1

loading...

Wednesday, December 26, 2018

MAKALAH USHUL FIQH


MAKALAH USHUL FIKIH
 RUANG LINGKUP HUKUM SYARA’



BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Berikut Makalah ini akan menjelaskan tentang Pengertian Hukum Syara Taklifi dan Wadh'i. Hukum syara’ ialah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf,  yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara ialah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum syara ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang menandakan bahwa kita ialah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadh’i.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan berapa macam pembagian hukum syara’?
2.      apa pengertian dan bentuk-bentuk hukum taklifi?
3.      apa pengertian dan bentuk-bentuk hukum wadh’i?
4.      bagaimana perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian hukum syara’

            Secara bahasa hukum berarti memutuskan (alqadha),dan mencegah                      (al man’un). Hukum juga berate menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain             (itsbat syai’ala syai’). Menurut istilah hukum di pahami menurut 2 pengertian.menurut ushulyun ( ulama ahli ushul fikih ) hukum adalah perkataan allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukhalaf,baik dalam bentuk tuntutan pilihan,maupun wadh’I   .
            Sedangkan menurut fuqaha ( ulama ahli fikih ) hukum adalah sifat yang bersifat syar’I yang merupakan pengaruh dari  titah allah. Atau pengaruh titah allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukhalaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan,maupun wad’i.
            Jadi, yang disebut hukum dalam kajian ushul fikih adalah teks ayat atau sunah rasullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang popular disebut sebagai ayat-ayat ahkam dan hadist-hadist ahkam.
            Hadist-hadist hukum dapat di kategorikan beberapa macam
a.    perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukhalaf yang di printahkan itu sifatnya wajib
b.    larangan melakukan suatu perbuatan.perbuatan yang di lakukan itu sifatnya haram
c.    anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang di anjurkan untuk di lakukan itu sifatnya mandub.
d.   anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan.perbuatan yang di anjurkan untuk di tinggalkan itu makruh.
e.    memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilih untuk di lakukan atau di tinggalkan itu sifatnya mubah .
f.     menetapkan suatu sebagai sebab
g.    menetapkan sesuatu sebagai syarat
h.    menetapkan sesuatu sebagai mani’ ( penghalang).
i.      menetapkan Sesutu sebagai kriteria sah dan fasad atau batal.
j.      menetapkan sesuatu sebagai kriteria azima dan rukhsah

A.  Pembagian Hukum Syara’
                        Hukum sayara’ fi bagi menjadi 2,yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’I.hukum taklifi ialah titah allah yang menuntut di kerjakannya atau di tinggalkannya untuk suatu perkerjaan atau pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakannya. Sedangkan hukum wadh’I ialah menjadikan sesuatu sebagai  sebab adanya yang lain, atau syarat bagi yang lain atau penghalang yang lain.
            Misalnya pada hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib di laksanakan umat islam dan hukum wadh’I menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.

a)      Hukum taklifi
            Istilah hukum dalam kajian ushul fikih pada asalnya adalah teks ayat atau hadist hukum.teks ayat hukum dan hadist hukum yang berhubungn dengan hukum taklifi terbagi dalam lima bentuk,[1]
1.      Ijab ( mewajibkan )
            yaitu ayat atau hadist dalam bentuk printah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan.misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan shalat.
            Jika dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum Wajib di bagi menjadi 2 macam yaitu
1.      Wajib aini
            Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balik berakal ( mukalaf ), tanpa kecuali. Kewajiban seperti initudak bias gugur kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya kewajiban melaksanakan sholat lima waktu sehari semalam melaksanakan puasa di bulan rhamadhan, dan melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.
2.      Wajib kifa’i(wajib kifayah)
            Yaitu kewajiban yag dibebankan kepda seluruh mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwWaajibkan mengerjakannya. Missalnya pelaksanaan sholat jenazah.
Dilihat dau segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi menjadi dua macam
1.      Wajib mu’ayyun
            Yaitu suatu kewajiban yang mana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban melakukkan sholat lima waktu sehari semalam, kewajiban melakukan puasa di bulan rahmadan,membayar zakat, dan menegakkan keadilan. Kewajiban seperti ini tidak dianggap terlksana , kecuali dengan melaksanakan kewajiban yang telah di tentukan itu.
2.      Wajib mukhayyar
            Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternative. Misalnya, keajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah
            Bila dilihat dari segi pelaksanaannya, hukum wajib terbagi kepada dua macam.
1.    Wajib mutlak
     Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya, kewajiban untuk membayar puasa yang tertinggal.
2.    Wajib muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya melaksanakan sholat lima waktu. Wajib muaqqat terbagi menjadi dua:
a.    Wajib muassa’
     Yaitu wajib dimana waktu yang di peruntukkan baginya cukup untuk melakukan kewajiban tersebut dan cukup untuk melakukkan kewajibban lain sejenis. Misalnya waktu sholat zuhur, sholat ashar, sholat isha, membayar zakat fitrah
b.    Wajib mudhayyaq
     Wajib dimana waktu ditentukan untuknnya hanya cukup untuk melakukan kewajiban itu sendiri dan tidak cukup untuk melakukan ibadah lain sejenis, seperti puasa rhamadan

       2. Nadb ( anjuran untuk melakukan )
                      Yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
                 Pembagian nadb seperti yang dikemukakan abdul karim zaidan, nad terbagi kepada beberapa tingkatan[2]

a.    Sunnah muakkadah(sunnah yang sangat dianjurkan)
     Yaitu perbuatan yang di biasakan rasulullah SAW dan jarang di tinggalkan nya. Misalnya sholat sunnah dua rakaat sebelum fajar
b.    Sunnah ghair al muakkadah(sunnah biasa)
     Yaitu suatu yang dilakukan rasulullah, namun bukan menjadi kebiasaannya. Misalnya, melakukan sholat sunnah dua kali dua rakaat sebelum sholat zuhur, dan seperti memberikan sedekah sunnah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak.
c.    Sunnah al-zawaid
     Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santun nya dalam makan, minum, dan tidur.

3.    Tahrim
          Ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan siksa bagi yang melakukannya dan bila di tinggalkan berpahala.[3]
     Tahrim dibagi menjadi dua yaitu
a.    Al-muharram lidzatihi
     Yaitu suat yang di haramkan oleh syariat karena esensinya mengandung ke mudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa tepisah dari zatnya, misalnya larangan berzina, mencuri, membunuh, berdusta, meminum khamar dan memakan bangkai.
b.    Al-muharram lighairihi
     Yaitu susuatu yang di larang bukan Karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung ke mudharatan, namun kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial, misalnya larangan melakukan jual beli pada waktu azan sholat jum’at, puasa tanggal 1 shawal dan lain-lain.

4.      Makruh    
            Makruh dalah ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan  dengan  tuntutan yang tidak pasti. Misalnya talak, banyak bertanya, sholat sunnah setelah subuh dan lain-lain.


Menurut kalangan hnafiyah, makruh terbagi menjadi dua macam :
1.    Makruh tahrim
     Yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurrud ( kebenaran datangnya dari rasulullah hanya sampai ke dugaan keras ), tidak bersifat pasti . misalnya, larangan meminang wanita yang telah di pinang orang lain dan larangan membeli sesuatu yang telah di tawar orang lain.
2.    Makruh tanzih
     Yaitu sesuatu yang di anjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuhdi waktu perang.

5.    mubah
     Yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseoranf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sesuatu yang mubah dapat berubah hukumnyanya karena adanya factor lain. Misalnya, tidur siang dapat memperoleh pahala bila diniatkan untuk bangun tengah malam untuk beribadah, mubah juga dapat menjadi haram misalnya, makan tengah malam dengan tujuan agar menambah tenaga u tuk mencuri besok.[4]
             Pembagian mubah Menurut abu ishaq al syat hibi dalam kitab nya al muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam :
1. mubah yang berfungsi untuk menghantarkan seseorang kepda sesuatu hal yang wajib di lakukan. Misalnya makan dan minum merupakan sesuatu yang mubah. Namun berfungsi untuk menghantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepanya seperti shalat dan berusah mencari rezeki.
2. sesuatu baru di anggap mubah hukumnya bila mana di lakukan sekali-sekali,tetapi haram hukumnya bila dilkukan setiap waktu,misalnya bermain dan mendengarkan nyanyian hukumnya adalah mubah bila di lakukan sekali-sekali tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
3. sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.misalnya, membeli prabotan rumah tangga untuk kesenangan hidup.

b)      Pengertian Hukum Wadh’i
                   Hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum. Hukum wadh’i juga merupakan titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang berhubungan atau berkaitan dengan hukum-hukum taklifi.  Hukum wadh’i ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Sebab ialah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami isteri.
Syarat ialah sesuatu yang kepadannya tergantung suatu hukum. Misalnya syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nizab (jumlah tertentu) dan haul (waktu tertentu), syarat sholat sempurna menghadap khiblat.Halangan atau mani’ ialah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Mani’ ialah sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.[5]
v Macam-Macam Hukum Wadh’i
1.    Sebab
Maksudnya sesuatu yang kepadanya bergantung suatu hukum. Sebab juga dapat diartikan suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2.    Syarat
Yaitu sesuat yang tampak dan sebagai tanda adnya hukum. Dalam arti lain syarat ialah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
3.    Mani’ (penghalang)
Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum, yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
B.     Perbedaan Hukum Taklifi dan Wadh’i
1. Dalam hukum taklifi ada tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Namun dalam hukum wadh’i tidak ada tuntutan. Dalam hukum wadh’i  ada keterkaitan antara 2 persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat.[6]
2.  Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal. Namun hukum wadh’i ditujukan kepada semua manusia, baik yang mukallaf, anak-anak dan juga orang gila.
3. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hokum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).
4. Sah atau shahih, ialah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
5. Bathil atau batal, ialah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’




BAB III
PENUTUP
Kesumpulan
Hukum syara ialah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum taklifi ialah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum wadh’i ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’I ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah (keringanan) dan Azimah.
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’I.  Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Rahman. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Sinar Greafika Offset
Saebani, Beni Ahmad. 2009. ilmu Ushul Fikih. Bandung: CV Pustaka Setia
Wahhab, Abdul khallaf. 2014. ilmu Ushul Fikih. Semarang: PT Dina Utama                        Semarang
Zahra, Muhammad Abu. 2010. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus



[1] Abd Rahman Dahlan,M.A, Ushul, Fiqh,  Jakarta: Sinar Grafika offset, 2010, h  40
[2] Abd.Rahman, Dahlan,  Ibid, h. 27

[3] Abd.Rahman Dahlan.Ibid, h  27

[4] Muhammad Abu Zahra,  Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2010, h 56

[5] Muhammad Abu Zahra,  Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2010, h 69
[6] Beni Ahmad Saebani, ilmu ushul fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009  h 52

No comments:

Post a Comment