1

loading...

Wednesday, December 12, 2018

MAKALAH HADITS EKONOMI ‘’HADITS JUAL BELI’’


MAKALAH HADITS EKONOMI
‘’HADITS JUAL BELI’’


A. PENDAHULUAN

1.  Pengertian Jual Beli.
                              Dalam istilah fiqih, jual beli disebut dengan al-bay’ yang berarti memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling menjual, mengganti, atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dikatakan: “Ba’a asy-syaia  artinya jika  dia mengeluarkannya ke dalam hak miliknya, dan ba’ahu artinya jika dia membelinya dan memasukinya kedalam hak miliknya. Demikian juga perkataan syara yang artinya mengambil dan syara yang juga berarti menjual jadi, kata al-bay’ berarti menjual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
             Secara etimologi, jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan yang lain atau memberikan sesuatu untuk menukarkan suatu yang lain. Jual beli diartikan dengan pertukaran harta dengan harta atau dengan gantinya atau mengambil sesuatu yang digantikannya itu. Jual beli sering diistilahkan dengan al-bay’, al-syira’, al-mubadalah, dan al-tijarah.
             Adapun definisi jual beli secara istilah, menurut Sayyid Sabiq jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Adapun jual beli secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan jual beli tersebut.

Berikut beberapa pendapat ulama mengenai jual beli :
a)      Ulama hanafiyah
            Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli.
b)      Imam Nawawi
            Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
c)      Ulama Ibn Qudamah
            Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa menyewa.
           
            Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandung hal-hal berikut antara lain :
a)      Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b)      Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c)      Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
d)     Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.


B. PEMBAHASAN

1.     Landasan Hukum Jual Beli
                              Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai dengan hukum jual beli dalam agama Islam. Asal Hukum jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:
الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Artinya : …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…
(Q.S. Al-Baqarah : 275)

                              Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Surat An-Nisa’ ayat 29.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَا مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu  dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka di antara kamu.”
(QS. An-Nisa : 29)

2.     Hadits Jual Beli
إِنَّمَا الْبَيْعَ عَنْ تَرَاضٍ. (رواه إبن حبّان)

            Artinya:“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika saling suka”. (H.R Ibnu Hibban)
           
            Hadits ini menjelaskan apabila kita melakukan jual beli haruslah di dasarkan dengan rasa suka sama suka agar sipenjual maupun si pembeli merasa puas dan ikhlas tanpa ada suatu pihakpun yang merasa di rugikan.


أن النبى صلى الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan tangannya dan jual beli yang mabrur”. (H.R al-Bazzar dinyatakan sahih oleh al-Hakim al-Naysaburi).

            Hadits ini menjelaskan bahwasannya usaha atau pekerjaan yang baik itu ialah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur atau baik, oleh sebab itu hendaklah kita dalam berwirausaha oleh jerih payah kita sendiri. Agar nanti kita bisa menikmati hasil dari keringat kita sendiri yang terasa begitu nikmat dibandingkan hasil usaha dari orang lain. Dan usaha yang paling baik itu ialah jual beli sebagaimana yang telah di contohkan oleh Nabi muhammad SAW, jual beli Nabi di kenal karena ia merupakan penjual yang paling jujur sehingga siapapun yang belanja padanya akan merasa puas, oleh seba itulah Nabi pantas diberi gelar Ruhul amin yang artinya dapat dipercaya.
          .
3.     Rukun Jual Beli
Menurut Jumhur Fuqoha’ ada empat rukun dalam jual-beli : pihak Penjual, pihak pembeli, sighat, dan obyek jual-beli. Dalam hal ini pihak penjual dan pembeli termasuk dalam pihak yang berakad ('aqid), sedangkan sighat merupakan unsur dari akad.

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.       Akad (‘aqd) dalam jual-beli yaitu ikatan kata antara penjual dan pembeli. Yang terdiri dari ijab dan qabul (sighat akad). Sedangkan pengertian ijab ialah pernyataan pihak pertama mengenai isi perkataan yang diinginkan dan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerima. Namun apabila terkecuali jual-beli barang-barang remeh, tidak perlu adanya ijab dan qabul, cukup dengan saling memberi sesuai dengan adat yang berlaku.

b.      Akid (‘aqid), yaitu orang-orang yang berakad yang terdiri dari pihak penjual pihak pembeli.

c.       Objek akad (ma’kud alaih), yaitu sesuatu hal atau barang yang disebut dalam akad.

4. Syarat Jual Beli
        Transaksi jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga syarat jual-beli, yaitu:
a.       Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual-beli.
b.      Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari penjual kepada pembeli.
c.       Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli (sighat ijab qabul).

     Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah:
a.       Agar tidak terjadi penipuan, maka keduanya harus berakal sehat dan dapat membedakan (memilih).
b.      Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan, bukan karena terpaksa.
c.       Dewasa atau baligh.

     Syarat benda dan uang yang diperjual belikan sebagai berikut:
a.       Bersih atau suci barangnya: tidak sah menjual barang yang najis seperti anjing, babi, khomar dan lain-lain yang najis.
b.      Ada manfaatnya: jual beli yang ada manfaatnya sah, sedangkan yang tidak ada manfaatnya tidak sah, seperti jual beli lalat, nyamuk, dan sebagainya.
c.       Dapat dikuasai: tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap lagi, atau barang yang sudah hilang atau barang yang sulit mendapatkannya.
d.      Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain dengan tidak seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru akan menjadi miliknya.
e.       Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga itu, begitu juga jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam janji (tanggungan), maka hukumnya boleh.

5. Khiyar Jual Beli
            Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara penjual dan pembeli. Penyesalan  ini terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam jual beli, maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu atau karena sebab tertentu.

Khiyar dalam jual beli ada tiga macam yaitu:
a.       Khiyar majlis
          Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang melakukan akad jual beli untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli selama mereka masih belum berpisah dari tempat akad. Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini. Rasulullah SAW bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَ
Artinya: “Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan dihapus.”(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532)

b.      Khiyar syarat
                        Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari.  Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3 malam terhitung waktu akad. Sabda Rasulullah Muhammad SAW:
رواه ابن ماجهﻼَثَ لَيَالٍ كُلُّ سِلْعَةٍ اِبْتَعْ ارِﺛَ تَهَا بِاِ لْخِ اَنْتَ فِي
Artinya:Engkau boleh berkhiyar pada semua barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.”
(H.R. Ibnu Majah dari Muhammah bin Yahya bin Hibban)



c.       Khiyar ‘aibi
                         Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya. Berkaitan dengan khiyar ‘aibi ini, Rasulullah SAW memberikan tuntunan dengan sabdanya yang Artinya.

 Dari Aisyah r.a. berkata bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, terus dia angkat perkara itu dihadapan Rasulullah saw. Putusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada penjual.”
(H.R. Abu Dawud)

            Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli, menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan adanya khiyar, penjual dan pembeli  merasa puas.

6.     Fikih Khiyar Jual Beli
a.       Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahan jual-beli atau pembatalannya.
b.      Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akad disepakatai dan sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu mennjadi milik merka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
c.       (Keutamaan dan anjuran bersikap jujur) Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan di akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah. Hal ini dapat dirasakan secara nyata di dunia. Orang orang yang sukses dalam bisnisnya dan yang laku barang dagangannya ialah mereka yang jujur dalam muamalah yang baik.
d.      Jual beli dapat terjadi (sah) selama salah satu dari keduanya (baik pembeli maupun penjual) memberikan hak khiyarnya dan melakukan transaksi atas dasar pemberian hak khiyar tersebut.
e.       Jual beli juga dapat terjadi (sah) meskipun penjual dan pembeli berpisah asalkan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengurungkan jual beli. Khiyar di anggap telah terjadi.



C.   PENUTUP

       I.            Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

    II.            Saran
            Didalam makalah ini tidak banyak yang dapat kami sampaikan. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya dari pembaca makalah ini.makalah ini masih banyak kekurangan dan kelebihan karena seperti pepatah “tidak ada gading yang tak retak” begitu juga kami, kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca agar menjadi yang lebih baik lagi untuk yang kedepan.
  
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr Abdul Aziz Muhammad Azzam.2010. Fiqh Muamalat.Jakarta:AMZAH


No comments:

Post a Comment