MAKALAH METAHISTORY DAN PUISI SEJARAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Metahistori
memberi tekanan pada pola-pola dan hukum-hukum umum. Beberapa metahistoris
menyandarkan pada ilmu pengetahuan (science) dan sistem. Kalangan
positivis, khususnya filosof Perancis Auguste Comte (1798-1857), meyakini bahwa
ilmu sejarah adalah—atau bisa jadi—sebuah sains. Comte juga percaya pada
tahapan-tahapan historis. Masa lalu bukan hanya bermakna, namun juga memiliki law-like.
Sebagian metahistori—metahistori diturunkan dari teori hukum alam Abad
Pertengahan dan Abad Modern awal—pada mulanya bersifat ketuhanan
tapi kemudian dapat dicapai oleh akal manusia. Sejarah sering kali
berulang, dengan demikian dapat diketahui, dan dapat diungkap. Dalam pengertian
ini, metahistori mengubah dan memperluas cara pandang orang Kristen terhadap
sejarah menjadi penuh makna dan bersifat linear. Meskipun begitu sejarah
bersifat sekuler, dan tidak lagi sakral. Sejarah, bukan lagi Tuhan, yang
mengandung desain besar tentang semesta, Ide Besar.
Berkenaan dengan uraian diatas, maka pada kesempatan ini penulis akan
membahas mengenai metahistory dan puisi sejarah secara lebih mendalam yang akan
penulis bahas pada bab selanjutnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan
metahistory?
2. Apa yang dimaksud dengan
historiografi postmodernisme?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui lebih
jelas mengenai metahistory
2. Untuk mengetahui lebih
jelas yang mengenai historiografi postmodernisme
BAB II
PEMBAHASAN
“ METAHISTORY
DAN PUISI SEJARAH “
A. METAHISTORY
Metahistori
berusaha untuk mengetahui keseluruhan arti yang terkandung dalam sejarah.[1]
Para ahli metahistori meyakini bahwa sejarah memiliki maknanya tersendiri. Para
sejarawan dengan demikian dapat mengungkap hukum-hukum dan pola-pola yang
bermakna dalam sejarah sepanjang waktu. Revolusi intelektual dimulai sejak
seorang naturalis asal Inggris, Charles Darwin (1809-1882), dan filosof Jerman
Friedrich Nietzsche (1844-1900), menyingkirkan Tuhan dari sejarah—jika
bukan mati dibunuh. Yahudi, Kristen, dan Islam menyajikan
metahistori-metahistori yang bersifat ketuhanan. Namun setelah tahun 1850,
gagasan mengenai peran kehendak dan campur tangan Tuhan dalam sejarah beralih
pada gagasan mengenai perjuangan untuk bertahan hidup dalam seleksi alam
dan pada kehendak untuk berkuasa Manusia unggul (Ubbermensch/Overman).
Walau demikian, natural selection Darwinis dan “keluar dari
penjara sejarah”-nya Nietzschean hanya memiliki dua varian pandangan mengenai
sejarah, yakni bahwa sejarah memiliki makna, pola, dan hukum-hukum tersendiri.
Metahistorian berusaha dan ingin mengungkap (atau menciptakan) Ide Besar di
balik sejarah.
Filosof asal
Jerman bernama Hegel merupakan salah seorang metahistorian. Ia mengganti Tuhan
dengan istilah Yang Absolut, dan melihat sejarah sebagai proses perkembangan
menuju kebebasan. Segala pencarian akan kebenaran dilakukan secara dialektis
dimulai dari tesis, lalu timbul darinya anti-tesis, dan akhirnya menghasilkan
sintesis. Dialektika merupakan Ide Besar Hegel. Karl Marx mempelajari metode
Hegel dan menjadi seorang materialis, melihat kepemilikan material sebagai
basis dari kebudayaan dan masyarakat. Marx menganggap seluruh sejarah sebagai sejarah
perjuangan antar kelas dan penindasan—tesis—yang menimbulkan
revolusi—anti-tesis—dan perampasan kekuatan ekonomi dan politik oleh kelas
pekerja (proletar) dari kelas kapitalis yang memiliki alat produksi
(borjuis)—sintesis. Perjuangan kelas merupakan gagasan utama Karl Marx.
(Ironisnya, istilah revolution, dipinjam dari ilmu fisika, yang
pada mulanya secara tidak langsung menyatakan perkembangan yang tidak linear,
tapi bersifat siklus). Di Inggris, kalangan yang disebut Whig melihat sejarah
sebagai perpanjangan proyek pencerahan dan sebagai kelanjutan dari kemajuan
rasional menuju masa depan yang lebih baik. Sejarah berarti kemajuan (progress),
untuk individu dan untuk masyarakat. Hidup mesti merupakan perubahan dari yang
baik ke yang lebih baik. Kemajuan menjadi Ide Besar pada masa itu.
Pemikir lain
mengklaim bahwa seluruh sejarah adalah sejarah biografi. Mereka menekankan
kehidupan individual orang-orang hebat, baik pria maupun wanita, yang telah
“membuat sejarah” di masa lalu—seperti Henry VIII, Frederick the Great, Joan of
Arc, Elizabeth I, dan lain-lain. Beberapa sejarawan lain, menuliskan
kebangkitan bangsa dan tokoh-tokohnya—Treitschke dan Droysen di Prusia,
Macaulay dan Trevelyan di Inggris, Soloviev dan Kliuchevsky di Rusia, Guizot
dan Michelet di Perancis, Parkman dan Bancroft di Amerika Serikat, Soekarno dan
Hatta di Indonesia[2]—serta
memberi makna kebangsaan pada sejarah. Mereka lahir, berkembang, lalu
mati, sebagaimana makhluk hidup lainnya. Negara-bangsa menjadi perhatian utama
dalam dan saat mempelajari sejarah. Sejarah juga menjadi alat untuk
mendefinisikan dan menegaskan identitas kebangsaan melalui cerita masa lalu
bangsa itu, entah itu nyata maupun khayalan. Secara politis, nasionalisme,
liberalisme, dan sosialisme, tampak pada metahistori abad ke-19 setelah
revolusi tahun 1848. Beberapa sejarawan mulai mempelajari bangsa-bangsa,
individu-individu, dan kelas-kelas sosial. Liberalisme dan sosialisme juga
menciptakan narasi utama mengenai kemajuan dan emansipasi revolusioner.
Sejarah dan
ingatan sesungguhnya berhubungan erat. Kita tidak boleh amnesia jika kita ingin
berguna hari ini. Kelemahan ingatan (the memory hole—istilah yang diperkenalkan
oleh penulis asal Inggris, George Orwell [1903-1950] untuk mengeliminasi
sejarah yang tidak menyenangkan) dapat merusak kebenaran dan identitas
sebagaimana fungsinya.
Sejak 1900-an,
metahistori berubah menjadi ideologis dan irasional. Sigmund Freud (1856-1939)
dan Carl Gustav Jung (1875-1961) telah membuka dunia bawah tanah ketidaksadaran
dan wilayah irasional dengan psikoanalisa dan psikohistoris. Seluruh
sejarah adalah sejarah neurosis, akibat dari perjuangan terus menerus menekan
dorongan ketidaksadaran, keinginan, dan hasrat, khususnya seks. Jung menafsir
sejarah dengan istilah pola dasar yang tetap dalam bawah-sadar kolektif. Mimpi
menjadi bukti atau petunjuk untuk menganalisa kondisi psikis. “Teka-teki
sejarah,” tulis seorang Freudian, Norman O. Brown, “bukan terletak pada akal
tapi hasrat, bukan pada kerja melainkan cinta.”[3]
Psikoanalisa menyediakan jalan keluar dari sejarah, kebebasan dari beban
tekanan masa lalu, menyublimasi insting Eros dan Thanatos, cinta dan kematian,
dan pembebasan dari represi.
Metahistori
kemudian berjalan menjadi lebih spekulatif. Segera sesudah Perang Dunia I,
Oswald Spengler (1880-1936) menulis karya babonnya, Decline of the West (yang
ia diktekan pada sebuah mesin), menggambarkan “hukum alam” dari bangkit dan
runtuhnya peradaban, dan apa yang ia istilahkan sebagai kebudayaan Apollonian,
Magian, dan Faustian dalam peradaban Barat. Dia menerbitkan dua jilid buku yang
hampir sukar untuk dibaca. Bagi Arnold Toynbee bangkit dan runtuhnya peradaban
itu mengacu pada kaidah tantangan dan respon terhadap krisis. Keduanya
mencari teori untuk menjelaskan keruntuhan Barat setelah perang yang
mengerikan. Begitu pun setelah Perang Dunia II, teolog Reinhold Niebuhr
(1897-1971) mengemukakan pandangan Protestan modern mengenai sejarah dengan
mengembalikan posisi Tuhan sebagai yang memiliki kuasa untuk menciptakan
sejarah dan “cerita seseorang” tentangnya, penuh dengan ironi dan paradoks.
Niebuhr juga menempatkan arti atau makna di luar sejarah dan dalam agama.
Sayangnya,
beberapa metahistori mengembangbiakkan gerakan totalitarianisme. Metahistori
menyajikan fondasi dua kediktatoran besar: Nazi di Jerman dan Soviet di Rusia.
Pemimpin Jerman, Adolf Hitler, dan pemimpin Soviet, Joseph Stalin, mendasarkan
“negara-polisi” mereka pada ras dan kelas sosial, anti-semitisme dan marxisme.
Para pemikir rasis di Jerman mengeksplor sejarah dengan apa yang mereka namakan
sebagai ras Arya dan memprediksi dominasi bangsa Arya di masa depan terhadap
ras non-Arya. Para pemikir Marxis di Rusia mereduksi seluruh sejarah untuk
merumuskan perjuangan kelas. Anti-semitisme dan pertentangan kelas mendominasi
semua pemikiran dan mereduksi individu menjadi budak-budak dalam pertandingan
catur yang mematikan. Orang-orang dibunuh dalam kamar gas atau gulag karena
mereka stood in the way of history. Aryanisme dan anti-semitisme
menjadi Ide Besar di balik Sosialisme Nasional Jerman. Komunisme adalah Ide
Besar di balik Uni Soviet.
Nazi dan
Marxis kerap kali menulis ulang, bahkan mengubah sejarah agar sesuai dengan
garis partai mereka, bukan demi kebenaran. Ras Arya dan kelas pekerja menjadi
pahlawan kolektif dalam sejarah “resmi.” Para sejarawan mengkritik pendekatan
“resmi” tersebut bila dilihat dari akibat yang ditimbulkannya. Sejarawan
pada masanya diwajibkan menulis sejarah sesuai dengan ideologi partai, Nazi
ataupun komunis. Jika tidak, mereka (sejarawan) akan dilabeli “dangerous
people”—sebagaimana dikatakan oleh mantan pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev.
Contohnya, Marc
Bloch (1886-1944), sejarawan dan medievalist asal Perancis,
yang telah membantu menemukan jurnal Annales dan menjadikan
sejarah sebagai ilmu sosial. Menurutnya metahistori secara harfiah telah
membunuh sejarah. Tanpa berlama-lama, Gestapo (polisi rahasia) menyiksa dan
membunuh Bloch karena karyanya dengan Pemberontakan Perancis selama Perang
Dunia II. Jutaan orang lainnya kehilangan nyawa karena gagal menyesuaikan diri
(berkompromi) dengan standar metahistori atau berani mengritik metahistori yang
berlaku, sebagaimana didefinisikan oleh pimpinan Nazi dan Soviet.
Akan tetapi,
metahistori tidak hanya sekedar menimbulkan aneka ideologi. Metahistori
menumbangkan ideologi-ideologi juga. Marx, Darwin, dan Freud, merupakan
orang-orang yang menghapus elemen-elemen mistis (demystifiers, yang
mendemistifikasi) sejarah. Mereka menyimpulkan bahwa sejarah bukanlah apa yang tampil
sebagaimana adanya, sederhana, kisah mengenai individu-individu yang membuat
pilihannya sepanjang waktu. Sejarah merupakan misteri yang mesti dibongkar. Dan
mereka telah membongkar misteri itu. Mereka merupakan orang-orang yang realis,
bukan “romantik”. Sejarah sesungguhnya adalah a struggle determined by
single force—sebuah perjuangan untuk menghapus kelas yang timpang dan tidak
adil, perjuangan untuk memungkinkan spesies terkuat tetap bertahan hidup, serta
perjuangan untuk menekan atau menghaluskan hasrat seksual dengan menciptakan
peradaban. Manusia bukanlah entitas independen, tetapi bagian dari
berbagai kelompok, but members of groups. Kelompoklah yang
menciptakan sejarah. Menjelaskan sejarah sebagaimana nyatanya berarti
menelanjangi bahasa yang menekan atau menindas, yang digulirkan oleh kalangan
elit dan kelompok lain yang berkuasa, untuk mengetahui dan mengungkap kenyataan
dan arti sebenarnya di balik wacana yang ilusif.
Metahistorian
abad ke-20 beralih pada aspek linguistik—mengacu pada para filsuf, mereduksi
sejarah menjadi semacam permainan bahasa (language game).
Postmodernisme, di samping mendekontruksi the language of power,
juga menciptakan istilahnya sendiri untuk menggantikan metafor organik dan
mekanik dari masa lalu—tubuh, “yang lain,” kolonial, imperial, ruang,
diskursus, narasi, kuasa, dan teks—untuk menamai beberapa pilihan kata. Dengan
menganggap sejarah hanya sebuah teks, posmodernis “mengganggu” kebanyakan
sejarawan dengan relativisme, skeptisisme, dan permainan bahasa mereka. Walau
demikian, mereka juga berkontribusi memberi wawasan yang bernilai mengenai
pentingnya bahasa dalam ilmu sejarah dan dalam keahlian sejarah itu sendiri.
Belum lama
ini, contoh dari metahistori meliputi/melibatkan biologi dan genetic evolusioner.
Beberapa kalangan menyebutnya dengan istilah memetics. Dengan teori
ini, kebudayaan berkembang dalam proses seleksi alam yang “menghadiahkan” meme
yang tahan lama (cultural gene, or viruses). Meme adalah bagian
dari kebudayaan seperti halnya gagasan, nilai, atau mode
berpakaian. Beberapa di antaranya mudah dimengerti dengan segera. Beberapa
lainnya hilang/punah dengan cepat. Sejarah berkembang secara organis dan
memiliki polanya tersendiri. DNA menentukan hasil dari sejarah sebagaimana
evolusi kultural. Evolusi kultural menyerupai logika Darwinian. Sejarah
memiliki pola inti dan dapat dipelajari seperti halnya mempelajari sains.
Seorang pemikir spekulatif menyimpulkan bahwa sejarah alam maupun sejarah
manusia melibatkan “the playing of ever-more-numerous, ever larger,
and ever-more-elaborate non-zero-sum [winning does not necessarily mean losing,
and vice versa] games.”[4]
Contoh lain
dari metahistori yakni konsep penting mengenai “Jihad versus McWorld,” yang
mana menafsirkan sejarah hari ini sebagai perjuangan antara kekuatan
bangsa-bangsa dan perang suci (Jihad), di satu sisi, serta kekuatan integrasi
global dan korporasi internasional di sisi lain. Serangan mematikan pada World Trade
Center New York dan Pentagon pada 11 September 2011, merupakan contoh dari
perjuangan di atas. Maka pecahlah teror dan kekerasan di Timur Tengah, dari
Afghanistan dan Irak hingga Gaza dan Lebanon. Gagasan kebebasan dan demokrasi
mengakibatkan “Pencerahan” berhadapan dengan milisi bom bunuh diri dan kelompok
teroris mematikan, Al-Qaeda. “Perang terhadap teror” berhadapan dengan
“kematian Amerika.”
Pada banyak
peristiwa, metahistori, yang pada mulanya adalah upaya filosofis untuk mengisi
kehampaan metafisis yang disebabkan kematian Tuhan pada abad ke-19, berubah
menjadi spekulatif. Sisi baiknya, metahistori membantu para sejarawan dan
pembaca melihat makna yang lebih besar atau makna umum dari sejarah. Sisi
buruknya, metahistori menyajikan justifikasi ideologis untuk totalitarianisme
dan teror. Orang-orang yang berkepentingan (politicians) mendistorsi
sejarah untuk menjustifikasi nasionalisme, genosida, dan pemusnahan etnis.
Belum tuntas urusan kita dengan para penyederhana sejarah yang telah
menggunakan sejarah untuk menopang kepentingan ideologis mereka, metahistori
membiakkan milisi radikal dan sukarelawan bom bunuh diri atas nama Ide Besar.
Dalam pada itu, para sejarawan telah mencoba
menganalisa, ketimbang menyederhanakan narasi, kisah masa lalu tanpa
memuat asumsi umum mengenai makna sejarah. Kadar positivistik sejarah jadi agak
berkurang, dan pendekatannya jadi lebih empiris, lebih probabilistik, dan lebih
pragmatis. Para sejarawan dan metahistorian menjalani cara masing-masing yang
terpisah. “Untuk menganalisa fenomena yang kompleks,” kata seorang peneliti
sejarah kontemporer, “teori tunggal, betapa pun kaya dan bervariasi, akan tetap
kurang memadai. Peristiwa-peristiwa kompleks biasanya memiliki penyebab yang
tidak tunggal (multiple causes).”[5]
Era metahistori dan teori-teori spekulatifnya mengenai masa lalu tampaknya akan
kita tinggalkan. Namun tetap saja akan ada orang yang mengklaim dirinya
memahami satu hal besar yang memberi makna pada sejarah. Terorisme dan “perang
terhadap teror,” secara sederhana, merupakan versi terakhir dari Ide Besar yang
mendasari metahistori.
B.
HISTORIOGRAFI POSTMODERNISME
1.
POSTMODERNISME
a.
Lahirnya
Postmodernisme
Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan
menolak arus utama modernisme, ada pula yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme
dan anti-positivisme. Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh
sejarawan Inggris, Arnold Toynbee.[6]
Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus
seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan
antimodernisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis
secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas.
Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan
merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis
modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari
fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory)
menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang
sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang
beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada
modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme”
kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam
Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh
kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan
berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme.[7]
b.
Pengertian
Post Modernisme
Postmodernisme
adalah sebuah term atau istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak
bisa dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya
postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni,
arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal
tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang
berbeda. Apabila kita berbicara mengenai pengertian postmodernisme,
maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Mengenai beragamnya definisi
postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang
berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan
ambigu.Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale lakukan
untuk membedakan istilah postmodern, yaitu :
-
Postmodernitas yang berkaitan
dengan era posmodern. Satu pendapat mengatakan bahwa post-modernitas
adalah suatu kondisi atau keadaan; perhatiannya kepada perubahan pada
lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi, seperti ekonomi, politik, dan kultural. Postmodernitas
adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi
barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi
faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak
lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.
-
Posmodernism yang berkaitan
dengan ekspresi kultural era postmodern.
Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern. Postmodernisme adalah perubahan-perubahan intelektual ekspresif pada level teori; pada estetika, sastra, filsafat politik atau sosial yang secara sadar menjawab kondisi-kondisi postmodernitas, atau yang mencoba bergerak melampaui atau melakukan kritik terhadap modernitas.[8]
Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern. Postmodernisme adalah perubahan-perubahan intelektual ekspresif pada level teori; pada estetika, sastra, filsafat politik atau sosial yang secara sadar menjawab kondisi-kondisi postmodernitas, atau yang mencoba bergerak melampaui atau melakukan kritik terhadap modernitas.[8]
Postmodernisme juga sebagai wacana pemikiran baru sebagai
alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana
pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi
subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru,
postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek
yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan
sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian
modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi,
humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi
pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.
Walaupun istilah postmodernisme sebagai sebuah term
atau istilah yang rumit, namun dengan mengumpulkan berbagai definisi post modernisme kita
dapat menemukan inti dari pengertian postmodsernisme.
Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan
menolak arus utama modernisme, ada pula yang mengganggapnya sebagai
anti-modernisme dan anti-positivisme. Selanjutnya postmo diartikan sebagai
bentuk kesadaran yang menginginkan pembaharuan, bahkan perombakan dalam dunia
moderen. Berbagai standarisasi yang sifatnya universal, dan teori-teori besar
yang menjadi panduan keilmiahan ilmu moderen, terpatahkan. Postmo menolak
pikiran tentang kebenaran universal (universal truth) yang mencari
metanarrative (narasi besar) atau grand theory (kerangka-kerangka teoritis
besar untuk menjelaskan makna segala sesuatu). Pikiran-pikiran mendasar
modernisme ditolak, digantikan dengan penjelasan-penjelasan mikro
(microexplanations) dan keragu-raguan. Postmo belajar mengkontekstualisasi,
mentoleransi relativisme, dan menyadari selalu ada perbedaan.[9]
Postmodernisme, pada hakikatnya merupakan campuran dari beberapa
atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan
dari modernisme. Salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness
of reality and hence the inaccessibility of the Real. Postmodernisme
bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah
relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.
Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan
mengkonstruk identitas diri. disebutkan bahwa teori postmodernisme atau
dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern.
Teori postmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern,
secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,
konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen,
1991).
Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang
dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita
digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita
campakkan.. Pada situs tersebut juga disebutkan bahwa berdasarkan pandangan
postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya
kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan
pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut
teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa
diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa
dihasilkannya.
c.
Asas-asas
pemikiran Postmodernisme
-
Penafian terhadap keuniversilan
suatu pemikiran ( totalisme).
-
Penekanan akan terjadinya
pergolakan pada identitas personal maupun sosial
secara terus-menerus, sebagai ganti dari permanen yang amat mereka
tentang.
secara terus-menerus, sebagai ganti dari permanen yang amat mereka
tentang.
-
Pengingkaran atas semua jenis
ideology. memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran
-
Pengingkaran atas setiap eksistensi
obyektif dan kritikan tajam atas setiap epistemology.
-
Pengingkaran akan penggunaan metode
permanen dan paten dalam menilai ataupun berargumen. Semakin terbukanya peluang
bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih
bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses
demokratisasi
-
Konsep berfilsafat pada era
postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran
, mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran
filsafat tertentu.
d.
Kritik
Terhadap Postmodernisme
Para kritikus menggunakan relativisme ini untuk menyerang
kredibilitas postmodernism. Misalnya, Ellis seperti yang dikutip Dear dan
Flusty menegaskan bahwa dekonstruksi “secara inheren antiteori,” dan apa yang
diperlukan sekarang: “pengembangan beberapa cara untuk mencek dan mengontrol
aliran tulisan kritis yang tidak dapat dicerna dan kacau-balau (chaotic)
melalui releksi apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat yaitu melalui suatu
refleksi teoritis yang murni daripada yang kabur.” Sebagian dari keberatan para
antirelativis ini tidak dapat diragukan lagi dimotivasi oleh suatu kebutuhan
untuk melestarikan legitimitas proyek-proyek ilmiah dan politik mereka sendiri
dalam menghadapi wacana-wacana gaduh tidak bermakna.
Ancaman terhadap hegemoni yang mapan ini terutama tajam dirasakan
oleh golongan Marxis, tetapi juga tersembunyi pertahanan tradisi-tradisi
kebudayaan Barat dan munculnya istilah pembenaran politik (political
correctness) sebagai julukan ejekan di kalangan para neo-konservatif.
Kelompok lain, yang semula mengambil keuntungan dari pendirian
anti-hegemonik postmodernisme, sudah mulai membuat jarak diri mereka dengan
‘aturan ajaran moral’ semula. Kasus feminisme adalah salah contoh. Semula
feminisme terbuka melakukan kritik dengan suara yang “berbeda.” Akan tetapi
kemudian banyak pengikut gerakan feminisme karena ketidakpastian dari
postmodernisme mereka anggap telah bertentangan dengan agenda politik mereka.
Kritik datang dari pihak
lain yang melancarkan pertahanan yang kuat terhadap proyek modernitas, termasuk
Jurgen Habermas (1928-), atau yang mengkalim bahwa postmodernisme tidak dapat
melarikan diri dari kontradiksi bahwa mereka juga “metanarrative.”
Kebanyakan ribut-ribut mengenai postmodernisme pada hakekatnya
bersifat politik, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat keseluruhannya
(semacam “perang-perang budaya”/culture wars): di mana saja, siapa yang dapat
mengendalikan wacana berarti memegang kekuasaan. Kritikus-kritikus kiri maupun
kana menyatakan bahwa postmodern hanya menipu diri mereka sendiri karena
seperti semua teori, postmodernisme hanya sesuai dengan tujuan kepentingan
politik.
Di samping itu kalau kita menganalisis asas-asas pemikiran
postmodernisme, maka dapat kita jabarkan sebagai beruikut:
-
Manusia postmodernis memandang
sesuatu selalu melalui sudut pandang idealis, bukan realis. Tentu,
pada tataran realita tidak mungkin akan kita dapati praksis yang sesuai
dengan teori yang berasas tersebut. Jika setiap orang tetap
akan memaksakan pengaplikasian di alam realita, niscaya kehancuran
yang bakal terwujud, bukan perdamaia
-
Menurut keyakinan postmodernisme,
tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang
disisi lain, doktrin mereka, manusia selalu dituntut untuk selalu
mengadakan pergolakan. Lantas, bagaimana mungkin manusia akan selalu
mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolok ukur jelas dalam
penentuan kebenaran akan pergolakan? Bagaimana mungkin manusia selalu
mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolok
ukur kebenaran berpikir.
-
Postmodernisme tidak memiliki
asas-asas yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin
akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan
landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali, hal
itu statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu
menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat
universal dan permanen
2.
KEMBALI KE
LINGUISTIK (LINGUISTIC TURN)
Istilah Postmodernisme yang dipopulerkan oleh para
seniman, penulis, dan kritikus sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang
menolak modernisme berhenti dalam birokrasi. Dalam bidang
filsafat,Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas gambaran
dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah
postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik
atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Penulis I. Bambang
Sugiharto membagi gerakan postmodern yang ingin merevisi paradigma modern.
Salah satu gerakan tersebut berkaitan dengan dunia sastra dan linguistik.
Bahasa dan sastra adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang
menjadi objek utama dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah
sebuah refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas
bentuk-bentuk pemahaman itu. Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari
manusia di dunia ini.
“Kembali ke linguistik” (linguistic turn) atau “kembali ke
kebudayaan “ (cultural turn) merujuk kepada perkembangan besar Filsafat Barat
(Filsafat Analitis) selama abad ke-20, yang mempunyai karakteristik utama
memusatkan diri pada filsafat, dan akibatnya juga pada ilmu-ilmu kemanusiaan
(humaniora, humanities) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Para sejarawan,
ahli-ahli sosiologi, ahli-ahli ilmu politik mengarahkan perhatian mereka kepada
masalah-masalah bahasa, identitas, simbol-simbol dan konstruksi-konstruksi
sosial dengan mulai meninggalkan penjelasan-penjelasan materi yang menggunakan
hitungan atau angka-angka (quantifiable) dari tahun-tahun 1960an dan 1970an.
Mereka melihat kajian bahasa sebagai fondasi disiplin (ilmu).
Suatu perkembangan intelektual yang mulai populer dengan istilah
“kembali ke linguistik” dikaitkan dengan sebuah antologi, The Linguistic
Turn. Essays in Philosophical Method yang diterbitkan oleh Richard Rorty
tahun 1967. Pada tahun 1970an ilmu-ilmu kemanusiaan mengakui pentingnya bahasa
sebagai alat penyusun (structuring agent) realitas. Dalam wacana sejarah,
kekuatan bahasa ini secara khusus ditunjukkan oleh hasil kajian “arti-arti
kiasan retorik” (rhetorical tropes) dari Hayden White. Pemikiran-pemikiran
Richard Rorty sebagai ahli filsafat (neo-) pragmatis dan Hayden White sebagai
ahli filsafat dan/atau teori sejarah memberi warna yang kental terhadap
hitoriografi postmodern.[10]
3.
KEMBALI KE
NARATIF (NARRATIVE TURN)
Sebagai kelanjutan dari kembali ke linguistik” ialah “kembali ke
naratif.” Perhatian yang besar kepada naratif dengan berbagai ragam objek
inkuirinya menjadi titik sentral minat dalam bermacam lapangan disiplin dan
penelitian. Kembali ke naratif sebagai sebuah “science of narrative” ini
memperoleh momentumnya dengan perkembangan teori-teori strukturalis naratif di
Perancis pada pertengahan 1950an sampai akhir tahun 1960an. Tokoh-tokoh seperti
Roland Barthes (1915-1980), misalnya, melanjutkan kalau tidak mengembangkan
teori linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure (1857-1913). [11]
Salah satu ucapan yang paling sering dikutip mengenai peranan
sentral naratif dalam kehidupan sosial kita berasal dari Roland Barthes,
seorang semiolog (semiotik) dan kritikus sastra Perancis:
Naratif tentang dunia tidak terbilang. Naratif adalah yang pertama
dan yang terutama dari genres [gaya, aliran] yang luar biasa beragam, di antara
mereka sendiri dibagi-bagi dalam berbagai substansi seakan-akan materi apapun
cocok untuk menerima cerita-cerita manusia. [Naratif] Sanggup dibawakan oleh
bahasa yang diucapkan jelas, lisan atau tertulis, gambar-gambar yang tetap atau
bergerak, gerak sikap, dan semua campuran teratur dari substansi-substansi ini;
naratif hadir dalam mitos, legenda, fabel, cerita, novella, epik, sejarah,
tragedi, drama, komedi, lawakan, lukisan, jendela-jendela kaca yang
berwarna, film, komik, pokok-pokok berita, percakapan. Lebih-lebih lagi, di
bawah bentuk-bentuk berbeda-beda yang hampir tidak ada akhirnya ini, naratif
hadir dalam setiap jaman, dalam setiap tempat, dalam setiap masyarakat; ia
mulai dari paling awal sejarah umat manusia dan di manapun tidak ada manusia
tanpa naratif. tidak peduli kepada pembagian antara sastra yang baik dan buruk,
naratif adalah internasional, transhistorikal, transkultural: ia benar-benar
ada di sana, seperti kehidupan itu sendiri (Barthes, 1977: 79)
Sesuatu yang tidak bisa
dihindari ialah pendapat yang cenderung menghubungkan istilah naratif
(narrative) dengan hasil akhir karya sejarawan, yaitu presentasi hasil-hasil
karyanya kepada pembaca; menafsirkan naratif hanya sebagai sebuah cerita
(story) atau sebuah anekdot sejarah. Level pendapat umum ini tidak
berhenti di sini. Para “narativis” sendiri (narrativists) julukan dari
lawan-lawan mereka memperlakukan istilah itu sebagai suatu kategori
metodologis, mengartikannya dengan makna yang lebih dalam. Menurut Jan Pamorski
titik berangkat dari filsafat naratif sejarah (narrative philosophy of history)
adalah menerima premis bahwa problema-problema narasi sejarah (historical
narration) tidak hanya dapat, tetapi harus dianalisis secara independen dari
investigasi sejarah itu sendiri. Penulisan sejarah (penyajian sejarah kepada
pembaca) harus diatur menurut kaidah-kaidah (rules) dan peraturan-peraturan (regulations)
sendiri, yaitu harus mempunyai metodologi sendiri.Selanjutnya Pamorski juga
mengakui kenyataan bahwa di kalangan pendukung narativisme sendiri kategori
narasi sejarah diartikan dan dianalisis dari berbagai perspektif:
1) Semacam
wacana, menyingkap tujuan-tujuan komunikatif, ekspresif dan persuasif dari
pengarang (sejarawan);
2)
Seperangkat kode-kode komunikatif;
3)
Ungkapan historis yang puitis;
4)
Ungkapan bahasa kiasan dan retoris,
yang secara a priori mengendalikan penyajian sejarah;
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Metahistori
berusaha untuk mengetahui keseluruhan arti yang terkandung dalam sejarah.
Para ahli metahistori meyakini bahwa sejarah memiliki maknanya tersendiri. Para
sejarawan dengan demikian dapat mengungkap hukum-hukum dan pola-pola yang
bermakna dalam sejarah sepanjang waktu.
2. Post
modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan menolak arus utama modernisme,
ada pula yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme dan anti-positivisme.
Selanjutnya postmo diartikan sebagai bentuk kesadaran yang menginginkan
pembaharuan, bahkan perombakan dalam dunia moderen.
B. KRITIK DAN SARAN
Saya menyadari bahwasannya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat
saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Norman O. Brown. 1957. Life Against Death (Middletown,
CT: Wesleyan University Press.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta :
Ombak.
Victoria E.
Bonnell. 1983. Roots of
Rebbelion: Workers Politics and Organizations in St. Petersburg and Moscow,
1900-1914. Berkeley: University of California Press.
Wright, Robert. 2000. Nonzero: The
Logic of Human Destiny. New York:
Vintage.
http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism,
diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.
http://en/wikipedia.org/wiki/linguisticturn;http://ww.as.huji.ac.il/narrativegroup.html).
diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.45 WIB.
http://www.fabula.org/actualites/article10833.php).
diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.50 WIB.
http://aryaverdiramadhani.blogspot.com/2007/06/vj-7vi2007-postmodernisme-hard-to.html.
diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.30 WIB.
http://www.uni tn i
t/rucola/download/ds/Czasni awska.pdf, 07-04-’06) diakses 05
Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.
[1] Hayden
White menggunakan istilah metahistory dalam bukunya Metahistory: The
Historical Imagination in Nineteenth-century Europe (Baltimore: John
Hopkins University Press, 1973). White mendefinisikan sejarah sebagai “a verbal
structure in the form of a narrative prose discourse” dan “a specifically
western prejudice by which the presumed superiority of modern, industrial
society can be retroactively substantiated” (ix, 2). Beberapa sejarawan
menerima pandangan White tersebut.
[5] Victoria
E. Bonnell, Roots of Rebbelion: Workers Politics and Organizations in
St. Petersburg and Moscow, 1900-1914 (Berkeley: University of
California Press, 1983), 17.
[7] http://aryaverdiramadhani.blogspot.com/2007/06/vj-7vi2007-postmodernisme-hard-to.html.
diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.30 WIB.
[10] (http://en/wikipedia.org/wiki/linguisticturn;http://ww.as.huji.ac.il/narrativegroup.html).
diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.45 WIB.
[12] http://www.uni tn i
t/rucola/download/ds/Czasni awska.pdf, 07-04-’06) diakses 05 Juni 2018,
Pukul 15.00 WIB.
No comments:
Post a Comment