MAKALAH MATERI IBADAH KEMASYARAKATAN
“THAHARAH”
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam hukum islam terdapat suatu hal dimana segala
seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang sangat penting yakni
bersuci, atau dalam fiqih disebut dengan thaharah. Yang dimaksud dengan
thaharah ini tidak hanya suci secara lahiriyah, namun dapat juga membersihkan
secara batiniyah.
Thaharah lebih sering dimaknai sebagai suatu hal yang
dilakukan sebelum beribadah kepada Allah SWT saja, ataupun suatu cara untuk
menghilangkan hadas dan juga najis. Tetapi thaharah juga berkaitan erat dengan
kebersihan dalam menjaga kesehatan diri dan keindahan lingkungan. Sering kali
kita sebagai manusia lalai dalam hal menjaga kebersihan.
Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam
sebuah kehidupan, dimana dengan kebersihan hidup akan terasa nyaman dan aman.
Kebersihan sendiri juga merupakan wujud nyata dari ibadah thaharah. Maka dari
itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai thaharah.
Terlebih-lebih kita adalah sebagai orang muslim, dan di dalam agama kita
dikatakan bahwa islam menuntut pemeluknya untuk senantiasa dalam keadaan suci,
baik itu suci secara lahiriyah maupun suci secara batiniyah. Karena Allah SWT
sangat mencintai orang-orang yang memelihara kesucian dirinya
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian thaharah ?
2.
Bagaimana
kaifiyat (cara) thaharah dari najis dan hadas ?
3.
Bagaimana
penjelasan mengenai wudlu’, tayammum, dan mandi besar ?
4.
Bagaimana
hikmah dan filosofi thaharah ?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
pengertian thaharah.
2.
Menjelaskan
tentang thaharah dari najis dan hadas
3.
Menjelaskan
tentang wudlu’, tayammum, dan mandi besar.
4.
Mengetahui
hikmah dan filosofi thaharah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari
kotoran-kotoran, baik yang kasat mata ataupun yang tidak kasat mata, seperti
aib dan dosa (Azzam dan Hawwas, 2009:3). Kata thatharah sendiri berasal dari
kata thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci. Pengertian tersebut
digambarkan dari firman Allah SWT:
Artinya:
“Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah.”
(QS. Al Maidah [5]:6)
Kemudian secara terminologi ath thaharah adalah bersih
atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja maupun najis secara hukmi,
yaitu hadats. Dalam buku Fiqih Ibadah yang ditulis oleh Abdul Aziz Muhammad
Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas juga menyebutkan definis lain bahwa
thaharah adalah sifat hukmiyyah yang diperbolehkan karenanya segala sesuatu
yang dicegah oleh hadast atau yang mengandung hukum menjijikkan(Azzam dan
Hawwas, 2009:3).
Menurut istilah fiqih, thaharah adalah menghilangkan
hadast atau najis yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan
air, atau menghilangkan hukumnya (hadast dan najis) dengan tanah. Dengan kata
lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadats atau
kotoran (Ritonga, 1997:17).
1. Thaharah dari Najis dan Hadas
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya pada pengertian
thaharah, yakni suci atau suatu kedaan dimana hadas dan kotoran sudah hilang.
Selanjutnya adalah pemahaman mengenai najis najis dan hadas, dimana kedua hal
tersebut merupakan hal yang menjadi penyebab wajibnya thaharah atau bersuci.
Najis adalah suatu kotoran seperti darah, tinja, atau
kotoran hewan. Sedang hadas adalah keadaan yang menghalangi seseorang dalam
melakukan sesuatu yang diwajibkan Allah, dan juga sunnah Rasul.
Secara garis besar najis dibagi menjadi dua macam,
yaitu najis hakiki dan najis hukmi. Najis hakiki adalah kotoran yang menghalangi
keabsahan sholat tanpa ada keringanan, seperti darah dan kotoran manusia.
Sedangkan najis hukmi adalah hadas kecil yang harus dihilangkan dengan wudlu’
dan hadas besar dihilangkan dengan mandi (Ritonga, 1997:24).
Media atau alat yang digunakan untuk bersuci banyak
sekali. Diantaranya adalah :
- air
(al-ma’)
- alat
untuk menyamak (ad dibqh)
- debu
(at turab), menggosok (ad dalk)
- menggaruk
(al fark)
- dan
lain-lain
2 .Air (Al Ma’)
Air terbagi menjadi beberapa macam, yakni : air
mutlak, air musta’mal, air yang berubah karena benda suci, dan air yang bertemu
dengan najis (Azzam dan Hawwas, 2009:3).
- Air
Mutlak
Air mutlak status hukumnya adalah suci mensucikan.
Maksudnya adalah air tersebut suci di dalam dirinya sendiri dan mensucikan yang
lain. Berikut adalah termasuk air mutlak:
- Air
hujan, air salju, dan air embun (firman Allah QS al furqan (25):48)
- Air
laut
- Air
zam-zam
- Air
yang berubah-ubah (Mutaghayyir)
Air yang terlalu lama mengendap atau dikarenakan
lokasinya, atau karena tercampur sesuatu yang umumnya tidak dapat dipisahkan
darinya, seperti eneng gondok dan daun pohon.
1.
Air
Musta’mal
Merupakan
air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudlu dan
mandi. Status hukum air musta’mal adalah suci, sama halnya dengan air mutlak.
2.
Air yang Berubah
Karena Benda Suci
Adalah air
yang tercampur dengan benda yang suci, misal sabun, minyak zaitun, dan air
bunga mawar (Azzam dan Hawwas, 2009:7). Selama masih terjaga kemutlakannya dan
tidak dikalahkan oleh benda suci yang mencampurinya maka air tersebut tetap
suci mensucikan.
3.
Air yang
Bertemu dengan Najis.
Air yang demikian mempunyai dua kondisi yaitu,
pertama, benda najis tidak mengubah warna, rasa, dan bau air. Dan yang kedua
air tetap dalam kemutlakannya.
4.
As Su’r
(Sisa atau Bekas Air Minum Hewan)
Berarti air yang yang tersisa di dalam wadah setelah
diminum hewan. Ada beberapa macam As Su’r, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Air
bekas minum manusia
- Air
bekas hewan yang dimakan dagingnya
- Air
bekas hewan peranakan keleda dan kuda (al baghl), keledai, hewan buas dan
burung-burung predator.
- Air
bekas minum kucing
- Air bekas minum anjing dan babi (haram, wadahnya harus dicuci 7
kali
Bersuci ada dua bagian:
- Bersuci
dari hadas. Bagian ini khusus untyk badan seperti mandi, berwudlu’, dan
tayammum.
- Bersuci
dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat (Rasjid,
1986:13).
Hadas dibagi menjadi dua yakni hadas besar dan hadas
kecil. Hadas besar yaitu seperti keluarnya darah haid, nifas, junub, wiladah,
dan sperma.kemudian hadas kecil seperti kencing, buang air besar, bersentuhan
lawan jenis, dan lain lain.
Cara thaharah dari hadas
- Hadas
besar cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib
- Hadas
kecil cara mensucikannya sukup dengan berwudlu’ atau tayammum
Najis berlaku pada pakaian, badan, dan tempat, untuk
mencuci benda yang terkena najis, terlebih dahulu harus kita ketahui
macam-macam najis:
- Najis
mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini
hendaklah dibasuh tujuh kali, dan salah satu diantaranya hendaklah dibasuh
dengan air yang dicampur dengan tanah (Rasjid, 1986:21)
- Najis
mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum makan
makanan lain selain ASI. Cara mencucinyapun sukup memercikkan air pada
benda yang terkena najis tersebut meskipun airnya tidak mengalir. Adapun
kencingnya anak perempuan yang belum makan makanan lain selain ASI, cara
mencucinya dibasuh dengan air yang mengalir di atas benda yang kena najis
itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya.
- Najis
mutawassitah (pertengahan), najis ini terbagi menjadi dua macam yaitu
najis hukmiyah dan ainiyah.
- Najis
hukmiyah: najis yang kita yakini adanya , meskipun zat, bau, rasa dan
warnanya sudah hilang. Cara mencucinya cukup mengalirkan ir diatas benda
tersebut.
- Najis
ainiyah, najis yang masih ada zat, bau, rasa dan warnanya. Cara
mencucinyapun dengan menghilangkan zat, bau, rasa, dan warnanya.
B. Pengertian Istinja’
Istinja’ juga merupakan salah satu
cara thaharah dari hadas kecil. Istinja’ berarti mencuci tempat keluar kotoran
dari satu jalan, qubul (depan) dan dubur (belakang), atau mengusap dengan batu
dan semisalnya (Azzam dan Hawwas, 2009:23). Menuru tiga imam, istinja’ wajib
dilakukan sebelum melakukan sholat.
Menurut Rahman Ritonga, dalam
bukunya, beliau menyatakan bahwa istinja’ adalah membasuh dengan air atau
menyapu dengan batu (Ritonga, 1997:26). Secara khusus membersihkan najis dengan
batu atau benda-benda keras lainnya disebut dengan istijmar, dan hukum keduanya
adalah wajib menurut jumhur ulama.
Tidak diperbolehkan membersihkan
najis tinja maupun air kencing menggunakan media tulang, kotoran hewan yang
sudah mengeras (membatu), dan batu yang dimuliakan (Azzam dan Hawwas, 2009:25)
Menurut Asy Syafi’i, tidak ada
keharusan beristinja’ menggunakan batu atau air kecuali setelah dirinya keluar
kotoran, baik dari jalan depan atau jalan belakang (Muchtar,
2014:18). Secara ringkasnya thaharah dari najis dapat dilakukan dengan
istinja’, memercikkan air, mencuci atau membasuh dengan air dan menyamak (untuk
najis berat). Untuk thaharah dari hadas dapat dilakukan dengan wudlu’ tayammum,
dan mandi besar.
C. Wudlu’, Tayammum, dan Mandi Besar
1.
Wudlu’
Perintah wajib wudlu’ bersamaan dengan perintah wajib
shalat lima waktu. Secara etimologis berarti kebersihan (annadhofah). Kamil
Musa mendefinisikan wudlu secara terminologi yakni sifat yang nyata (suatu
perbuatan yang dilakukan dengan anggota-anggota badan yang tertentu) yang dapat
menghilangkan hadas kecil yang ada hubungannya dengan shalat atau ibadah yang
lain yang berhubungan dengan Allah (Ritonga, 1997:29).
Hukum beberapa wudlu menurut golongan Hanafiah :
- Fardu,
yaitu bagi orang-orang yang berhadas apabila hendak melaksanakan shalat,
baik itu shalat fardu ataupun shalat sunat, dan bagi orang yang akan
menyentuh Al Qur’an walaupun satu ayat yang tertulis pada selembar kertas.
- Wajib,
yaitu untuk tawaf disekeliling ka’bah.
- Mandub
(sunat), pertama, membaharui wudlu’ setiap akan melaksanakan shalat baik
shalat fardhu maupun shalat sunat.
- Makruh,
seperti mengulabgi wudlu’ sebelum melaksanakan shalat dengan wudlu’ yang
pertama.
- Haram,
seperti berwudlu’ dengan air yang dirampas atau berwudlu’ dengan air anak
yatim.
Syarat-syarat Wudlu’
- Islam
- Mumayiz
- Tidak
berhadas besar
- Air
suci mensucikan
- Tidak
ada yang menghalangi sampainya air ke kulit
Rukun Wudlu’
- Niat
- Membasuh
muka
- Membasuh
dua tangan sampai siku
- Menyapa
sebagian kepala
- Membasuh
dua telapak kaki
- Tertib
Sunah Wudlu’
- Membaca
basmalah
- Membasuh
kedua telapak tangan sampai pergelangan sebelum berkumur
- Berkumur
- Memasukkan
air ke hidung
- Menyapu
seluruh kepala
- Menyapu
kedua telinga luar dan dalam
- Menyela-nyela
jari kedua tangan dan menyela-nyela jari kedua kaki
- Mendahulukan
anggota kanan
- Membasuh
setiap anggota tiga kali
- Jangan
bercakap-cakap
Hal-Hal yang Membatalkan Wudlu’
- Keluar
sesuatu dari dua jalan atau salah satunya
- Hilang
akal
- Bersentuhan
kulit laki-laki dan perempuan
- Menyentuh
kemaluan dngan telapak tangan.
- Tidur
(Mulkhan,1994:221)
2.
Tayammum
Tayamum ialah mengusapkan tanah ke muka dan kedua
tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudlu atau
mandi sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air
karena beberapa udzur:
- Udzur
karena sakit, kalau ia memakai air bertambah sakitnya atau lambat
sembuhnya menurut keterangan dokter
- Karena
dalam perjalanan
- Karena
tidak ada air
Syarat tayamum
- Sudah
masuk waktu shalat, tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa,
sebelum masuk waktu shalat maka belum terpaksa
- Sudah
berusaha mencari air tetapi tidak dapat sedangkan waktu shalat sudah masuk
- Dengan
tanah yang suci dan berdebu. Menurut imam syafi’i tidak sah tayamum selain
dengan tanah akan tetapi menurut pendapat imam yang lain boleh (sah)
tayamum dengan tanah pasir atau batu
Fardu ( tayamum)
- Niat
Orang yang akan melaksanakan tayamum hendaknya berniat
karena akan mengerjakan shalat dan sebagainya, bukan semata mata menghilangkan
hadats sebab sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadats, hanya
diperbolehkan untuk melakukan shalat karena darurat
- Mengusap
muka dengan tanah
- Mengusap
kedua tangan sampai siku dengan tangan
- Menertibkan
rukun rukun, artinya mendahulukan muka dengan tangan
Sunah tayamum
- Membaca
bismillah
- Mengembus
tanah dari dua telapak tangan supaya tanah yang diatas tangan menjadi
tipis
- Membaca
dua kalimat syahadat sesudah tayamum
Hal hal yang membatalkan tayamum
- Tiap
hal yang membatalkan wudlu juga membatalkan tayamum
- Ada
air. Mendapatkan air sebelum shalat maka batal lah tayamum bagi yang
tayamum karena tidak ada air bukan karena sakit
Menurut asy syafi’i dalam surat Al maidah [5]:6
Ketentuan hukum yang memperbolehkan tayamum adalah
ketika dalam kondisi berikut :
- Dalam
perjalanan dan sulit mendapat air
- Orang
yang sedang sakit baik ditempat pemukiman atau dalam perjalanan
Waktu bertayamum
Perintah tayamum berlaku pada
seorang yang hendak melaksanakan shalat tetapi tidak menemukan air. Maka jika
bertayamum sebelum tiba waktu shalat shalatnya tidak sah.
Niat tayamum
Seseorang tidak boleh melakukan
tayamuum kecuali telah didahului usaha mencari air dan tidak menemukannya.
Disamping itu untuk mengerjakan tayamum harus disertai niat.
Cara bertayamum
Allah berfirman : maka bertayamumlah dengan debu yang
baik (suci). Usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu ( surat almaidah
5:6). Hadits riwayat ibnu shammah menjelaskan sesungguhnya Rasulullah
bertayamum lalu menyapu mukanya dan kedua lengannya.
Asy syafi’i mengatakan bahwa seseorang tidak dinamakan
bertayamum kecuali telah mengusap bagian wajah dan kedua lengan sampai dua siku
dengan debu. Siku merupakan bagian yang wajib disapu. Apabila ia meninggalkan
salah satunya baik yang ditinggalkan itu besar atau kecil lalu mengerjakan
shalat, maka shalatnya tidak sah.
Bahan untuk bertayammum
Tanah (sho’idan) yang tidak bercampur dengan najis
adalah tanah yang baik (sho’idan thayyiban) dan boleh dipakai untuk
bertayammum. Sebaliknya, tanah yang tidak baik tidak diperbolehkan untuk
dipakai bertayammum. Kata sho’idan digunakan hanya untuk tanah yang berdebu.
Apabila debu itu bercampur dengan kapur, jerami halus,
tepung gandum, atau yang lainnya, maka diperbolehkan bertayammum dengan debu
tersebut sampai debu itu benar-benar tidak tercampur dengan suatu
apapun.Ababila batu, tembikar, atau marmer yang hancur ditumbuk halus menjadi
debu tetap tidak sah digunakan bertayammum. Karena benda-benda tersebut mengandung
bahan kimia yang dapat membahayakan kulit, dan sudah jelas dalam ayat Al qur’an
juga diterangkan untuk bertayammum dengan debu dari tanah.
3.
Mandi Besar
(Wajib)
Allah mewajibkan mandi disebabkan janabah. Menurut
lisan arab bahwa janabah identik dengan bersetubuh (jima’) sekalipun dalam
bersetubuh tidak disertai keluarnya sperma. Abu Musa Al Asy’ari bertanya kepada
Aisyah tentang bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan, lalu Aisyah memberi
jawaban berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Apabila kemaluan laki-laki dan
perempuan bertemu maka wajib mandi.”
Beberapa hal yang dipandang wajib melakukan mandi
besar menurut para ahli fiqih adalah sebagai berikut :
- Jima’
(bersetubuh)
Allah mewajibkan mandi bagi seseorang yang sedang
junub. Aisyah r.a berkata: bahwa apabila Rasulullah mandi janabah, beliau
membasuh kedua tangannya lalu berwudlu seperti wudlu untuk melaksanakan shalat.
Kemudian beliau memasukkan jemari tangannya ke dalam air. Lalu menyela-nyela
pangkal rambutnya dengan jemari itu. Kemudian beliau menuangkan ke atas
kepalanya dua ember air dengan kedua tangannya lalu beliau meneteskan air ke
seluruh kulitnya (Mulkhan,1994:225).
- Keluar
mani (sperma)
Para ahli fiqih dari golongan Hanabilah menetapkan
bahwa kewajiban mandi itu semata-mata disebabkan keluarnya mani tanpa
mempertimbangan apakah keluar karena persetubuhan atau dengan sendirinya
(Ritonga,1997:65).
- Bermimpi
keluar mani
- Darah
haid atau nifas
- Meninggal
dunia seorang muslim
D. Hikmah dan Filosofi Thaharah
Sejatinya semua perbuatan yang bernilai positif akan
mendatangkan manfaat tersendiri, terlebih-lebih jika perbuatan tersebut adalah
perintah Allah SWT yang pastinya bernilai ibadah, seperti thaharah. Allah
berfirman dalam QS. Al Baqoroh 2:22 yang artinya “Dan Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri”.
Thaharah merupakan salah satu syarat untuk
melakukanibadah kepada Allah. Kesucian tidak hanya berarti suci dari haid,
tetapi juga suci dari najis dan kotoran batin, seperti kesucian diri dari
perbuatan keji dan kesucian dari akhlaq yang tercela. (Rasjid, 1986:17).
Thaharah juga memiliki hubungan dengan kebersihan,
kesehatan, dan juga keindahan lingkungan. Kita sendiri terkadang sangat
menginginkan kebersihan disekitar kita, namun sering sekali lalai dalam
menjaga kebersihan.
Kata bersih terkadang memberi pengertin suci, namun
biasanya kata bersih digunakan untuk ungkapan sifat lahiriyah, sedangkan kata
suci untuk ungkapan batiniyah. Dalam hukum Islam terdapat tiga ungkapan yang
menyatakan kebersihan.
- Nazhafah
atau nazhif, yaitu meliputi bersih dari kotoran dan noda secara lahiriyah.
- Thaharah,
mengandung pengertian yang lebih luas meliputi kebersihan lahiriyah dan
batiniyah.
- Tazkiyah,
mengandung makna ganda yaitu membersihkan diri dari sifat atau perbuatan
tercela dan menumbuhkanatau memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat yang
terpuji (Ritonga, 1997:26).
Tidak asing lagi di telinga kita yang mengatakan bahwa
“kebersihan sebagian dari iman” dan juga terdapat pepatah yakni “kebersihan
pangkal kesehatan.” Thaharah yang dilakukan sesuai syara’ secara otomatis akan
membawa kepada kebersihan lahir dan batin. Ini berarti seseorang yang bersih
secara syara’ akan berasa dalam kondisi hidup yang sehat. Karena antara
kesehatan dan kebersihan memiliki hubungan yang sangata erat.
Pensyari’atan dalam thaharah juga bermacam-macam,
mulai dari istinja’, kumur-kumur, mencukur bulu ketiak, dan masih banyak lagi.
Semua itu juga berkaitan dengan kebersihan dalam menjaga kesehatan diri dari
segala macam penyakit.
Seperti halnya dengan wudlu’, wudlu’ tidak hanya
semata-mata dilakukan untuk mensucikan diri dari hadas kecil sebelum melakukan
ibadah kepada Allah. Disamping untuk mmbersihkan lahiriyah, wudlu’ juga dapat
membersihkan secara batiniyah, karena sholat merupakan pendekatan diri kepada
Allah SWT yang menuntut kebersihan lahir dan batin.Thaharah juga mempunyai
hubungan terhadap keindahan lingkungan. Lingkungan tersebut mempengaruhi
kehidupan manusia dan mencakup tiga bagian:
- Lingkungan
Pisik (alam disekitar kita).
- Lingkungan
manusia (interaksi langsung atau tidak langsung).
- Lingkungan
keluarga.
Jika dihubungkan dengan islam,
kebersihan dan keindahan lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran
thaharah (Ritonga, 1997:26).
BAB 111
PEMBAHASAM
A.
Kesimpulan
Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari
kotoran-kotoran, baik yang kasat mata ataupun yang tidak kasat mata, seperti
aib dan dosa. Kata thatharah sendiri berasal dari kata
thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci. Secara terminologi ath
thaharah adalah bersih atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja
maupun najis secara hukmi, yaitu hadats. Dengan kata lain, thaharah adalah
keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadats atau kotoran.
Cara thaharah dari hadas
- Hadas
besar cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib
- Hadas
kecil cara mensucikannya sukup dengan berwudlu’ atau tayammum
Bersuci ada dua bagian:
- Bersuci
dari hadas. Bagian ini khusus untyk badan seperti mandi, berwudlu’, dan
tayammum.
- Bersuci
dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.
Perintah wajib wudlu’ bersamaan dengan perintah wajib
shalat lima waktu. Secara etimologis berarti kebersihan (annadhofah). Kamil
Musa mendefinisikan wudlu secara terminologi yakni sifat yang nyata (suatu
perbuatan yang dilakukan dengan anggota-anggota badan yang tertentu) yang dapat
menghilangkan hadas kecil yang ada hubungannya dengan shalat atau ibadah yang
lain yang berhubungan dengan Allah
Tayamum ialah mengusapkan tanah ke muka dan kedua
tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudlu atau
mandi sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air
karena beberapa udzur:
Mandi Wajib adalah mandi untuk menghilangkan hadast
besar, baik karena junub, atau karena haid, yaitu dengan cara membasuh seluruh tubuh
mulai dari atas kepala hingga ujung kaki.
Sejatinya semua perbuatan yang bernilai positif akan
mendatangkan manfaat tersendiri, terlebih-lebih jika perbuatan tersebut adalah
perintah Allah SWT yang pastinya bernilai ibadah, seperti thaharah.
Thaharah juga memiliki hubungan dengan kebersihan,
kesehatan, dan juga keindahan lingkungan. Kita sendiri terkadang sangat
menginginkan kebersihan disekitar kita, namun sering sekali lalai dalam
menjaga kebersihan.Jika dihubungkan dengan islam, kebersihan dan keindahan
lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah.
B. Saran
Demikian makalah tentang “Thaharah” ini kami buat.
Semoga makalah ini dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca, dan juga
membawa manfaat barokah untuk kehidupan yang selanjutnya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini jauh
dari kata sempurna, dan masih memerlukan kritik dan juga saran dari para
pembaca. Maka dari itu kritik dan saran akan kami tunggu dan akan kita jadikan
sebagai pelajaran dan juga bekal untuk kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyed
Hawwas. 2009. Fiqih Ibadah. Jakarta: AMZAH.
Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-Fatwa Imam Asy Syafi’i.
Jakarta: AMZAH.
Rasjid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung:
PT. Sinar Baru Algensindo.
Ritonga, Rahman dan Zainuddin.1997. Fiqih Ibadah.
Jakarta: Gaya Media Pratama
No comments:
Post a Comment