1

loading...

Wednesday, October 31, 2018

MAKALAH Qawa’id Fiqhiyyah Ekonomi Islam

MAKALAH  Qawa’id Fiqhiyyah Ekonomi Islam  “Teori Komprehensif (Kulliyyah) Pertama”

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Qaidah fiqhiyyah dan qaidah Ushuliyyah merupakan asas dan dasar dalam aturan ilmu fiqh yang perlu diketahuis secara universal oleh semua umat Islam, khususnya bagi mereka yang ingin lebih mendalami tentang ilmu fiqh atau ilmu ushul fiqh. 
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. 
Dari sini, dirasa terdapat suatu kepentingan untuk lebih dalam mempelajari tentang qawaid fiqhiyyah. Maka disini akan diulas selayang papan mengenai macam-macam qawaid fiqhiyyah dan peran-perannya dalam pengembangan hukum Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan teori motivasi dan landasan hukumnya?
2.      Apa saja objek pembahasan teori motivasi dan fungsi niat?
3.      Aktivitas ritual ibadah apa saja yang tidak harus ada niat dalam kegiatan ekonomi?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui dimaksud dengan teori motivasi dan landasan hukumnya
2.      Mengetahui objek pembahasan teori motivasi dan fungsi niat
3.      Mengetahui aktivitas ritual ibadah yang tidak harus ada niat dalam kegiatan ekonomi

BAB II
PEMBAHASAN
Teori Komprehensif (Kulliyyah) Pertama
A.    Teori Motivasi Dan Landasan Hukumnya
1.      Teori motivasi
آلامور بمقا صد ها
(segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya)
Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam hati seseorang saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik yang yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat-kebiasaan.
Dengan demikian, setiap perbuatan itu harus pasti didasarkan pada motivasi, jika tidak, maka perbuatan tersebut bersifat spikulatif. Karenanya, niat dan motivasi itu memiliki posisi yang sangat penting, sebab itu sebagai penentu segala gerak tingkah dan konstruksi pekerjaan yang dilakukan yang berkonsekuensi padaperbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak.
2.      Landasan Hukum Teori Motivasi
a.      Al-Qur’an:
1)      Al-Bayyinah ayat 5:[1]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”


2)      Ali-‘Imran ayat 145:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ
نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya: ”Siapa saja yang menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia dan siapa saja menghendaki pahala akhirat, niscaya kami berikan kepadanya (pula) pahala akhirat .”
b.      Al-Hadist:
1)      HR. Muslim dari Umar bin Khathab katanya Rasulullah saw. Bersabda:
ا نما الا عما ل با لنيا ت وإ نما لكل ا مر ئ ما نو ى
Artinya: Sesungguhnya segala amal perbuatan itu menurut niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah kebaikan apa yang telah ia niatkan.
2)      HR. Imam Bukhari dari Sa’d ibn Abi Waqqash, Nabi saw. Bersabda:
إ نك لن تنفق نفقة تبتغى بها و جه ا لله إ لا أ جر ت قيها حتى ما تجعل فى إ مر أ تك ر و ا ا لبخا ر ى عن سعد بن و قا ض
Artinya: sesungguhmya engkau tidak menafkahkan suatu nafkahan dengan niat mencari kerelaan Allah kecuali engkau mendapatkan pahalanya, sehingga (mengenai) segala sesuatu yang telah engkau berikan kepada isterimu.
3)      HR. Ibnu Majah dari Abi Hurairah RA., Nabi saw. Bersabda:
إ نما يبعث ا لنا س على نيا تهم
Artinya: sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.[2]

      Dengan dasar al-Qur’an san al-Hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa bernilai dan tidaknya semua perbuatan manusia tergantung pada ada dan tidaknya niat, sebab tujuan utama diharuskan berniat adalah:
مَقُصُوْ دُ النيت تمييز العبا دات من العا دات
Artinya: Tujuan utama niat adalah untuk membedakan perbuatan yang ibadah dari yang adat.
تمييزرتب العبادات بعضها من بعض
Artinya: Tujuan utama niat adalah membedakan adanya tingkatan sebagian ibadah-ibadah dari sebagian yang lain.

Sehingga segala persoalannya tergantung pada penilaian
Sejauh mana tujuan seseorang dalam mengerjakan suatu tindakan danperbuatannya?.
     Oleh sebab itu, maka niat merupakan salah satu perkara yang dapat dijadikan sebagai tolak-ukur tentang apakah amal perbuatan seseorang itu bernilai sah atau tidak, ibadah atau riya’, fardlu atau sunnah, bahkan bisa menjadi salah satu bagian dari keimanan atau kekafiran dengan bobot nilainya tersendiri. Maka dari itu, Nabi saw, bersabda:
نية المو من خير من عمله . رواه الطبر ى من سهل ابن سعد .
Artinya: Niat seseorang mu’min itu lebih baik dari pada amal perbuatannya (yang tanpa diniati).

     Dengan demikian, amal-perbuatan baru memiliki kualifikasi hukum yang mengimplikasikan tuntutan (taklifiy) jika dikaitkan dengan tujuan. Maka perbuatan orang tidur, orang gila dan sebagainya misalnya, tidak mempunyai implikasi hukum. Oleh sebb itu, teori komprehensip pertama memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan dapat diukur melalui niat pelakunya sendiri. Maka niat bisa bernilai positif jika dilakukannya sesuai dengantujuan syari’ dalam tasyri’nya.
     Dan faktor itulah, maka berlaku teori sebagai berikut:[3]
آلمعتبر فى أوامر الله المعنى والمعتبر فى أمو رالعباد ألاسم واللفظ
Artinya: Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan perintah allah adalah niat dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak manusia adalah lafalnya.

     Dalam kaitanya dengan masalah peribadatan, para ‘ulama bersepakat untuk menyatakan bahwa ibadah itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a)      Ibadah Makhdlah (عبا دة مخضة), yang oleh al-Syathibi secara filosofis dirumuskan bentuk kaidah:
ألاصل فى العبادت ب لنسبت إلى المكلف ألتعبد دون الالتفات إلى المعانى
Artinya: Prinsip dasar dalam masalah ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud tanpa melihat pada nila-nilai yang terkandung didalamnya.
لاَمساع للاجتهاد فيمافيه نص صر يح قطعي
Artinya: Tidak ada kebolehan berijtihad dalam masalah-masalah yang nashnya telah jelas dan qath’i.
b)      Ghairu Mahdlah (عبا دة غير مخضة ), yang oleh al-Syathibi diformulasikan dalam bentuk kaidah:
أصل العادة آلا لتفات إلى المعانى
Artinya: Prinsip dasar dalam kehudupan sosial atau adat adalah melihat pada nila-nilai (hikmah-hikmah).[4]


B.     Objek Pembahasan Teori Motivasi dan Fungsi Niat
1.      Obyek Pembahasan Teori Motivasi
Dalam menanggapi hadist tentang niat, para ahli hukum islam berpendapat bahwa posisi hadis ini sangat penting, mengingat semua kasus bisa tercakup didalamnya, bahkan mereka berbeda-beda dalam memberikan komentarnya, seperti:
a)      Sebagian diantara mereka mengatakan bahwa hadis tentang niat itu merupakan 1/3-nya ilmu, sebab amal perbuatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1)      Amal perbuatan dengan menggunakan anggota badan
2)      Amal perbuatan dengan menggunakan lisan
3)      Amal perbuatan dengan menggunakan hati
b)      Sebagian lagi berpendapat bahwa hadis tentang niat itu memuat 1/4-nya ilmu. Penilaian ini dilihat dari sisi posisi ilmu yang selalu berhubungan dengan ke-4 hadist, sebagai berikut:
1)     إنما الا يا عمال بالنيات
2)     لايجل هم امر ئ مسلم إلا ياحد ى ثلاث
3)    بني الخمس على خمس
4)       آلبينة على المد عى واليمين على من آنكر [5]
Dari sekian banyak obyek yang menjadi sasaran hadis tentang niat, sebagian ulama’ berpendapat bahwa obyek pembahasan hadis niat itu, dapat diklasifikasikan menjadi 7, yaitu:
1)      Bagaimana hakikat niat yang sebenarnya
2)      Bagaimana status hukum niat[6]
والوقت والمقصود بنهاوالمحل   (.ه)   فهاك فيه القول من غير خللْ
3)      Diwaktu apa niat itu dilakukan
4)      Bagaimana keadaan niat
5)      Apa saja yang menjadi syarat yang harus ada pada niat
6)      Apa yang menjadi tujuan utama (maksud) niat itu
7)      Dimana tempat berniat
2.      Fungsi Niat
Telah diketahui bersama bahwa niat itu mempunyai posisi yng sangat dominan dalam hubungannya dengan berbagai ragam aktifitas manusia dengan segala bentuknya. sedang aktifitas perbuatan tersebut, bisa berwujud dalam berbagai ragam bentuk, diantaranya ialah:
a)      Perbuatan peribadatan yang bersifat mahdlah (aktifitas ritual keagamaan murni), seperti sholat, puasa, haji dan sebagainya.
b)      Perbuatan yang mengandung aspek aktivitas ritual yang berkaitan dengan kegiatan keseharian, seperti membasuh wajah dengan tujuan berwudhu sekaligus untuk mencuci muka, menyiram semua anggota tubuh dengan tujuan mandy jinabat dan membersihkan diri dan sebagainya.
c)      Perbuatan dalam wujud kegiatan keseharian manusia yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai individu atau sebagai makhluk sosial, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
Dari bentuk aktifitas perbuatan seperti itulah, maka peran penting yang dimiliki niat adalah sbb:
a)      Niat sebagai pembeda mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana yang hanya merupakan suatu kebiasaan.[7] Contohnya:
1)      Mandi besar (jinabat) dan mandi biasa
2)      Wudhu dengan membasuh muka
b)      Niat dengan pemilihan strata dari suatu ibadah, misalnya fardu, sunnah atau lainnya. Contoh
1)      Sholat tarawih dengan sholat witir
2)      Mandi jum’at dengan mandi ihrom haji atau umroh
c)      Niat sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti yang tidak langsung dan arti asli (malzum).[8]
C.    Aktivitas Ritual Ibadah Yang Tidak Harus Ada Niat Dalam Kegiatan Ekonomi
Telah dapat diketahui bersama bahwa aktivitas ritual ibadah yang disyaratkan berniat adalah tindakan ibadah yang ada kesamaannya dengan tindakan adat kebiasaan. Sedangkan aktivitas ritual ibadah tidak disyaratkan berniat adalah sbb:
1.      Perbuatan ibadah yang tidak ada kesamaannya dengan tindakan adat. Contoh: iman (kepercayaan).
Iman (kepercayaan) itu tidak ada kesamaannya dengan adat, makanya dalam masalah iman tidak disyaratkannya harus ada niat.
2.      Perbuatan meninggalkan larangan, baik yang statusnya haram maupun makruh. Contoh: meninggalkan tindakan perzinaan, pembunuhan, minuman yang memabukkan, merokok dan sebagainya.[9]










BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Landasan hukum teori motivasi adalah Al-qur’an dan Al-hadist. Al-qur’an yaitu surah Ali-‘imran ayat 145 dan Al-Bayyinah ayat 5 sedangkan hadist salah satunya yaitu HR. Muslim dari Umar bin Khathab katanya Rasulullah saw. Bersabda:
ا نما الا عما ل با لنيا ت وإ نما لكل ا مر ئ ما نو ى
Artinya: Sesungguhnya segala amal perbuatan itu menurut niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah kebaikan apa yang telah ia niatkan.
Ada dua pendapat ulama tentang obyek pembahasan teori motivasi sebagian diantara mereka mengatakan bahwa hadis tentang niat itu merupakan 1/3-nya ilmu, sebab amal perbuatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, sebagian lagi berpendapat bahwa hadis tentang niat itu memuat 1/4-nya ilmu.
Fungsi niat adalah sebagai berikut:
1.      pembeda mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana yang hanya merupakan suatu kebiasaan. Contohnya:
a.       Mandi besar (jinabat) dan mandi biasa
b.      Wudhu dengan membasuh muka
2.      Niat dengan pemilihan strata dari suatu ibadah, misalnya fardu, sunnah atau lainnya. Contoh:
a.       Sholat tarawih dengan sholat witir
b.      Mandi jum’at dengan mandi ihrom haji atau umroh
c.       Niat sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti yang tidak langsung dan arti asli (malzum).


Daftar Pustaka
Zein, Ma’shum. 2010. Nadzom Al-Faroidul Bahiyyah. Jombang. Penerbit Darul Hikmah.



[1] Ma’shum Zein, Nadzom Al-Faroidul Bahiyyah, penerbit Darul Hikmah, Jombang, 2010, hlm. 26.
[2] Ibid., hlm. 27
[3] Ibid., hlm. 28
[4] Ibid., hlm. 29
[5] Ibid., hlm. 30
[6] Ibid., hlm. 31
[7] Ibid., hlm. 32
[8] Ibid., hlm. 33
[9] Ibid., hlm. 34

No comments:

Post a Comment