MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA : "PERKEMBANGAN JIWA BERAGAMA PADA ORANG DEWASA"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena
manusia memiliki ke mampuan untuk mengembangkan diri baik secara baik fisik
maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri
manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat di kembangkan. Manusia
juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk
bertumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar
dirinya.
Bantuan di maksud
antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengaarahan dari lingkungannya. Bimbingan
dan pengaarahan diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya
di harapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan
sebagai potensi bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searahdengan potensi
yang tidak dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangn mnusia.
Perkembangan yang
negatif tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang
menyimpang. Bentuk tinkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan
kegagalan manusia untuk memenuhi kebutuhan baik yang bersifat fisik dan psikis.
Para ahli psikologi membagi perkembangan manusia menjadi beberapa tahapan atau
periode perkembangan. Secara garis besar periode perkembangan terbagi menjadi,
Masa pre-natal, Masa bayi, Masa kanak-kanak, Masa pre-pubertas, Masa pubertas,
Masa dewasa, Masa usia lanjut. Setiap masa perkembangan memiliki ciri-ciri
sendiri, termasuk perkembangan jiwa keagamaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sikap
Keberagamaa pada Orang Dewasa
Charlotte Buchler melukiskan tiga
masa perkembangan orang dewasa, yaitu periode prapubertas, periode pubertas,
dan periode adolesenyang tercermin dalam semboyan ungkapan atau pernyataan
batin mereka. Pada periode prapubertas, pernyataan tersebut di ungkapkan oleh
Charlotte Buchler dengan kata-kata “Perasaan saya tak enak, tetapi tak tahu apa sebabnya.” Untuk periode pubertas di
lukiskannya sebagai berikut: “ Saya ingin sesuatu, tetapi tak tahu ingin apa.”
Adapun dalam periode adolesen, ia mengemukakan dengan kata-kata: ” Saya hidup
dan saya tahu untuk apa.”[1]
Kata-kata yang digunakan Charlotte Buchler tersebut mengungkapkan
betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang
dan masa remaja mereka. Sebaliknya pada saat menginjak usia dewasa, kemantapan
jiwa meraka terlihat dengan ungkapan semboyannya yang menyatakan:” Saya hidup
dan saya tahu untuk apa.” Hal ini menggambarkan bahwa di usia dewasa orang
sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata
lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang di pilihnya. Orang yang
dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan keperibadian yang mantap.
Menurut H. Carl Witherington, di periode
adolesen ini pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas. Pada
masa adolesen anak-anak berusaha untuk mencapai suatu cita-cita yang abstrak.
Di usia dewasa biasanya seseorang sudah memiliki sifat keperibadian yang
stabil. Stabilisasi sifat-sifat keperibadian ini antara lain terlihat dari cara
bertindak dan bertingkah laku yang agak bersifat tetap (tidak mudah
berubah-ubah) dan selalu berulang kembali. Kemantapan jiwa orang dewasa ini
setidaknya memberikangambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang
dewasa. Mereka sudah meliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang
dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang
bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan.
Berdasarkan sikap keagamaan seseorang di
usia dewasa sulit untuk diubah, jika pun perubahan mungkin proses terjadi
setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang. Sebaliknya, jika seorang
dewaa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai nonagama, itu pun akan
dipertahankan sebagai pandangan hidupnya. Sikap keberagamaan itu akan
dipertahankan sebagai identitas dan keperibadian mereka. Sikap keberagamaan
orang dewasa cenderung didasari atas pemilihan terhadap ajaran agama yang dapat
memberikan kepuasan batin atas pertimbangan agal sehat.
B. Ciri-ciri
Keberagamaan pada Orang Dewasa
Sikap keberagamaan orang dewasa
memiliki perspektif yang luas didasari atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain
itu sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian
dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Sejalan dengan
tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara
lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut: [2]
1.
Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.
Cenderung
besifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3.
Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.
Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga
sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup
5.
Bersikap
belih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.
Bersikap
lebih keritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasari atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7.
Sikap
keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakan ajaran yang diyakininya.
8.
Terlihat
adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga
perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C. Faktor-faktor
yang mempengaruhi keberagamaan Orang Dewasa
1.
Faktor
diri sendiri
Faktor dari dalam diri
sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Kapasitas Diri
Kapasitas diri ini berupa kemampuan
ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara
seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Mereka yang mampu menerima
dengan rasio akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama
tersebut dengan baik, walaupun yang ia lakukan itu berbada dengan tradisi yang
mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Dan sebaliknya, orang
yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan lebih banyak tergantung
pada masyarakat yang ada.[3]
b.
Pengalaman
Sedangkan faktor pengalaman,
semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin
mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun, mereka yang
mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan
untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2.
Faktor
Luar
Yang dimaksud dengan faktor luar,
yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan
kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya
perkembangan dari apa yang telah ada. Factor-faktor tersebut antara lain
tradisi agama atau pendidikan yang diterima.
William James mengemukakan dua buah
faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
1.
Faktor intern,
terdiri
dari:
a.
Temperamen
b.
Gangguan
jiwa
c.
Konflik
dan keraguan
d.
Jauh
dari Tuhan
2.
Faktor
Ekstern,
terdiri dari:
a.
Musibah
b.
Kejahatan
D. Perkembangan
Beragama pada Orang Dewasa
Menurut Lewis Sherril, membagi
masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;[4]
1.
Masa
dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan
diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2.
Masa
dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup
yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara
konsisten.
3.
Masa
dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan
kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal
yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia
tua.
E.
Macam-Macam Kebutuhan
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Kriminal Drs. Gerson W. Bawengan, S.H.
mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian yang di
kemukakan oleh J.P. Guilford sebagai berikut:
a.
Kebutuhan Individual terdiri dari:
a.
Homeostatis,
yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan
lingkungan. Dengan adanya perimbangan ini maka tubuh akan tetap berada dalam
keadaan mantap, stabil dan harmonis. Kebutuhan ini merliputi kebutuhan tubuh
akan zat; protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
b.
Regulasi
temperatur, penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan
temperatur badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disebut Hypothalmus. Ganguan regulasi temperatur
akan menyebabkan tubuh mengalami gangguan.
c.
Tidur,
kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar gejala halusinasi.
d.
Lapar,
kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai
organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik maupun mental.
e.
Seks,
kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan
mempertahankan jenis.
f.
Melarikan
diri yaitu: kebutuhan manusia akan perlindungan dan keselamatan jasmani dan
rohani.
g.
Pencegahan
yaitu: kebutuahan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri.
h.
Ingin
tahu (curiosity) yaitu: kebutuhan
rohani manusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehidupannya.
i.
Humor
yaitu: kebutuhan manusia untuk mengurangi rasa beban pertanggungjawaban yang
dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan.
b.
Kebutuhan Sosial
Kebutuhan sosial manusia tidak
disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya pada
binatang. Karena bentuk kebutuhan pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan
itu bukan sekedar semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan
rohani. Selanjutnya Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya Peranan Agama dalam
Kesehatan Mental membagi kebutuhan manusia atas 2 kebutuhan pokok, yaitu:[5]
a)
Kebutuhan
Primer, yaitu kebutahan jasmaniah
b)
Kebutuhan
Sekunder atau kebutuhan rohaniah: Jiwa dan sosial. Kebutuhan ini sudah
dirasakan manusia sejak masih kecil.
Selanjutnya beliau membagi
kebutuhan sekunder yang pokok menjadi 6 macam, yaitu:
1)
Kebutuhan
akan rasa kasih sayang. Kurangnya rasa kasih sayang pada diri seseorang
terutama pada anak-anak akan menyebabkan tembok pemisah antara mereka dengan
orang tuanya.
2)
Kebutuhan
akan rasa aman . Tidak adanya rasa aman menyebabkan seseorang terganggu sikap
integritas dirinya dengan masyarakat dan lingkungannya.
3)
Kebutuhan
akan rasa harga diri. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang bersifat
individual. Diabaikannya kebutuhan akan rasa harga diri ini cenderung
menimbulkan sikap menyombongkan diri, ngambek, dan sebagainya.
4)
Kebutuhan
akan rasa bebas. Penyakuran rasa bebas ini merupakan upaya agar tercapai
perasaan lega. Kehilangan rasa bebas akan menyebabkan seseorang menjadi
gelisah, tertekan baik fisik maupun mental.
5)
Kebutuhan
akan rasa sukses. Penyaluran kebutuhan ini akan menambah rasa harga diri.
Pemberian tugas yang sesuai dengan kemampuan dan pengganjaran batin
(remneration) merupakan usaha untuk menyalurkan rasa sukses.
6)
Kebutuhan
akan rasa ingin tahu. Kebutuhan akan rasa ingin tahu akan memenuhi kepuasan
dalam pembinaan pribadi seseorang. Kebutuhan ini jika tidak disalurkan akan
terarah kepada tindakan-tindakan negatif yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan.
c.
Kebutuhan Manusia Akan Agama
Selain berbagai macam kebutuhan yang
disebutkan diatas masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu
diperhatikan yaitu kebutahan terhadap agama. Karena manusia disebut sebagai
makhluk yang beragama (homo religious).Manusia selalu membutuhkan pegangan
hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu
perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan
memohon pertolongan. Hal semacam ini terjadi pada masyrakat moderen, maupun
masyarakat primitif. Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa adolesen,
walaupun ada juga yang merumuskan masa adolesen ini kepada masa dewasa, namun
demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah menginjak dewasa yang mereka
mempunyai sikap pada umumnya yaitu:
a.
Dapat
menentukan pribadinya.
b.
Dapat
menggariskan jalan hidupnya.
c.
Bertanggung
jawab.
d.
Menghimpun
norma-norma sendiri.
Menurut H. Carl Witherington, diperiode
adolesen ini pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas.
Sekarang mereka mulai berfikir tentang tanggung jawab social moral, ekonomis,
dan keagamaan. Pada masa adolesen anak-anak berusaha untuk mencapai suatu
cita-cita yang abstrak. Diusia dewasa biasanya seseorang sudah memliki sifat
kepribadian yang stabil. Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya
kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan
bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari
makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa berusaha untuk mempertahankan
nilai-nilai yang dipilihnya. Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi
tiga bagian, yaitu:
1.
Masa
dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa
pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan
masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan
masa ketergantungan perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri
pada pola hidup yang baru. Masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang
akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.. Kisaran
umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun
2.
Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung
dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut
pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi,
dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa
dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani
dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan
masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini
dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
3. Masa usia lanjut
(masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun
sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan
psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan
penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang
menyangkut kemampuan motorik, perubahan kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi
psikologis, perubahan dalam system syaraf dan perubahan penampilan. Dan
kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Usia dewasa adalah usia ketenangan
jiwa, ketetapan hati dan keimanan yang tegas.Usia dewasa dibagi kedalam tiga
tahap,yaitu masa dewasa dini ,masa dewasa madya,dan masa dewasa akhir (lansia).
Masa dewasa menurut konsep Islam adalah fase dimana seseorang telah memiliki tingkat
kesadaran dan kecerdasan emosional,moral,spiritual dan agama secara mendalam.Usia
lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu
periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode terdahulu. Pada
masa usia lanjut timbul rasa takut kepada kematian yang berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi
(akhirat).
Manusia di sebut makhluk potensial
karena pada manusia tesimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat di
kembangkan. Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu
dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock menyebutkan tahap perkembangan
tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa
akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa
madya, dan masa Usia lansia. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas
perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap
perkembangan tersebut, Hurlock ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia
adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari.
No comments:
Post a Comment