1

loading...

Sunday, October 21, 2018

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM Imam Al-Syaibani 

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Riwayat Imam Al-Syaibani (132 H/750 M – 189 H/804 M)

Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-
Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. Bersama orang tuanya, Al-Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar memahami fiqh ahl al-Ra’y (yang mengandalkan akal), dia juga mempelajari sastra, bahasa, syair, termasuk gramatika, serta mempelajari ilmu agama, seperti alquran, hadist dan fiqh kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri bin Dzar, dan Malik bin Maghul. Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah. Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan langsung dari ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia belia asy-Syaibani telah menghafal Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah. Kemudian ia belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Dari kedua imam inilah asy-Syaibani memahami fikih Mazhab[1] Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.
Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. di sampig itu, ketika berusia 30 tahun ia mengunjungi Madinah dan berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahlulhadis dan ahlurra’yi. Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tentang hadis yang selama ini luput dari pengamatan Imam Abu Hanifah.[2]
Dari keluasan pendidikannya ini, asy-Sayibani dapat membuat kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak dan ahulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (ra’yu). Ia juga mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dalam memperkuat pendapatnya. Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dala[3]m mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam majelis pengajian asy-Syaibani. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi al-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).

2.      Perkembangan kehidupan Imam Al-Syaibani

Pada usia 14 tahun al- Syaibani berguru kepada Abu Hanifah selama empat tahun, setelah belajar 4 tahun, Abu Hanifah meninggal dunia dan ia tercatat sebagai penyebar Mazhab Hanafi. Al-Syaibani termasuk salah seorang murid Abu Hanifah yang sangat cemerlang. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia 183 H/798 M, dia pindah ke Madinah dan belajar kepada Malik dan al-Awza’i, lalu dia menguasai fiqh yang mengandalkan hadis. Al-Syaibani mempelajari fiqh Abu Hanifah dari dua segi.
Pertama, dia belajar dari mazhab Hanafi menurut apa yang dia dengar dari para ahli hadis dan fukaha di Madinah. Kedua, dia belajar dari pemilahan masalah-masalah ushul fiqih. Pada zamannya dia dikenal sebagai orang yang ahli dalam hitungan yang sangat diperlukan dalam melakukan pembagian warisan, dan lain sebagainya. Selain beinteraksi dengan para ulama al-ra’yi, Al-Syaibani juga berinteraksi kepada para ulama ahl al-hadis. Ia terus berkelana keberbagai tempat seperti Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. Ia pernah bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al-muwatta pada Malik bin Anas. Al-syaibani telah banyak mengetahui mengenai hadist yang luput dari perhatian Abu Hanifah.karena keluasan pendidikannya, ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al-ra’yi di irak dengan ahl al-hadis di Medinah.[4]
Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiya. Ia mempunyai peranan penting dalam mejelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan Mazhab Hanafi, kebijakan pemerintah menetapkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Setelah Abu Yusuf meninggal dunia, khalifah Haru Al-Rasid mengangkat Al-syaibani sebagai hakimdi kota Riqqah, Irak. Namun tugas ini hanya berlangsung singkat kerena ia mengundurkan diri untuk lebuh berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqh. Al-Syaibani meninggal dunia tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray, dekat Teheran, pada usia 58 tahun.

3.      Guru dan kitab  Imam Al-Syaibani

1) Guru Imam Al-syaibani :
A.    Abu Hanifah
B.     Malik bin Anas
C.     al-Awza’i
D.    Sufyan bin ‘Uyainah
E.     Auza’i

2)  Kitab yang dikarang Imam Al-Syaibani
Dalam menulis pokok-pokok pemikiran fiqhnya, Al-Syaibani menggunakan istihsan[5] sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu:

a.  Zhahi al-Riwayah
Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah[6]. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat.
Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
b. Al-Nawadir
Kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalahAmali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilahdan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). 
Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani).[7]
Al-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab (book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri).[8]
Prilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham (prepaid order), syirkah (partnership), dan mudharabah. Biku yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif.
Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin, musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, kemanan mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb, kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai. Al-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan penakluka wilayah yang mereka lakukan. Dia juga menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah seorang tokoh penulis dalam hukum internasional.
4.  Konsep teori yang dikemukakan Imam Al-Syaibani
Pemikiran ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. [9]Secara keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian mikro ekonomi yang bekisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi. Kitap ini merupakan kitab pertaman di dunia Islam yang membahas permasalahan ini[10]. Dr. al-Janidal menyebut al-Syaibani sebagai salah satu perintis ilmu ekonomi dalam islam. Hal yang dibahas Al-syaibani antara lain:
1)  Al-Kasb (kerja)
Kerja merupakan hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya temasuk manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kehidupanya. Dan manusia disuruh menyebar untuk mencari karunia Allah. Menurut Al-Syaibani al-Kasb (kerja) yaitu sebagai mencari perolehan harta melaui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas ini termasuk dalam aktivitas produksi.
Dalam ekonomi islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Perbedaannya adalah kalau dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atua jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat erat terkait dengan halal haramnya sesuatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Maksudnya aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam memproduksi, kita harus mengetahi apa produk yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan, dan kepada siapa produk akan dituju. Itu semua harus kita ketahui agar terhindar dari produksi yang dilarang oleh islam.[11] Produksi barang atau jasa dalam ilmu ekonomi yaitu barang atau jasa yang mempunyai utilitas (nilai guna). Dalam isalm, barang dan jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya mengandung kemaslahatan. Imam asy-Syatibi mengatakan kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara ilmu unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian seorang muslim bermotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut.
Konsep maslahat merupakan kosep yang objektif terhadap prilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syari’ah yaitu memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sedang kosep ekonomi konvensional menganggap bahwa suatu barang dan jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Maksudnya dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barabg atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subyektif. Produksi secara konvensional hanya memikirkan untuk keuntungan di dunia saja tanpa menghiraukan akhirat. Dan tidak tau halal atau haramkah produk yang diproduksi tersebut.[12] Dalam pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban akan ‘Imarul Kaum, yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Asy-Syaibani menegaskan kerja merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah AWT dan karenanya hukum bekerja adalah wajib.
                            2)  Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi merek. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafalah). Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk kebaikan.  

3)  Klasifikasi Usaha-usaha perekonomian
Menurut Al-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain.[13] Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah menyediakan sawah dan ladng untuk bercocok tanam.[14] Dan makanan yang kita makan merypakan hasil dari pertanian. Dari segihukum, Al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusa di muka bumi ini.          Barbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.

4)  Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum ,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yuang lain mengatakan bahwa kempat hal ini adalah tema ekonomi.[15]

5)  Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Al-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain[16]. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allaha tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat az-Zukhruf ayat 32         
Artinya: “dan kami telah meninggikan sebagian mereka ats sebagian yang lain beberapa derajad,”
Al-syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Dan Allah mengatakan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat : 2
Artinya:” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…”
Rasulullah saw bersabda:
“ sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)
Selain itu Al-syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu suadaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
Suatu pekerjaan yang baik merupakan suatu ibadah, agar kita bisa hidup lebih sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika manusia hanya menunggu karunia dari-Nya, niscaya itu tidak akan perna ada rezeki untuk dirinya karna tidak mau berusaha. Dan bersyukurlah atas rezeki yang telah Allah berikan. Karna Allah akan menambahkan rezeki bagi orang yang mau mensyukurinya.[17]

5. Relefansi antara teori yang dikemukakan dengan realita saat ini
Setiap manusia wajib bekerja untuk meraih rezeki Allah swt. Jika manusia tidak bekerja, maka mereka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Oleh karena itu, setiap orang harus mampu memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya untuk mengolah sumber daya alam yang ada. Jika kita lihat saat ini, kewajiban untuk bekerja telah mendorong sebagian orang berusa keras untuk mencari rizki Allah bahkan mereka berlomba-lomba menciptakan lapangan kerja.[18]
Namun, juga tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih banyak sekali orang yang tidak memiliki pekerjaan, mereka hanya berpangku tangan menanti rezeki dari  Alllah. Inilah realita yang ada, dimana masih banyak sekali orang yang bermalas-malasan untuk bekerja, sekalipun itu adalah kewajiban mereka. Hal ini yang membuat perekonomian sulit untuk berkembang dan tingkat kemiskinan tidak berkurang serta banyak sumber daya alam belum dimanfaatkan.
Jika kita lihat, pertanian tetap memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Produk-produk pertanian adalah produk yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Jadi, bisa dibayangan jika pertanian tidak ada, maka manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan jika manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, otomatis mereka akan mati dan aktivitas produksi di sector lain pun akan berhenti. Itulah sebabnya pertanian tetap memegang peranan penting dalam aktivitas ekonomi atau ketersediaan lapangan kerja.
Namun, saat ini pertanian di Indonesia semakin tidak produktif. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya lahan untuk pertanian karena  akibat alih fungsi lahan ke sector pembangunan dan industry. Juga akibat kurangnya minat orang Indonesia tehadap pertanian karena telah disibukkan dengan hal-hal lain. Bisa dibayangkan jika produktivitas pertanian di Indonesia semakin menurun, maka akan sulit sekali untuk mendapatkan bahan pokok untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sehingga Indonesia akan menjadi negara importir bahan pokok, yang seharusnya tidak terjadi melihat alam Indonesia yang luas dan cocok untuk pertanian.[19] Sekarang menjadi tugas kita bersama untuk berpikir keras dan melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Kita harus berupaya untuk membangkitkan semangat kerja saudara-saudara kita dan menyadarkan mereka akan pentingnya pertanian, sehingga mereka mau memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kesejahteraan bersama.
Dengan begitu maka aktivitas ekonomi akan meningkat, dan memberikan nilai positif terhadap semua aspek. Pada dasarnya banyak cara agar pertanian di Indonesia ini cepat berkembang, tetepi pada kenyataanya masyarakat tidak bisa melihat situasi ekonomi yang global ini.[20] Masyarakat hanya bisa meniru dan tidak mampu memberikan situasi ekonomi yang baik untuk meingkatkan kualitas ekonomi negara ini. Coba bandingkan dengan ekonomi yang ada di luar negeri seperti Amerika, pasti sangat jauh. Indonesia sebagai negara yang mempunyai iklim tropis, sudah seharusnya mampu memproduksi produk-produk unggulan dan berkualitas dalam sector pertanian. Tapi nyatanya Indonesia masih sering menginport hasil pertanian dari luar negri.  Ini merupakan masalah buat negara Indonesia. Bagamimana tidak, kalau pertanian saja harus menginpor dari luar negri bagaimana bisa Indonesia menjadi negara yang mandiri. Jika hal ini berlalut-larut akan mengakibatkan dampak ke aspek yang lain juga





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. Menurut Asy Syaibani, permasalahan ekonomi wajib diketahui oleh umat islam karena dapat menunjang ibadah wajib.
Pemikiran beliau tentang ekonomi terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
Al-Kasb ( Kerja), Kekayaan dan Kefakiran, Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian,Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi, Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan.


















DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,  Ekonisia,Yogyakarta.
Surahman Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum Republika, 28 Oktober 2002.



[1] Surahman Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum Republika, 28 Oktober 2002.
[2] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[3] Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,  Ekonisia,Yogyakarta
[4] Ibid., hlm. 30
[5] Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
[6] Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,  Ekonisia,Yogyakarta.
[7] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[8] Ibid., hlm. 35
[9] Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,  Ekonisia,Yogyakarta.
[10] Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada      Press.
[11] Surahman Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum Republika, 28 Oktober 2002.
[12] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[13] Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,  Ekonisia,Yogyakarta.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
[16] Ibid., hlm. 45.
[17] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[18] Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,  Ekonisia,Yogyakarta.
[19] Surahman Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum Republika, 28 Oktober 2002.
[20] Ibid., hlm. 50.

No comments:

Post a Comment