1

loading...

Wednesday, October 24, 2018

MAKALAH METAHISTORY DAN PUISI SEJARAH

MAKALAH METAHISTORY DAN PUISI SEJARAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Metahistori memberi tekanan pada pola-pola dan hukum-hukum umum. Beberapa metahistoris menyandarkan pada ilmu pengetahuan (science) dan sistem. Kalangan positivis, khususnya filosof Perancis Auguste Comte (1798-1857), meyakini bahwa ilmu sejarah adalah—atau bisa jadi—sebuah sains. Comte juga percaya pada tahapan-tahapan historis. Masa lalu bukan hanya bermakna, namun juga memiliki law-like. Sebagian metahistori—metahistori diturunkan dari teori hukum alam Abad Pertengahan dan Abad Modern awal—pada mulanya bersifat ketuhanan tapi kemudian dapat dicapai oleh akal manusia. Sejarah sering kali berulang, dengan demikian dapat diketahui, dan dapat diungkap. Dalam pengertian ini, metahistori mengubah dan memperluas cara pandang orang Kristen terhadap sejarah menjadi penuh makna dan bersifat linear. Meskipun begitu sejarah bersifat sekuler, dan tidak lagi sakral. Sejarah, bukan lagi Tuhan, yang mengandung desain besar tentang semesta, Ide Besar.
Berkenaan dengan uraian diatas, maka pada kesempatan ini penulis akan membahas mengenai metahistory dan puisi sejarah secara lebih mendalam yang akan penulis bahas pada bab selanjutnya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan metahistory?
2.      Apa yang dimaksud dengan historiografi postmodernisme?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui lebih jelas mengenai metahistory
2.      Untuk mengetahui lebih jelas yang mengenai historiografi postmodernisme









BAB II
PEMBAHASAN

“ METAHISTORY DAN PUISI SEJARAH “

A.    METAHISTORY
Metahistori berusaha untuk mengetahui keseluruhan arti yang terkandung dalam sejarah.[1] Para ahli metahistori meyakini bahwa sejarah memiliki maknanya tersendiri. Para sejarawan dengan demikian dapat mengungkap hukum-hukum dan pola-pola yang bermakna dalam sejarah sepanjang waktu. Revolusi intelektual dimulai sejak seorang naturalis asal Inggris, Charles Darwin (1809-1882), dan filosof Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900), menyingkirkan Tuhan dari sejarah—jika bukan mati dibunuh. Yahudi, Kristen, dan Islam menyajikan metahistori-metahistori yang bersifat ketuhanan. Namun setelah tahun 1850, gagasan mengenai peran kehendak dan campur tangan Tuhan dalam sejarah beralih pada gagasan mengenai perjuangan untuk bertahan hidup dalam seleksi alam dan pada kehendak untuk berkuasa Manusia unggul (Ubbermensch/Overman). Walau demikian, natural selection Darwinis dan “keluar dari penjara sejarah”-nya Nietzschean hanya memiliki dua varian pandangan mengenai sejarah, yakni bahwa sejarah memiliki makna, pola, dan hukum-hukum tersendiri. Metahistorian berusaha dan ingin mengungkap (atau menciptakan) Ide Besar di balik sejarah.
Filosof asal Jerman bernama Hegel merupakan salah seorang metahistorian. Ia mengganti Tuhan dengan istilah Yang Absolut, dan melihat sejarah sebagai proses perkembangan menuju kebebasan. Segala pencarian akan kebenaran dilakukan secara dialektis dimulai dari tesis, lalu timbul darinya anti-tesis, dan akhirnya menghasilkan sintesis. Dialektika merupakan Ide Besar Hegel. Karl Marx mempelajari metode Hegel dan menjadi seorang materialis, melihat kepemilikan material sebagai basis dari kebudayaan dan masyarakat. Marx menganggap seluruh sejarah sebagai sejarah perjuangan antar kelas dan penindasan—tesis—yang menimbulkan revolusi—anti-tesis—dan perampasan kekuatan ekonomi dan politik oleh kelas pekerja (proletar) dari kelas kapitalis yang memiliki alat produksi (borjuis)—sintesis. Perjuangan kelas merupakan gagasan utama Karl Marx. (Ironisnya, istilah revolution, dipinjam dari ilmu fisika, yang pada mulanya secara tidak langsung menyatakan perkembangan yang tidak linear, tapi bersifat siklus). Di Inggris, kalangan yang disebut Whig melihat sejarah sebagai perpanjangan proyek pencerahan dan sebagai kelanjutan dari kemajuan rasional menuju masa depan yang lebih baik. Sejarah berarti kemajuan (progress), untuk individu dan untuk masyarakat. Hidup mesti merupakan perubahan dari yang baik ke yang lebih baik. Kemajuan menjadi Ide Besar pada masa itu.
Pemikir lain mengklaim bahwa seluruh sejarah adalah sejarah biografi. Mereka menekankan kehidupan individual orang-orang hebat, baik pria maupun wanita, yang telah “membuat sejarah” di masa lalu—seperti Henry VIII, Frederick the Great, Joan of Arc, Elizabeth I, dan lain-lain. Beberapa sejarawan lain, menuliskan kebangkitan bangsa dan tokoh-tokohnya—Treitschke dan Droysen di Prusia, Macaulay dan Trevelyan di Inggris, Soloviev dan Kliuchevsky di Rusia, Guizot dan Michelet di Perancis, Parkman dan Bancroft di Amerika Serikat, Soekarno dan Hatta di Indonesia[2]—serta memberi makna kebangsaan pada sejarah.  Mereka lahir, berkembang, lalu mati, sebagaimana makhluk hidup lainnya. Negara-bangsa menjadi perhatian utama dalam dan saat mempelajari sejarah. Sejarah juga menjadi alat untuk mendefinisikan dan menegaskan identitas kebangsaan melalui cerita masa lalu bangsa itu, entah itu nyata maupun khayalan. Secara politis, nasionalisme, liberalisme, dan sosialisme, tampak pada metahistori abad ke-19 setelah revolusi tahun 1848. Beberapa sejarawan mulai mempelajari bangsa-bangsa, individu-individu, dan kelas-kelas sosial. Liberalisme dan sosialisme juga menciptakan narasi utama mengenai kemajuan dan emansipasi revolusioner.
Sejarah dan ingatan sesungguhnya berhubungan erat. Kita tidak boleh amnesia jika kita ingin berguna hari ini. Kelemahan ingatan (the memory hole—istilah yang diperkenalkan oleh penulis asal Inggris, George Orwell [1903-1950] untuk mengeliminasi sejarah yang tidak menyenangkan) dapat merusak kebenaran dan identitas sebagaimana fungsinya.
Sejak 1900-an, metahistori berubah menjadi ideologis dan irasional. Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Gustav Jung (1875-1961) telah membuka dunia bawah tanah ketidaksadaran dan wilayah irasional dengan psikoanalisa dan psikohistoris. Seluruh sejarah adalah sejarah neurosis, akibat dari perjuangan terus menerus menekan dorongan ketidaksadaran, keinginan, dan hasrat, khususnya seks. Jung menafsir sejarah dengan istilah pola dasar yang tetap dalam bawah-sadar kolektif. Mimpi menjadi bukti atau petunjuk untuk menganalisa kondisi psikis. “Teka-teki sejarah,” tulis seorang Freudian, Norman O. Brown, “bukan terletak pada akal tapi hasrat, bukan pada kerja melainkan cinta.”[3] Psikoanalisa menyediakan jalan keluar dari sejarah, kebebasan dari beban tekanan masa lalu, menyublimasi insting Eros dan Thanatos, cinta dan kematian, dan pembebasan dari represi.
Metahistori kemudian berjalan menjadi lebih spekulatif. Segera sesudah Perang Dunia I, Oswald Spengler (1880-1936) menulis karya babonnya, Decline of the West (yang ia diktekan pada sebuah mesin), menggambarkan “hukum alam” dari bangkit dan runtuhnya peradaban, dan apa yang ia istilahkan sebagai kebudayaan Apollonian, Magian, dan Faustian dalam peradaban Barat. Dia menerbitkan dua jilid buku yang hampir sukar untuk dibaca. Bagi Arnold Toynbee bangkit dan runtuhnya peradaban itu mengacu pada kaidah tantangan dan respon terhadap krisis. Keduanya mencari teori untuk menjelaskan keruntuhan Barat setelah perang yang mengerikan. Begitu pun setelah Perang Dunia II, teolog Reinhold Niebuhr (1897-1971) mengemukakan pandangan Protestan modern mengenai sejarah dengan mengembalikan posisi Tuhan sebagai yang memiliki kuasa untuk menciptakan sejarah dan “cerita seseorang” tentangnya, penuh dengan ironi dan paradoks. Niebuhr juga menempatkan arti atau makna di luar sejarah dan dalam agama.
Sayangnya, beberapa metahistori mengembangbiakkan gerakan totalitarianisme. Metahistori menyajikan fondasi dua kediktatoran besar: Nazi di Jerman dan Soviet di Rusia. Pemimpin Jerman, Adolf Hitler, dan pemimpin Soviet, Joseph Stalin, mendasarkan “negara-polisi” mereka pada ras dan kelas sosial, anti-semitisme dan marxisme. Para pemikir rasis di Jerman mengeksplor sejarah dengan apa yang mereka namakan sebagai ras Arya dan memprediksi dominasi bangsa Arya di masa depan terhadap ras non-Arya. Para pemikir Marxis di Rusia mereduksi seluruh sejarah untuk merumuskan perjuangan kelas. Anti-semitisme dan pertentangan kelas mendominasi semua pemikiran dan mereduksi individu menjadi budak-budak dalam pertandingan catur yang mematikan. Orang-orang dibunuh dalam kamar gas atau gulag karena mereka stood in the way of history. Aryanisme dan anti-semitisme menjadi Ide Besar di balik Sosialisme Nasional Jerman. Komunisme adalah Ide Besar di balik Uni Soviet.
Nazi dan Marxis kerap kali menulis ulang, bahkan mengubah sejarah agar sesuai dengan garis partai mereka, bukan demi kebenaran. Ras Arya dan kelas pekerja menjadi pahlawan kolektif dalam sejarah “resmi.” Para sejarawan mengkritik pendekatan “resmi” tersebut bila dilihat dari akibat yang ditimbulkannya. Sejarawan pada masanya diwajibkan menulis sejarah sesuai dengan ideologi partai, Nazi ataupun komunis. Jika tidak, mereka (sejarawan) akan dilabeli “dangerous people”—sebagaimana dikatakan oleh mantan pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev.
Contohnya, Marc Bloch (1886-1944), sejarawan dan medievalist asal Perancis, yang telah membantu menemukan jurnal Annales dan menjadikan sejarah sebagai ilmu sosial. Menurutnya metahistori secara harfiah telah membunuh sejarah. Tanpa berlama-lama, Gestapo (polisi rahasia) menyiksa dan membunuh Bloch karena karyanya dengan Pemberontakan Perancis selama Perang Dunia II. Jutaan orang lainnya kehilangan nyawa karena gagal menyesuaikan diri (berkompromi) dengan standar metahistori atau berani mengritik metahistori yang berlaku, sebagaimana didefinisikan oleh pimpinan Nazi dan Soviet.
Akan tetapi, metahistori tidak hanya sekedar menimbulkan aneka ideologi. Metahistori menumbangkan ideologi-ideologi juga. Marx, Darwin, dan Freud, merupakan orang-orang yang menghapus elemen-elemen mistis (demystifiers, yang mendemistifikasi) sejarah. Mereka menyimpulkan bahwa sejarah bukanlah apa yang tampil sebagaimana adanya, sederhana, kisah mengenai individu-individu yang membuat pilihannya sepanjang waktu. Sejarah merupakan misteri yang mesti dibongkar. Dan mereka telah membongkar misteri itu. Mereka merupakan orang-orang yang realis, bukan “romantik”. Sejarah sesungguhnya adalah a struggle determined by single force—sebuah perjuangan untuk menghapus kelas yang timpang dan tidak adil, perjuangan untuk memungkinkan spesies terkuat tetap bertahan hidup, serta perjuangan untuk menekan atau menghaluskan hasrat seksual dengan menciptakan peradaban. Manusia bukanlah entitas independen, tetapi bagian dari berbagai kelompok, but members of groups. Kelompoklah yang menciptakan sejarah. Menjelaskan sejarah sebagaimana nyatanya berarti menelanjangi bahasa yang menekan atau menindas, yang digulirkan oleh kalangan elit dan kelompok lain yang berkuasa, untuk mengetahui dan mengungkap kenyataan dan arti sebenarnya di balik wacana yang ilusif.
Metahistorian abad ke-20 beralih pada aspek linguistik—mengacu pada para filsuf, mereduksi sejarah menjadi semacam permainan bahasa (language game). Postmodernisme, di samping mendekontruksi the language of power, juga menciptakan istilahnya sendiri untuk menggantikan metafor organik dan mekanik dari masa lalu—tubuh, “yang lain,” kolonial, imperial, ruang, diskursus, narasi, kuasa, dan teks—untuk menamai beberapa pilihan kata. Dengan menganggap sejarah hanya sebuah teks, posmodernis “mengganggu” kebanyakan sejarawan dengan relativisme, skeptisisme, dan permainan bahasa mereka. Walau demikian, mereka juga berkontribusi memberi wawasan yang bernilai mengenai pentingnya bahasa dalam ilmu sejarah dan dalam keahlian sejarah itu sendiri.
Belum lama ini, contoh dari metahistori meliputi/melibatkan biologi dan genetic evolusioner. Beberapa kalangan menyebutnya dengan istilah memetics. Dengan teori ini, kebudayaan berkembang dalam proses seleksi alam yang “menghadiahkan” meme yang tahan lama (cultural gene, or viruses).  Meme adalah bagian dari kebudayaan seperti halnya gagasan, nilai, atau mode berpakaian. Beberapa di antaranya mudah dimengerti dengan segera. Beberapa lainnya hilang/punah dengan cepat. Sejarah berkembang secara organis dan memiliki polanya tersendiri. DNA menentukan hasil dari sejarah sebagaimana evolusi kultural. Evolusi kultural menyerupai logika Darwinian. Sejarah memiliki pola inti dan dapat dipelajari seperti halnya mempelajari sains. Seorang pemikir spekulatif menyimpulkan bahwa sejarah alam maupun sejarah manusia melibatkan “the playing of ever-more-numerous, ever larger, and ever-more-elaborate non-zero-sum [winning does not necessarily mean losing, and vice versa] games.”[4]
Contoh lain dari metahistori yakni konsep penting mengenai “Jihad versus McWorld,” yang mana menafsirkan sejarah hari ini sebagai perjuangan antara kekuatan bangsa-bangsa dan perang suci (Jihad), di satu sisi, serta kekuatan integrasi global dan korporasi internasional di sisi lain. Serangan mematikan pada World Trade Center New York dan Pentagon pada 11 September 2011, merupakan contoh dari perjuangan di atas. Maka pecahlah teror dan kekerasan di Timur Tengah, dari Afghanistan dan Irak hingga Gaza dan Lebanon. Gagasan kebebasan dan demokrasi mengakibatkan “Pencerahan” berhadapan dengan milisi bom bunuh diri dan kelompok teroris mematikan, Al-Qaeda. “Perang terhadap teror” berhadapan dengan “kematian Amerika.”
Pada banyak peristiwa, metahistori, yang pada mulanya adalah upaya filosofis untuk mengisi kehampaan metafisis yang disebabkan kematian Tuhan pada abad ke-19, berubah menjadi spekulatif. Sisi baiknya, metahistori membantu para sejarawan dan pembaca melihat makna yang lebih besar atau makna umum dari sejarah. Sisi buruknya, metahistori menyajikan justifikasi ideologis untuk totalitarianisme dan teror. Orang-orang yang berkepentingan (politicians) mendistorsi sejarah untuk menjustifikasi nasionalisme, genosida, dan pemusnahan etnis. Belum tuntas urusan kita dengan para penyederhana sejarah yang telah menggunakan sejarah untuk menopang kepentingan ideologis mereka, metahistori membiakkan milisi radikal dan sukarelawan bom bunuh diri atas nama Ide Besar.
Dalam pada itu, para sejarawan telah mencoba menganalisa, ketimbang menyederhanakan narasi, kisah masa lalu tanpa memuat asumsi umum mengenai makna sejarah. Kadar positivistik sejarah jadi agak berkurang, dan pendekatannya jadi lebih empiris, lebih probabilistik, dan lebih pragmatis. Para sejarawan dan metahistorian menjalani cara masing-masing yang terpisah. “Untuk menganalisa fenomena yang kompleks,” kata seorang peneliti sejarah kontemporer, “teori tunggal, betapa pun kaya dan bervariasi, akan tetap kurang memadai. Peristiwa-peristiwa kompleks biasanya memiliki penyebab yang tidak tunggal (multiple causes).”[5] Era metahistori dan teori-teori spekulatifnya mengenai masa lalu tampaknya akan kita tinggalkan. Namun tetap saja akan ada orang yang mengklaim dirinya memahami satu hal besar yang memberi makna pada sejarah. Terorisme dan “perang terhadap teror,” secara sederhana, merupakan versi terakhir dari Ide Besar yang mendasari metahistori.



B.     HISTORIOGRAFI POSTMODERNISME
1.      POSTMODERNISME
a.      Lahirnya Postmodernisme
Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan menolak arus utama modernisme, ada pula yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme dan anti-positivisme. Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee.[6] Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme.[7]
b.      Pengertian Post Modernisme
Postmodernisme adalah sebuah term atau istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda.  Apabila kita berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu.Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu :
-          Postmodernitas yang berkaitan dengan era posmodern. Satu pendapat mengatakan bahwa post-modernitas adalah suatu kondisi atau keadaan; perhatiannya kepada perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi, seperti ekonomi, politik, dan kultural. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.
-          Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern.
Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern. Postmodernisme adalah perubahan-perubahan intelektual ekspresif pada level teori; pada estetika, sastra, filsafat politik atau sosial yang secara sadar menjawab kondisi-kondisi postmodernitas, atau yang mencoba bergerak melampaui atau melakukan kritik terhadap modernitas.
[8]
Postmodernisme juga sebagai wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.
Walaupun istilah postmodernisme sebagai sebuah term atau istilah yang rumit, namun dengan mengumpulkan berbagai definisi post modernisme kita dapat menemukan inti dari pengertian postmodsernisme.
Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan menolak arus utama modernisme, ada pula yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme dan anti-positivisme. Selanjutnya postmo diartikan sebagai bentuk kesadaran yang menginginkan pembaharuan, bahkan perombakan dalam dunia moderen. Berbagai standarisasi yang sifatnya universal, dan teori-teori besar yang menjadi panduan keilmiahan ilmu moderen, terpatahkan. Postmo menolak pikiran tentang kebenaran universal (universal truth) yang mencari metanarrative (narasi besar) atau grand theory (kerangka-kerangka teoritis besar untuk menjelaskan makna segala sesuatu). Pikiran-pikiran mendasar modernisme ditolak, digantikan dengan penjelasan-penjelasan mikro (microexplanations) dan keragu-raguan. Postmo belajar mengkontekstualisasi, mentoleransi relativisme, dan menyadari selalu ada perbedaan.[9]
Postmodernisme, pada hakikatnya merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility of the Real. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. disebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991).
Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.. Pada situs tersebut juga disebutkan bahwa berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
c.       Asas-asas pemikiran Postmodernisme
-          Penafian terhadap keuniversilan suatu pemikiran ( totalisme).
-          Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial
secara terus-menerus, sebagai ganti dari permanen yang amat mereka
tentang.
-          Pengingkaran atas semua jenis ideology. memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran
-          Pengingkaran atas setiap eksistensi obyektif dan kritikan tajam atas setiap epistemology.
-          Pengingkaran akan penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai ataupun berargumen. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi
-          Konsep berfilsafat pada era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran , mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu.
d.      Kritik Terhadap Postmodernisme
Para kritikus menggunakan relativisme ini untuk menyerang kredibilitas postmodernism. Misalnya, Ellis seperti yang dikutip Dear dan Flusty menegaskan bahwa dekonstruksi “secara inheren antiteori,” dan apa yang diperlukan sekarang: “pengembangan beberapa cara untuk mencek dan mengontrol aliran tulisan kritis yang tidak dapat dicerna dan kacau-balau (chaotic) melalui releksi apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat yaitu melalui suatu refleksi teoritis yang murni daripada yang kabur.” Sebagian dari keberatan para antirelativis ini tidak dapat diragukan lagi dimotivasi oleh suatu kebutuhan untuk melestarikan legitimitas proyek-proyek ilmiah dan politik mereka sendiri dalam menghadapi wacana-wacana gaduh tidak bermakna.
Ancaman terhadap hegemoni yang mapan ini terutama tajam dirasakan oleh golongan Marxis, tetapi juga tersembunyi pertahanan tradisi-tradisi kebudayaan Barat dan munculnya istilah pembenaran politik (political correctness) sebagai julukan ejekan di kalangan para neo-konservatif.
Kelompok lain, yang semula mengambil keuntungan dari pendirian anti-hegemonik postmodernisme, sudah mulai membuat jarak diri mereka dengan ‘aturan ajaran moral’ semula. Kasus feminisme adalah salah contoh. Semula feminisme terbuka melakukan kritik dengan suara yang “berbeda.” Akan tetapi kemudian banyak pengikut gerakan feminisme karena ketidakpastian dari postmodernisme mereka anggap telah bertentangan dengan agenda politik mereka.
Kritik datang dari pihak lain yang melancarkan pertahanan yang kuat terhadap proyek modernitas, termasuk Jurgen Habermas (1928-), atau yang mengkalim bahwa postmodernisme tidak dapat melarikan diri dari kontradiksi bahwa mereka juga “metanarrative.”
Kebanyakan ribut-ribut mengenai postmodernisme pada hakekatnya bersifat politik, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat keseluruhannya (semacam “perang-perang budaya”/culture wars): di mana saja, siapa yang dapat mengendalikan wacana berarti memegang kekuasaan. Kritikus-kritikus kiri maupun kana menyatakan bahwa postmodern hanya menipu diri mereka sendiri karena seperti semua teori, postmodernisme hanya sesuai dengan tujuan kepentingan politik.
Di samping itu kalau kita menganalisis asas-asas pemikiran postmodernisme, maka dapat kita jabarkan sebagai beruikut:
-          Manusia postmodernis memandang sesuatu selalu melalui sudut pandang idealis, bukan realis. Tentu, pada tataran realita tidak mungkin akan kita dapati praksis yang sesuai dengan teori yang berasas tersebut. Jika setiap orang tetap akan memaksakan pengaplikasian di alam realita, niscaya kehancuran yang bakal terwujud, bukan perdamaia
-          Menurut keyakinan postmodernisme, tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang disisi lain, doktrin mereka, manusia selalu dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Lantas, bagaimana mungkin manusia akan selalu mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolok ukur jelas dalam penentuan kebenaran akan pergolakan? Bagaimana mungkin manusia selalu mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolok ukur kebenaran berpikir.
-          Postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu  statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen

2.      KEMBALI KE LINGUISTIK (LINGUISTIC TURN)
Istilah Postmodernisme yang dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti dalam birokrasi. Dalam bidang filsafat,Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Penulis I. Bambang Sugiharto membagi gerakan postmodern yang ingin merevisi paradigma modern. Salah satu gerakan tersebut berkaitan dengan dunia sastra dan linguistik. Bahasa dan sastra adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek utama dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah sebuah refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk pemahaman itu. Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari manusia di dunia ini.
“Kembali ke linguistik” (linguistic turn) atau “kembali ke kebudayaan “ (cultural turn) merujuk kepada perkembangan besar Filsafat Barat (Filsafat Analitis) selama abad ke-20, yang mempunyai karakteristik utama memusatkan diri pada filsafat, dan akibatnya juga pada ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora, humanities) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Para sejarawan, ahli-ahli sosiologi, ahli-ahli ilmu politik mengarahkan perhatian mereka kepada masalah-masalah bahasa, identitas, simbol-simbol dan konstruksi-konstruksi sosial dengan mulai meninggalkan penjelasan-penjelasan materi yang menggunakan hitungan atau angka-angka (quantifiable) dari tahun-tahun 1960an dan 1970an. Mereka melihat kajian bahasa sebagai fondasi disiplin (ilmu).
Suatu perkembangan intelektual yang mulai populer dengan istilah “kembali ke linguistik” dikaitkan dengan sebuah antologi, The Linguistic Turn. Essays in Philosophical Method yang diterbitkan oleh Richard Rorty tahun 1967. Pada tahun 1970an ilmu-ilmu kemanusiaan mengakui pentingnya bahasa sebagai alat penyusun (structuring agent) realitas. Dalam wacana sejarah, kekuatan bahasa ini secara khusus ditunjukkan oleh hasil kajian “arti-arti kiasan retorik” (rhetorical tropes) dari Hayden White. Pemikiran-pemikiran Richard Rorty sebagai ahli filsafat (neo-) pragmatis dan Hayden White sebagai ahli filsafat dan/atau teori sejarah memberi warna yang kental terhadap hitoriografi postmodern.[10]

3.      KEMBALI KE NARATIF (NARRATIVE TURN)
Sebagai kelanjutan dari kembali ke linguistik” ialah “kembali ke naratif.” Perhatian yang besar kepada naratif dengan berbagai ragam objek inkuirinya menjadi titik sentral minat dalam bermacam lapangan disiplin dan penelitian. Kembali ke naratif sebagai sebuah “science of narrative” ini memperoleh momentumnya dengan perkembangan teori-teori strukturalis naratif di Perancis pada pertengahan 1950an sampai akhir tahun 1960an. Tokoh-tokoh seperti Roland Barthes (1915-1980), misalnya, melanjutkan kalau tidak mengembangkan teori linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure (1857-1913). [11]
Salah satu ucapan yang paling sering dikutip mengenai peranan sentral naratif dalam kehidupan sosial kita berasal dari Roland Barthes, seorang semiolog (semiotik) dan kritikus sastra Perancis:
Naratif tentang dunia tidak terbilang. Naratif adalah yang pertama dan yang terutama dari genres [gaya, aliran] yang luar biasa beragam, di antara mereka sendiri dibagi-bagi dalam berbagai substansi seakan-akan materi apapun cocok untuk menerima cerita-cerita manusia. [Naratif] Sanggup dibawakan oleh bahasa yang diucapkan jelas, lisan atau tertulis, gambar-gambar yang tetap atau bergerak, gerak sikap, dan semua campuran teratur dari substansi-substansi ini; naratif hadir dalam mitos, legenda, fabel, cerita, novella, epik, sejarah, tragedi, drama, komedi, lawakan, lukisan, jendela-jendela kaca yang berwarna, film, komik, pokok-pokok berita, percakapan. Lebih-lebih lagi, di bawah bentuk-bentuk berbeda-beda yang hampir tidak ada akhirnya ini, naratif hadir dalam setiap jaman, dalam setiap tempat, dalam setiap masyarakat; ia mulai dari paling awal sejarah umat manusia dan di manapun tidak ada manusia tanpa naratif. tidak peduli kepada pembagian antara sastra yang baik dan buruk, naratif adalah internasional, transhistorikal, transkultural: ia benar-benar ada di sana, seperti kehidupan itu sendiri (Barthes, 1977: 79) 
Sesuatu yang tidak bisa dihindari ialah pendapat yang cenderung menghubungkan istilah naratif (narrative) dengan hasil akhir karya sejarawan, yaitu presentasi hasil-hasil karyanya kepada pembaca; menafsirkan naratif hanya sebagai sebuah cerita (story) atau sebuah anekdot sejarah. Level pendapat umum ini tidak berhenti di sini. Para “narativis” sendiri (narrativists) julukan dari lawan-lawan mereka memperlakukan istilah itu sebagai suatu kategori metodologis, mengartikannya dengan makna yang lebih dalam. Menurut Jan Pamorski titik berangkat dari filsafat naratif sejarah (narrative philosophy of history) adalah menerima premis bahwa problema-problema narasi sejarah (historical narration) tidak hanya dapat, tetapi harus dianalisis secara independen dari investigasi sejarah itu sendiri. Penulisan sejarah (penyajian sejarah kepada pembaca) harus diatur menurut kaidah-kaidah (rules) dan peraturan-peraturan (regulations) sendiri, yaitu harus mempunyai metodologi sendiri.Selanjutnya Pamorski juga mengakui kenyataan bahwa di kalangan pendukung narativisme sendiri kategori narasi sejarah diartikan dan dianalisis dari berbagai perspektif:
1)      Semacam wacana, menyingkap tujuan-tujuan komunikatif, ekspresif dan persuasif dari pengarang (sejarawan);
2)      Seperangkat kode-kode komunikatif;
3)      Ungkapan historis yang puitis;
4)      Ungkapan bahasa kiasan dan retoris, yang secara a priori mengendalikan penyajian sejarah;
5)      Sebuah struktur makna-makna dalam pengertian semiotik struktural. (Topolski,ed. 1990:42-43)[12]




















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Metahistori berusaha untuk mengetahui keseluruhan arti yang terkandung dalam sejarah. Para ahli metahistori meyakini bahwa sejarah memiliki maknanya tersendiri. Para sejarawan dengan demikian dapat mengungkap hukum-hukum dan pola-pola yang bermakna dalam sejarah sepanjang waktu. 
2.      Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan menolak arus utama modernisme, ada pula yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme dan anti-positivisme. Selanjutnya postmo diartikan sebagai bentuk kesadaran yang menginginkan pembaharuan, bahkan perombakan dalam dunia moderen.

B.     KRITIK DAN SARAN
Saya menyadari bahwasannya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini kedepannya.


















DAFTAR PUSTAKA

Norman O. Brown. 1957. Life Against Death (Middletown, CT: Wesleyan University Press.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Victoria E. Bonnell. 1983. Roots of Rebbelion: Workers Politics and Organizations in St. Petersburg and Moscow, 1900-1914. Berkeley: University of California Press.
Wright, Robert. 2000. Nonzero: The Logic of Human Destiny. New York: Vintage.

http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism, diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.
http://www.fabula.org/actualites/article10833.php). diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.50 WIB.
http://www.uni tn i t/rucola/download/ds/Czasni awska.pdf, 07-04-’06) diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.





[1] Hayden White menggunakan istilah metahistory dalam bukunya Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-century Europe (Baltimore: John Hopkins University Press, 1973). White mendefinisikan sejarah sebagai “a verbal structure in the form of a narrative prose discourse” dan “a specifically western prejudice by which the presumed superiority of modern, industrial society can be retroactively substantiated” (ix, 2). Beberapa sejarawan menerima pandangan White tersebut.
[2] Dua tokoh terakhir ini ditambahkan oleh penerjemah.
[3] Norman O. Brown, Life Against Death (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 1957), 16.
[4] Robert Wright, Nonzero: The Logic of Human Destiny (New York: Vintage, 2000), 6.
[5] Victoria E. Bonnell, Roots of Rebbelion: Workers Politics and Organizations in St. Petersburg and Moscow, 1900-1914 (Berkeley: University of California Press, 1983), 17.
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism, diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernity, diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.
[9] Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah, (Yogyakarta : Ombak, 2007) 336-337

[11] (http://www.fabula.org/actualites/article10833.php). diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.50 WIB.
[12] http://www.uni tn i t/rucola/download/ds/Czasni awska.pdf, 07-04-’06) diakses 05 Juni 2018, Pukul 15.00 WIB.

No comments:

Post a Comment