MAKALAH FIQIH JINAYAH : "SEBAB-SEBAB HAPUSNYA HUKUMAN"
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama
dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat dalam kehidupan manusia.
Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai dan berkeadilan. Artinya,
tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan
dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara
perilaku yang dibenarkan ( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram).
Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan
tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di
dalam fiqih Jinayah. Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut
hapusnya pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Setelah
mengetahui berbagai sebab-sebab hapusnya hukuman di harapkan untuk dapat memahami
macam-macam hukuman yang bisa dihapuskan dan sebab – sebab hapusnya hukuman.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu hapusnya
hukuman ?
2.
Apa saja
macam-macam dari hukuman yang bisa dihapuskan ?
3.
Sebab – sebab
hapusnya hukuman ?
C.
Tujuan
1.
Untuk dapat
mengetahu apa itu hapusnya hukuman
2.
Untuk dapat
mengetahui apa saja macam dari hukuman yang bisa dihapuskan
3.
Dan untuk
mengetahui apa sebab-sebab hapusnya hukuman
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hapusnya Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut
‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya:
Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam
pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa
di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya
membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat
dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan
dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang
kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan
terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai
“Siksa atau Keputusan yang dijatuhkan Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia
istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang
dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat
menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman
perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman
adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: Hukuman
adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat
karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.
Jadi hapusnya hukuman ialah tidak
terdapat pertanggungjawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga
tidak ada keputusan hakim.
B.
Macam – macam
Hukuman Yang Bisa Dihapuskan
a.
Jarimah
Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan
diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan
batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi
hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan,
seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat
apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah
qishosh diyat antara lain:
-
pembunuhan
sengaja
-
pembunuhan
semi sengaja
-
pembunuhan
keliru
-
penganiayaan
sengaja
-
penganiayaan
Diantara jarimah-jarimah qishosh
diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram
menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada
dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang
mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya
serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an nisa’: 93).
Rosulullah SAW juga bersabda, ”
Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah
darah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman
mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika
dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat
yaitu denda senilai 100 onta (Abdl Basyir, 2003: 61).
Di dalam Hukum Pidana
Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati
yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian
maaf dari keluarganya.
b.
Jarimah
Ta’zir
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi
terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan
paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan
pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir
prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu,
penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas).
C.
Sebab – sebab
Hapusnya Hukuman
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya
suatu putusan pengdilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik
sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan
masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya
hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat
pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada
keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu
ada dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun
karena sebab-sebab seperti tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat
dilaksakan kepada terhukum.
Berikut ini beberapa hal atau perbuatan
yang menyebabkan terjadinya gugurnya hukuman:
1.
Meninggalnya si
pembuat jarimah. Hukuman mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal
pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun, hukuman yang berupa harta
seperti denda, diyat (Diyat adalah sejumlah harta yang wajib di berikan kepada
pihak yang terbunuh. Diyat berlaku atas perbuatan pembunuhan atau melukai atau
menghilangkan manfaat anggota badan, Diyat di syari'atkan dengan maksud
mencegah perampasan jiwa atau penganiayaan terhadap manusia yang harus di
pelihara keselamatan jiwanya.) [1]dan
perampasan harta dapat terus dilaksanakan.
2.
Hilangnya
anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. Dalam kasus jarimah qishash (Al-
Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku
persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban). [2] hukuman
berpindah kepada hukuman diyat.
3.
Bertobat, menurut para ulama tobat ini hanya ada pada jari
mahhirabah (Hirabah berasal dari kata Harb yang
artinya perang. Menurut buku Fiqh Sunnah jilid 9 karya Sayyid Sabiq, Hirabah
adalah keluarnya gerombolan bersenjata didaerah islam untuk mengadakan
kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak
tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik
gerombolan tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir
Harbi).[3] Namun
mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulil amri untuk memberikan sanksi
ta’zir demi kemaslahatan umum.
4.
Korban (dalam hal masih hidup) dan wali/ahli waris (dalam
hal korban mati), memaafkannya (dalam qishash-diyat) ataupun ulul amri dalam kasus
ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan.
5.
Adanya upaya damai antara pelaku dengan korban atau
wali/ahli warisnya dalam kasus jarimah qishash/diyat.
Berbeda
dengan hapusnya hukuman karena sebab – sebab tersebut maka yaang dimaksud
dengan gugurnya hukuman disini adalah tidak
dapat dilaksanakannya hukuman – hukuman yang telah dijatuhkan atau
diputuskan oleh hakim. Dalam kaitan dengan hapusnya hukuman karena keadaan
pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang
terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur.
Asbab
raf’ al uqubah atau
sebab hapusnya hukuman,tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu
diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh
karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman. Diantara sebab-sebab hapusnya hukuman
ini ada empat macam:
1.
Paksaan (al
ikrah)
“Paksaan adalahsuatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah
kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan
yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang
dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang
dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang
lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga
karenanya hilang kerelaannya”.
Paksaan atau koersi adalah praktik
memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau
tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau
bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Dalam hukum, pemaksaan dikodifikasikan
sebagai kejahatan paksaan. Tindakan tersebut digunakan sebagai pengaruh,
memaksa korban untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. Paksaan mungkin
melibatkan penderitaan sebenarnya rasa sakit fisik/cedera atau kerusakan
psikologis dalam rangka meningkatkan kredibilitasancaman.
Ancaman kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kerja sama atau kepatuhan dari
orang yang dipaksa. Penyiksaan adalah salah satu contoh yang paling ekstrem
dari sakit parah adalah pemaksaan yaitu ditimbulkan sampai korban memberikan
informasi yang dikehendaki.[4]
2.
Mabuk (al
sukru)
Mabuk, dalam pengertian umum, adalah
keadaan keracunan karena konsumsi alkohol sampai
kondisi di mana terjadi penurunan kemampuan mental dan fisik. Gejala umum antara
lain bicara tidak jelas, keseimbangan kacau, koordinasi buruk, muka semburat,
mata merah, dan kelakuan-kelakuan aneh lainnya. Seorang yang terbiasa mabuk
kadang disebut sebagai seorang alkoholik,
atau "pemabuk". namun jika dikaji secara mendalam dalam ilmu filsafat
dan agama, mabuk berarti tidak mengerti apa yang dikerjakan namun dalam keadaan
sadar.[5]
Pengertian lain yang dimaksud dengan mabuk adalah
hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang
sejenisnya. Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang
mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraannya. [6] Alasan
mereka ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan…[7]
3.
Gila (al
jununu)
Secara umum dan luas, gila memiliki
pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut
merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun),
dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan hyang
sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir). Beberapa jenis penyakit,
baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun
sebagiannya. Gila
dan keadaan-keadaan lain yang sejenis:
a.
Gila terus menerus
Gila
terus menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat berpikir sama
sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating kemudian.
Dikalangan fuqaha, gila semacam ini disebut dengan
Al-Jununu Al-Muthbaq.[8]
b.
Gila berselang
Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat
berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka
ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah
berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa.
Pertanggungjawaban
pidana pada gila terus menerus hilang sama sekali, sedang pada gila berselang
ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.
c.
Gila sebagian
Gila
sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara
tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat
berpikir. Dalam kondisi dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani
pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari
pertanggungjawaban pidana.
d.
Dungu (Al-‘Ithu)
Menurut
para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi
sebagai berikut:
“orang
dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur,
tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian
karena suatu penyakit.Dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang
paling rendah dan dungu bias dikatakan berbeda dengan gila, karena hanya
mengakibatkan lemahnya berpikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila
mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan
tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak
sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Namun secara umum orang
dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.[9]
e.
Tuli dan Bisu
Tuli
adalah kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan
seseorang untuk mendengarkan suara.
Bisu
adalah ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh
gangguan pada organ-organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah,
dsb. Bisu umumnya diasosiasikan dengan tuli.
f.
Lemah pikiran
g.
Gerakan tidur
Dimana
suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap
lingkungan menurun atau hilang, dapat di bangunkan kembali dengan indra atau
rancangan yang cukup.
h.
Hipnotis
Hipnotis
adalah salah satu ilmu yang digunakan untuk bermain dengan alam bawah sadar
manusia, setelah seseorang memasuki alam bawah sadarnya kita bisa menanamkan
sugesti tertentu dalam pikiran mereka dan membuat mereka melakukan hal-hal yang
kita perintahkan.
4.
Dibawah
umur (shighar assinni).
Menurut syari’at Islam,
pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yakni kekuatan beripikir
dan pilihan atau iradah dan ikhtiar. Oleh karena
itu, kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan-perbedaan masa yang
dilalui hidupnya, mulai dari kelahiran sampai masa memiliki kedua perkara
tersebut. Hasil penyelidikan para fuqaha’ mengatakan bahwa masa tersebut ada
tiga yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai dewasa:
a.
Masa tidak
adanya kemampuan berpikir (idrak) (0-2 tahun)
Masa
ini dimulai sejak dilahirkan sampai pada usia tujuh tahun. Pada masa ini
seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir atau belum tamyiz.
Boleh jadi anak yang belum berusia tujuh tahun menunjukkan kemampuan berpikir,
tetapi ia tetap dianggap belum tamyiz karena yang menjadi
ukuran kebanyakan orang bukan perseorangan. Jarimah yang
dilakukan oleh anak di bawah umur tujuh tahun tidak dikenakan hukuman pidana
atau pun sebagai pengajaran.
Menurut
Piaget, bayi lahir
dengan sejumlah refleks bawaan
selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk
melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah
periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini
menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam
sub-tahapan:
1.
Sub-tahapan skema
refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama
dengan refleks.
2.
Sub-tahapan fase
reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan
berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3.
Sub-tahapan fase
reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan
dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4.
Sub-tahapan koordinasi
reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan,
saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen
walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5.
Sub-tahapan fase
reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas
bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai
tujuan.
b.
Masa kemampuan
berpikir yang lemah (2-11 tahun)
Masa
kemapuan berpikir lemah dimulai sejak usia 7 (tujuh) tahun sampai mencapai usia
baligh, dan kebanyakan para ulama membatasinya dengan usia 15 (lima belas)
tahun. Pada masa tersebut, seorang anak tidak dikenakan pertanggung jawaban
pidana akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran.
Anak-anak
belajar berfikir menggunakan simbol-simbol, dan pencitraan batiniah. namun
pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. pikiran di titik ini
sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa untuk dapt memahami suatu
permasalahan sangatlah sulit, karena di masa ini anak masih ingin memahami
kepribadiannya. Maka dari itu pada masa ini harus lah peran orang tua untuk
membentuk sifat perilaku si anak tersebut sehingga ketika usia nya sudah dewasa
maka pemikiran nya juga layak untuk di pergunakan.
c.
Masa kemampuan
berpikir penuh (11- tahun sampai dewasa)
Masa
ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdikan(sinnur rusdy), dengan
perkataan lain anak tersebut telah mencapai usia 15 (lima belas) tahun atau 18
(delapan belas) tahun. Pada masa ini seorang anak sudah dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas semua jarimah-jarimah yang
telah diperbuatnya.[10]
Tahap
operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas)
dan terus berlanjut sampai dewasa.
Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara
abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis,
dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih,
namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis,
tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar
lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis,
kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran
dari tahap operasional konkrit.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hapusnya hukuman ialah tidak
terdapat pertanggungjawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga
tidak ada keputusan hakim.
a.
Macam – macam
Hukuman Yang Bisa Dihapuskan :
1.
Jarimah
Qishosh Diyat.
Yang
termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:
-
pembunuhan
sengaja
-
pembunuhan
semi sengaja
-
pembunuhan
keliru
-
penganiayaan
sengaja
-
penganiayaan
2.
Jarimah
Ta’zir
b.
Sebab-sebab
hapusnya hukuman
1.
Paksaan.
2.
Mabuk.
3.
Gila.
4.
Tuli dan Buta
5.
Hipnotis.
6.
Tidur (Gerak
tidur).
7.
Dibawah umur.
B.
Saran
Asbab raf’ al uqubah atau
sebab hapusnya hukuman,tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu
diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh
karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman.
Daftar
Pustaka
Abdul Qadir Audah,At Tasyri’ Al
Jina’I Al Islami, Beirut, Dar Al-Kitab Al-‘Araby.
Ahmad Hanafi, Op.Cit.,
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Al quran dan terjemah Departemen Agama
RI
Hanafi, Ahmad, M.A.Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet
IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Ibrahim Anis, dkk., Al-
Mu’jam Al- Wasit, (Mesir: Majma’ Al- Lughah Al- Arabiyyah, 1972).
Ibrahim Anis,
dkk., Al-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir: Dar Al Ma’arif, 1972).
https://id.wikipedia.org/wiki/Mabuk.
[1]
Abdul Qadir Audah,At Tasyri’ Al Jina’I Al
Islami, Beirut, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, tt, hal. 20.
[2]
Ibrahim Anis, dkk., Al- Mu’jam Al-
Wasit, (Mesir: Majma’ Al- Lughah Al- Arabiyyah, 1972), cet. Ke-2, hal
740
[5]
https://id.wikipedia.org/wiki/Mabuk.
[7]
Al quran
dan terjemah Departemen Agama RI
[8]
Hanafi, Ahmad, M.A.Asas-Asas
Hukum Pidana Islam, Cet IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hal. 121.
[9]
Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2006, hal. 114.
[10]
Ahmad
Hanafi, Op.Cit., hal.135- 137.
No comments:
Post a Comment