1

loading...

Thursday, December 6, 2018

MAKALAH “TURUT BERBUAT JARIMAH”



MAKALAH“TURUT BERBUAT JARIMAH”


BAB I 
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Salah satu tebing terjal yang masih harus didaki oleh cendekiawan Islam adalah masalah penerapan hukum pidana yang sesuai dengan Syariat Islam. Di dunia Islam Sendiri hanya segelintir negara yang menerapkan hukum Pidana Islam. Sedangkan lainnya masih menerapkan hukum peninggalan penjajah. Banyak orang yang menganggap hukum Pidana Islam tidak sesuai lagi dengan era ini. Hukum ini terlalu kejam. Kita tidak tahu apakah anggapan ini muncul dari orang yang berpendidikan(pernah mempelajari aspek-aspek dalam Hukum Pidana Islam) atau tidak. Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas dalam jinayah.
Dalam mempelajari fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang trlebih dulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan dipahami agar penggunaanyya tidak keliru.
A. Tujuan Penulisan
Pada kesempatan kali ini, Penulis sebagai penyaji makalah akan membahas segelintir kecil dari pengetahuan hukum dalam Hukum Pidana Islam yaitu tentang jarimah, dan lebih dikususkan lagi tentang Turut serta Berbuat Jariamah secara Langsung dan Tidak Langsung. Adapun poin – poin yang akan dibahas dalam pembahasan ini ialah:
1.    Mengetahui  Pengertian turut berbuat jarimah
2.    Mengetahui Turut berbuat jarimah secara langsung
3.    Mengetahui   Turut berbuat jarimah secara tidak langsung

BAB II
 PEMBAHASAN

A.      Pengertian Turut berbuat Jarimah
Tindak pidana atau suatu perbuatan jarimah adakalanya dilakukan secara perseorangan dan adakalnya dilakukan secara berkelompok. Nah, disini yang akan dibahas adalah perbuatan jarimah yang dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok.
Turut serta melakuan jarimah ialah melakukan jarimah secara bersama- sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari defenisi tersebut dapat diketahui sedikitnya ada dua pelaku jarimah baik dikehendaki bersama, secara kebetulan, sama- sama melakukan jarimah tersebut atau memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu jarimah[1]. Turut berbuat jarimah terbagi dua yaitu turut berbuat langsung dan tidak langsung. Berikut kita pembahasannya.






B.       Turut Berbuat Jarimah Secara Langsung
Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau biasa disebut di kalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli” (madedares).
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup di sifati sebagai ma’siat, yang di maksuidkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia melakukan percobaan, baik jarimah yang di perbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, apabila jarimah yang di perbuatnya itu selesai, sedang jarimah itu hanya jarimah had, maka pembuat di jatuhi hukuman had, dan maka kalau tidak selesai di jatuhi hukuman ta’zir.
Dalam hubungannya dengan turut berbuat jarimah, para fuqaha mengenal dua macam turut berbuat langsung, yaitu al tawafuq dan al tamalu’.
Al- Tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Artinya si peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Jadi kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba- tiba. Seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsung demonstrasi, yang tanpa perencanaan sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Misalnya ketika terjadi demonstrasi itu sering dimanfaatkan orang lain yang melihatnya, diantaranya ada yang mengambil kesempatan untuk berbuat sesuatu, mencuri, merusak atau memperkosa wanita – wanita yang ketakutan.[2] Dalam kasus seperti ini, para pelaku kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing- masing. Karena tiap – tiap pelaku jarimah tidak saling mengenal antara satu dan lainnya.
Al- Tamalu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana. Misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara terencana. Ada yang mengikatnya, memukulnya atau menembaknya. Mereka semua bertanggunh jawab atas kematian korban.[3] Dalam hal ini, para peserta bersama – sama menginginkan terjadinya suatu jarimah dan bersepakat untuk melaksanakannya. Namun dalam hal pelaksanaan jarimah masing – masing peserta melakukan fungsinya sendiri – sendiri.
Pendirian syariat islam dalam persoalan turut berbuat langsung sama dengan pendiriannya mengenai soal “jarimah percobaan”,yakni menghukum berdasarkan niatan si pembuat. Pendirian tersebut sama dengan pendirian subjektif.yang banyak di pakai pada hukum-hukum positif modern.
Yurisprudensi di indonesia pada mulanya mengambil pendirian objektif. Akan tetapi kemudian terjadi perubahan, dengan timbulnya suatu macam teori campuran (gemengde theorie) antara teori subjektifdan objektif. Teori campuran melihat kepada macamnya perbuatan yang diperbuat dan kepada perjanjian yang diadakan peserta dalam jarimah.

C.      Pengertian Turut Berbuat Jarimah Secara Tidak Langsung
Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung ialah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
Turut berbuuat jarimah yang tidak langsung adalah seperti orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh orang ketiga. Dalam kasus ini, menurut para ulama dikalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh. Adapun menurut Abu Hanifah, si penyuruh itu tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila suruhnnya itu sudah sampai pada tingkat pada tingkat paksaan. Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang disuruh itu harus bertanggung jawab atas kematian korban, sedangkanyang menyuruh dikenai sanksi ta’zir.[4]
Dari keterangan tersebut kita mengetahui Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu :
1.        Perbuatan yang dapat dihukum (jarimah)
2.        Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya itu perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi
3.        Cara mewujudkan perbuatan tersebut  yaitu mengadakan persepakatan, atau menyuruh, atau membantu.
Unsur Pertama
Perbuatan dimana kawan yang disuruh berbuat atau yang memberi perintah untuk berbuat adalah orang yang melakukan perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman jarimah. Misalnya pembunuhan. Jadi pada jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung tidak dapat langsung dihukum. Demikian pula apabila pembuat asli tidak dapat dihukum, misalnya karena masih di bawah umur, atau gila.
Unsur kedua
Dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu jarimah tertentu. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Misalnya si A memerintahkan si B untuk membunuh si C. Nah, membunuh itukan termasuk jarimah yang sebelumnya mereka telah melakukan kesepakatan dan salah seorang diantara mereka pasti ada yang membantu melakukan jarimah tersebut. Sehingga dapatlah perbuatan itu disebut perbuatan tidak langsung.
Unsur Ketiga
1.    Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk berbuat jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada “turut berbuat” kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
Jika seorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kambing, kemudian pembuat langsung memukul pemilik kambing atau mencuri kambing bukan milik orang dituju, maka disini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak adanya “turut berbuat” tidak berbarti bahwa persepakatan itu tidak dihukum, sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatan ma’siat.

Untuk terjadinya “turut berbuat” sesuatu jarimah harus merupakan akibat persepakatan. Jika seseorang bersepakat dengan orang kedua untuk membunuh orang ketiga, kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan diperbuat terhadap dirinya dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang kedua tersebut. Dan ia (orang ketiga) itu hendak membunuhnya terlebih dahulu, akan tetapi orang kedua itu dapat membunuh orang ketiga terlebih dahulu karena untuk membela diri, maka kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap sebagai akibat persepakatan, melainkan karena akibat pembelaan diri dari orang kedua, yaitu orang yang mestinya akan melakukan pembunuhan sendiri terhadap orang ketiga.

Meskipun terhadap orang kedua tidak dijatuhi hukuman  karena pembelaan diri tersebut namun ia dapat dihukum karena persepakatan jahatnya dengan orang lain, sebab persepakatan jahat itu sendiri adalah suatu perbuatan maksiat yang dihukum baik dapat dilaksanakan atau tidak.

Dalam hal “turut berbuat” tidak langsung, Imam Malik mempunyai pendapat yang menyendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan orang lain, di mana yang satu menjadi pembuat yang langsung, sedang yang lain tidak berbuat tetapi menyaksikan pelaksanaan jarimah, maka orang yang menyaksikan tersebut dianggap sebagai “kawan berbuat langsung” (made dader)

2.    Menyuruh (menghasut ; tahridl)
Yang dimaksud dengan menghasut  ialah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya jarimah, walaupun tidak ada hasutan atau bujukan maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
Kalau orang yang mengeluarkan perintah (bujukan) mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti orang tua terhadap anaknya atau guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut bisa dianggap sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak dibawah umur, tidak dungu atau gila dan yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka perintahnya itu dianggap bujukan biasa, yang boleh jadi menimbulkan jarimah atau tidak.
3.    Memberi bantuan (I’anah)
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam perbuatan jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung. Meskipun tidak ada persepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli (Mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang; maka memberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap perbuatan tersebut.
BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
apabila jarimah yang di perbuatnya itu selesai, sedang jarimah itu hanya jarimah had, maka pembuat di jatuhi hukuman had, dan maka kalau tidak selesai di jatuhi hukuman ta’zir.
Al- Tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Artinya si peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Jadi kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba- tiba. Seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsung demonstrasi,

DAFTAR FUSTAKA

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam. (Bandung: CV PUSTAKA    SETIA, 2000), cet ke-1, h.55.
Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),  cet ke- 2,h. 56
 A. Djazuli.Fiiqih Jinayah(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), cet   ke-2, h. 17.
 Dzajuli, Fiqih Jinayah,  h.18.


[1] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000), cet ke-1, h.55. 
[2] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),  cet ke- 2,h. 56
[3] A. Djazuli.Fiiqih Jinayah(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), cet ke-2, h. 17
[4] Dzajuli, Fiqih Jinayah,  h.18.

No comments:

Post a Comment