MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM Imam Al-Syaibani
BAB II
PEMBAHASAN
1. Riwayat Imam
Al-Syaibani (132 H/750 M – 189 H/804 M)
Nama lengkap
Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-
Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H
(750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani
Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. Bersama
orang tuanya, Al-Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah
satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar memahami fiqh ahl
al-Ra’y (yang mengandalkan akal), dia juga mempelajari sastra, bahasa, syair,
termasuk gramatika, serta mempelajari ilmu agama, seperti alquran, hadist dan
fiqh kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri bin
Dzar, dan Malik bin Maghul. Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang
berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah.
Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan langsung dari ayahnya,
seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia belia asy-Syaibani telah menghafal
Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah. Kemudian ia
belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Dari kedua imam inilah
asy-Syaibani memahami fikih Mazhab[1]
Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis
pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.
Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada
Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. di sampig itu, ketika berusia 30
tahun ia mengunjungi Madinah dan berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar
belakang sebagai ulama ahlulhadis dan ahlurra’yi. Berguru kepada
ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya.
Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tentang hadis yang selama ini luput dari
pengamatan Imam Abu Hanifah.[2]
Dari keluasan pendidikannya ini,
asy-Sayibani dapat membuat kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak
dan ahulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu
Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (ra’yu). Ia juga
mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah
dalam memperkuat pendapatnya. Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai
guru, banyak berjasa dala[3]m
mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam
majelis pengajian asy-Syaibani. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan
pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi
negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah
Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi
al-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).
2. Perkembangan kehidupan Imam
Al-Syaibani
Pada usia 14
tahun al- Syaibani berguru kepada Abu Hanifah selama empat tahun, setelah
belajar 4 tahun, Abu Hanifah meninggal dunia dan ia tercatat sebagai penyebar
Mazhab Hanafi. Al-Syaibani termasuk salah seorang murid Abu Hanifah yang sangat
cemerlang. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia 183 H/798 M, dia pindah ke
Madinah dan belajar kepada Malik dan al-Awza’i, lalu dia menguasai fiqh yang
mengandalkan hadis. Al-Syaibani mempelajari fiqh Abu Hanifah dari dua segi.
Pertama, dia
belajar dari mazhab Hanafi menurut apa yang dia dengar dari para ahli hadis dan
fukaha di Madinah. Kedua, dia belajar dari pemilahan masalah-masalah ushul
fiqih. Pada zamannya dia dikenal sebagai orang yang ahli dalam hitungan yang
sangat diperlukan dalam melakukan pembagian warisan, dan lain sebagainya. Selain
beinteraksi dengan para ulama al-ra’yi, Al-Syaibani juga berinteraksi kepada
para ulama ahl al-hadis. Ia terus berkelana keberbagai tempat seperti Makkah,
Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik
bin Anas, sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. Ia pernah bertemu dengan
Al-Syafi’I ketika belajar al-muwatta pada Malik bin Anas. Al-syaibani telah
banyak mengetahui mengenai hadist yang luput dari perhatian Abu Hanifah.karena
keluasan pendidikannya, ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al-ra’yi di
irak dengan ahl al-hadis di Medinah.[4]
Al-Syaibani
kembali ke Baghdad yang berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiya. Ia
mempunyai peranan penting dalam mejelis ulama dan kerap didatangi para penuntut
ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan Mazhab Hanafi,
kebijakan pemerintah menetapkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Setelah
Abu Yusuf meninggal dunia, khalifah Haru Al-Rasid mengangkat Al-syaibani
sebagai hakimdi kota Riqqah, Irak. Namun tugas ini hanya berlangsung singkat
kerena ia mengundurkan diri untuk lebuh berkonsentrasi pada pengajaran dan
penulisan fiqh. Al-Syaibani meninggal dunia tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray,
dekat Teheran, pada usia 58 tahun.
3. Guru dan kitab Imam
Al-Syaibani
1) Guru Imam Al-syaibani :
A. Abu Hanifah
B. Malik bin Anas
C. al-Awza’i
D. Sufyan bin
‘Uyainah
E. Auza’i
2) Kitab yang dikarang Imam
Al-Syaibani
Dalam menulis
pokok-pokok pemikiran fiqhnya, Al-Syaibani menggunakan istihsan[5]
sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat produktif.
Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu:
a. Zhahi al-Riwayah
Kitab-kitab yang
ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah[6].
Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok
pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam
pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini.
Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’
al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar
as-Sagir, dan az-Ziyadat.
Keenam kitab
ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman,
seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian
dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334
H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang
berjudul al-Kafi.
b. Al-Nawadir
Kitab-kitab yang
ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang
termasuk dalam an-Nawadir adalahAmali Muhammad fi
al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah
fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap
masalah hilahdan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah
(Irak).
Ar-Radd ‘ala
ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang
Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum
dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya
setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini
melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi
oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan
dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala
Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani).[7]
Al-Syaibani
telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab
(book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak
membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu
transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan
boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu
tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha
dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri).[8]
Prilaku konsumsi ideal orang muslim
menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka
meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk transasksi atau kerja sama
usaha dalam bisnis, misalnya saham (prepaid order), syirkah (partnership), dan
mudharabah. Biku yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative
sekaligus positif.
Dan buku
al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup
semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin,
musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang
tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang
musyrik, kemanan mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar
al-harb, kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian
dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh
musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran
perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan
musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai. Al-Syaibani
bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan
Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan
hukum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan
penakluka wilayah yang mereka lakukan. Dia juga menggunakan perbandingan kepada
masa-masa tertentu. Harun al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini
dan memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan pada masa
kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga terlihat pada masa daulah
Utsmaniyah, karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan
sebagai dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka
berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani adalah salah seorang tokoh penulis dalam hukum internasional.
4. Konsep teori yang dikemukakan Imam
Al-Syaibani
Pemikiran
ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang
lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang
pada abad kedua Hijriyah. [9]Secara
keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian mikro ekonomi yang bekisar pada
teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan
konsumsi. Kitap ini merupakan kitab pertaman di dunia Islam yang membahas
permasalahan ini[10].
Dr. al-Janidal menyebut al-Syaibani sebagai salah satu perintis ilmu ekonomi
dalam islam.
Hal yang
dibahas Al-syaibani antara lain:
1) Al-Kasb (kerja)
Kerja merupakan
hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah
menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya temasuk manusia. Manusia
diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kehidupanya. Dan
manusia disuruh menyebar untuk mencari karunia Allah. Menurut Al-Syaibani
al-Kasb (kerja) yaitu sebagai mencari perolehan harta melaui berbagai cara yang
halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas ini termasuk dalam aktivitas produksi.
Dalam ekonomi
islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.
Perbedaannya adalah kalau dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang
menghasilkan barang atua jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena
aktivitas produksi sangat erat terkait dengan halal haramnya sesuatu barang
atau jasa dan cara memperolehnya. Maksudnya aktivitas menghasilkan barang dan
jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam
memproduksi, kita harus mengetahi apa produk yang akan diproduksi, bagaimana
cara memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan,
dan kepada siapa produk akan dituju. Itu semua harus kita ketahui agar
terhindar dari produksi yang dilarang oleh islam.[11] Produksi barang
atau jasa dalam ilmu ekonomi yaitu barang atau jasa yang mempunyai utilitas
(nilai guna). Dalam isalm, barang dan jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya
mengandung kemaslahatan. Imam asy-Syatibi mengatakan kemaslahatan hanya dapat
dicapai dengan memelihara ilmu unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Dengan demikian seorang muslim bermotivasi untuk
memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut.
Konsep maslahat
merupakan kosep yang objektif terhadap prilaku produsen karena ditentukan oleh
tujuan (maqashid) syari’ah yaitu memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Sedang kosep ekonomi konvensional menganggap bahwa suatu barang dan
jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya.
Maksudnya dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barabg atau jasa
ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subyektif.
Produksi secara konvensional hanya memikirkan untuk keuntungan di dunia saja
tanpa menghiraukan akhirat. Dan tidak tau halal atau haramkah produk yang
diproduksi tersebut.[12] Dalam pandangan
islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban akan ‘Imarul Kaum,
yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Asy-Syaibani
menegaskan kerja merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah AWT
dan karenanya hukum bekerja adalah wajib.
2) Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al
Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya,
sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa
apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas
pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah
lebih baik bagi merek. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya
sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafalah). Di
sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya
hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang
lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk
kebaikan.
3) Klasifikasi Usaha-usaha
perekonomian
Menurut
Al-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu
sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom
kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa.
Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara
keempat usaha perekonomian tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha
pertanian dari usaha lain.[13]
Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat
menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian
merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah
menyediakan sawah dan ladng untuk bercocok tanam.[14]
Dan makanan yang kita makan merypakan hasil dari pertanian. Dari segihukum,
Al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah
dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah
ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan
terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda
perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang
yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan
berusa di muka bumi ini. Barbagai usaha perekonomian dihukum
fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang
ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan
dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga
akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.
4) Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu
ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu
makan, minum ,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yuang lain
mengatakan bahwa kempat hal ini adalah tema ekonomi.[15]
5) Spesialisasi dan Distribusi
Pekerjaan
Al-syaibani
menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain[16].
Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang
tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya
dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah
SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu
diantaranya, Allaha tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi
akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat
bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat
az-Zukhruf ayat 32
Artinya: “dan kami telah meninggikan sebagian mereka ats sebagian yang lain beberapa derajad,”
Artinya: “dan kami telah meninggikan sebagian mereka ats sebagian yang lain beberapa derajad,”
Al-syaibani
menandaskan bahwa seorang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan
membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin.
Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam
menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Dan Allah mengatakan dalam Qur’an
surat al-Maidah ayat : 2
Artinya:” dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…”
Rasulullah saw
bersabda:
“ sesungguhnya
Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara
muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)
Selain itu Al-syaibani menyatakan bahwa
apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau
membantu suadaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan
niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek
ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan
aspek ekonomis.
Suatu pekerjaan yang baik merupakan
suatu ibadah, agar kita bisa hidup lebih sederhana dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Jika manusia hanya menunggu karunia dari-Nya, niscaya itu tidak akan
perna ada rezeki untuk dirinya karna tidak mau berusaha. Dan bersyukurlah atas
rezeki yang telah Allah berikan. Karna Allah akan menambahkan rezeki bagi orang
yang mau mensyukurinya.[17]
5. Relefansi antara teori yang dikemukakan dengan realita
saat ini
Setiap manusia wajib bekerja untuk
meraih rezeki Allah swt. Jika manusia tidak bekerja, maka mereka tidak akan
dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Oleh karena itu, setiap orang harus
mampu memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya untuk mengolah sumber daya
alam yang ada. Jika kita lihat saat ini, kewajiban untuk bekerja telah
mendorong sebagian orang berusa keras untuk mencari rizki Allah bahkan mereka
berlomba-lomba menciptakan lapangan kerja.[18]
Namun, juga tidak dapat dipungkiri
bahwa saat ini masih banyak sekali orang yang tidak memiliki pekerjaan, mereka
hanya berpangku tangan menanti rezeki dari Alllah. Inilah realita
yang ada, dimana masih banyak sekali orang yang bermalas-malasan untuk bekerja,
sekalipun itu adalah kewajiban mereka. Hal ini yang membuat perekonomian sulit
untuk berkembang dan tingkat kemiskinan tidak berkurang serta banyak sumber
daya alam belum dimanfaatkan.
Jika kita lihat, pertanian tetap
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Produk-produk pertanian
adalah produk yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Jadi, bisa dibayangan
jika pertanian tidak ada, maka manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dan jika manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, otomatis mereka akan
mati dan aktivitas produksi di sector lain pun akan berhenti. Itulah sebabnya
pertanian tetap memegang peranan penting dalam aktivitas ekonomi atau
ketersediaan lapangan kerja.
Namun, saat ini pertanian di
Indonesia semakin tidak produktif. Hal ini disebabkan karena semakin
berkurangnya lahan untuk pertanian karena akibat alih fungsi lahan
ke sector pembangunan dan industry. Juga akibat kurangnya minat orang Indonesia
tehadap pertanian karena telah disibukkan dengan hal-hal lain. Bisa dibayangkan
jika produktivitas pertanian di Indonesia semakin menurun, maka akan sulit
sekali untuk mendapatkan bahan pokok untuk memenuhi kehidupan sehari-hari,
sehingga Indonesia akan menjadi negara importir bahan pokok, yang seharusnya
tidak terjadi melihat alam Indonesia yang luas dan cocok untuk pertanian.[19]
Sekarang menjadi tugas kita bersama untuk berpikir keras dan melakukan
perubahan kearah yang lebih baik. Kita harus berupaya untuk membangkitkan
semangat kerja saudara-saudara kita dan menyadarkan mereka akan pentingnya
pertanian, sehingga mereka mau memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk
kesejahteraan bersama.
Dengan begitu maka aktivitas ekonomi
akan meningkat, dan memberikan nilai positif terhadap semua aspek. Pada
dasarnya banyak cara agar pertanian di Indonesia ini cepat berkembang, tetepi
pada kenyataanya masyarakat tidak bisa melihat situasi ekonomi yang global ini.[20]
Masyarakat hanya bisa meniru dan tidak mampu memberikan situasi ekonomi yang
baik untuk meingkatkan kualitas ekonomi negara ini. Coba bandingkan dengan
ekonomi yang ada di luar negeri seperti Amerika, pasti sangat jauh. Indonesia
sebagai negara yang mempunyai iklim tropis, sudah seharusnya mampu memproduksi
produk-produk unggulan dan berkualitas dalam sector pertanian. Tapi nyatanya Indonesia
masih sering menginport hasil pertanian dari luar negri. Ini
merupakan masalah buat negara Indonesia. Bagamimana tidak, kalau pertanian saja
harus menginpor dari luar negri bagaimana bisa Indonesia menjadi negara yang
mandiri. Jika hal ini berlalut-larut akan mengakibatkan dampak ke aspek yang
lain juga
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu
Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun
132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani
Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. Menurut
Asy Syaibani, permasalahan ekonomi wajib diketahui oleh umat islam karena dapat
menunjang ibadah wajib.
Pemikiran beliau tentang ekonomi terbagi menjadi lima
bagian, yaitu:
Al-Kasb ( Kerja), Kekayaan dan Kefakiran, Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian,Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi, Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan.
Al-Kasb ( Kerja), Kekayaan dan Kefakiran, Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian,Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi, Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari
Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
Heri
Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam, Ekonisia,Yogyakarta.
Surahman
Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum Republika, 28
Oktober 2002.
[1] Surahman
Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum Republika, 28
Oktober 2002.
[2] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
[4] Ibid., hlm. 30
[5] Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
[7] Adiwarman Azhar
Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
[8] Ibid.,
hlm. 35
[9] Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam,
Ekonisia,Yogyakarta.
[10] Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
[11]
Surahman Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum
Republika, 28 Oktober 2002.
[12] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
[14]
Ibid., hlm. 41.
[15] Euis Amalia, 2007, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, Jakarta: Granada Press.
[16]
Ibid., hlm. 45.
[17] Adiwarman Azhar Karim, 2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
[19]
Surahman Hidayat, Etika Produksi dalam islam, Rubrik iqtishad Harian Umum
Republika, 28 Oktober 2002.
[20]
Ibid., hlm. 50.
No comments:
Post a Comment