penggarap.
d.      Muzara’ah tidak boleh jika tanah dan alat penggarap berasal dari pemilik tanah, sedang benih dan pekerjaan dari penggarap.

6.       Hal yang Menyebabkan akad muzara’ah berakhir
a.       Habis masa akad muzara’ah, akan tetapi jika waktu habis namun belum layak panen, maka akad ini tidak batal melainkan tetap dilanjutkan hingga panen dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.
b.       Salah seorang yang akad meninggal, menurut ulama Syafiiyah, akad ini tidak dianggap berakhir dengan keadaan ini.
c.        Adanya uzur, menurut Hanafiyah di antara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah antara lain:
1.      Tanah garapan terpaksadijual, misalnya untuk membayar hutang
2.       Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan sebagainya.

7.       Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punyabenih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya,sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja.
 Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya.[4]


C.    PENUTUP
1.       Kesimpulan
Dalam fiqh terdapat dua akad yang berhubungan dengan kerja sama pengelolaan tanah
a.       akad yang berkaitan dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan
b.       akad yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman.
Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih:
c.       akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara’ah; dan
d.      akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal penggarap tanah disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan/atau penyiraman) tanaman disebut musaqah




DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana
Suhendi, Hendi, 2014, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers



[1] Abdul Rahman, Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010) hal 12-14.
[2]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal 153

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal 156-157


[4] [4]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal 158-159


No comments:

Post a Comment