MAKALAH PEMBAHASAN ALIRAN JABARIYAH
BAB II
PEMBAHASAN ALIRAN JABARIYAH
PEMBAHASAN ALIRAN JABARIYAH
A.
Pengertian
dan Latar Belakang Lahirnya Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung pengertian memaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau
aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas
kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap
perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik
semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya
campur tangan manusia.
Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1]
Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1]
Salah satu sifat dari
Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara
istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan
semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Jabariah adalah pendapat yang
tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab.
Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan
benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai
dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain
melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka
manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya
sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan
tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak
lain laksana robot yang mati, tidak berarti. [2]
Beberapa peristiwa sejarah:
a) Suatu ketika
Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan,
Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar
dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[3]
b) Khalifah
Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar
itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh
karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman
potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir
Tuhan.
c) Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya
tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu
bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah
paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah,
dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat
dosa.[4]
d) Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan
pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria. Di samping adanya bibit pengaruh
faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya
pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab
Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini. Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [5]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini. Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [5]
B.
Sejarah
Jabariyah
Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade
(660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya
perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak
mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk
memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin
memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala
negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan
Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.[6]
C.
Awal
Kemunculan Jabariyah
Secara sosiologis, Masyarakat Arab sebelum Islam
kelihatannya dipengaruhi oleh faham Jabariyah. Bangsa Arab yang pada waktu itu
bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup
mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanahnya
yang gundul. Dalam dunia yang demikian mereka tidak banyak melihat jalan untuk
merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka
merasa dirinya lemah dan tak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang
ditimbulkan suasana padang padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada faham
fatalism . Disamping itu, dalam bukunya Ilmu Kalam,Thaib Thahir mengungkapkan
bahwa faham ini disebabkan karena disebabkan kuatnya iman terhadap qudrat
(kuasa) dan iradat (berkehendak) Allah ditambah pula dengan sifat wahdaniyat
(Esa)-nya itulah yang mendorongnya kepada faham jabariyah. [7]
Aliran ini muncul ketika masa Bani Umayyah. Pemimpin pertama
dari aliran jabariyah ini adalah jaham bin sofwan. Karena itu faham ini
kadang-kadang disebut Al-jahamiyah. Meskipun jaham yang banyak berperan dalam
menyebarkan faham ini, tetapi Aliran ini untuk pertama kali dalam sejarah
teologi Islam ditonjolkan oleh al-Jad bin Dirham. Aliran Jabariyah timbul
bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi
dari padanya. Daerah tempat timbulnya pun tidak berjauhan. Aliran jabariyah
timbul di Khurasan Persia sedangkan Qadariyah timbul di Iraq. Jaham lah yang
pertama kali mengatakan bahwa manusia dalam keadaan terpaksa, tidak bebas dan
tidak mempunyai kekuasaan sedikit juapun untuk bertindak dalam mengerjakan
sesuatu. Allah lah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang, apa yang akan
dikerjakannya, baik dikehendaki oleh manusia itu sendiri maupun tidak.[8]
Karena, kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan
mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan
Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i
menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide
itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). [9]
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). [9]
D.
Kelompok
dan Faham Jabariyah
Tampaknya setiap aliran memilki faham yang mereka anut dan
mereka jalankan sesuai dengan keyakinan mereka. Meskipun sebuah aliran sudah
tidak ada, namun faham-faham aliran tersebut masih terus bergulir saling
mempengaruhi dari generasi ke generasi. Meskipun secara jelas aliran jabariyah
ini sudah hampir tidak dijumpai lagi, namun faham-fahamnya masih ada. Sejalan
dengan faham jabariyah ini adalah faham Fatalism. Disamping itu juga ada beberapa
golongan yang memilki pemahaman yang serupa dengan
jabariyah, dan dalam jabariyah itu sendiri terbagi menjadi kelompok.[10]
1.
Kelompok moderat
Faham moderat ini dipelopori dan di bawa oleh al-Husain Ibn
Muhammad al- Najjar. Kata al-Najar, Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan manusia baik perbuatan baik maupun perbuataan jahat. Meski
demikian manusia memilki andil dalam perbuatan-perbuatannya. Tenaga yang
diciptakan-Nya memilki efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah
yang disebut usaha, kasb atau acquition. Senada dengan faham ini adalah
fahamnya Dirar Ibn ‘Amr ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada
hakekatnya diciptakan Tuhan, dan diperoleh (acquired, iktasaba) pada hakekatnya
oleh manusia.[11]
Tokoh yang berpaham seperti ini adalah
Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala
perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh
jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan
indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak. [12]
2.
Kelompok ekstrem
Faham ekstrem ini lah yang dibawa oleh jahm bin
shafwan. Kaum jabariyah ekstrem ini berpendapat bahwa manusia tidak memilki
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini
terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariyah sendiripun diambil dari kata
Jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham
yang memandang bahwa manusia dalam mengerjakan perbuatanya terpaksa (majbur)
dalam istilah Inggris faham ini disebut faham fatalism atau predenstination.
Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar
Allah.
Menurut Jahm manusia tidak memilki kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak memilki kehendak sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan serta tidak memilki pilihan. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya
.هو مجبور في أفعاله لا قدرة له ولااردة ولا اختيار
Perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia berbua bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi atau kiasantak obahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak, maahari terbit dan sebaginya. [13]
Menurut Jahm manusia tidak memilki kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak memilki kehendak sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan serta tidak memilki pilihan. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya
.هو مجبور في أفعاله لا قدرة له ولااردة ولا اختيار
Perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia berbua bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi atau kiasantak obahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak, maahari terbit dan sebaginya. [13]
Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan
atas dirinya termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan seperti menegrjakan
kewajiban, menerima pahala dan menerima siksaan. [14]
Menurut faham ekstrem ini, segala perbuatan manusia tidak
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya. Kalau seorang mencuri, umpamanya, maka perbuatan
mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena
kada dan kadar Tuhan menghendaki yang demikian. Dengan kata kasarnya, ia
mencuri bukanlah kehendaknya sendiri, tetapi Tuhan lah yang memaksa ia mencuri.
Manusia, dalam faham ini hanya merupakan wayang yang digerkan oleh sang dalang.
Sebagaimana manusia digerakan oleh Tuhannya. Tanpa gerak dari Tuhan manusia
tidak bisa berbuat apa-apa.[15]
Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya
adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat
Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya
tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan
melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya
Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan
dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama
al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah. Ja'ad bin Dirham, menjelaskan
tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu
yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat
yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,[16]
melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal. Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak
berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak
dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan
dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah.
Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.[17]
E.
Pemimpin
Penganut Jabariyah
Ø Ja'd
Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di
Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah
El-Qasri.[18]
F.
Penolakan
Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok jabariyah adalah orang-orang
yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama
sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan
melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan
terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan
mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan,
bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu, mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah
kepada takdir. [19]
Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan
dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka
berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Aqidah yang rusak semacam ini membawa
dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan.
Dan penyerahan total [20]kepada
syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena
menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka
mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah
ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk
melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir. Keyakinan semacam ini
telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang
dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua
itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang
ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya.
Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum.
Kejahatan merupakan takdir yang pasti akan
terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan
kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah
ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah. Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah
menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan
terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak
bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan
dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya.[21]
G.
Ciri-Ciri
Ajaran Jabariyah
Diantara
ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1.
Bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau
baik semata Allah semata yang menentukannya.
2.
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu
apapun sebelum terjadi.
3.
Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4.
Iman cukup dalam hati saja tanpa
harus dilafadhkan.
5.
Bahwa Allah tidak mempunyai sifat
yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.
Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan
hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah
Allah semata.
7.
Bahwa Allah tidak dapat dilihat di
surga oleh penduduk surga.
H.
Qadha dan
Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah
Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan
segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak
Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah
perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah
mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak
diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa
aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang disetir oleh remote
kontrol. [23]
I.
Refleksi
Faham Jabariyah
Sebuah Perbandingan tentang Musibah Dalam
paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas
yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Pada perkembangan selanjutnya, paham
Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam
dan. Paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli
(agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan
hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri
kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. [24]
Paham ini dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa
dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang.
Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan
itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Paham teologi Islam tersebut membawa
efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat
kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh
Allah.
Dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan. Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa.[25]
Dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan. Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa.[25]
firman Allah dalam surat Thaha ayat 50 (اعطى كلا شيئ خاقه ثم هدى)
J.
SAKTE-SAKTE
DALAM ALJABARIYAH
Menurut
Syahrastani, terdapat tiga golongan dalam Jabariyah, yaitu :
1. Jahmiyah
1. Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan,
salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah.
Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha
Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang
dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena
penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan
makhluk-Nya.
2. Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar
(w. 230 H / 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak
terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. [26]
[2] Asmuni, yusran. Pengantar
kebudayaan islam dan pemikiran(Jakarta: Raja grasindo persada, 1996). Hlm 19-36
[3] Nasution harun, teologi
islam: Aliran-aliran sejarah analisis perbandingan(jakarta: III-press, 1986)
cet ke-5. Hlm 32-35
[4] Nasution harun, teologi
islam: Aliran-aliran sejarah analisis perbandingan(jakarta: III-press, 1986)
cet ke-5. Hlm 35-38
[5] Nasution harun, teologi
islam: Aliran-aliran sejarah analisis perbandingan(jakarta: III-press, 1986)
cet ke-5. Hlm 38-40
[7] Nasution harun, teologi
islam: Aliran-aliran sejarah analisis perbandingan(jakarta: III-press, 1986)
cet ke-5. Hlm 45-50
[10] Nata, abudin, ilmu kalam filsafat
dan tasawuf (jakarta: raja grapindo persada, 1998). Hlm 48-53
[18] Asmuni, yusran pengantar
studi islam dan sejarah kebudayaan islam dan pemikiran, (jakarta: raja grasindo
persada, 19960). Hlm 70
[24] Nasution, harun. Teologi
islam: aliran-aliran sejarah analisis perbandingan (jakarta: III-press,1996).
Hlm 100
[25] Nasution, harun. Teologi
islam: aliran-aliran sejarah analisis perbandingan (jakarta: III-press,1996).
Hlm 105
[26] Nasution, harun. Teologi
islam: aliran-aliran sejarah analisis perbandingan (jakarta: III-press,1996).
Hlm 108
No comments:
Post a Comment