MAKALAH Qawa’id Fiqhiyyah Ekonomi Islam “Teori Komprehensif (Kulliyyah) Pertama”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qaidah fiqhiyyah dan qaidah Ushuliyyah merupakan
asas dan dasar dalam aturan ilmu fiqh yang perlu diketahuis secara universal
oleh semua umat Islam, khususnya bagi mereka yang ingin lebih mendalami tentang
ilmu fiqh atau ilmu ushul fiqh.
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang
mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah.
Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu
qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu
kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut.
Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang
bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Dari sini, dirasa terdapat suatu kepentingan untuk
lebih dalam mempelajari tentang qawaid fiqhiyyah. Maka disini akan diulas
selayang papan mengenai macam-macam qawaid fiqhiyyah dan peran-perannya dalam
pengembangan hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan teori motivasi dan landasan hukumnya?
2.
Apa
saja objek pembahasan teori motivasi dan fungsi niat?
3.
Aktivitas
ritual ibadah apa saja yang tidak harus ada niat dalam kegiatan ekonomi?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
dimaksud dengan teori motivasi dan landasan hukumnya
2.
Mengetahui
objek pembahasan teori motivasi dan fungsi niat
3.
Mengetahui
aktivitas ritual ibadah yang tidak harus ada niat dalam kegiatan ekonomi
BAB
II
PEMBAHASAN
Teori
Komprehensif (Kulliyyah) Pertama
A.
Teori Motivasi Dan Landasan Hukumnya
1.
Teori
motivasi
آلامور بمقا صد ها
(segala
sesuatu itu tergantung pada tujuannya)
Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam hati
seseorang saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria dapat menentukan nilai dan
status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik yang yang berhubungan
dengan peribadatan maupun adat-kebiasaan.
Dengan demikian, setiap perbuatan itu harus pasti didasarkan pada
motivasi, jika tidak, maka perbuatan tersebut bersifat spikulatif. Karenanya,
niat dan motivasi itu memiliki posisi yang sangat penting, sebab itu sebagai
penentu segala gerak tingkah dan konstruksi pekerjaan yang dilakukan yang
berkonsekuensi padaperbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak.
2. Landasan Hukum Teori Motivasi
a. Al-Qur’an:
1) Al-Bayyinah ayat 5:[1]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”
2)
Ali-‘Imran
ayat 145:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ
الْآخِرَةِ
نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya: ”Siapa saja yang menghendaki pahala dunia,
niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia dan siapa saja menghendaki pahala
akhirat, niscaya kami berikan kepadanya (pula) pahala akhirat .”
b.
Al-Hadist:
1)
HR.
Muslim dari Umar bin Khathab katanya Rasulullah saw. Bersabda:
ا نما الا عما ل با لنيا ت وإ نما لكل ا مر ئ
ما نو ى
Artinya: Sesungguhnya segala amal perbuatan itu menurut niat
dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah kebaikan apa yang telah ia niatkan.
2) HR. Imam Bukhari dari Sa’d ibn Abi Waqqash,
Nabi saw. Bersabda:
إ نك لن تنفق نفقة
تبتغى بها و جه ا لله إ لا أ جر ت قيها حتى ما تجعل فى إ مر أ تك ر و ا ا لبخا ر ى
عن سعد بن و قا ض
Artinya: sesungguhmya engkau tidak menafkahkan suatu nafkahan dengan niat
mencari kerelaan Allah kecuali engkau mendapatkan pahalanya, sehingga
(mengenai) segala sesuatu yang telah engkau berikan kepada isterimu.
3)
HR.
Ibnu Majah dari Abi Hurairah RA., Nabi saw. Bersabda:
إ نما يبعث ا لنا س على نيا تهم
Artinya: sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.[2]
Dengan
dasar al-Qur’an san al-Hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa bernilai dan
tidaknya semua perbuatan manusia tergantung pada ada dan tidaknya niat, sebab
tujuan utama diharuskan berniat adalah:
مَقُصُوْ دُ النيت
تمييز العبا دات من العا دات
Artinya: Tujuan utama niat adalah untuk membedakan perbuatan
yang ibadah dari yang adat.
تمييزرتب العبادات بعضها من بعض
Artinya: Tujuan utama niat adalah membedakan adanya tingkatan sebagian
ibadah-ibadah dari sebagian yang lain.
Sehingga segala persoalannya tergantung
pada penilaian
Sejauh mana tujuan seseorang dalam
mengerjakan suatu tindakan danperbuatannya?.
Oleh
sebab itu, maka niat merupakan salah satu perkara yang dapat dijadikan sebagai
tolak-ukur tentang apakah amal perbuatan seseorang itu bernilai sah atau tidak,
ibadah atau riya’, fardlu atau sunnah, bahkan bisa menjadi salah satu bagian
dari keimanan atau kekafiran dengan bobot nilainya tersendiri. Maka dari itu,
Nabi saw, bersabda:
نية المو من خير من عمله . رواه الطبر ى من
سهل ابن سعد .
Artinya: Niat seseorang mu’min itu lebih baik dari
pada amal perbuatannya (yang tanpa diniati).
Dengan
demikian, amal-perbuatan baru memiliki kualifikasi hukum yang mengimplikasikan
tuntutan (taklifiy) jika dikaitkan dengan tujuan. Maka perbuatan orang tidur,
orang gila dan sebagainya misalnya, tidak mempunyai implikasi hukum. Oleh sebb
itu, teori komprehensip pertama memberikan pengertian bahwa setiap amal
perbuatan dapat diukur melalui niat pelakunya sendiri. Maka niat bisa bernilai
positif jika dilakukannya sesuai dengantujuan syari’ dalam tasyri’nya.
Dan
faktor itulah, maka berlaku teori sebagai berikut:[3]
آلمعتبر فى أوامر الله المعنى والمعتبر فى
أمو رالعباد ألاسم واللفظ
Artinya: Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan
perintah allah adalah niat dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak
manusia adalah lafalnya.
Dalam
kaitanya dengan masalah peribadatan, para ‘ulama bersepakat untuk menyatakan
bahwa ibadah itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Ibadah Makhdlah (عبا دة مخضة), yang oleh
al-Syathibi secara filosofis dirumuskan bentuk kaidah:
ألاصل فى العبادت ب لنسبت إلى المكلف ألتعبد
دون الالتفات إلى المعانى
Artinya: Prinsip dasar dalam masalah ibadah bagi mukallaf
adalah ta’abbud tanpa melihat pada nila-nilai yang terkandung didalamnya.
لاَمساع للاجتهاد فيمافيه نص صر يح قطعي
Artinya: Tidak ada kebolehan berijtihad dalam masalah-masalah
yang nashnya telah jelas dan qath’i.
b) Ghairu Mahdlah (عبا دة غير مخضة ), yang oleh
al-Syathibi diformulasikan dalam bentuk kaidah:
أصل العادة آلا لتفات إلى المعانى
Artinya: Prinsip dasar dalam kehudupan sosial atau adat adalah
melihat pada nila-nilai (hikmah-hikmah).[4]
B.
Objek Pembahasan Teori Motivasi dan Fungsi Niat
1.
Obyek
Pembahasan Teori Motivasi
Dalam menanggapi hadist tentang niat, para ahli hukum islam
berpendapat bahwa posisi hadis ini sangat penting, mengingat semua kasus bisa
tercakup didalamnya, bahkan mereka berbeda-beda dalam memberikan komentarnya,
seperti:
a)
Sebagian
diantara mereka mengatakan bahwa hadis tentang niat itu merupakan 1/3-nya ilmu,
sebab amal perbuatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1)
Amal
perbuatan dengan menggunakan anggota badan
2)
Amal
perbuatan dengan menggunakan lisan
3)
Amal
perbuatan dengan menggunakan hati
b)
Sebagian
lagi berpendapat bahwa hadis tentang niat itu memuat 1/4-nya ilmu. Penilaian
ini dilihat dari sisi posisi ilmu yang selalu berhubungan dengan ke-4 hadist,
sebagai berikut:
1)
إنما الا يا عمال بالنيات
2)
لايجل هم امر ئ مسلم إلا ياحد ى ثلاث
3)
بني الخمس على خمس
Dari sekian
banyak obyek yang menjadi sasaran hadis tentang niat, sebagian ulama’
berpendapat bahwa obyek pembahasan hadis niat itu, dapat diklasifikasikan menjadi
7, yaitu:
1)
Bagaimana
hakikat niat yang sebenarnya
2)
Bagaimana
status hukum niat[6]
والوقت والمقصود بنهاوالمحل
(.ه) فهاك فيه القول من غير خللْ
3)
Diwaktu
apa niat itu dilakukan
4)
Bagaimana
keadaan niat
5)
Apa
saja yang menjadi syarat yang harus ada pada niat
6)
Apa
yang menjadi tujuan utama (maksud) niat itu
7)
Dimana
tempat berniat
2.
Fungsi
Niat
Telah diketahui bersama bahwa niat itu mempunyai posisi yng sangat
dominan dalam hubungannya dengan berbagai ragam aktifitas manusia dengan segala
bentuknya. sedang aktifitas perbuatan tersebut, bisa berwujud dalam berbagai
ragam bentuk, diantaranya ialah:
a)
Perbuatan
peribadatan yang bersifat mahdlah (aktifitas ritual keagamaan murni), seperti
sholat, puasa, haji dan sebagainya.
b)
Perbuatan
yang mengandung aspek aktivitas ritual yang berkaitan dengan kegiatan
keseharian, seperti membasuh wajah dengan tujuan berwudhu sekaligus untuk
mencuci muka, menyiram semua anggota tubuh dengan tujuan mandy jinabat dan
membersihkan diri dan sebagainya.
c)
Perbuatan
dalam wujud kegiatan keseharian manusia yang dilakukan dalam kapasitasnya
sebagai individu atau sebagai makhluk sosial, seperti makan, minum, tidur dan
sebagainya.
Dari bentuk aktifitas perbuatan seperti itulah, maka peran penting
yang dimiliki niat adalah sbb:
a)
Niat
sebagai pembeda mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana yang hanya
merupakan suatu kebiasaan.[7]
Contohnya:
1)
Mandi
besar (jinabat) dan mandi biasa
2)
Wudhu
dengan membasuh muka
b)
Niat
dengan pemilihan strata dari suatu ibadah, misalnya fardu, sunnah atau lainnya.
Contoh
1)
Sholat
tarawih dengan sholat witir
2)
Mandi
jum’at dengan mandi ihrom haji atau umroh
c)
Niat
sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti
yang tidak langsung dan arti asli (malzum).[8]
C.
Aktivitas Ritual Ibadah Yang Tidak Harus Ada Niat Dalam Kegiatan
Ekonomi
Telah dapat diketahui bersama bahwa
aktivitas ritual ibadah yang disyaratkan berniat adalah tindakan ibadah yang
ada kesamaannya dengan tindakan adat kebiasaan. Sedangkan aktivitas ritual
ibadah tidak disyaratkan berniat adalah sbb:
1.
Perbuatan
ibadah yang tidak ada kesamaannya dengan tindakan adat. Contoh: iman
(kepercayaan).
Iman
(kepercayaan) itu tidak ada kesamaannya dengan adat, makanya dalam masalah iman
tidak disyaratkannya harus ada niat.
2.
Perbuatan
meninggalkan larangan, baik yang statusnya haram maupun makruh. Contoh:
meninggalkan tindakan perzinaan, pembunuhan, minuman yang memabukkan, merokok
dan sebagainya.[9]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Landasan hukum teori motivasi adalah Al-qur’an dan
Al-hadist. Al-qur’an yaitu surah Ali-‘imran ayat 145 dan Al-Bayyinah ayat 5
sedangkan hadist salah satunya yaitu HR.
Muslim dari Umar bin Khathab katanya Rasulullah saw. Bersabda:
ا نما الا عما ل با لنيا ت وإ نما لكل ا مر ئ
ما نو ى
Artinya: Sesungguhnya segala amal
perbuatan itu menurut niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah kebaikan
apa yang telah ia niatkan.
Ada dua pendapat ulama tentang obyek pembahasan teori motivasi sebagian
diantara mereka mengatakan bahwa hadis tentang niat itu merupakan 1/3-nya ilmu,
sebab amal perbuatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, sebagian lagi
berpendapat bahwa hadis tentang niat itu memuat 1/4-nya ilmu.
Fungsi niat adalah sebagai berikut:
1.
pembeda
mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana yang hanya merupakan suatu
kebiasaan. Contohnya:
a.
Mandi
besar (jinabat) dan mandi biasa
b.
Wudhu
dengan membasuh muka
2.
Niat
dengan pemilihan strata dari suatu ibadah, misalnya fardu, sunnah atau lainnya.
Contoh:
a.
Sholat
tarawih dengan sholat witir
b.
Mandi
jum’at dengan mandi ihrom haji atau umroh
c.
Niat
sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti
yang tidak langsung dan arti asli (malzum).
Daftar
Pustaka
Zein, Ma’shum. 2010. Nadzom
Al-Faroidul Bahiyyah. Jombang. Penerbit Darul Hikmah.
[1]
Ma’shum Zein, Nadzom Al-Faroidul Bahiyyah, penerbit Darul Hikmah, Jombang,
2010, hlm. 26.
[2]
Ibid., hlm. 27
[3]
Ibid., hlm. 28
[4]
Ibid., hlm. 29
[5]
Ibid., hlm. 30
[6]
Ibid., hlm. 31
[7]
Ibid., hlm. 32
[8]
Ibid., hlm. 33
[9]
Ibid., hlm. 34
No comments:
Post a Comment