MAKALAH FITRAH MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan
adalah fitrah setiap manusia. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang
berpasang-pasangan. Setiap jenis membutuhkan pasangannya. Sejak dilahirkan ke
dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia
lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup
bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.
Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perkawinan memerlukan pertimbangan yang
matang agar dapat bertahan, di dalam menjalin hubungan antara suami istri
diperlukan sikap toleransi dan menempatkan diri pada peran yang semestinya.
Sikap saling
percaya dan saling menghargai satu sama lain merupakan syarat mutlak untuk
bertahannya sebuah perkawinan. Suami istri harus mau menjalankan hak dan
kewajibannya secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan.
Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat
akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Oleh karena itu, di dalam makalah
ini penulis akan menberikan penjelasan tentang Persetujuan Nikah, Perkawinan
Anak-Anak, Wakil dalam Perkawinan, serta apa saja Hak dan Kewajiban bagi Suami
Isteri.
B.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian persetujuan nikah !
2. Apa pengertian perkawinan anak-anak ? dan
jelaskan apa akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak tersebut !
3. Jelaskan apa peran wakil dalam perkawinan !
4. Apa saja hak dan kewajiban bagi suami
isteri didalam sebuah keluarga ? serta berikan ayat yang sesuai dengan hak dan
kewajiban bagi suami dan isteri !
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pengetahuan tentang arti
penting persetujuan nikah.
2. Untuk memahami apa saja dampak yang akan
ditimbulkan dari perkawinan anak-anak dan mengetahui batasan usia dalam
perkawinan.
3. Untuk memahami peran dari wakil dalam
perkawinan.
4. Untuk memahami apa saja hak dan kewajiban
suami isteri dalam sebuah perkawinan agar tercipta keluarga yang Sakinah,
Mawaddah, dan Warrahmah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Persetujuan Nikah
Perjanjian perkawinan adalah (persetujuan) yang dibuat oleh calon mempelai
pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji
akan mena’ati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh
pencatat nikah. Perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Persetujuan sama dengan perjanjian.
Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an, karena
perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratus
syarat, hukumnya batal. Hukum mengenai perjanjian di tulis dalam kompilasi
hukum islam. [1]
Perjanjian perkawinan (mithaq az-zauziyyah) dalam at-tanjil al-hakim
terdapat dalam firman Allah SW T : (QS. An-Nisa, ayat 20-21)
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا
مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى
بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (21)
Artinya:
20 Dan kalau kalian ingin mengganti istri
dengan istri yang lain sedangkan
kalian telah memberikan harta yang banyak kepada mereka (istri yang
kalian tinggalkan), maka janganlah kalian mengambil kembali sedikit
pun darinya. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan
(yang kalian buat) dan dosa yang nyata ?
kalian telah memberikan harta yang banyak kepada mereka (istri yang
kalian tinggalkan), maka janganlah kalian mengambil kembali sedikit
pun darinya. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan
(yang kalian buat) dan dosa yang nyata ?
21 Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali,
padahal kalian telah
bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari
kalian ? [2]
bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari
kalian ? [2]
Dalam ayat diatas nampak, bahwa dalam
perkawinan terdapat sebuah perjanjian yang kuat yang diambil oleh para isteri
dari suami. Perjanjian/Persetujuan perkawinan
mempunyai syarat, yakni : Perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan
syari’at islam atau hakikat perkawinan.
Namun, dalam tataran implementasinya
masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni
jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun
maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah. [3]
Hal itu sesuai
dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7 “Apabila
seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus
mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Izin ini sifatnya wajib, karena usia itu
dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Oleh karena
itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena
akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah. [4]
Berikut ini contoh surat persetujuan/izin
nikah dari orang tua/wali nikah :
SURAT
PERSETUJUAN/IZIN NIKAH DARI ORANG TUA/WALI
Yang bertandatangan dibawah ini :
Bapak/Wali :
Nama
:
Tempat/Tgl.
Lahir :
Pekerjaan
:
Alamat
:
Ibu/Wali :
Nama
:
Tempat/Tgl.
Lahir :
Pekerjaan
:
Alamat
:
Dengan ini memberikan persetujuan/izin
nikah kepada :
Nama :
Tempat/Tgl. Lahir :
Pekerjaan :
Alamat :
Anak/keponakan
kami tersebut diatas selama ini dan sampai sekarang belum pernah Nikah/Kawin dengan
siapa pun, dan kami memberi persetujuan/izin nikah dengan seorang Calon
Suami/Isteri :
Nama
:
Tempat/Tgl.
Lahir :
Pekerjaan
:
Alamat
:
Demikianlah
surat persetujuan/izin nikah ini kami berikan kepadanya untuk melengkapi persyaratan
Nikah, dan apabila dikemudian hari terdapat hal-hal yang menyangkut dalam pernikahannya,
kami sepenuhnya bertanggung jawab dan bersedia dituntut menurut hukum yang
berlaku serta tidak melibatkan orang lain dan pemerintah setempat.
Bengkulu,
Yang memberi izin
nikah,
Bapak/Wali
Ibu/Wali
___________________ _____________________
___________________ _____________________
Diketahui oleh :
Diketahui oleh Ketua RT.03 RW.03
Ketua
RW.03Kel. Simpang Baru Kel. Simpang Baru
___________________
_____________________
B.
Perkawinan Anak-Anak
Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur
perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan
maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi
manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan
melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. [5]
Firman Allah SWT :
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
Artinya :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)
Kata (الصَّالِحِينَ) dipahami oleh banyak ulama dalam arti
“yang layak kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina
rumah tangga. Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan
masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. 6
1.
Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak :
Dalam monitoring yang dilakukan, Koalisi melihat bahwa
praktek-praktek perkawinan anak masih kerap terjadi, dan yang paling merisaukan
adalah justru di anggap sebagai praktek yang biasa.
Kasus paling baru di tahun 2015 ini adalah situasi khusus di Gunung
Kidul, Yogyakarta, atau situasi di NTB dimana presentase pernikahan dini
mencapai 22 persen dari total pasangan menikah setiap tahun, terutama di
Kabupaten Lombok Timur.
Berdasarkan rilis BKKBN, praktek pernikahan dini sekarang
berada dalam situasi yang mengkhawatirkan, bahkan hampir 50 % dari 2,5 juta
pernikahan per tahun itu adalah kelompok usia di bawah 19 tahun. Mereka disebut
sebagai kelompok usia pernikahan dini.
Dari jumlah tersebut, Ketua Yayasan Kalyanamitra Listyowati
mengatakan menimbulkan resiko yang amat tinggi terhadap terjadinya kematian ibu
dan bayi. “Artinya, praktik perkawinan anak juga berkonstribusi terhadap
tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia yang mengalami kenaikan dari
tahun-tahun sebelumnya.”
Perkawinan dan kehamilan usia anak tidak hanya menyebabkan angka
kematian yang tinggi pada ibu, tetapi juga anak yang dilahirkan beresiko
memiliki berat badan rendah dan intelegensi yang minim. Hal tersebut berdampak
pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Listyowati mewakiliki keempat lembaga menuntut lembaga untuk
merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Perkawinan dengan menetapkan
usia minimum perkawinan anak menjadi 19 tahun, dan sanksi yang tegas bagi
pelaku. Mereka pun menuntut agar pengadilan agama atau negeri tidak
memberlakukan sistem dispensasi usia perkawinan atas dasar apapun bagi anak di
bawah usia 18 tahun.
Setiap KUA dan lembaga catatan sipil serta lembaga perkawinan untuk
menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak dan menunda pencatatan perkawinan
usia anak. [6]
Upaya pencegahan perkawinan anak-anak yaitu : menuntut peningkatan
kualitas pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif bagi
remaja dalam kurikulum pendidikan nasional, serta membuat kebijakan daerah
untuk pencegahan perkawinan anak. Demi menghentikan praktik perkawinan anak.
Sementara itu, mereka pun memandang bahwa diperlukan upaya penyadaran publik
secara luas tentang dampak negatif dari perkawinan anak. [7]
Wakil wali/Qadi adalah orang
yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk
menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan
bakal suami. Segala urusan pernikahan, penyediaan aset pernikahan seperti mas
kawin, barangan hantaran (hadiah), penyedian tempat pernikahan, jamuan makan
kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. [8]
Qadi hanya
perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan
berjalan lancar. Disamping tanggung jawabnya menikahi suami istri berjalan
dengan sempurna, Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan
seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi
seperti mentri agama dan administratif negara. Untuk memastikan status resmi suami
isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.
Qadi selalunya
dilantik dari kalangan orang-orang alim (yang mempunyai pengetahuan dalam agama
Islam dengan luas) seperti ustadz, muallim, mufti, sheikh al-Islam dan
sebagainya. [9]
Menurut jumhur fuqaha, syarat-syarat sah orang yang
boleh menjadi wakil wali yaitu :
a.
Laki-laki,
b.
Baligh,
c.
Merdeka,
d.
Islam,
e.
Berakal.
Hal itu biasa
sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama
setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah, dan untuk itu harus ada akad
antara wali dan orang yang mewakilkan. Akan tetapi sebaliknya apabila pihak
wanita mewakilkan kepada orang lain tanpa ijin dari wali maka pernikahannya
tidak sah. [10]
Sebagai contoh,
ketika dalam kondisi di mana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah
akad nikah. Karena akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak
sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak
memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya
kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak
gadisnya.
Maka dia bisa
saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya,
meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali. Namun
hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari
wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah
dan harus dipisahkan saat itu juga. [11]
Orang yang menerima wakil hendaklah melaksanakan wakalah itu dengan
sendirinya sesuai dengan yang ditentukan semasa membuat wakalah itu karena
orang yang menerima wakil tidak boleh mewakilkan pula kepada orang lain kecuali
dengan izin memberi wakil atau bila diserahkan urusan itu kepada wakil
sendiri seperti kata pemberi wakil : “Terserahlah kepada engkau (orang yang
menerima wakil) melaksanakan perwakilan itu, engkau sendiri atau orang lain”.
Maka ketika itu, boleh wakil
berwakil pula kepada orang lain untuk melaksanakan wakalah itu. Wakil wajib
melaksanakan wakalah menurut apa yang telah ditentukan oleh orang yang memberi
wakil. [12]
D.
Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Tidaklah mudah untuk membentuk keluarga yang damai, aman, bahagia,
sejahtera. Diperlukan pengorbanan serta tanggungjawab dari masing-masing pihak
dalam menjalankan peran dalam keluarga. Rasa cinta, hormat, setia, saling menghargai
dan lain sebagainya merupakan hal wajib yang perlu dibina baik suami maupun
istri.
Dengan mengetahui dan memahami hak dan kewajiban suami isteri yang baik diharapkan
dapat mempermudah kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama dan hukum yang
berlaku. Pada setiap perkawinan,
masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian
hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang
dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih
besar pula. Sesuai dengan fungsi dan perannya. Suami istri
harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang agar tidak muncul
masalah dalam perkawinan. [13]
Berikut ini adalah beberapa hak dan kewajiban pasangan suami isteri yang
baik :
A. Kewajiban
Suami
1.
Memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan
sandang, pangan dan papan.
2.
Membantu peran istri dalam mengurus anak.
3.
Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga
dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga.
4.
Siaga / Siap antar jaga ketika istri sedang mengandung
/ hamil.
5.
Menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak
sewenang-wenang.
6.
Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri
sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.
B. Hak Suami
1.
Isteri melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai
ajaran agama seperti mendidik anak, menjalankan urusan rumah tangga, dan
sebagainya.
2.
Mendapatkan pelayanan lahir batin dari istri.
3.
Menjadi kepala keluarga memimpin keluarga.
C. Kewajiban Isteri
1. Mendidik anak dengan baik dan penuh
tanggung jawab.
2. Menghormati serta mentaati suami dalam
batasan wajar.
3. Menjaga kehormatan keluarga.
4. Menjaga dan mengatur pemberian suami
(nafkah suami) untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
5. Mengatur dan mengurusi rumah tangga
keluarga demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. [14]
D. Hak Isteri
1. Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir
dari suami.
2. Menerima maskawin dari suami ketika
menikah.
3. Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh
suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga / KDRT.
4. Mendapat penjagaan, perlindungan dan
perhatian suami agar terhindar dari hal-hal buruk.
E. Kewajiban
Suami dan Istri
1.
Saling mencintai, menghormati, setia dan saling bantu
lahir dan batin satu sama lain.
2.
Memiliki tempat tinggal tetap yang ditentukan kedua
belah pihak.
3.
Menegakkan rumah tangga, Melakukan musyawarah dalam
menyelesaikan problema rumah tangga tanpa emosi.
4.
Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dengan
ikhlas.
5.
Menghormati keluarga dari kedua belah pihak baik yang
tua maupun yang muda.
6.
Saling setia, pengertian dan Tidak menyebarkan rahasia
/ aib keluarga.
F. Hak Suami
dan Istri
1.
Mendapat kedudukan hak dan kewajiban yang sama dan
seimbang dalam keluarga dan masyarakat.
2.
Berhak melakukan perbuatan hukum, Berhak diakui
sebagai suami isteri dan telah menikah jika menikah dengan sah sesuai hukum
yang berlaku.
3.
Berhak memiliki keturunan langsung / anak kandung dari
hubungan suami isteri.
4.
Berhak membentuk keluarga dan mengurus kartu keluarga.
[15]
Ayat tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri : Hak Suami Atas Isteri, Ketaatan dan kepatuhan pada suami, Mengurus
dan mengatur rumah tangga dengan baik Menjaga diri dan harta suaminya : (An-Nisa
ayat 34)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
Artinya : “ laki-laki itu adalah pemimpin atas perempuan
dengan sebab apa ayng telah Allah lebihkan sebagian kalian atas sebagian yang
lain dan denag sebab apa-apa yang mereka infaqkan dari harta-harta mereka. Maka
wanita-wanita yang shalihah adalah yang
qanitah (ahli ibadah), yang menjaga (kehormatannya) taatkala suami tidak ada
dengan sebab Alalh telah menjaganya. Adapun wanita-wanita yang kalian
kawatirkan akan ketidaktaatannya maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah di
tempat-tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Akan tetapi jika mereka sudah
mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti)
mereka, sesungguhnya Allah itu Maha tinggi Maha besar. ”
Hak & Kewajiban Bersama antara Suami-Isteri, Pergaulan yang
baik dan tentram, saling cinta mencintai dan santun Ar-Rum ayat 21)
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. ” [16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjanjian perkawinan adalah (persetujuan) yang dibuat oleh calon mempelai
pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji
akan mena’ati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh
pencatat nikah. Perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Persetujuan sama dengan perjanjian.
Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an, karena
perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratus
syarat, hukumnya batal.
Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri
Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7 “Apabila
seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus
mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Izin ini sifatnya wajib, karena usia itu
dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Oleh karena
itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena
akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Perkawinan dan kehamilan usia anak tidak hanya menyebabkan angka
kematian yang tinggi pada ibu, tetapi juga anak yang dilahirkan beresiko
memiliki berat badan rendah dan intelegensi yang minim. Hal tersebut berdampak
pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri)
dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan
proporsinya masing-masing. Sesuai dengan fungsi dan perannya. Suami
istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang agar tidak
muncul masalah dalam perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta : Penerbit
Prenada Media Group
Ghazali Rahman. 2003. Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group
Rofiq Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
[1] Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqh, Penerbit Prenada Group, Jakarta, 2010.
Hlm 74
2 Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
2 Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
[3] Rahman Ghazali, Fiqih
Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 114
4 Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 155
4 Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 155
[5] Ahmad Rofiq, Hukum islam
di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 140
6 Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
6 Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
[7] Kesimpulan dari Penulis
9 Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 124
10 Ibid, hlm 125-126
9 Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 124
10 Ibid, hlm 125-126
[10] Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta,
2003, hlm. 125
12 Pendapat Penulis
12 Pendapat Penulis
[12]
Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta,
2003, hlm. 126
14 Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqh, Penerbit Prenada Group, Jakarta, 2010. Hlm 80
14 Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqh, Penerbit Prenada Group, Jakarta, 2010. Hlm 80
[14]
Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta,
2003, hlm. 119
[16]
Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
No comments:
Post a Comment