20 istilah yang biasanya dipakai dalam perbankan syari’ah yang diperoleh dari BANK INDONESIA
Menurut catatan
yang diperoleh dari bank indonesia, ada 20 istilah yang biasanya dipakai dalam
perbankan syari’ah.
1.
Akad
Ikatan atau
kesepakatan antara nasabah dengan bank yakni pertalian ijab dan kabul sesuai
dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Misalnyha, akada
pembukaan rekening simpanan atau akad pembiayaan
2.
Mudharabah
Akad yang
dilakukan antara pemilik modal(shahibul mal) dengan pengelola (mudharib). Pada
saat awal, bagi hasil atau nisbahdisepakati. Sedangkan, kerugian ditganggung
pemilik modal.
3.
Musyarakah
Akad antara dua
pemilik modal atau lebih untuk menyatukan modcalnya pada usaha tertentu.
Sedangkan, pelaksanaannya bisa ditunjuk salah satu dari mereka. Akad ini
diterapkan pada usaha/proyek yang sebagiannya dibiayai oleh lembaga keuangan.
Sedangkan, selebbihnya dibiayai oleh nasabah.
4.
Distribusi
bagi hasil
Pembiayaan
keuntungan bank syariah kepada nasabah simpanan berdasarkan nisbah yang
disepakati setiap bulannya. Bagi hasil yang diperoleh tergantung jumlah dan
waktu simpannan serta pendapatan bank pada periode tersebut. Besarnya bagi
hasil dihitung berdasarkan pendapatan bank(revenue) sehingga nasabah pasti
memperoleh bagi hasil dan tidak kehilangan pokok simpanannya.
5.
Nisbah
Porsi bagi
hasilantara nasabah dan bank atas transaksi pendanaan dan pembiayaan dengan
akad bagi hasil(mudharabah dan musyarakah).
6.
Bai’almuthlaq
Jual beli biasa
yaitu penukaran barang dengan uang. Uang erperan sebagai alat ukur.
Bai’almuthlaq dilakukan untuk pelaksanaan jual beli barang keperluan kantor. Jual
beli seperti ini menjiwai semua produk yang didasarkan pada transaksi jual
beli.
7.
Sharf
Jual beli mata
uang asing yang saling berbeda seperti rupiahdengan dollar, dollar dengan yen.
Sharf dilakukan dalam bentuk bank notes dan gtransfer, menggunakan nilai kurs
yang berlaku pada saat transaksi.
8.
Muqayyad
Jual beli dengan
pertukaran yang terjadi antara barang dengan barang atau barter. Jual beli
semacam ini dilakukan sebagai jalan keluar bagi ekspor yang tidak bisa
menghasilakn mata uang asing(valas).
9.
Murabahah
Akad jual beli
tempat harga dan keuntungan disepakati antar penjual dan pembeli. Jenis dan
jumlah barang juga dijelaskan rinci. Barang diserahkan setelah akad jual beli
dan pembayaran bisa dilakukan secara mengangsur atau mencicil atau sekaligus.
10.
Salam
Jual beli dengan
cara pemesanan. Pembeli memberikan uang terlebih dahulu terhadap barang yang
telah disebutkan spesifikasinya. Lalu, barang dikirim kemudian. Salam biasanya
dipergunakan untuk produk pertanian jangka pendek. Dalam hal ini lembaga
keuangan bertindak sebagai pembeliproduk dan memberikan uangnya lebih dulu.
Sedangkan, nasabah menggunakan uang itu sebagai modal untuk mengelola
pertaniannya.
11.
Istishna’
Jual beli barang
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan serta kriteria tertentu.
Sedangkan, pola pembayaran dapat dilakukan sesuai kesepakatan(dapat dilakukan
di depan atau pada saat pengiriman barang)
12.
mudharabah
muqayyadah
Akad yang
dilakukan antara pemilik modal untuk usaha yang ditentukan oleh pemilik modal
dengan pengelola. Nisbah atau bagi hasildisepakati di awal untuk dibagi
bersama. Sedangkan, kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
13.
musyarakah
mutanaqisah
akad antara dua
pihak atau lebih yang berserikat atau berkongsi terhadap suatu barang. Lalu,
salah satu pihak membeli bagian pihak lain secara bertahap.
Akad ini
diterapkan pada pembiayaan proyek oleh lembaga keuangan dengan nasabah atau
lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini, bagian lemvbaga keuangan secara
bertahap dibeli pihak lainnya dengan cara mencicil. Akad ini juga terjadi pada
mudharabah yang modal pokoknya dicicil. Sedangkan, usaha itu berjalan terus
denagnmodal yang tetap.
14.
Wadi’ah
Akad yang
terjadi anata dua pihak. Pihak pertama menitipkan auatu barang kepada pihak
kedua. Lembaga keuangan menerapkan akad ini pada rekening giro.
15.
Wakalah
Akad perwakilan
antara satu pihak kepada pihak lainnya. Wakalah biasanya diterapkan untuk
pembuatan letterof credit(L/C) atas
pembelian barang diluar negeri atau penerysan permintaan.
16.
Ijarah
Akad sewa
menyewa barang antara kedua belah pihak untuk memperoleh manfaat atas barang
yang disewa. Akad sewa yang terjadi antara lembaga keuangan dengan nasabah
dengan cicilan seawa yang sudah termasuk cicilan pokok harga barang. Sehingga,
pada akhir masa prjanjian, penyewa dapat membeli barang tersebt dengan sisa
harga yang kecil atau diberikan saja oleh bank. Karena itu, biasanya ijarah
dinamai al ijarah alMuntahiya Bittamlik
17.
Kafalah
Akad jaminan
satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, biasanya, digunakan untuk
membuat garansi atas suatuproyek, partsisipasi dalam tender, atau pembayan
lebih dulu.
18.
Hawalah
Akad peminfahan
utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, hawalah,
diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin
menjujal p;roduknya kepada pembe;i dengan jaminan pembayaran dari pembeli
tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini lazim disebut post date check namun disesuaikan dengan prinsip prinsip syariah.
19.
Rahn
Akad
menggadaikan barang dari satu piahk kepada pihak lain dengan uang sebagai
penggantinya. Akad ini digunakan sebagai akad tambahan pada pembiayaan yang
berisiko an memerlukan jaminan tambahan. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat
apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang tersebut.
20.
Qard
Pembiayaan
kepada nasabah untuk dana talangan segera dalam jangka waktu yang relatif
pendek dan dana tersebut akan dikembalikan secepatnay sejumlah uang yang
digunakan. Dalam transaksi ini, nasabah hanya mengembalikan pokok.
Perkembangan Perbankan Syariah
di Beberapa Negara
Perkembangan Perbankan Islam di Sudan
Negara Sudan merupakan salah satu contoh negara yang mengalami
perkembangan perbankan yang pesat karena komitmen pemerintah.
Komitmen ini diwujudkan dalam suatu kebijakan dengan melakukan
Islamisasi pada sistem ekonominya pada tahun 1984. Islamisasi sektor
perbankan khususnya sektor keuangan di Sudan dimulai secara tibatiba pada tahun 1984 (Chapra, 2000). Pada saat itu, Jenderal Numeiry
mengumumkan kepada bank-bank bahwa dalam waktu dua bulan
sistem keuangan akan berubah dengan berasaskan Islam. Rencana
perubahan tersebut tidak disertai dengan persiapan pelatihan atau
infrastruktur hukum dan kelembagaannya. Namun, dengan
berakhirnya masa pemerintahan Jenderal Numeiry pada tahun 1985,
sistem ekonomi Islam pun berakhir.
Pada tahun 1990, konsep Islamisasi ekonomi dimunculkan kembali.
Kondisi yang sama terjadi seperti pada tahun 1984, bahwa perubahan
tersebut tidak disertai dengan infrastruktur baik hukum maupun
kelembagaannya. Di samping itu, pada saat itu negara Sudan tengah
mengalami konflik perang saudara. Kondisi ekonomi pada saat itu
semakin diperburuk lagi dengan masuknya pengungsi dari Ethiopia
dan Chad yang pada saat itu negara mereka sedang mengalami
kekeringan. Baru pada tahun 1997, kondisi politik di negara tersebut
mulai membaik. Hal ini tidak terlepas dari usaha pemerintah, yaitu
Presiden Omar Bashir yang berkuasa pada saat itu untuk
mempersatukan wilayah utara dan selatan sehingga konflik dapat
diredam (Chapra, 2000). Saat ini, jumlah bank di Sudan sudah
mencapai 26 buah.
Negara Sudan merupakan salah satu contoh negara yang mengalami
perkembangan perbankan yang pesat karena komitmen pemerintah.
Komitmen ini diwujudkan dalam suatu kebijakan dengan melakukan
Islamisasi pada sistem ekonominya pada tahun 1984. Islamisasi sektor
perbankan khususnya sektor keuangan di Sudan dimulai secara tibatiba pada tahun 1984 (Chapra, 2000). Pada saat itu, Jenderal Numeiry
mengumumkan kepada bank-bank bahwa dalam waktu dua bulan
sistem keuangan akan berubah dengan berasaskan Islam. Rencana
perubahan tersebut tidak disertai dengan persiapan pelatihan atau
infrastruktur hukum dan kelembagaannya. Namun, dengan
berakhirnya masa pemerintahan Jenderal Numeiry pada tahun 1985,
sistem ekonomi Islam pun berakhir.
Pada tahun 1990, konsep Islamisasi ekonomi dimunculkan kembali.
Kondisi yang sama terjadi seperti pada tahun 1984, bahwa perubahan
tersebut tidak disertai dengan infrastruktur baik hukum maupun
kelembagaannya. Di samping itu, pada saat itu negara Sudan tengah
mengalami konflik perang saudara. Kondisi ekonomi pada saat itu
semakin diperburuk lagi dengan masuknya pengungsi dari Ethiopia
dan Chad yang pada saat itu negara mereka sedang mengalami
kekeringan. Baru pada tahun 1997, kondisi politik di negara tersebut
mulai membaik. Hal ini tidak terlepas dari usaha pemerintah, yaitu
Presiden Omar Bashir yang berkuasa pada saat itu untuk
mempersatukan wilayah utara dan selatan sehingga konflik dapat
diredam (Chapra, 2000). Saat ini, jumlah bank di Sudan sudah
mencapai 26 buah.
Perkembangan Perbankan Islam di Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara yang menjadi pelopor
berdirinya bank yang berbasiskan Islam di Asia Tenggara. Tidak
berbeda dengan di Indonesia, penduduk muslim Malaysia pun hanya
memanfaatkan jasa bank konvensional sebelum berdirinya bank yang
berbasiskan syariah. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya
adalah muslim, dorongan untuk mendirikan bank yang berbasiskan
Islam pun sangat kuat. Sebagai contoh, pada tahun 1980 The
Bumiputera Economic Congress mendesak pemerintah untuk
mendirikan bank Islam di negara tersebut. Usaha lain seperti yang
dilakukan oleh National Steering Committee pada tahun 1981 ialah
membuat suatu kajian dan rekomendasi kepada pemerintah tentang
semua aspek pendirian maupun operasional termasuk masalah
hukum, aspek religius, dan operasional kepada pemerintah. Semenjak
itu, berdirilah Bank Islam pertama di Malaysia yaitu Bank Islam
Malaysia Berhad pada bulan Juli tahun 1983.
Pemerintah juga memegang peranan yang cukup penting di dalam
perkembangan bank syariah di kemudian harinya. Salah satu usaha
pemerintah untuk mendorong perkembangan bank syariah adalah
dengan mengeluarkan kebijakan yang disebut Skim Perbankan Islam
(SPI) pada bulan Maret 1993. SPI memberikan izin kepada bank-bank
konvensional maupun lembaga keuangan konvensional lainnya untuk
menawarkan produk-produk atau jasa-jasa yang berasaskan syariah
dengan menggunakan sarana infrastruktur termasuk karyawan
maupun cabang-cabang yang sudah ada. Dengan dikeluarkannya SPI
jumlah bank syariah berkembang dengan pesat, dari hanya tiga bank
pada tahun 1993, jumlah lembaga keuangan syariah meningkat
hingga mencapai 36. Dan pada tahun 1999, Bank Islam yang kedua
berdiri, yaitu Bank Muamalat Malaysia Berhad.
tabel 6.
Perkembangan Jumlah Lembaga Keuangan Islam di Malaysia
lembaga
keuangan
|
1983
|
2003
|
Islamic
banks
|
-
|
2
|
Commercial
banks-Islamic Banking Scheme
|
-
|
14
|
Finance
company
|
-
|
10
|
Merchant
banks
|
-
|
3
|
Discounts
houses
|
-
|
7
|
Catatan : * per Agustus 2003
Dengan jumlah bank Islam
sebanyak delapan buah dan jumlah
window sebanyak 1335, pangsa bank syariah terhadap perbankan
nasional sudah mencapai 11%, relatif sangat tinggi dibandingkan
dengan pangsa pasar bank syariah di Indonesia yang baru melewati
satu persen. Bahkan pada tahun 2010, ditargetkan pangsa pasar bank
syariah mampu mencapai 20%.
window sebanyak 1335, pangsa bank syariah terhadap perbankan
nasional sudah mencapai 11%, relatif sangat tinggi dibandingkan
dengan pangsa pasar bank syariah di Indonesia yang baru melewati
satu persen. Bahkan pada tahun 2010, ditargetkan pangsa pasar bank
syariah mampu mencapai 20%.
Tabel 7.
Jumlah Cabang Syariah-Lembaga Keuangan Konvensional di Malaysia
Jumlah Cabang Syariah-Lembaga Keuangan Konvensional di Malaysia
Lembaga keuangan
|
1983
|
2003
|
Islamic banks
|
80
|
128
|
Commercial banks
·
Full fledged branch
·
SPI Conters
|
7
1553
|
8
1335
|
Finance company
·
Full-fledged branch
·
SPI Counters
|
3
823
|
2
730
|
Merchant banks
·
SPI Counters
|
6
|
Perkembangan Perbankan Syariah
di Indonesia
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan perbankan syariah di
dunia internasional. Awal 1980-an merupakan tonggak awal
dimulainya diskusi pendirian bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam.
Beberapa uji coba juga telah dilakukan, seperti yang ada di Bandung
dan Jakarta, yaitu Baitut Tamwil-Salman, Bandung, dan Koperasi Ridho
Gusti, Jakarta. Tahun 1990-an merupakan tonggak baru yang secara
khusus memprakarsai berdirinya bank syariah di Indonesia, yang
dimotori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Prakarsa khusus ini
diawali dengan diselenggarakannya Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada 18-20 Agustus 1990.
Hasil lokakarya ini kemudian dibahas lebih mendalam dalam
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990.
Dari hasil Munas ini, dibentuk kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI untuk mendirikan bank syariah di Indonesia, dan
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
di Indonesia
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan perbankan syariah di
dunia internasional. Awal 1980-an merupakan tonggak awal
dimulainya diskusi pendirian bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam.
Beberapa uji coba juga telah dilakukan, seperti yang ada di Bandung
dan Jakarta, yaitu Baitut Tamwil-Salman, Bandung, dan Koperasi Ridho
Gusti, Jakarta. Tahun 1990-an merupakan tonggak baru yang secara
khusus memprakarsai berdirinya bank syariah di Indonesia, yang
dimotori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Prakarsa khusus ini
diawali dengan diselenggarakannya Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada 18-20 Agustus 1990.
Hasil lokakarya ini kemudian dibahas lebih mendalam dalam
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990.
Dari hasil Munas ini, dibentuk kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI untuk mendirikan bank syariah di Indonesia, dan
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
bertugas untuk melakukan
pendekatan dan konsultasi dengan semua
pihak terkait. Hasilnya, pada November 1991 ditandatangani
pendirian PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang mulai beroperasi
pada Mei 1992 (Antonio, 2001). Selain BMI, pionir perbankan syariah
yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah
pihak terkait. Hasilnya, pada November 1991 ditandatangani
pendirian PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang mulai beroperasi
pada Mei 1992 (Antonio, 2001). Selain BMI, pionir perbankan syariah
yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah
dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di
Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia EconomicDevelopment (ISED).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari
besar kecilnya dukungan atau ada tidaknya dukungan dari
Pemerintah, yang salah satunya tercermin pada kebijakan perbankan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Komitmen dukungan Pemerintahterhadap perkembangan bank syariah di Indonesia berawal sejak
tahun 1992. Sebelum tahun 1992, Pemerintah belum memberikan
komitmennya untuk mengembangkan perbankan syariah di Indonesia
sehingga belum ada satu pun peraturan yang menuju ke arah
pengembangan bank syariah. Dukungan lebih besar dari Pemerintah
baru dimulai sejak tahun 1998. Oleh karena itu, tahun 1998 dapat
dipakai sebagai pembatas dua periode kebijakan Pemerintah
mengenai bank syariah.
No comments:
Post a Comment