1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH FITRAH MANUSIA

MAKALAH FITRAH MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Perkawinan adalah fitrah setiap manusia. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang berpasang-pasangan. Setiap jenis membutuhkan pasangannya. Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perkawinan memerlukan pertimbangan yang matang agar dapat bertahan, di dalam menjalin hubungan antara suami istri diperlukan sikap toleransi dan menempatkan diri pada peran yang semestinya.
Sikap saling percaya dan saling menghargai satu sama lain merupakan syarat mutlak untuk bertahannya sebuah perkawinan. Suami istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan.
Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Oleh karena itu, di dalam makalah ini penulis akan menberikan penjelasan tentang Persetujuan Nikah, Perkawinan Anak-Anak, Wakil dalam Perkawinan, serta apa saja Hak dan Kewajiban bagi Suami Isteri.


B.            Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian persetujuan nikah !
2.      Apa pengertian perkawinan anak-anak ? dan jelaskan apa akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak tersebut !
3.      Jelaskan apa peran wakil dalam perkawinan !
4.      Apa saja hak dan kewajiban bagi suami isteri didalam sebuah keluarga ? serta berikan ayat yang sesuai dengan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri !

C.           Tujuan Penulisan
1.      Untuk memberikan pengetahuan tentang arti penting persetujuan nikah.
2.      Untuk memahami apa saja dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan anak-anak dan mengetahui batasan usia dalam perkawinan.
3.      Untuk memahami peran dari wakil dalam perkawinan.
4.      Untuk memahami apa saja hak dan kewajiban suami isteri dalam sebuah perkawinan agar tercipta keluarga yang Sakinah, Mawaddah, dan Warrahmah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Persetujuan Nikah
Perjanjian perkawinan adalah (persetujuan) yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mena’ati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. Perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Persetujuan sama dengan perjanjian.
Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Hukum mengenai perjanjian di tulis dalam kompilasi hukum islam. [1]
Perjanjian perkawinan (mithaq az-zauziyyah) dalam at-tanjil al-hakim terdapat dalam firman Allah SW T : (QS. An-Nisa, ayat 20-21)
 وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (20)  وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (21)
Artinya:
20 Dan kalau kalian ingin mengganti istri dengan istri yang lain sedangkan  
 kalian telah memberikan harta yang banyak kepada mereka (istri yang
 kalian tinggalkan), maka janganlah kalian mengambil kembali sedikit
 pun darinya. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan
 (yang kalian buat) dan dosa yang nyata ?
21 Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian telah
      bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari
      kalian ? [2]     
Dalam ayat diatas nampak, bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah perjanjian yang kuat yang diambil oleh para isteri dari suami.  Perjanjian/Persetujuan perkawinan mempunyai syarat, yakni : Perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan.
Namun, dalam tataran implementasinya  masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah. [3]
Hal  itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Izin ini sifatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Oleh karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah. [4]
Berikut ini contoh surat persetujuan/izin nikah dari orang tua/wali nikah :
SURAT PERSETUJUAN/IZIN NIKAH DARI ORANG TUA/WALI
Yang bertandatangan dibawah ini :
Bapak/Wali :
Nama                           :
Tempat/Tgl. Lahir       :
Pekerjaan                     :
Alamat                        :
Ibu/Wali :
Nama                           :
Tempat/Tgl. Lahir       :
Pekerjaan                     :
Alamat                       
Dengan ini memberikan persetujuan/izin nikah kepada :
Nama                           :
Tempat/Tgl. Lahir        :
Pekerjaan                     :
Alamat                        
Anak/keponakan kami tersebut diatas selama ini dan sampai sekarang belum pernah Nikah/Kawin dengan siapa pun, dan kami memberi persetujuan/izin nikah dengan seorang Calon Suami/Isteri :
Nama                           :
Tempat/Tgl. Lahir       :
Pekerjaan                     :
Alamat                       
Demikianlah surat persetujuan/izin nikah ini kami berikan kepadanya untuk melengkapi persyaratan Nikah, dan apabila dikemudian hari terdapat hal-hal yang menyangkut dalam pernikahannya, kami sepenuhnya bertanggung jawab dan bersedia dituntut menurut hukum yang berlaku serta tidak melibatkan orang lain dan pemerintah setempat.                                                                                            
  Bengkulu, 
Yang memberi izin nikah,
Bapak/Wali                                                                 Ibu/Wali  
      ___________________                                        _____________________ 
      Diketahui oleh :
Diketahui oleh Ketua RT.03 RW.03                  Ketua RW.03Kel. Simpang Baru             Kel. Simpang Baru

      ___________________                                        _____________________  
B.            Perkawinan Anak-Anak
Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. [5]
Firman Allah SWT :
 وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
Artinya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)
Kata (الصَّالِحِينَ) dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga. Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. 6

1.    Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak :
Dalam monitoring yang dilakukan,  Koalisi melihat bahwa praktek-praktek perkawinan anak masih kerap terjadi, dan yang paling merisaukan adalah justru di anggap sebagai praktek yang  biasa.
Kasus paling baru di tahun 2015 ini adalah situasi khusus di Gunung Kidul, Yogyakarta, atau situasi di NTB dimana presentase pernikahan dini mencapai 22 persen dari total pasangan menikah setiap tahun, terutama di  Kabupaten Lombok Timur.
Berdasarkan rilis BKKBN, praktek pernikahan dini sekarang berada dalam situasi yang mengkhawatirkan, bahkan hampir 50 % dari 2,5 juta pernikahan per tahun itu adalah kelompok usia di bawah 19 tahun. Mereka disebut sebagai kelompok usia pernikahan dini.
Dari jumlah tersebut, Ketua Yayasan Kalyanamitra Listyowati mengatakan menimbulkan resiko yang amat tinggi terhadap terjadinya kematian ibu dan bayi. “Artinya, praktik perkawinan anak juga berkonstribusi terhadap tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia yang mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya.”
Perkawinan dan kehamilan usia anak tidak hanya menyebabkan angka kematian yang tinggi pada ibu, tetapi juga anak yang dilahirkan beresiko memiliki berat badan rendah dan intelegensi yang minim. Hal tersebut berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Listyowati mewakiliki keempat lembaga menuntut lembaga untuk merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Perkawinan dengan menetapkan usia minimum perkawinan anak menjadi 19 tahun, dan sanksi yang tegas bagi pelaku. Mereka pun menuntut agar pengadilan agama atau negeri tidak memberlakukan sistem dispensasi usia perkawinan atas dasar apapun bagi anak di bawah usia 18 tahun.
Setiap KUA dan lembaga catatan sipil serta lembaga perkawinan untuk menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak dan menunda pencatatan perkawinan usia anak. [6]

Upaya pencegahan perkawinan anak-anak yaitu : menuntut peningkatan kualitas pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif bagi remaja dalam kurikulum pendidikan nasional, serta membuat kebijakan daerah untuk pencegahan perkawinan anak. Demi menghentikan praktik perkawinan anak. Sementara itu, mereka pun memandang bahwa diperlukan upaya penyadaran publik secara luas tentang dampak negatif dari perkawinan anak. [7]

C.           Wakil  (Qadi) dalam Perkawinan
Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami. Segala urusan pernikahan, penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin, barangan hantaran (hadiah), penyedian tempat pernikahan, jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. [8]
Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar. Disamping tanggung jawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna, Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara. Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.
Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim (yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti ustadz, muallim, mufti, sheikh al-Islam dan sebagainya. [9]
Menurut jumhur fuqaha, syarat-syarat sah orang yang boleh menjadi wakil wali yaitu :
a.       Laki-laki,
b.      Baligh,
c.       Merdeka,
d.      Islam,
e.       Berakal.

Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah, dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan. Akan tetapi sebaliknya apabila pihak wanita mewakilkan kepada orang lain tanpa ijin dari wali maka pernikahannya tidak sah. [10]
Sebagai contoh, ketika dalam kondisi di mana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah. Karena akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.
Maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali. Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga. [11]
Orang yang menerima wakil hendaklah melaksanakan wakalah itu dengan sendirinya sesuai dengan yang ditentukan semasa membuat wakalah itu karena orang yang menerima wakil tidak boleh mewakilkan pula kepada orang lain kecuali dengan izin memberi wakil  atau bila diserahkan urusan itu kepada wakil sendiri seperti kata pemberi wakil : “Terserahlah kepada engkau (orang yang menerima wakil) melaksanakan perwakilan itu, engkau sendiri atau orang lain”.
Maka ketika itu, boleh wakil berwakil pula kepada orang lain untuk melaksanakan wakalah itu. Wakil wajib melaksanakan wakalah menurut apa yang telah ditentukan oleh orang yang memberi wakil. [12]

D.           Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Tidaklah mudah untuk membentuk keluarga yang damai, aman, bahagia, sejahtera. Diperlukan pengorbanan serta tanggungjawab dari masing-masing pihak dalam menjalankan peran dalam keluarga. Rasa cinta, hormat, setia, saling menghargai dan lain sebagainya merupakan hal wajib yang perlu dibina baik suami maupun istri.
Dengan mengetahui dan memahami hak dan kewajiban suami isteri yang baik diharapkan dapat mempermudah kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama dan hukum yang berlaku. Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih besar pula. Sesuai dengan fungsi dan perannya. Suami istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan. [13]
Berikut ini adalah beberapa hak dan kewajiban pasangan suami isteri yang baik :
A.    Kewajiban Suami
1.      Memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan.
2.      Membantu peran istri dalam mengurus anak.
3.      Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga.
4.      Siaga / Siap antar jaga ketika istri sedang mengandung / hamil.
5.      Menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenang-wenang.
6.      Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.

B.     Hak Suami
1.      Isteri melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai ajaran agama seperti mendidik anak, menjalankan urusan rumah tangga, dan sebagainya.
2.      Mendapatkan pelayanan lahir batin dari istri.
3.      Menjadi kepala keluarga memimpin keluarga.

C.   Kewajiban Isteri
1.      Mendidik anak dengan baik dan penuh tanggung jawab.
2.      Menghormati serta mentaati suami dalam batasan wajar.
3.      Menjaga kehormatan keluarga.
4.      Menjaga dan mengatur pemberian suami (nafkah suami) untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
5.      Mengatur dan mengurusi rumah tangga keluarga demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. [14]
D.    Hak Isteri
1.      Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir dari suami.
2.      Menerima maskawin dari suami ketika menikah.
3.      Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga / KDRT.
4.      Mendapat penjagaan, perlindungan dan perhatian suami agar terhindar dari hal-hal buruk.

E.     Kewajiban Suami dan Istri
1.      Saling mencintai, menghormati, setia dan saling bantu lahir dan batin satu sama lain.
2.      Memiliki tempat tinggal tetap yang ditentukan kedua belah pihak.
3.      Menegakkan rumah tangga, Melakukan musyawarah dalam menyelesaikan problema rumah tangga tanpa emosi.
4.      Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dengan ikhlas.
5.      Menghormati keluarga dari kedua belah pihak baik yang tua maupun yang muda.
6.      Saling setia, pengertian dan Tidak menyebarkan rahasia / aib keluarga.

F.     Hak Suami dan Istri
1.      Mendapat kedudukan hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam keluarga dan masyarakat.
2.      Berhak melakukan perbuatan hukum, Berhak diakui sebagai suami isteri dan telah menikah jika menikah dengan sah sesuai hukum yang berlaku.
3.      Berhak memiliki keturunan langsung / anak kandung dari hubungan suami isteri.
4.      Berhak membentuk keluarga dan mengurus kartu keluarga. [15]
Ayat tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri : Hak Suami Atas Isteri, Ketaatan dan kepatuhan pada suami, Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik Menjaga diri dan harta suaminya : (An-Nisa ayat 34)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
Artinya :  “ laki-laki itu adalah pemimpin atas perempuan dengan sebab apa ayng telah Allah lebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dan denag sebab apa-apa yang mereka infaqkan dari harta-harta mereka. Maka wanita-wanita yang shalihah adalah  yang qanitah (ahli ibadah), yang menjaga (kehormatannya) taatkala suami tidak ada dengan sebab Alalh telah menjaganya. Adapun wanita-wanita yang kalian kawatirkan akan ketidaktaatannya maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah di tempat-tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Akan tetapi jika mereka sudah mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti) mereka, sesungguhnya Allah itu Maha tinggi Maha besar. ”
Hak & Kewajiban Bersama antara Suami-Isteri, Pergaulan yang baik dan tentram, saling cinta mencintai dan santun Ar-Rum ayat 21)

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” [16]
BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Perjanjian perkawinan adalah (persetujuan) yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mena’ati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. Perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Persetujuan sama dengan perjanjian.
Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal.
Hal  itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Izin ini sifatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Oleh karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Perkawinan dan kehamilan usia anak tidak hanya menyebabkan angka kematian yang tinggi pada ibu, tetapi juga anak yang dilahirkan beresiko memiliki berat badan rendah dan intelegensi yang minim. Hal tersebut berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Sesuai dengan fungsi dan perannya. Suami istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta : Penerbit Prenada Media Group

Ghazali Rahman. 2003. Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group

Rofiq Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”



[1]   Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqh, Penerbit Prenada Group, Jakarta, 2010. Hlm 74
2   Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”

[3] Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 114
4 Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 155

[5] Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 140
6 Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”
[7]  Kesimpulan dari Penulis
9   
Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 124
10 Ibid, hlm 125-126


[10]  Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 125
12  Pendapat Penulis

[12] Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 126
14 Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqh, Penerbit Prenada Group, Jakarta, 2010. Hlm 80

[14] Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 119
[15]  Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, PT. Kencana Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 120-122
[16] Al-Qur’an Terjemahan “Syamil Qur’an Cordova”

No comments:

Post a Comment