MAKALAH HADIS SYASAH PEMIMPIN YANG KOMPETEN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemimpin
Pengertian Kepemimpinan kata dasarnya adalah pemimpin yang berarti:
orang yang memimpin, petunjuk, buku petunjuk atau pedoman.
Sedangkan dalam istilah Islam pemimpin dikonotasikan dengan kata
khalifah, amir atau imamah. Khalifah adalah pengganti yaitu seseorang yang
menggantikan tempat orang lain yang lain dalam beberapa persoalan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata khalifah yang berarti
pengganti telah berkembang menjadi " titel atau gelaran bagi pemimpin
tertinggi masyarakat Muslim sebagai gelar yang berlabel agama". Imamah
berarti yang menjadi pemimpin, yang menjadi suri teladan atau contoh yang harus
diikuti atau yang mendahului dan Amir mempunyai arti pemimpin ( Qaid Zaim ) dan
dalam kamus Inggris diartikan dengan orang yang memerintah, komandan, kepala
dan raja.
Sedangkan menurut AI-Taftazani yang telah dikutip oleh Dhiauddin
Rais, dalam bukunya yang berjudul " Teori Politik Islam ", keimamahan
didefenisikan sebagai kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama. Sebagai
khalifah atau wakil dari Nabi saw.5 ta'rif dan defenisi tersebut tidak jauh
berbeda dengan defenisi yang disampaikan oleh Al-Mawardi, dia juga menghimpun
urusan agama dan duniawi pada kata kepemimpinan dapat saja dipahami apa yang
tidak dipahami dari kata keimamahan yang memiliki makna sederhana yang tidak
menunjukkan selain pada tugas memberi petunjuk dan bimbingan.kemudian Sulthan
yang berakar dari hurup sin-lam dan tha bermakna kekuatan dan paksaan yang
berkenaan dengan kekuasaan meliter. Keimamahan negara yang berasal dari imam
ini dibagi menjadi 4 ( empat ) bagian yaitu :
1.
Kepemimpinan
yang mempunyai kekuasaan umum dan bekerja pada bidang umum. Mereka dimaknai
dengan sebutan menteri. Mereka menerima kekuasaan untuk mengerjakan tugas-tugas
yang tidak ditentukan bentuknya
2. Yang mempunyai kekuasaan umum dan bekerja di daerah - daerah
khusus, mereka dinamai dengan nama gubernur daerah. Mereka berwenang dalam
semua urusan yang ada di daerahnya yang menjadi tanggung - jawabnya.
3. Yang mempunyai kekuasaan khusus dan bekerja pada bidang regional
yang umum seperti Qadhi, komandan militer, kejaksaan, pengatur perpajakan,
pembagi sedekah.
4. Yang mempunyai kekuasaan khusus dan bekerja pada bidang khusus
seperti Qadhi daerah, komandan militer daerah, kejaksaan daerah, pengatur
perpajakan daerah, pembagi sedekah daerah.
B. Urgensi Kepemimpinan
Menurut para pemikir muslim, keberadaan pemimpin
adalah sebuah keharusan (wajib/fardhu), (Kewajiban itu didasarkan pada ijma’ (consensus) para sahabat dan tabi’in
(para cende-kiawan setelah masa sahabat). Namun para pemikir muslim berbeda pendapat tentang sumber argumentasi
kewajiban itu. Sebagian berpendapat, kewajiban
adanya kepemimpinan di dasarkan pada argumentasi rasional (aqli) belaka, bukan bersumber dari syariat. Sementara sebagian
lainnya meng-anggap kewajiban itu berasal dari ketentuan syariat (agama)
(al-Mawardi, 2006: 5). Ibn Khaldun menjelaskan, kelompok pertama (aqli),
berpen-dapat bahwa yang membuat jabatan itu wajib menurut rasio adalah
kebutuhan manusia pada organisasi dan ketidakmung-kinan mereka hidup secara
sendiri-sendiri. Salah satu akibat logis dari adanya organisasi (masyarakat)
adalah munculnya silang pendapat dan tanazu’ (perselisihan). Selama tidak ada
penguasa/pemimpin yang bisa mengendalikan silang pendapat itu, maka selama itu
pula akan selalu timbul keributan dan kekacauan, yang selanjutnya akan
mengakibatkan hancur dan musnahnya umat manusia.
Namun pendapat ini disanggah oleh Ibn Khaldun.
Menurut-nya, ada silang pendapat dan tanazu’ (perselisihan) tidak mesti
dihilangkan dengan kepemimpinan. Keduanya bisa dihilangkan dengan banyak cara,
seperti adanya pemimpin selain juga dengan ikhtiar pada masyarakat untuk
menghindari perselisihan dan perilaku dhalim, atau juga dengan adanya syariat.
Dengan demikian, Ibn Khaldun menegaskan bahwa kewajiban mendiri-kan
kepemimpinan bersumber dari syariat melalui ijma’ (Ibn Khaldun).
Lebih jauh dijelaskan, keberadaan kepemimpinan (al-mulk,
kerajaan, raja, penguasa) muncul dari keharusan umat manusia untuk hidup
bermasyarakat dan dari penaklukan serta paksaan yang merupakan sisa-sisa sifat
amarah dan kebinatangan ma-nusia. Namun sebagian penguasa berlaku menyimpang
dengan memberi beban yang keterlaluan kepada rakyatnya demi kepen-tingan
pribadi. Akibatnya, peraturan-peraturan yang dibuat oleh sang penguasa
seringkali tidak ditaati oleh rakyat. Karena itu, diperlukan peraturan (hukum)
yang bisa diterima dan ditaati rakyat sebagaimana yang terjadi pada bangsa
Persia dan bangsa-bangsa lain. Tidak ada suatu negara pun dapat tegak dan kuat
tanpa hukum demikian. Apabila peraturan itu dibuat oleh cendekiawan dan para
elite bangsa, maka pemerintahan itu disebut sebagai negara berdasar atas rasio (aql).
Namun bila peraturan itu bersumber dari ketentuan
Allah melalui rasul-Nya, maka peme-rintahan itu disebut berdasar atas agama
(syariat). Pemerin-tahan berdasar agama ini sangat bermanfaat bagi kehidupan
duniawi dan ukhrawi bangsa itu. Pada aras ini, Ibn Taymiyah memandang
keberadaan pemerintahan atau kepemimpinan (wilayah umur al-nass, otoritas yang
mengelola kepentingan bersama) merupakan sebagian dari kewajiban-kewajiban
agama yang terpenting (a’dham). Hal itu karena kemaslahahan umat manusia tidak
akan sempurna dan agama tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan. Sebegitu
pentingnya kepemim-Kepemimpinan dalam Politik Islam pinan, sehingga Rasulullah
Saw mewajibkan tiga orang yang sedang bepergian untuk memilih salah satunya
sebagai pemim-pin. Selain itu, keberadaan pemimpin juga untuk menegakkan
kebenaran dan menghapuskan kemungkaran (amr ma’ruf nahi munkar). Maka Ibn
Taymiyah menegaskan bahwa pemimpin merupakan bayangan Tuhan di muka bumi (dhillu
Allah fi al-ard) (Salabi, 1984: 30-31). Kewajiban adanya kepemimpinan
didasarkan pada beberapa argumentasi berikut ini: pertama, firman Allah dalam
surat al-Nisa’: 59 dan 83 tentang ketaatan pada ulil amri. Kedua, hadis Rasulullah
yang menyatakan, “Barangsiapa mati dalam keadaan belum berbaiat, maka dia mati
dalam keadaan jahiliyah”. Hadis kedua adalah, “Jika tiga orang di antara kalian
bepergian, maka hendaklah salah satunya dipilih sebagai pemimpin” serta hadis
ketiga, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh dan pa-ling dekat
tempat duduknya dengan Allah pada hari kiamat adalah imam (pemimpin) yang adi.”
Ketiga, perkataan para salaf al-salih, antara lain:
1) perkataan
Abu Bakar saat wafatnya Rasul, “Sesungguhnya Muhammad telah melalui jalannya,
dan agama ini tetap harus ada yang mendirikannya (menjaganya)” dan
2) perkataan
Umar bin Khattab: “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah (komu-nitas), tidak
ada jamaah (komunitas) kecuali dengan imarah (kepemimpinan), dan tidak ada
kepemimpinan kecuali dengan ketaatan” (Salabi, 1984: 29). Meski adanya
kepemimpin meru-pakan kewajiban syar’i berdasar ijma’, namun kewajiban itu bersifat
kifayah (fardh kifayah) seperti halnya kewajiban berji-had dan menuntut ilmu.
Artinya, apabila ada ahli yang telah mendirikannya, maka gugurlah kewajiban
seluruh masyarakat
kesejahteraan rakyat
adalah tanggung jawab seorang pemimpin
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah
saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban
atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban
perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga
yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan
ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja
rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya
dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta
pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam
hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun
jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab
atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang
majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab
kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab
kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan
tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas
lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang
dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah
lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak
yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan
kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi
makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang
penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi
cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan
binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang.
Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan
tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus
mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang
disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain,
seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya
sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan
demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung
jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya
tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak
dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya.
Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga)
di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa
dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah
presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja,
namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan
menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah
bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan
dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya
berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan
sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab
pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
C. Tujuan Kepemimpinan
Dalam sejarah peradaban Islam, kepemimpinan memiliki
beberapa sebutan. Yaitu: khilafah (subyeknya disebut khalifah), imamah
(subyeknya disebut imam), dan sultan. Sebutan “imam” dikaitkan dengan imam
shalat yang diikuti dan ditaati tingkah laku dan perbuatannya. Karena itulah, imamah
dalam konteks kemasyarakatan biasa disebut dengan “imamah kubra” (kepe-mimpinan
besar). Penamaan “khilafah” disebabkan oleh kenyata-an bahwa para penguasa
muslim adalah mereka yang melan-jutkan tugas nabi Muhammad Saw terhadap umatnya.
Mereka biasa disebut sebagai “khalifah Rasulullah” atau “khalifah” saja.
Sementara sebutan “sultan” diberikan oleh umat kepada mereka yang diangkat dan
dibaiat sebagai penguasa (Ibn Khaldun,).
Meski memiliki sebutan berbeda-beda namun kesemuanya
itu memiliki dua tujuan utama: menjaga agama dan mengelola kehidupan duniawi.
Dengan kemampuannya sebagai pemimpin agama, seorang pemimpin wajib menyampaikan
kewajiban sya-riat kepada umat manusia dan berusaha memobilisasikan mereka
untuk melaksanakannya. Sebagai pemimpin duniawi, pemimpin wajib mengurusi
kepentingan umum umat manusia dengan segala kemampuannya (Ibn Khaldun).Lebih
jelasnya, Ibn Taymiyah memaparkan, kepemimpinan memiliki dua tujuan: pertama,
mewujudkan kemaslahatan dalam bidang spiritual (keagamaan) maupun dalam bidang
sosial-ekonomi. Kemaslahatan di bidang spiritual-keagamaan dilaku-kan dengan
memperbaiki cara hidup beragama umat manusia (ishlah al-ddin al-nass). Pengabaian
pada tujuan ini dapat menimbulkan kerugian dan kesia-siaan di dunia dan
akhirat. Sedangkan kemaslahatan sosial-ekonomi dicapai dengan cara:
1) mengelola
keuangan negara untuk kesejahteraan rakyat
2) menjamin
ketenteraman melalui upaya penegakan syariat Islam
Pemimpin
harus bersikap adil
Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan
tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh allah nanti
pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter
orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam
karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi
tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka
kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang
peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui
keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin
menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya yang berbuat
salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa
dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
D. Prinsip-prinsip Kepemimpinan
Agar kemaslahatan yang menjadi tujuan utama
kepemim-pinan dapat terwujud, para pemikir muslim memberikan pan-duan pada
setiap pemimpin dalam menjalankan kepemim-pinannya. Ibn Taymiyah memberikan
prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan kekuasaan politik. Tiga prinsip tersebut
adalah: 1) amanat, 2) keadilan, 3) musyawarah (syura). Prinsip ketiga
didasarkan pada QS Ali Imran ayat 159 dan Assyura ayat 38 yaitu, Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun Bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan it”, dan
ayat yang lain, “(Bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Baghdadi.
2006. Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah.
Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Qaradhawy, Yusuf. 1999. Fiqh Prioritas. terj Bahruddin
F. Jakarta: Rabbani Press.
An-Nabhani,
Taqiyyudin. 1997. Sistem Pemerintahan Islam. terj. Moh Maghfur
Wachid.
Bangil: Al-Izzah.
(PDF) KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN POLITIK ISLAM. Available from: https://www.researchgate.net/publication/324865518_KEPEMIMPINAN_DALAM_PERSPEKTIF_PEMIKIRAN_POLITIK_ISLAM [accessed Nov 14 2018].
No comments:
Post a Comment