1

loading...

Thursday, December 6, 2018

CERPEN AKHIR YANG MEMBINGUNGKAN


CERPEN AKHIR YANG  MEMBINGUNGKAN 

Akhir yang Membingungkan
By : Widya Anggraini
            Ku lihat jarum jam menunjukan pukul 01:00 malam, mengantuk katamu?”. Itu tidak pernah melintas dalam pikiran ku, karena aku tidak sabar dengan kejutan yang akan terjadi esok pagi, besok adalah  hari keberangkatan kami melaksanakan tugas penelitian. Seketika mataku terpejam, tidak lama ku dengar kokokan ayam membangunkanku dalam mimpi indah ku. Aku langsung bergegas mandi  dan bersiap-siap memakai almamater hijau kesayanggan ku menuju kampus.
            Kelompok ku mendapatkan penelitian di desa Siabun kec. Sukaraja kab. Seluma, burung tidak memberi kabar seperti apa desa itu, semoga sesuai dengan harapan kami. Sampainya kami di desa itu, kepala desa, perangkat desa, dan masyarakat menyambut kami dengan penuh kehangatan dan keramahan, ini awal yang cukup baik menurut ku.
            Aku dan teman-teman kelompok ku akan tinggal disebuah rumah yang ada di ujung desa, rumah yang curam tampak dari luar, tapi mungkin hanya perasaan ku saja karena belum terbiasa di desa orang, kami masuk keruang tengah rumah itu, hawa panas dan bau wewangian melintas di bawa angin, seketika bulu kuduk ku berdiri, yang melintas dipikiranku semoga rumah ini bisa membuat hati kami nyaman selama tinggal disini.
            Masyarakat disini ramah-ramah, satu dengan yang lain saling tegur sapa, saling menghormati dan saling peduli. Hari ini kelompok kami diajak bapak kepala desa untuk berkeliling desa, kami menemukan surga dunia di desa ini pemandangan gunung, sawah, perkebunan buah yang melimpah serta sungai yang mengalir deras benar-benar seperti surga Sang Maha Pencipta, aku yakin kami akan betah melakukan tugas penelitian kami di desa Siabun yang sangat menakjubkan ini.
            Perjalan kami hari ini cukup melelahkan tapi itu bisa terbayarkan dengan ketenangan suasana di desa ini, kini senja mulai menyapa, Agung adalah nama ketua kelompok ku, dia memberikan arahan agar kami kembali ke tampat tinggal kami selama disini untuk beristirhat dan melanjutkan kegiatan esok pagi.
            Di malam yang sunyi ini kami berada dalam kegelapan, karena di desa ini listrik belum tersalurkan, padahal hidup di zaman yang penuh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, masih juga ada desa yang berada dalam ketinggalan, setiap malam di desa hanya obor dan kunang-kunang sebagai sumber penerangan, entah sampai kapan penderitaan warga desa akan berakhir, yang jelas warga desa sudah terbiasa menjalani kehidupan yang jauh dari kemoderenan ini.
            Hari ketiga kami disini Rehan sebagai ketua karang taruna desa Siabun mengajak kami untuk berkumpul dengan bujang gadis desa. Setiap malam minggu bujang gadis desa berkumpul di suatu tempat untuk mengadakan tradisi yang biasa mereka lakukan secara turun temurun, tradisi itu disebut dengan gegerit, gegerit ini terdiri dari tarian yang dikenal dengan nama tarian  tengah laman bujang gadis, merejang dan merejung. Karena terbuai dengan lantunan kami tidak sadar bahwa jam telah menunjukkan tengah malam, dengan langkah berat kami memutuskan untuk mengakhiri acara kami dan kembali kerumah masing-masing.
            Besok kami akan melakukan penelitian di sebuah bukit yang tidak terlalu jauh dari permukiman warga. Pasti kami akan mengalami banyak kesulitan untuk menuju bukit itu, maklum saja alat transportasi desa ini belum memadai, serta alat yang akan kami gunakan untuk mempermudah melakukan penelitian juga tidak bisa digunakan karena jaringan yang tidak tersalurkan.
            Tepat dihari ini kami berangkat menuju bukit dengan berjalan kaki, dalam perjalanan mata ku terpusat kesuatu titik, bola mata ku berlari kearah kerumunan banyak orang, setelah kami dekati, ternyata orang-orang itu membeli kebutuhan di sebuah kalangan, kalangan adalah pasar yang biasanya terjadi hanya 1 kali dalam seminggu.
            Aku mengajak Agung, Tegar, Rika, dan Nita singgah di pasar itu terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju bukit, didalam pasar itu kami membeli bekal untuk di perjalanan, aku membeli kue gegelang, onde-onde, kecepul dan masih banyak kue lainnya. Setelah selesai berbelanja kami melanjutkan perjalan menuju bukit.
            Saat perjalanan pulang kami bertemu dengan pak Rustam selaku kepala desa, dia mengajak kami ikut nanti malam ke rumah wak Laham, karena nanti malam dirumah wak Laham akan di adakan bedikir, masyarakat sekitar sering menyebutnya bedikir dengan sebutan sarapal anam.
            “Nanti malam kalian ada acara atau kesibukan gak?” Pak Rustam bertanya kepada kami.
            “Tidak ada Pak. Rika menjawab pertanyaan yang di lontarkan bapak kepala desa itu dengan spontan.
            “Jika kalian tidak ada acara, nanti malam kerumah wak Laham saja, karena dirumah nya akan diadakan sarapal anam.” Pak Rustam mengajak kami.
            “Ia Pak, nanti malam kami akan datang kerumah wak Laham.” Agung selaku ketua kelompok menyetujui ajakan Pak Rustam.
            Kami mengikuti kegiatan sarapal anam yang dilangsungkan di rumah wak Laham sampai dengan selesai. Hitung-hitung kami menambah pengetahuan dan pengalaman yang tidak mudah  kami temukan ketika kami berada dikota. Setelah acara selesai kami pulang kerumah dan harus bersiap-biar, besok kami akan kembali kekota, karena tugas penelitian kami didesa ini sudah selesai.
            Sebanarnya berat kaki ini untuk melangkah tapi mau bagaimana lagi ini lah kehidupan jika ada pertemuan pasti akan ada perpisahan, pengalaman yang kami dapatkan didesa ini tidak akan pernah kami lupakan.
            Hari ini kami akan pulang kekota, untuk melanjutkan perkuliahan, kepala desa dan perangkat desa mengantarkan kami menuju perbatasan desa.
            Kami melalui jalan yang panjang untuk kembali ke kota, sampai kekota kami harus membuat laporan penelitian yang akan kami kumpulkan 1 minggu yang akan datang, untuk itu kami membagi tugas agar laporan yang kami buat cepat selesai dan bisa kami kumpulkan.
            Dalam pembagian tugas, Tegar bertugas mengumpulkan berkas, Tegar merasakan ada sesuatu yang kami lupakan selama berada didesa.
            “Sepertinya ada sesuatu yang kita lupakan?” seketika bibir tipis itu berbicara.
            “Maksud mu?” Agung menjawab terkejut.
            “Ya, kita melupakan tanda tangan pak Rustam.” Tegar menemukan kesalahan yang kami lakukan.
            Untuk itu mau tidak mau kami harus kembali kedesa Siabun, kec. Sukaraja, kab. Seluma untuk meminta tanda tangan pak Rustam, tanda tangan itu adalah syarat penting untuk bukti laporan penelitian bahwa kami memang pernah melakukan penelitian didesa Siabun, jika tanpa tanda tangan itu tentu saja laporan penelitian kami tidak akan diterima dan kami akan disuruh melakukan penelitian ulang.
            Sampai didesa Siabun kami menemukan banyak perubahan, kami bingung dengan keadaan yang ada di desa dalam waktu sekejab dapat berubah begitu drastis dari zaman old menuju zaman new, desa ini berubah 360 derajat, entah apa yang sebenarnya terjadi semua keadaan yang ada didesa sudah berubah dari pemandangan desa, suasana desa, bahkan warga desa.
            Kami menuju rumah Pak Rustam, setelah kami mengetuk pintu rumahnya, sangat mengejutkan yang keluar dari rumah itu bukanlah pak Rustam yang kami cari.
            “Maaf, ada perlu apa ya nak?” bapak tua itu bertanya dengan nada yang terpatah-patah.
            “Maaf ya pak sebelumnya, kami mau bertemu dengan pak Rustam, kepala desa ini?” Aku menjelaskan maksud kedatangan kami kedesa ini.
            “Pak Rustam yang mana ya nak, soalnya kepala desa, desa ini saya dan nama saya bukan Rustam.”
            “ini desa Siabun kan Pak? Kemarin kami melakukan penelitian didesa ini, setelah kami sampai di kota, kami lupa meminta tanda tangan bapak kepala desa, dan nama bapak kepala desa nya ini atas nama pak Rustam.” Aku membantah perkataan bapak tua itu.
            “Maaf ya nak, saya berbicara apa adanya dengan kalian, jika kalian tidak percaya bahwa saya adalah kepala desa,  kalian bisa bertanya dengan warga desa ini.” Bapak tua itu berusa meyakinkan kami.
            Yang lebih mengejutkannya bapak itu bercerita bahwa, dulu memang desa Siabun itu bukan berada didesa ini, tapi desa Siabun yang kami maksud itu sudah puluhan tahun yang lalu hilang, dan nama Siabun di pakai desa ini, sebelum desa Siabun itu hilang desa ini disebut dengan desa Riak, dan setelah desa Siabun itu hilang desa Riak di ubah namnya menjadi desa Siabun.
            Seketika bibir kami membeku, mendengar cerita yang bapak tua itu sampaikan, kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan dengan semua kejadian yang sangan membingungkan ini, padahal hasil laporan itu harus dikumpulkan 3 hari lagi.

No comments:

Post a Comment