MAKALAH FIQH MUNAKAHAT
A. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki seorang
perempuan yang bukan mahram. Allah berfirman (Q.S.An-nisa:3).
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Anwar Harjono (1987:220) mengatakan bahwa perkawinan
adalah bahasa (Indonesia) yang umum di pakai dalam pengertian yang sama dengan
nikah atau zawaj dalam istilah fiqh. Para fuqaha dan mahdzab emapat sepakat
bahwa makna nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang
mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. Sedangkan perkawinan adalah
suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan
keturunan.
Kata "nikah" berasal dari
bahasa Arab yang merupakan masdar atau asal dari kata kerja. Kemudian di
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata "nikah"
telah di bakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, secara sosial, kata
pernikahan di pergunakan dalam berbagai upacara perkawinan. Di samping itu,
kata "pernikahan" tampak lebih etis dan agamis di bandingkan dengan
kata "perkawinan". Kata perkawinan lebih cocok untuk makhluk selain
manusia. (Beni Ahmad Soebani,2009: 9)[1]
Berpasang-pasangan adalah salah satu
sunah allah yang berlaku pada segenap makhluk dan ciptaan nya. Sunah ini
bersifat umum dan merata,sehingga tidak ada yang terkecuali,baik
manusia,binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Allah swt. Berfirman.(Q.S.Adz-Dzaryat:49)[2]
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah.
B.TUJUAN PERNIKAHAN
Faedah
yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara perampuan yang
bersifat lemah dari kebinasaan. Perkawinan adalah pranata yang menyebabkan
seseorang perempuan mendapatkan perlindungan dari suaminya. keperluan hidupnya
di tanggung suaminya.
Tujuan
pernikahan yang sejati dalam islam adalah pembinaan akhlak manusia, dan
memanusiakan manusia sehingga hubunggan yang terjadi antara dua gender yang
berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Secara
material, sebagaimana di katakan oleh Sulaiman Rasyid (2004), tujuan pernikahan
yang dipahami oleh kebanyakan pemuda dari dahulu sampai sekarang, di
antaranya:
1. mengharapkan harta benda,
2. mengharapkan kebangsawanannya,
3. ingin melihat kecantikannya,
4. agama yang budi pekertinya yang
baik.
Tujuan subtansial dari Pernikahan adalah sebagai berikut:
1.
Pernikahan
bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan seksualitas manusia dengan jalan yang
dibenarkan Allah dan mengendalikan hawa nafsu dengan carang yang terbaik yang
berkaitan dengan peningkatan moralitas manusia sebagai hamba Allah.
2.
Mengangkat
harkat dan martabat perempuan
3.
Memproduksi
keturunan agar manusia tidak punah dan hilang di telan sejarah.[3]
C. MACAM-MACAM PERNIKAHAN
Dilihat dari sifatnya jenis-jenis
pernikahan terdiri dari beberapa macam:
1.
Nikah mut’ah
2.
Nikah
muhallil
3.
Nikah sirri
4.
Nikah agama
5.
Nikah di
bawah tangan
6.
Nikah
gantung
7.
Nikah sesama
jenis(homoseks dan lesbian)
8.
Poligami
9.
Poliandri
10. Monogami
11. Nikah paksa
12. Isogami atau esogami.
Dilihat dari Segi pelaku
pernikahan,terdiri atas:
1.
Nikah dengan
Ahl Al-kitab
2.
Nikah dengan
penganut majusi
3.
Nikah dengan
orang musyrik
4.
Nikah dengan
orang hindu atau budha
5.
Nikah sistem
Biaya Masing-Masing(BMM) karena masih kuliah.[4]
D. RUKUN NIKAH
pernikahan danggap sah bila
terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus merupakan
bagian dari segala hal yang terdapat dalam pernikahan yang wajib terpenuhi.
Kalau tidak terpenuhi pada saat berlangsung, pernikahan tersebut dianggap bata.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (pasal 14).
Rukun nikah terdiri
atas lima macam, yaitu adanya:
1) Calon suami
2) Calon istri
3) Wali nikah
4) Dua orang saksi
5) Ijab dan qabul
Sulaiman Rasyid
(2003:382) menjelaskan perihal yang sama bahwa rukun nikah adalah sebagai
berikut:
1. sighat (akad),
yaitu perkataan dari pihak perempuan, seperti kata wali, "Saya nikahkan
engkau dengan anak saya bernama Surtini." Mempelai laki-laki menjawab,
"Saya terima menikahi Surtini." Boleh juga di dahului oleh perkataan
dari pihak mempelai, seperti, "Nikahkanlah saya dengan anakmu." Wali
menjawab, " saya nikahkan engkau dengan anak saya ....," karena
maksudnya sama. Tidak sah akad nikah, kecualidengan lafazh nikah, tazwij, atau
terjemahkan keduanya.
2. Adanya wali (wali si perempuan).
3. Adanya dua orang saksi.[5]
E. SYARAT-SYARAT PERNIKAHAN
Syarat-syarat
pernikahan berhubungan dengan rukun-rukun nikah yang telah di kemukakan diatas.
Jika dalam rukun nikah harus ada wali, orang yang memenuhi wali, orang yang
menjadi wali harus memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh Al-Qur'an,
Al-Hadis, dan Undang-undang yang berlaku.
Yang dianggap sah menjadi
wali mempelai perempuan ialah menurut susunan di bawah ini:
1.
Bapaknya
- Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
- Saudara laki-laki yang seibu sebapaknya dengannya
- Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu
sebapak dengannya
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
sebapak saja dengannya
- Saudara bapak yang laki-laki(paman dari pihak
bapak)
- Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya
- Hakim.
Wali dan saksi
bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak kecuali
saksidari orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:
1.
Islam. Orang
yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi,
- Baligh
(sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
- Berakal
- Merdeka
- Laki-laki
- Adil.[6]
F. HIKMAH PERNIKAHAN
Nasarudin latif(2001:13-18)mengatakan bahwa pernikahan
merupakan pintu gerbang kehidupan yang wajar atau bisa di lalui oleh umumnya
umat manusia.
Pernikahan dapat dikatakan sebagai perjanjian
pertalian antara manusia laiki-laki dan perempuan yang berisi persetujuan
secara bersama-sama menyelenggarakan kehidupan yang lebih akrab menurut
syarat-syarat dan hukum susila yang di benarkan Tuhan Pencipta Alam.[7]
Islam menganjurkan dan menggalakkan pernikahan dengan
cara sepertiini karna banyak sekali dampak positif yang sanggat bermanfaat,baik
bagi pelakunya sendiri maupun umat,bahkan manusia secara keseluruhan. Beberapa
hikmah dari pernikahan:
1.
Sesungguhnya
naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut
adanya jalan keluar. Apabila jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka akan
terjadi kegoncangan dan kekacauan yang mengakibatkan kejahatan. Pernikahan
merupakan jalan yang terbaik dalam manyalurkan hasrat seksual. Dengan
pernikahan tubuh menjadi lebih segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari
melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.(Q.S.Ar-Rum:21).
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
2.
Meneruskan
keturunan dan memeliharan nasab, karena dengan pernikahan akan diperoleh nasab
secara halal dan terhormat. Ini merupakan kebanggaan bagi individu dan keluarga
bersangkutan dan ini merupakan insting manusia untuk berketurunan dan
melestarikan nasabnya.
3.
Meningkatkan
rasa tanggungjawab, karena dengan pernikahan berarti masing-masing pihak
dibebani tanggungjawab sesuai dengan fungsi masing-masing. Posisi Suami adalah
sebagai kepala rumahtangga bertanggungjawab atas nafkah keluarganya, sedangkan
posisi sang istri bertanggungjawab atas pemeliharaan anak dan pengkondisian
rumah tangga menjadi lebih nyaman dan tentram.
4.
Membuahkan
tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan
memperkuat hubungan kemasyarakatan, masyarakat yang saling mencintai dan saling
menunjang merupakan masyarakat yang kuat dan bahagia.[8]
DAFTAR
PUSTAKA
Sabiq,Sayyid .2008.Fiqih
Sunnah.Jakarta:Al-I’tisshom Cahaya Umat.
Saebani,Beni Ahmad.2009.
Fikih Munakahat(buku1).Bandung:CV Pustaka Setia.
No comments:
Post a Comment