MAKALAH ISTIMBAT KAIDAH SYAR’IAH DAN LUGHAWIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi kemaslahatan hidup manusia,
baik secara individual maupun sosial. Syari'at dan hukum merupakan bagian dari
bentuk petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al-Qur'an. Firman Allah
SWT:"Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawakebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allahwahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), Karena (membela)
orang-orang yang khianat" (QS. Annisa': 105).
Untuk mengambil petunjuk hukum dari Al-Qur'an diperlukan pemahaman yang
benar terhadap makna dan pesan yang dikandung ayat. Oleh karena itu, seseorang
yang ingin mengambil istinbath hukum dari Al-Qur'an dituntut untuk memenuhi
beberapa persyaratan dan memakai metode dan kaedah yang tepat dan benar.
B.
Rumusan Masalah
Dengan uraian
latar belakang diatas penulis ingin menyajikan makalah yang berkisar tentang :
a.
Pengertian istimbat, kaidah syar’iah dan kaidah lughawiyah
b.
Contoh istimbat pada kajian muamalah
C.
Tujuan
Tujuan penulis
dalam menyusun makalah ini adalah untuk menambah wawasan kita tentang apa itu istimbat, kaidah syar’iah dan kaidah
lughawiyah. Disini penulis akan menjelaskan persoalan tersebut sesuai dengan
kemampuan penulis yang terkait dengan istimbat pada kajian muamalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian istinbat
Istinbat (الإستنباط) adalah daya usaha
membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-Quran atau Sunnah
yang sedia ada. Menurut ushul ilmu fiqih kata istinbath identik dengan kata
ijtihad. istinbath berasal dari kata "nabth" (air yg mula-mula
memancar keluar dari sumur yg di gali). dengan demikian menurut bahasa arti
istinbath adalah mengeluarkan sesuatu daripersembunyiannya. [1]
sedangkan arti istinbath menurut
istilah adalah menggali hukum syara' yg belum ditegaskan secara langsung oleh
nash al-quran atau sunnah dengan tetap berada di atas kendali al-quran dan
al-hadits itu sendiri.
Istanbatha yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau
menarik kesimpulan.
Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan
atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum
guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
Pengertian istinbath hukum sering
juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan sebagai dalil hukum.
Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Secara bahasa, kata dalil berarti
petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat dirasa, baik
petunjuk yang baik maupun buruk. Menurut ahli ushul fikih dalil adalah sesuatu
yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum syari’ah yang
bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau zhanni.
Dalam ushul fikih ada beberapa lafal
yang mempunyai arti yang sama yaitu dalil al-hakam, ushul al-hakam, al-mashadir
al-tasyri’iyyah li al-hakam. Lafal-lafal ini mempunyai arti yang sama, yaitu
sumber hukum.
Tujuan istinbath hukum adalah
menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan
kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat
memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum
yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui
perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu.
Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang
mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang
terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih.
B. Kaidah syar’iah
Kaidah Syar'iyyah adalah hukum syar'iyyah yang diistinbathkan dari
dalil syara' yang terperinci. Kaidah syara' berbeda dengan dalil syara'. Dalil
syara' adalah al-kitab, sunnah, ijma' shahabat, dan qiyas. Dari kaidah
syar'iyah diperoleh hukum syara' yang bersifat juz-'iyyah. Akan tetapi, baik
kaidah syar'iyah maupun hukum syara' harus selalu disandarkan kepada sumber
tasyri'iyyah yang diakui (dalil). [2]
Dengan demikian, sebuah kaedah tidak dianggap
sebagai kaidah syara' kecuali shahih istinbathnya, serta rinci susunannya.
Misalnya, kaidah "Al-wasiilat ila all-haraam muharramah" (wasilah
menuju keharaman adalah diharamkan), atau kaidah "Kullu syai' mu'ayyan
yuaddiy ila al-dlarar al-muhaqqaq fa huwa haraam" (segala sesuatu yang
mengantarkan kepada bahaya secara pasti (muhaqaq) adalah haram). Ini adalah
kaidah syar'iyyah. Dari kaidah-kaidah ini dibangun hukum-hukum syara' yang
bersifat juz'i (parsial) yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara'. Untuk
memahami kaidah dan manath (sandaran hukum)-nya, terlebih dahulu harus dibahas
dalil atau penunjukkan yang digunakan sebagai sandaran proses istinbath kaidah
tersebut. Kaidah "Al-ashl fi al-asyya' ibaahah" (Asal dari segala
sesuatu adalah mubah), tanpa merujuk kepada dalilnya, kemungkinan akan dipahami
bahwa asal dari urusan atau perbuatan manusia adalah mubah, dan seluruh
perbuatan yang tidak disebutkan dalilnya adalah mubah. Padahal hal ini jelas
bertentangan dengan hukum syara' dan tidak sesuai dengan maksud kaidah ini.
Sebab, dalil dari kaedah ini hanya berhubungan dengan benda, bukan perbuatan
manusia. Allah swt berfirman :
"Dialah Allah, yang menciptakan bagi apa-apa yang ada di permukaan
bumi seluruhnya" (QS Al-Baqarah : 29)
"Telah dihamparkan (diberikan) bagi kamu apa-apa yang ada di langit
dan di muka bumi" (QS Luqman : 20)
Walhasil, manath (sandaran hukum) kaidah
ini adalah benda, bukan perbuatan. Langit, bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya,
yakni laut, sungai, barang tambang, tumbuhan, hewan dan sebagainya telah
diciptakan al-Khaliq untuk kita. Kesemuanya adalah mubah, kecuali yang
diharamkan oleh Allah (al-syaari' al-haakim). Atas dasar itu lahirlah kaedah :
"Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah ma lam
yarid dalil al-tahriim" (Asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil
yang mengharamkan)
Kaidah syar'iyyah biasanya bersifat umum dan
mengandung lafadz-lafadz umum atau kulliyah (menyeluruh)
C. Al-Qawaid Al-Lughawiyyah
al-Qawaid al-Lughawiyyah berasal dari dua suku
kata: pertama al-qawaid/qa’idat[1]
merupakan jama’nya lafadz al-qa’idah yang artinya alas bangunan, aturan,
undang-undang. Kedua al-lughawiyyah merupakan bentuk nisbat dari lafadz lughatun
yang artinya bahasa. penambahan ya’ nisbah
berfungsi untuk me-nisbat-kan kata qaidah kepada kata lughot yang bertujuan
untuk membedakannya dengan qaidah-qaidah lain seperti qawaid ushuliyyah dan
qawaid al-fiqhiyyah. Sehingga makna dari qawaid lughawiyyah berarti
qaidah-qaidah atau dasar-dasar bahasa.[3]
Yang dimaksud qaidah lughawiyyah
adalah qaidah yang dirumuskan oleh para ulama’ berkaitan dengan maksud dan
tujuan ungkapan-ugkapan bahasa arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu
sendiri, baik yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastra, seperti syair,
prodsa, dan lain sebagainya. Artinya,
nash-nash al-Qur’an dan Hadis adalah bahasa arab. Untuk memahami hukum-hukum
yang terkandung di kedua nash tersebut secara sempurna dan benar para ulama’
merasa perlu untuk memperhatikan dan melakukan penelitian tentang uslub-uslub
(gaya bahasa) arab tersebut serta meneliti cara penunjukkan lafadz nash yang
memakai bahasa arab kapada arti yang ditujunya.
Para ulama’ ushul bekerja keras membuat
qaidah-qaidah yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali
hukum-hukum taklify dari nash-nash itu sendiri. Dalam membuat qaidah itu para ulama’ berpedoman pada dua hal
sebagai berikut:
Pertama: al-Madlulat al-Lughawiyyah
(pengertian konotasi kebahasaan , dan al-Fahmu al-Araby (pemahaman yang
berdasarkan pada cita rasa bahasa arab terhadap nash-nash hukum dalam kaitanya
dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua: pedoman (metode) yang dipakai nabi SAW
dalam menjelaskan hukum-hukum al-qur’an, dan himpunan hukum-hukum nash yang
telah mendapat penjelasan dari sunnah. dengan adanya tambahan keterangan dari
sunnah, lafadz-lafadz nash menjadi jelas pengertianya dan masuk ke dalam
lingkup hukum syara’ yang mempunyai kepastian hukum.
Denga berpedoman pada dua hal
tersebut para ulama’ ushul menguraikan
metode tafsir fiqhy yang dpat dipakai
untuk menggali hokum-hukum taklify yang
terkandung dalam nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Mereka membuat qaidah yang
digunakan untuk mengetahui metode istinbath hukum dan mampu mengkompromikan diantaara nas-nash
yang dari segi lahiriyyah-nya Nampak saling bertentangan. Serta mampu
men-takwil-kan nash-nash yang secara lahiriyyah-nya tidak sejalan dengan
ketentuan hukum agama yang pasti serta terhindar dari kesalahan dalam istinbat
hukum dan dengan qaidah-qaidah itu pula
ia akan mampu menangkap tujuan-tujuan syari’ah islamiyyah dari nash-nash
yang dipandang sebagai sumber pokok (asl) yang pertama dan utama, Qawaid
al-lughawiyyah merupakan qaidah yang digunakan sebagai cara untuk memperoleh
hukum dengan cara lebih mempertimbangkan aspek maqashid asy-syari’ah-nya.[4]
Ulama’-ulama’ fiqih dalam berijtihad
senantiasa memperhatikan qaidah-qaiadah
kulliyyah yang tidak kurang nilainya dalam prinsip undang-undang internasional,
walaupun nama dan istilahnya berlainan. Qaidah-qaidah itu semuanya berkisar
sekitar memelihara jiwa islam dalam menetapkan hukum dan mewujudkan hukum
keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengna memelihara keadaan-keadaan
dlarurat.
Oleh karena pentingnya qaidah-qaidah itu dan
besar manfaatnya serta mendalam pengaruhnya dalam memberi petunjuk kepada
hukum-hukum furu’ bila kita memerlukan hujjah dan dalil serta meng-istinbat-kan
hikmah, para fuqaha dari segala madzhab memperhatikan sungguh-sungguh qaidah
itu, lalu mereka menyusun berbagai kitab yang menjadi suatu bendaharaan yang
berharga untuk kita.
D. Contoh
istinbat pada kajian mumalah
Akan tetapi lebih khusunya kata fiqhun berarti فَهْمٌ عَمِيْقٌ (pemahaman yang mendalam) yang menghendaki
pengerahan potensi akal. Sedangkan definisi atau batasan fiqih menurut istilah
para fuqaha ada beberapa pandangan yang diantaranya; pertama, fiqih adalah
pengetahuan (upaya mengetahui) norma hukum syar’i yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Kedua, fiqih adalah koleksi hukum-hukum perbuatan yang
disyari’atkan dalam Islam.[5]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fiqih merupakan salah
satu bidang keilmuan yang secara khusus membahas persoalan aturan atau
hukum perbuatan manusia yang
disyari’atkan dalam Islam, baik yang menyangkut individu, masayarakat, maupun
hubungan manusia dengan Allah SWT.
Dari segi bahasa, "muamalah" berasal dari kata aamala,
yuamilu, muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain,
hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus
mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan
pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari
satu terhadap yang lainnya. Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat
diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di
bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamalah; Menurut Louis Ma’luf,
pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan
dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah
peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti
perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi,
peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun
khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan
terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di
antara mereka.
Selanjutnya muamalah merupakan salah satu bagian dari ruang lingkup
fiqih itu sendiri, dimana sering disebut dengan fiqih muamalah. Para ulama
membagi fiqih sesuai ruang lingkup bahasan menjadi dua bagian besar, yaitu;
fiqih ibadah dan fiqih muamalah.
Adapun pengertian dari masing-masing bagian fiqih tersebut yaitu:
a. Fiqih ibadah:
norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya
(vertical).
b. Fiqih Muamalah:
norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dan
lingkungannya (horizontal).
Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqih muamalah yaitu norma-norma
ajaran agama Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dan
lingkungannya yang berkaitan dengan urusan dunia, seperti jual beli,
perdagangan, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istinbath adalah menggali
hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an
atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat
umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum
yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung
pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik
analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa
makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu
pernyataan, dan analisa relevansi makna.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalah ini, tentunya banya kekurangan dan kelemahan karena
terbatasnya pengetahuan dan sumber rujukan atau referensi yang kami peroleh.
Penulis berharap kepada para pembaca yang akan memberikan kritikan dan saran
yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya pada penulis. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Haidar
dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota
IKAPI
Effendi Satria.
2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Haq Hamka,
1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam
Rusli Nasrun.
1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan
[1] [1]Haidar
Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota
IKAPI, 1996), hlm.25
[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hlm. 110-118
[3] Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam,
1998) hlm. 203.
[4] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.
205
[5] Ibid, 187
No comments:
Post a Comment