1

loading...

Tuesday, October 30, 2018

TUGAS REGULASI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA



REGULASI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

1.      Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda. Untuk menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada waktu itu, dikeluarkanlah peraturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Diantara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N.V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe Bank Wet 1992. Bank inilah yang kenudian menjadi Bank Indoneisa, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya undang-undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu. Yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syariah pada masa berlakunya undang-undang ini adalah adanya pengaturan mengenai pengertian “kredit” yang terdapat di dalamnya. Bab I, pasal 13 huruf c menyebutkan : kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan denganitu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang ditetapkan.
Dari bunyi pasal diatas tampak pengertian, bahwa dalam usaha bank yang ada pada masa ini (perbankan konvensional) yang dalam operasinya menggunakan sistem kredit, tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini dikarenakan, konsep bunga ini melekat pada dalam pengertian kredit itu sendiri. Sehingga, tidak dimungkinkan pula untuk didirikan sistem perbankan syariah, sebab pemahaman kegatan usaha bank pada masa itu haruslah dengan perangkat bunga. Bahkan, perbankan pada masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh pemerintah secara seragam agar tidak terjadi penentuan bunga yang sewenang-wenang oleh masing-masing bank dan menjaga stabilitas keuangan negara.
2.      Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Pada awal tahun 1980-an, sistem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah ini kemudian mengalami kesulitan. Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersediannya likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena pemerintah menentukan tingkat bunga maka tak ada persaingan antar bank. Hal ini kemudian tabungan menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 Juni Tahun 1983 yanh membuka belenggu penetapan tingakat bunga tersebut sebenarnya dengan dibukanya belenggu tingkat bunga ini maka timbullah kemungkinan bagi suatu bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0%, yang berarti merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil.
Deregulasi 1 Juni 1983 ini ternyata tidak berdampak langsung atas pelaksanaan sistem perbankan tanpa bunga. Sejak wacana pendirian sistem perbankan tanpa bunga dibicarakan di Indonesia pada pertengahan tahun 1970-an, ada beberapa alasan yang mengahambat terealisasinya ide ini, yaitu operasi bank Islam yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena hal itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu UU No. 14 Tahun 1967. konsep bank Islam dari segi politis juga dianggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau berkaitan denganh konsep negara Islam, sehingga hal itu tidak dikehendaki pemerintah. Pada saat itu masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari negara-negara Timur Tengah masih dicegah, antar lain oleh kebijakan pembatasan bank asing yang ingin membuka kantor cabang di Indonesia. Sedangkan, pendirian bank baru oleh orang Indonesia sendiri masih belum dimungkinkan.
Oleh karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru, sedangkan bank-bank yang ada masih belum menganggap sistem bank tanpa bunga sebagai bisnis yang dapat menguntungkan, dan bank Islam belum dapat berdiri, maka digunakan badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya. Pemilihan badan hukum koperasi sebagai wadah penerapan sistem perbankan syariah telah dimualai oleh Koperasi Jasa Keahlian Teknosa di Bandung sejak awal tahun 1980-an. Kemudian, di Jakarta didirikan Baitut Tamwil kedua dengan nama koperasi simpan pinjam Ridho Gusti yang didirikan tanggal 25 September 1988.
3.      Periode Pakto 1988
Pada tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka, dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 Oktober 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada.
Setelah dikeluarkannya PAKTO, kemudian dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia. Yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatilla pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS Amanah Rabbaniyah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh.
4.      Periode Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Titik terang untuk pendirian lembaga bank dengan sistem syariah sebenarnya telah muncul sejak awal tahun 1990-an. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisaura, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. berdasarkan amanat Munas tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim Perbankan MUI tersebut. Akta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada 3 November 1991, pada acara silaturrahmi presiden di istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382,-. Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh Menteri Kabinet Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL dan PIND AD. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang bank Islam. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Kemudian diikuti dengan kemunculan Undang-Undang No. 17 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan sistem Perbankan bagi hasil. Dalam undang-undang tersebut pada pasal 6 (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan, bahwa salah satu usaha bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.
Pada intinya kedua pasal tersebut menerangkan, bahwa baik bank umum maupun BPR dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam PP tersebut. Arah yang akan ditempuh harus jelas dalam undang-undang, bahwa mereka beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil.
Hal itu secara tegas ditemukan dalam ketentuan pasal 6 PP No.72 Tahun 1992, yang berbunyi:
a.       Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
b.      Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ketentuan tentang bagi hasil dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 ini dijelaskan lebih lanjut oleh PP No. 72 Tahun 1992. Mengenai hal-hal penting yang diatur, diantaranya adalah pertimbangan didirikannya bank dengan prinsip bagi hasil ini adalah merupakan pelayanan jasa perbankan yang dibutuhkan masyarakat. Ketentuan yang terpenting yang berkaitan dengan sistem perbankan syariah ini adalah penegasan pada pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah” (harus sesuai dengan syariat Islam).
Dalam menjalankan perannya, bank Islam berlandaskan pda Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:
a.       Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
b.      Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariat Islam.
c.       Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah.
d.      Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh perkembangan Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun demikian adanya dua jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangunlah lembaga-lemmbaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat-Tamwil (BMT).
5.      Periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Pada Tahun 1998, dikeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluan yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Dari UU tersebut dapat disimpulakan, bahwa sistem ,perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut:
a.       Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.
b.      Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan antar investor yang harmonis (mutual investor relatioship). Sementara dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitor-kreditor (debitor to creditor relatioship).
c.       Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan mayng memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi myang tidak prodiktif, pembiayaan ditujukan mkepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan munsur moral.
Undang-undang ini juga memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992, menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Penyebutan tersebut terdapat pada pasal 1 ayat (3), ayat (4), ayat (12) dan ayat (13) yang menerrangkan tentang pengertian prinsip syariah dalam perbankan ini juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut “bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai denga syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Masalah hukum yang diatur undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap eksistensi perbankan Islam di Indonesia adalah menyangkut kelembagaan dan operasional bank Islam. Secara keseluruhan permasalahan hukum tersebut antara lain meliputi: (a) macam bank Islam, (b) pendirian bank Islam, (c) Konversi bank konvensional menjadi bank Islam, (d) pembukaan kantor cabang yang meliputi sisi keuangan dan modal kerja, (e) Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional yang menyangkut mengenai fungsi DPS sebagai penasihat, mediator dan perwakilan, (f) kegiatan usaha dan produk-produk bank Islam, (g) pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank Islam, (h) sanksi-sanksi pidana dan administrative.
Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk surat keputusan atau SK direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional bank berdasarkan prinsip syariah dikeluarkan SK Direksi BI No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dan SK Direksi BI No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu untuk Bank Umum Syariah diatur oleh PBI No.6/24.PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No.7/PBI/2005 tanggal 25 Sepetember 2005 Tentang Perubahan Atas PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan untuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah diatur dengan PBI No.6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pemberlakuan UU No.10 Tahun 1998 ini merupakan momen pengembangna perbankan syariah di Indonesia. UU tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) ,oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank konvebsional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta masyarakat luas ini meliputi:
a.       Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan bank Islam sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UU No.10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan, bahwa bank umum dapat memilih untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedjua kegiatan tersebut. Dalam haml bank umum melakukan kegiatan usaha berdasarkan syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus, yaitu Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah. Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan usaha salah satu dari keduanya, melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah saja, atau berdasarkan sistem konvensional saja
b.      Bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib melaksanakan: (1) pembentukan Unit Usaha Syariah, (2) memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional, (3) menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non operasional Kantor Cabang Syariah.
Pada periode ini juga telah diatur mengenai ketentuan kliring instrument moneter dan pasar uang antar bank. Di dalam penjelasan UU No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia telah diamanatkan bahwa untuk mengantisipasi perkembangan prinsip syariah, maka menjadi tugas dan fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lalu lintas pembayaran anatar bank serta pelaksanaan Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), telah dikeluarkan peraturan tersendiri sehubungan dengan sifat khusus dari sistem perbankan syariah. Diantara peraturan tersebut antara lain, Peraturan Bank Indonesia atau PBI No.2/4/PBI/2004 tanggal 11 Februari tentang kliring bagi Bank Umum Syariah dan UUS Bank Umum Konvensional, PBI No.2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum (GWM), yang kemudian khusus tentang perbankan syariah diatur lebih lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan PBI No.2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No.7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No.2/8/2000 tentang PUAS.
Demikian pula untuk mengatur tentang pengelolaan likuiditas bank Islam, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) jo PBI No.6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas PBI No.2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan ketentuan tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS) pada PBI No.5/3/PBI/2003 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Februari 2003 jo PBI No.5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah. Selain itu, agar profitabilitas pengelolaan dana bank-bank Islam dapat ditingkatkan Bank Indonesia telah melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah yang terkait, yaitu Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nonbank, Direktorat Jenderal Asuransi, Bapepam dan sebagainya.
Namun demikian, pada periode UU No.10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus diatur lebih lanjut dan pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Masalah-masalah tersebut antara lain sebagai berikut: (1) bank Islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda, (2) Eksistensi Dewan Pengawas Syariah, (3) pengawasan bank Islam masih berdasarkan pendekatan konvensional, (4) bank sentral memakai standar interest, (5) belum memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam, (6) hukum perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan legitimasi.
Dari masalah-masalah tersebut, maka masih dirasakan pentingnya dikeluarkan ketentuan tersendiri tentang sistem perbankan syariah. Untuk itulah maka diupayakan pembuatan Rancangan Undang-Undang tersendiri tentang perbankan syariah yang diharapkan sudah dapat dissahkan dalam waktu dekat. Demikian pula perlu dipikirkan kedudukan perbankan syariah dalam pengaturan tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan datang, sehingga jelas sistem pengawasan yang akan diterapkan untuk Lembaga Keuangan Syariah, khususnya bank Islam. Hal ini berkaitan dengan pengawasan terhadap kesesuaian operasional bank Islam dengan ketentuan hukum Islam yang menjadi dasar operasionalnya. Saat ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa MUI. Hingga saat ini keduduka fatwa belumlah mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan kedepan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia dan kedudukan MUI bagi pengaturan umat Islam agar masing-masing fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki kekuatan hukum yang jelas.
6.      Periode Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan Bank Indonesia, yang merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur dan mengawasi segala kegiatan perbankan di Indonesia.
Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari Perbankan Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan Prinsip Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu : (1) untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, (2) untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, (3) untuk menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakil) dan (4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia, ayat (2).untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan, b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e. kelayakan usaha), (3). persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia, (4). Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama banknya, (5). Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan, (6). Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia, (7). Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional, (8). Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan (9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.
Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana terhadap pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya , begitu pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh Undang-Undang Bank Indonesia.
Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas (diatur dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : (a) pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, (b) Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).
Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus memenuhi syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh (a) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, (b) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau (c) pemerintah daerah.(ayat 1), sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a). warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan untuk kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9).
Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d Pasal 9) dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11). Terhadap kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama, dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus selaras dengan ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.
Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham pengendalian, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur secara jelas dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut.
Kerahasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah investor, investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana perpajakan, pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).
Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah (UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang telah ditetapkan.
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : (a) memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, (b) memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan (c) memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening Pembiayaan.
Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka tindak lanjut mnelakukan pengawasan antara lain: (a) membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, (b) meminta pemegang saham menambah modal, (c) meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, (d) meminta Bank Syariah menghapus pembukuaan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, (e) meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, (f) meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya, (g) meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan (h) meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).
Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat sengketa terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55).
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah (UUS), anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini (diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 66), dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.

No comments:

Post a Comment