1

loading...

Friday, November 2, 2018

MAKALAH ISTIMBAT KAIDAH SYAR’IAH DAN LUGHAWIYAH

MAKALAH ISTIMBAT KAIDAH SYAR’IAH DAN LUGHAWIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi kemaslahatan hidup manusia, baik secara individual maupun sosial. Syari'at dan hukum merupakan bagian dari bentuk petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al-Qur'an. Firman Allah SWT:"Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawakebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allahwahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak  bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat" (QS. Annisa': 105).
Untuk mengambil petunjuk hukum dari Al-Qur'an diperlukan pemahaman yang benar terhadap makna dan pesan yang dikandung ayat. Oleh karena itu, seseorang yang ingin mengambil istinbath hukum dari Al-Qur'an dituntut untuk memenuhi beberapa persyaratan dan memakai metode dan kaedah yang tepat  dan benar.

B.  Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang diatas penulis ingin menyajikan makalah yang berkisar tentang :
a.    Pengertian istimbat, kaidah syar’iah dan kaidah lughawiyah
b.    Contoh istimbat pada kajian muamalah

C.  Tujuan
Tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk menambah wawasan kita tentang  apa itu istimbat, kaidah syar’iah dan kaidah lughawiyah. Disini penulis akan menjelaskan persoalan tersebut sesuai dengan kemampuan penulis yang terkait dengan istimbat pada kajian muamalah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian  istinbat

Istinbat (الإستنباط) adalah daya usaha membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-Quran atau Sunnah yang sedia ada. Menurut ushul ilmu fiqih kata istinbath identik dengan kata ijtihad. istinbath berasal dari kata "nabth" (air yg mula-mula memancar keluar dari sumur yg di gali). dengan demikian menurut bahasa arti istinbath adalah mengeluarkan sesuatu daripersembunyiannya. [1]
sedangkan arti istinbath menurut istilah adalah menggali hukum syara' yg belum ditegaskan secara langsung oleh nash al-quran atau sunnah dengan tetap berada di atas kendali al-quran dan al-hadits itu sendiri.
Istanbatha  yang berarti  menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan.
Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
Pengertian istinbath hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Secara bahasa, kata dalil berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat dirasa, baik petunjuk yang baik maupun buruk. Menurut ahli ushul fikih dalil adalah sesuatu yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum syari’ah yang bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau zhanni.
Dalam ushul fikih ada beberapa lafal yang mempunyai arti yang sama yaitu dalil al-hakam, ushul al-hakam, al-mashadir al-tasyri’iyyah li al-hakam. Lafal-lafal ini mempunyai arti yang sama, yaitu sumber hukum.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih.

B. Kaidah syar’iah
            Kaidah Syar'iyyah adalah hukum syar'iyyah yang diistinbathkan dari dalil syara' yang terperinci. Kaidah syara' berbeda dengan dalil syara'. Dalil syara' adalah al-kitab, sunnah, ijma' shahabat, dan qiyas. Dari kaidah syar'iyah diperoleh hukum syara' yang bersifat juz-'iyyah. Akan tetapi, baik kaidah syar'iyah maupun hukum syara' harus selalu disandarkan kepada sumber tasyri'iyyah yang diakui (dalil). [2]
 Dengan demikian, sebuah kaedah tidak dianggap sebagai kaidah syara' kecuali shahih istinbathnya, serta rinci susunannya. Misalnya, kaidah "Al-wasiilat ila all-haraam muharramah" (wasilah menuju keharaman adalah diharamkan), atau kaidah "Kullu syai' mu'ayyan yuaddiy ila al-dlarar al-muhaqqaq fa huwa haraam" (segala sesuatu yang mengantarkan kepada bahaya secara pasti (muhaqaq) adalah haram). Ini adalah kaidah syar'iyyah. Dari kaidah-kaidah ini dibangun hukum-hukum syara' yang bersifat juz'i (parsial) yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara'. Untuk memahami kaidah dan manath (sandaran hukum)-nya, terlebih dahulu harus dibahas dalil atau penunjukkan yang digunakan sebagai sandaran proses istinbath kaidah tersebut. Kaidah "Al-ashl fi al-asyya' ibaahah" (Asal dari segala sesuatu adalah mubah), tanpa merujuk kepada dalilnya, kemungkinan akan dipahami bahwa asal dari urusan atau perbuatan manusia adalah mubah, dan seluruh perbuatan yang tidak disebutkan dalilnya adalah mubah. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan hukum syara' dan tidak sesuai dengan maksud kaidah ini. Sebab, dalil dari kaedah ini hanya berhubungan dengan benda, bukan perbuatan manusia. Allah swt berfirman :

    "Dialah Allah, yang menciptakan bagi apa-apa yang ada di permukaan bumi seluruhnya" (QS Al-Baqarah : 29)

    "Telah dihamparkan (diberikan) bagi kamu apa-apa yang ada di langit dan di muka bumi" (QS Luqman : 20)

    Walhasil, manath (sandaran hukum) kaidah ini adalah benda, bukan perbuatan. Langit, bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, yakni laut, sungai, barang tambang, tumbuhan, hewan dan sebagainya telah diciptakan al-Khaliq untuk kita. Kesemuanya adalah mubah, kecuali yang diharamkan oleh Allah (al-syaari' al-haakim). Atas dasar itu lahirlah kaedah :
  "Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah ma lam yarid dalil al-tahriim" (Asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan)
  Kaidah syar'iyyah biasanya bersifat umum dan mengandung lafadz-lafadz umum atau kulliyah (menyeluruh)

C. Al-Qawaid Al-Lughawiyyah
 al-Qawaid al-Lughawiyyah berasal dari dua suku kata: pertama al-qawaid/qa’idat[1]  merupakan jama’nya lafadz al-qa’idah yang artinya alas bangunan, aturan, undang-undang. Kedua al-lughawiyyah merupakan bentuk nisbat dari lafadz lughatun yang artinya  bahasa. penambahan ya’ nisbah berfungsi untuk me-nisbat-kan kata qaidah kepada kata lughot yang bertujuan untuk membedakannya dengan qaidah-qaidah lain seperti qawaid ushuliyyah dan qawaid al-fiqhiyyah. Sehingga makna dari qawaid lughawiyyah berarti qaidah-qaidah atau dasar-dasar bahasa.[3]
Yang dimaksud qaidah lughawiyyah adalah qaidah yang dirumuskan oleh para ulama’ berkaitan dengan maksud dan tujuan ungkapan-ugkapan bahasa arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu sendiri, baik yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastra, seperti syair, prodsa, dan lain sebagainya. Artinya, nash-nash al-Qur’an dan Hadis adalah bahasa arab. Untuk memahami hukum-hukum yang terkandung di kedua nash tersebut secara sempurna dan benar para ulama’ merasa perlu untuk memperhatikan dan melakukan penelitian tentang uslub-uslub (gaya bahasa) arab tersebut serta meneliti cara penunjukkan lafadz nash yang memakai bahasa arab kapada arti yang ditujunya.
Para ulama’ ushul bekerja keras membuat qaidah-qaidah yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash itu sendiri. Dalam membuat qaidah itu para ulama’ berpedoman pada dua hal sebagai berikut:
Pertama: al-Madlulat al-Lughawiyyah (pengertian konotasi kebahasaan , dan al-Fahmu al-Araby (pemahaman yang berdasarkan pada cita rasa bahasa arab terhadap nash-nash hukum dalam kaitanya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
 Kedua: pedoman (metode) yang dipakai nabi SAW dalam menjelaskan hukum-hukum al-qur’an, dan himpunan hukum-hukum nash yang telah mendapat penjelasan dari sunnah. dengan adanya tambahan keterangan dari sunnah, lafadz-lafadz nash menjadi jelas pengertianya dan masuk ke dalam lingkup hukum syara’ yang mempunyai kepastian hukum.
Denga berpedoman pada dua hal tersebut  para ulama’ ushul menguraikan metode tafsir fiqhy  yang dpat dipakai untuk menggali hokum-hukum  taklify yang terkandung dalam nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Mereka membuat qaidah yang digunakan untuk mengetahui metode istinbath hukum  dan mampu mengkompromikan diantaara nas-nash yang dari segi lahiriyyah-nya Nampak saling bertentangan. Serta mampu men-takwil-kan nash-nash yang secara lahiriyyah-nya tidak sejalan dengan ketentuan hukum agama yang pasti serta terhindar dari kesalahan dalam istinbat hukum dan dengan qaidah-qaidah itu pula  ia akan mampu menangkap tujuan-tujuan syari’ah islamiyyah dari nash-nash yang dipandang sebagai sumber pokok (asl) yang pertama dan utama, Qawaid al-lughawiyyah merupakan qaidah yang digunakan sebagai cara untuk memperoleh hukum dengan cara lebih mempertimbangkan aspek maqashid asy-syari’ah-nya.[4]
Ulama’-ulama’ fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan  qaidah-qaiadah kulliyyah yang tidak kurang nilainya dalam prinsip undang-undang internasional, walaupun nama dan istilahnya berlainan. Qaidah-qaidah itu semuanya berkisar sekitar memelihara jiwa islam dalam menetapkan hukum dan mewujudkan hukum keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengna memelihara keadaan-keadaan dlarurat.
Oleh karena pentingnya qaidah-qaidah itu dan besar manfaatnya serta mendalam pengaruhnya dalam memberi petunjuk kepada hukum-hukum furu’ bila kita memerlukan hujjah dan dalil serta meng-istinbat-kan hikmah, para fuqaha dari segala madzhab memperhatikan sungguh-sungguh qaidah itu, lalu mereka menyusun berbagai kitab yang menjadi suatu bendaharaan yang berharga untuk kita.
D. Contoh istinbat pada kajian mumalah
Akan tetapi lebih khusunya kata fiqhun berarti  فَهْمٌ عَمِيْقٌ (pemahaman yang mendalam) yang menghendaki pengerahan potensi akal. Sedangkan definisi atau batasan fiqih menurut istilah para fuqaha ada beberapa pandangan yang diantaranya; pertama, fiqih adalah pengetahuan (upaya mengetahui) norma hukum syar’i yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Kedua, fiqih adalah koleksi hukum-hukum perbuatan yang disyari’atkan dalam Islam.[5]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fiqih merupakan salah satu bidang keilmuan yang secara khusus membahas persoalan aturan atau hukum  perbuatan manusia yang disyari’atkan dalam Islam, baik yang menyangkut individu, masayarakat, maupun hubungan manusia dengan Allah SWT.
Dari segi bahasa, "muamalah" berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalah yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya. Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamalah; Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Selanjutnya muamalah merupakan salah satu bagian dari ruang lingkup fiqih itu sendiri, dimana sering disebut dengan fiqih muamalah. Para ulama membagi fiqih sesuai ruang lingkup bahasan menjadi dua bagian besar, yaitu; fiqih ibadah dan fiqih muamalah.
Adapun pengertian dari masing-masing bagian fiqih tersebut yaitu:
a.    Fiqih ibadah: norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya (vertical).
b.    Fiqih Muamalah: norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya (horizontal).
Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqih muamalah yaitu norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya yang berkaitan dengan urusan dunia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya.

BAB III
PENUTUP
  
A. Kesimpulan

Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi makna.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banya kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan sumber rujukan atau referensi yang kami peroleh. Penulis berharap kepada para pembaca yang akan memberikan kritikan dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya pada penulis. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota IKAPI
Effendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam
Rusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan 



[1] [1]Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm.25

[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 110-118

[3] Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998) hlm. 203.

[4] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 205
[5] Ibid, 187

No comments:

Post a Comment