REGULASI PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA
1.
Periode Undang-Undang No. 14 Tahun
1967
Pengaturan
tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda. Untuk
menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada waktu itu, dikeluarkanlah
peraturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun berupa surat-surat keputusan
resmi dari pihak pemerintah. Diantara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak
zaman penjajahan tersebut, yaitu De
Javashe Bank N.V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan
undang-undang De Javashe Bank Wet 1992. Bank
inilah yang kenudian menjadi Bank Indoneisa, setelah melalui proses
nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya undang-undang No. 24 Tahun
1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Regulasi
perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan
dikeluarkannya undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan.
Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku
pada masa itu. Yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syariah pada
masa berlakunya undang-undang ini adalah adanya pengaturan mengenai pengertian
“kredit” yang terdapat di dalamnya. Bab I, pasal 13 huruf c menyebutkan : kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan
yang dapat disamakan denganitu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara
bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang ditetapkan.
Dari
bunyi pasal diatas tampak pengertian, bahwa dalam usaha bank yang ada pada masa
ini (perbankan konvensional) yang dalam operasinya menggunakan sistem kredit,
tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini dikarenakan,
konsep bunga ini melekat pada dalam pengertian kredit itu sendiri. Sehingga,
tidak dimungkinkan pula untuk didirikan sistem perbankan syariah, sebab
pemahaman kegatan usaha bank pada masa itu haruslah dengan perangkat bunga.
Bahkan, perbankan pada masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh pemerintah
secara seragam agar tidak terjadi penentuan bunga yang sewenang-wenang oleh
masing-masing bank dan menjaga stabilitas keuangan negara.
2.
Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Pada
awal tahun 1980-an, sistem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah ini
kemudian mengalami kesulitan. Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung
kepada tersediannya likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena
pemerintah menentukan tingkat bunga maka tak ada persaingan antar bank. Hal ini
kemudian tabungan menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh
karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan deregulasi dibidang perbankan
tanggal 1 Juni Tahun 1983 yanh membuka belenggu penetapan tingakat bunga
tersebut sebenarnya dengan dibukanya belenggu tingkat bunga ini maka timbullah
kemungkinan bagi suatu bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0%, yang
berarti merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Deregulasi
1 Juni 1983 ini ternyata tidak berdampak langsung atas pelaksanaan sistem
perbankan tanpa bunga. Sejak wacana pendirian sistem perbankan tanpa bunga
dibicarakan di Indonesia pada pertengahan tahun 1970-an, ada beberapa alasan
yang mengahambat terealisasinya ide ini, yaitu operasi bank Islam yang
menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena hal itu tidak sejalan
dengan Undang-Undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu UU No. 14 Tahun 1967.
konsep bank Islam dari segi politis juga dianggap berkonotasi ideologis,
merupakan bagian atau berkaitan denganh konsep negara Islam, sehingga hal itu
tidak dikehendaki pemerintah. Pada saat itu masih dipertanyakan, siapa yang
bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru
dari negara-negara Timur Tengah masih dicegah, antar lain oleh kebijakan
pembatasan bank asing yang ingin membuka kantor cabang di Indonesia. Sedangkan,
pendirian bank baru oleh orang Indonesia sendiri masih belum dimungkinkan.
Oleh
karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru, sedangkan bank-bank yang ada
masih belum menganggap sistem bank tanpa bunga sebagai bisnis yang dapat
menguntungkan, dan bank Islam belum dapat berdiri, maka digunakan badan hukum
koperasi sebagai bentuk hukumnya. Pemilihan badan hukum koperasi sebagai wadah
penerapan sistem perbankan syariah telah dimualai oleh Koperasi Jasa Keahlian
Teknosa di Bandung sejak awal tahun 1980-an. Kemudian, di Jakarta
didirikan Baitut Tamwil kedua
dengan nama koperasi simpan pinjam Ridho Gusti yang didirikan tanggal 25
September 1988.
3.
Periode Pakto 1988
Pada
tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan
seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan.
Maka, dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober (PAKTO) pada
tanggal 27 Oktober 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang
memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada.
Setelah
dikeluarkannya PAKTO, kemudian dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan
Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia. Yang pertama kali memperoleh
izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Berkah Amal Sejahtera dan
BPRS Dana Mardhatilla pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS
Amanah Rabbaniyah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS
tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hareukat pada tanggal
10 November 1991 di Aceh.
4.
Periode Undang-Undang No. 7 Tahun
1992
Titik
terang untuk pendirian lembaga bank dengan sistem syariah sebenarnya telah muncul
sejak awal tahun 1990-an. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama
tentang bunga bank dan perbankan di Cisaura, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990,
hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI
yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
berdasarkan amanat Munas tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia.
Bank
Muamalat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim Perbankan MUI tersebut.
Akta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1
November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84
miliar. Pada 3 November 1991, pada acara silaturrahmi presiden di istana Bogor,
dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382,-.
Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh Menteri Kabinet
Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab,
Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL dan PIND AD.
Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang
bank Islam. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992,
Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Kemudian
diikuti dengan kemunculan Undang-Undang No. 17 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang memperkenalkan sistem Perbankan bagi hasil. Dalam undang-undang tersebut
pada pasal 6 (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan, bahwa salah satu usaha bank
umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.
Pada
intinya kedua pasal tersebut menerangkan, bahwa baik bank umum maupun BPR dapat
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam PP tersebut. Arah yang akan ditempuh
harus jelas dalam undang-undang, bahwa mereka beroperasi berdasarkan sistem
bagi hasil.
Hal
itu secara tegas ditemukan dalam ketentuan pasal 6 PP No.72 Tahun 1992, yang
berbunyi:
a.
Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil.
b.
Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ketentuan tentang bagi hasil dalam
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 ini dijelaskan lebih lanjut oleh PP No. 72 Tahun
1992. Mengenai hal-hal penting yang diatur, diantaranya adalah pertimbangan
didirikannya bank dengan prinsip bagi hasil ini adalah merupakan pelayanan jasa
perbankan yang dibutuhkan masyarakat. Ketentuan yang terpenting yang berkaitan
dengan sistem perbankan syariah ini adalah penegasan pada pasal 2 ayat 1 yang
menyatakan bahwa “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan syariah” (harus sesuai dengan syariat Islam).
Dalam menjalankan perannya, bank
Islam berlandaskan pda Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP
No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya
menetapkan hal-hal antara lain:
a.
Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi
hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
b.
Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan
adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariat Islam.
c.
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil
wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah.
d.
Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak
dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pendirian Bank Muamalat Indonesia
ini diikuti oleh perkembangan Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Namun demikian adanya dua jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau
masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangunlah
lembaga-lemmbaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat-Tamwil (BMT).
5.
Periode Undang-Undang No. 10 Tahun
1998
Pada
Tahun 1998, dikeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada undang-undang ini
terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluan yang lebih besar bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Dari UU tersebut dapat
disimpulakan, bahwa sistem ,perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan
sebagai berikut:
a.
Memenuhi kebutuhan jasa perbankan
bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem
perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional,
mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari
segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan
konvensional yang menerapkan sistem bunga.
b.
Membuka peluang pembiayaan bagi
pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep
yang diterapkan adalah hubungan antar investor yang harmonis (mutual investor relatioship).
Sementara dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan
debitor-kreditor (debitor to creditor
relatioship).
c.
Memenuhi kebutuhan akan produk dan
jasa perbankan mayng memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan
pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual
interest effect), membatasi kegiatan spekulasi myang tidak prodiktif,
pembiayaan ditujukan mkepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan munsur moral.
Undang-undang ini juga memberikan penegasan terhadap konsep
perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil” pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992, menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”. Penyebutan tersebut terdapat pada pasal 1 ayat (3), ayat (4), ayat
(12) dan ayat (13) yang menerrangkan tentang pengertian prinsip syariah
dalam perbankan ini juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang
perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan
sebagai berikut “bahwa prinsip syariah
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain
untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai denga syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Masalah hukum yang diatur undang-undang ini selain berupa
penegasan terhadap eksistensi perbankan Islam di Indonesia adalah menyangkut
kelembagaan dan operasional bank Islam. Secara keseluruhan permasalahan hukum
tersebut antara lain meliputi: (a) macam bank Islam, (b) pendirian bank Islam,
(c) Konversi bank konvensional menjadi bank Islam, (d) pembukaan kantor cabang
yang meliputi sisi keuangan dan modal kerja, (e) Badan Pengawas Syariah dan
Dewan Syariah Nasional yang menyangkut mengenai fungsi DPS sebagai penasihat,
mediator dan perwakilan, (f) kegiatan usaha dan produk-produk bank Islam, (g)
pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank Islam, (h) sanksi-sanksi pidana
dan administrative.
Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian diikuti
dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk surat
keputusan atau SK direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang
lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional
bank berdasarkan prinsip syariah dikeluarkan SK Direksi BI No.32/34/Kep/Dir
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dan SK
Direksi BI No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan
Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu untuk Bank Umum Syariah diatur oleh PBI
No.6/24.PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No.7/PBI/2005 tanggal 25
Sepetember 2005 Tentang Perubahan Atas PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan untuk Bank
Perkreditan Rakyat Syariah diatur dengan PBI No.6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli
2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pemberlakuan UU No.10 Tahun 1998 ini merupakan momen
pengembangna perbankan syariah di Indonesia. UU tersebut membuka kesempatan
untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) ,oleh bank konvensional. Dengan kata
lain, bank konvebsional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta
masyarakat luas ini meliputi:
a.
Pengaturan aspek kelembagaan dan
kegiatan usaha dan bank Islam sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat
(3) UU No.10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan, bahwa bank umum dapat
memilih untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedjua kegiatan tersebut. Dalam haml
bank umum melakukan kegiatan usaha berdasarkan syariah, maka kegiatan tersebut
dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus, yaitu Unit
Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah. Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan
usaha salah satu dari keduanya, melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah saja, atau berdasarkan sistem konvensional saja
b.
Bank umum konvensional yang akan
membuka kantor cabang syariah wajib melaksanakan: (1) pembentukan Unit Usaha
Syariah, (2) memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan oleh Dewan
Syariah Nasional, (3) menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam
suatu rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar
biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non
operasional Kantor Cabang Syariah.
Pada periode ini juga telah diatur mengenai ketentuan
kliring instrument moneter dan pasar uang antar bank. Di dalam penjelasan UU
No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia telah diamanatkan
bahwa untuk mengantisipasi perkembangan prinsip syariah, maka menjadi tugas dan
fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lalu
lintas pembayaran anatar bank serta pelaksanaan Pasar Uang Antar Bank
Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), telah dikeluarkan peraturan tersendiri
sehubungan dengan sifat khusus dari sistem perbankan syariah. Diantara
peraturan tersebut antara lain, Peraturan Bank Indonesia atau PBI
No.2/4/PBI/2004 tanggal 11 Februari tentang kliring bagi Bank Umum Syariah dan
UUS Bank Umum Konvensional, PBI No.2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000
tentang Giro Wajib Minimum (GWM), yang kemudian khusus tentang perbankan
syariah diatur lebih lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan PBI No.2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari
tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI
No.7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No.2/8/2000
tentang PUAS.
Demikian pula untuk mengatur tentang pengelolaan likuiditas
bank Islam, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No.2/9/PBI/2000 tanggal 23
Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) jo PBI
No.6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas PBI
No.2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan ketentuan tentang
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS) pada PBI
No.5/3/PBI/2003 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Februari 2003 jo PBI
No.5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah.
Selain itu, agar profitabilitas pengelolaan dana bank-bank Islam dapat
ditingkatkan Bank Indonesia telah melakukan koordinasi dengan instansi
pemerintah yang terkait, yaitu Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan Nonbank, Direktorat Jenderal Asuransi, Bapepam dan sebagainya.
Namun demikian, pada periode UU No.10 Tahun 1998 ini juga
dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus diatur lebih
lanjut dan pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi
perbankan nasional yang akan datang. Masalah-masalah tersebut antara lain
sebagai berikut: (1) bank Islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda, (2)
Eksistensi Dewan Pengawas Syariah, (3) pengawasan bank Islam masih berdasarkan
pendekatan konvensional, (4) bank sentral memakai standar interest, (5) belum
memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam, (6) hukum perdata tetap menjadi
acuan dalam dokumentasi dan legitimasi.
Dari masalah-masalah tersebut, maka masih dirasakan
pentingnya dikeluarkan ketentuan tersendiri tentang sistem perbankan syariah.
Untuk itulah maka diupayakan pembuatan Rancangan Undang-Undang tersendiri
tentang perbankan syariah yang diharapkan sudah dapat dissahkan dalam waktu
dekat. Demikian pula perlu dipikirkan kedudukan perbankan syariah dalam
pengaturan tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan datang, sehingga
jelas sistem pengawasan yang akan diterapkan untuk Lembaga Keuangan Syariah,
khususnya bank Islam. Hal ini berkaitan dengan pengawasan terhadap kesesuaian
operasional bank Islam dengan ketentuan hukum Islam yang menjadi dasar
operasionalnya. Saat ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada
ketentuan fatwa MUI. Hingga saat ini keduduka fatwa belumlah mendapat pengakuan
yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam
pengaturan kedepan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam
tata urutan perundang-undangan Indonesia dan kedudukan MUI bagi pengaturan umat
Islam agar masing-masing fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki kekuatan
hukum yang jelas.
6.
Periode Undang-Undang No. 21 Tahun
2008
Undang
Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, merupakan sebagai
kebijakan pemberlakukan yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan
Bank Indonesia, yang merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur
dan mengawasi segala kegiatan perbankan di Indonesia.
Kegiatan
perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari Perbankan Syariah
didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan Prinsip Syariah/Islam,
demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan bertujuan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu : (1) untuk menjalankan
fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, (2) untuk menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat, (3) untuk menghimpun dana sosial yang
berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakil) dan (4) Pelaksanaan fungsi sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Mengenai
masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan diatur
oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dimana dalam
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan
usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia, ayat (2).untuk memperoleh izin usaha
Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan
organisasi dan kepengurusan, b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang
Perbankan Syariah; dan e. kelayakan usaha), (3). persyaratan untuk memperoleh
izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia, (4). Bank
Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama banknya,
(5). Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase "Unit Usaha
Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan, (6). Bank
Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah
dengan izin Bank Indonesia, (7). Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi
menjadi Bank Umum Konvensional, (8). Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat
dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan (9) Bank Umum Konvensional yang
akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di
kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.
Terdapat
pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana terhadap pembukaan
kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya , begitu pula
terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-jenis kantor
lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Dan
kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan
hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank
Indonesia.
Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh Undang-Undang Bank Indonesia.
Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh Undang-Undang Bank Indonesia.
Mengenai
bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas (diatur dalam Pasal
7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan
anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah mengenai ketentuan : (a) pengangkatan anggota direksi dan komisaris
harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, (b) Rapat Umum Pemegang Saham
Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan
direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan
publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan
Bank Indonesia (Pasal 8).
Dalam
hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus memenuhi
syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh (a) warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, (b) warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing
secara kemitraan; atau (c) pemerintah daerah.(ayat 1), sedangkan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a).
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya
warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua pihak atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan untuk kepemilikan
Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9).
Terhadap
pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta
pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d Pasal 9) dan
mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan
dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11). Terhadap kegiatan saham
bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama, dan kegiatan Bank
Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk
ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal
13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus selaras dengan ketentuan Prinsip
Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.
Untuk
pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan
larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal
26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham pengendalian, Dewan Komisaris,
Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian
dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34
sampai dengan Pasal 40, yang mengatur secara jelas dan terperinci terhadap
kegiatan perbankan syari’ah tersebut.
Kerahasiaan
Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah investor, investasinya
dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana perpajakan, pimpinan BI
atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan peradilan dalam perkara
pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).
Bank
Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah(UUS), agar
tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai
kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,
kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan,
kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek
lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana kriteria
tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah (UUS)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Dan
selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala keterangan dan
penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang telah
ditetapkan.
Dalam
rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Bank Indonesia berwenang : (a) memeriksa dan mengambil data/dokumen dari
setiap tempat yang terkait dengan Bank, (b) memeriksa dan mengambil
data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank
Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan (c) memerintahkan Bank melakukan
pemblokiran rekening tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening
Pembiayaan.
Bank
Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan
atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara pemeriksaan yang di
atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank Indonesia berwenang
melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka tindak lanjut mnelakukan
pengawasan antara lain: (a) membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham,
komisaris, direksi, dan pemegang saham, (b) meminta pemegang saham menambah
modal, (c) meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau
direksi Bank Syariah, (d) meminta Bank Syariah menghapus pembukuaan penyaluran
dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, (e)
meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah
lain, (f) meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil
alih seluruh kewajibannya, (g) meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan
seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan (h) meminta
Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank
Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).
Apabila
Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat sengketa terhadap
pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat
dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan
sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam. (diatur
dalam Pasal 55).
Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral akan menetapkan sanksi administratif kepada Bank
Syariah (UUS), anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah,
direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah
dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini (diatur dalam Pasal 56 sampai
dengan Pasal 66), dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran
kerahasiaan bank.
No comments:
Post a Comment