1

loading...

Thursday, December 13, 2018

Makalah Musaqah


Makalah Musaqah


A. Pengertian Musaqah

Musaqah  berasal  dari  kata  Saqa    Saqy  yang  berarti  As-Saqy  yang artinya penyiraman atau pengairan.1 Supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.2
Menurut syariat musaqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang sanggup mengairi atau memeliharanya sehingga buah dari pohoh itu masak, dengan imbalan bagian tertentu dari buah tersebut. Musaqah adalah kerjasama (syirkah) antara pemilik pohon dengan pemelihara pohon dengan perjanjian bagi hasil  yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, seperti setengah,
sepertiga, ddan sejenisnya.3

Secara  etimologi,  musaqah  berarti  transaksi  dalam  pengairan,  yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-muamalah. Secara terminologi, musaqah didefenisikan oleh para ulama fiqh sebagai berikut:
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, musaqah adalah akad untuk pemeliharaan  pohon  kurma,  tanaman  (pertanian),  dan  yng  lainnya  dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Ibn Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah adalah penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
Ulama Syafiiyah mendefenisikan musaqah   mempeketjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap.





1     Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Pustaka
Progresif, 2002, hlm. 642.

2 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2002), h. 145

3   Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994),h. 129


Dengan  demikian,  akad  musaqah  adalah  sebuah  bentuk  kerjasama

antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan di rawat sehingga memberikan hasil yang maksimal, kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.4
Defenisi musaqah menurut para ahli fiqih adalah menyerahkan pohon
yang telah atau belum ditanam dengan sebiddang tanah, kepada seseorang yang menanam dan merawatnya ditanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.5

B. Dasar Hukum Musaqah

Kerjasama  dalam  bentuk  musaqah  ini  berbeda  dengan  mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan hasilnya yang belum tentu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah. Adapun dasar hukum kebolehannya adalah perbuatan Rasulullah dan Khulafah Rasyidin setelahnya. Hadits yang yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Umar Bahwa Nabi SAW menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di khaibar dengan upah separuh dari yang dihasilkan dari lahan itu.









4 Ibid, h. 110

5 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Ahli Bahasa Oleh: Abdul Hayyie al- Kattani, Ahmad Ikhawani, dan Budiman Mustofa, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) Cet ke- 1, h. 476
6  Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaziri, konsep hidup ideal dalam islam, (Jakarta:Darul



Adapun  dasar  hukum  mengenai  diperbolehkannya  kerjasama  dalam

firman Allah SWT sebagai berikut :

Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]:2)

Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada manusia agar saling membantu dan tolong menolong dalam kebaikan. Wujud tolong menolong ini tidak  hanya  dalam  bentuk  memberikan  sesuatu  kepada  orang  yang  tidak mampu, tetapi juga bisa dalam bentuk memberikan lapangan pekerjaan kepada
mereka.  Dalam  usaha  pertanian,  tidak  semua  orang  memiliki  kemampuan


Hukum musaqah adalah boleh (mubah)7, bahkan sebagai para ulama

fiqih menyebutkan sebagai sunnah, sabda rasulullah saw :

.ﻞﯿﺨﻧا ﺎﻨﻧاﻮﺧا ﻦﯿﺑو ﺎﻨﻨﯿﺑ ﻢﺴﻗا :ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺼﯿﺒﻨﻠﻟرﺎﺼﻧﻻا ﺖﻟﺎﻗ :لﺎﻗ ةﺮﯾﺮھ ﻲﺑا ﻦﻋ

.ﺎﻨﻌطاو ﺎﻨﻌﻤﺳ :اﻮﻟﺎﻗ .ةﺮﻤﺜﻟا ﻲﻓ ï»¢ï»œï»›ïº®ïº¸ï»§Ùˆ ﺔﻧﻮﺌﻤﻟاﺎﻧﻮﻔﻜﺗ :اﻮﻟﺎﻘﻓ .ï»» :لﺎﻗ


(يرﺎﺨﺒﻟا هاور)


Artinya: Dari Abu Hurairah, ia menuturkan. Orang-orang Anshor berkata kepada Nabi SAW. Bagikan kepada kami saudara-saudara kami kebun kurma itu. Belaiu menjawab, Tidak. Kemudian mereka (kaum Muhajirin)berkata.  Kalian  membantu  pekerjaan  kami  dan  kami
sertakan kalian pada pendapatanbuahnya. Maka mereka berkata. Kami mendengar dan kami patuh.” (HR. AL-Bukhari)8


C. Rukun dan Syarat Musaqah

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap.




Jumhur  ulama  menetapkan  bahwa  rukun  Musaqah  ada  lima,  yaitu berikut ini :
1. Dua orang yang akad (Al-Aqidani).Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
2. Objek Musaqah, objek Musaqah menurut ulama Hanafiah adalah pohon- pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiah lainnya dibolehkan Musaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.Objek musaqah menurut ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musaqah adalah tumbuh- tumbuhan, seperti pohon yang berbuah dan yang memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1) Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan.
2)  Akad ditentukan dengan waktu tertentu.

3.  Buah, disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.

4. Pekerjaan, disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika di syaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah. Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah. Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzaraah maupun musaqah sebab Rasulullah SAW pun tidak memberikan batasan ketika bermualah dengan orang Khaibar.








Haq, 20067 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Op.Cit, h.110

8   Muhammad Nasiruddin Al  Albani,  Ringkasan shahih bukhari, (Jakarta: Gema
Insani, 2007), h. 122

5. Shigha, menurut ulama Syafiiyah, tidak diperbolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musaqah sebab berlainan akad. Adapun ulama Hanabilah  membolehkan  sebab  ang  terpenting  adalah  maksudnya.  Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzaraah,  tidak  disyaratkan  qabul  dengan  ucapan,  melainkan  cukup
dengan mengerjakannya.


Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.
2. Objek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.

Dalam menentukan objek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut Ulama hanafiyah, yang boleh menjadi objek musaqah adalah pepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur, terong. Akan tetapi, ulama hanafiyah mengakhiri menyatakan, musaqah juga berlak pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi objek musaqah   itu   adalah   tanaman   keras   dan   palawijaya,   seperti   kurma, terong,apel dan anggur dengan syarat:
1) Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.

2) Tenggang waktu yang ditentukan jelas.

3) Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.

4)  Pemilik perkebunan tidak mmampu untuk mengelolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut ulama hanabilah, yang   boleh dijadikan objek musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu, musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah. Adapun ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan objek akad musaqah adalah kurma dang anggur.
3. Tanah  itu  diserahkan  sepenuhnya  kepada petani  penggarap  setelah  akad berlangsung untuk digarap,tanpa campur tangan pemilik tanah.
4.   Hasil  (buah)  yang  dihasilkan  dari  kebun  itu  merupakan  hak  mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua dua, tiga, ddan sebagainya. Menurut Imam Syafoi yang terkuat, sah melakukan perjanjian musaqah pada kebun yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum matang)
5.   Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa-menyewa agar terhindar dari ketidakpastian.

E.     Berakhirnya akad Musaqah

Menurut para ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:

1.   Tenggang waktu yang disepakti dalam akad telah habis.

2.   Salah satu pihak meninggal dunia.

3.   Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Uzur yang mereka maksudkan dalam hal ini di antaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Jika petani wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jikatanaman itu belum dipanen. Adapun jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan atau menghentikannya.



Akan tetapi ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada uzur dari pihak petani. Ulama syafiiyah, juga menyatakan bahwa akad musaqah tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur.  Jika  petani  penggarap  mempunyai  uzur,  maka  harus  ditunjuk  salah
seorang yang bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu.9
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah  rela untuk tidak mendapatklan apa-apa. Jika pemilik membatalkan musaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaanya. Ulama Hanabilah pun berdapat bahwa musaqah dipandang selesai dengam habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan  pada suatu  tahun  yang  menurut  kebiasaan  akan  ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.10



F.     Manfaat Musaqah

Ada beberapa hikmah dari dibolehkannya praktik musaqah, terutama dalam  perawatan  lahan  pertanian  yang  menjadi  objek  musaqah  tersebut. Dengan  adanya  akad  musaqah,  lahan  tersebut  tidak  menjadi  lahan  yang terlantar  karena  adanya  orang  yang  mengelola  dan  merawatnya.  Dengan demikian, ada pemeliharaan tanah bagi pemilik dan ada keuntungan bagi penggarap.  Hal  ini  melahirkan  kerja  sama  yang  saling  menguntungkan  di antara kedua belah pihak, sehingga seperti telah dijelaskan di atas, merupakan bentuk kerja sama dalam kebaikan apabila dilandasi dengan niat yang baik.
Dalam hal ini ada dua hikmah

1. Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga bisa mencukupi kebutuhannya
2. Saling tukar manfaat di antara manusia.
Selain itu, ada pula beberapa faedah lain dari kebolehan musaqah ini, yaitu pohon-pohon di kebun tersebut dapat hidup dan menghasilkan, karena penggarap telah berjasa merawat dan mengelolanya. Jika pohon-pohon tersebut dibiarkan begitu saja tanpa dirawat, tentunya ada kemungkinan pohon-pohon tersebut akan mati dalam waktu singkat. Faedah lain adalah adanya ikatan rasa cinta kasih sayang antara sesama manusia, sehingga umat dapat menjadi umat yang bersatu  dan  bekerja untuk  kemaslahatan  bersama,  sehingga  apa  yang diperoleh mengandung faedah yang besar.11



9   Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit, h.113
10  Rachmat Syafei, Op. Cit, h.221
11  Ibid, h. 113-114


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, 2002
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007

Muhammad  Nasiruddin  Al  Albani,  Ringkasan  shahih  bukhari,  Jakarta:  Gema
Insani, 2007

             Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta:Pustaka azzam, 2007

Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung:  CV Pustaka Setia, 2000

Sayyid  Sabiq,  Fiqh  Sunnah,  alih  bahasa  oleh:  H.  Kamaluddin  A.  Marzuki. (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1987)

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazi’ri, konsep hidup ideal dalam islam, (Jakarta:Darul
Haq, 2006)



No comments:

Post a Comment