USHUL
FIQIH
LAFAZH
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan
utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Quran
mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji
dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Quran sebagai rujukan
utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk
interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha
untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran,
sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan
arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang
masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam
ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Quran itu tidak
hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat
yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Dalam menafsirkan Al-Quran, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya.
Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal
Al-Quran yang digunakan untuk menentukan suatu hukum. Oleh karena itu,
agar dapat memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam
ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan guna
menambah pemahaman pembaca. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai yaitu
mutlaq dan muqayyad.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari lafazh mutlaq dan muqayyad ?
2. Apa kaidah-kaidah lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad ?
3. Bagaimana
pendapat para ulama mengenai lafazh mutlaq dan muqayyad?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari lafazh mutlaq dan muqayyad.
2. Untuk
mengetahui kaidah-kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad.
3. Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang
lafazh mutlaq dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian mutlaq dan muqayyad
Mutlhaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang
menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak
karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna
tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ulama tentang mutlak dan
muqayyad:
1) Menurut
Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau
beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2) Menurut Abu
Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadapmaudhu’nya tanpa memandang kepada
satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat
sesuatu menurut apa adanya.
3) Menurut Ibnu
Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk
kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[1]
Munurut bahasa yaitu tidak terikat. Sedangkan menurut
istilah adalah suatu kata yang menunjukan suatu materi tanpa ikatan.
Mutlaq adalah Lafaz yang
menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu
individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya
berbentuk nakirah dalam
konteks kalimat positif. Misalnya lafadz رَقَبَةٍ (seorang
budak) dalam ayat:
فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ
Yang artinya: “(maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak)…” (Q.S.
Al-Mujadalah [58]: 3). Pernyataan ini diliputi pembebasan seorang budak yang
mencakup segala jenis budak, baik itu yang mukmin atau yang kafir. Lafadz
“raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif.
Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak
dengan jenis apapun juga. Oleh karena itu, ulama ushul mendefinisikan mutlaq
dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualin
isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna
nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum menyangkup semua individu yang
termasuik jenisnya.[2]
Muqayyad Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat.
Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan
dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
Muqayyad adalah lafadz
yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” yang dibatasi
dengan “iman” dalam ayat:
فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Yang artinya: “maka
(henedaklah pembunuh itu) memerdekakan budak yang beriman...” (Q.S.
An-Nisa’ [4]: 92).[3]
Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan..seorang..hamba..sahaya..yang..beriman. Kata raqabah
dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman).
Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara
tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah
memerdekan hamba yang tidak beriman.
Para ulama
berkata: ”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad), maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya.
Dan jika tidak ditemukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada
kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap
pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa
Arab”.
Dari
penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad,
bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang
mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal
raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadalah ayat 3 di atas adalah bentuk
mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan
memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara
muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal,
yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas. [4]
B.
Kaidah Lafazh
Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain
dengan bentuk muqayyad,
maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1. Jika sebab
dan hukum yang ada dalam mutlaq sama
dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang
ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.[5]
Contoh:
·
Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan,
yaitu:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير...
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah
tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah)
bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang
mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya
mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah
haram.[6]
·
Ayat muqayyad
Surat..Al..An’am..ayat..145,.dalam..masalah..yang..samayaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا...
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...”.
Lafadz “dam” (darah)
dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena..diikuti..oleh qarinah atau qayid yaitu
lafadz “masfuhan” (mengalir).
Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah
“dam-an masfuhan” (darah
yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini
dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.[7]
2. Jika sebab
yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum
keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad[8].
Contoh:
·
Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
….فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ….
“...Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…”
Lafadz “yad” (tangan)..dalam..ayat..di..atas’’berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz
lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan).
Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke
muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku,
tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang
menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan
hanya sampai pergelangan tangan.[9]
·
Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ …
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku…”
Lafadz “yad” (tangan)
dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan
siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat
mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan..menyapu..dengan,,tanah,..sedang..ayat muqayyad menerangkan keharusan
mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada
yang muqayyad. Artinya,
ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku,
sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan..sampai..siku.,,Dengan..demikian..ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.[10]
3. Jika sebab
yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum
keduanya sama, maka yang mutlaq tidak
bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.[11]
Contoh:
· Ayat Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang
kafarah dzihar yang
dilakukan seorang suami kepada
istrinya.
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ
يَتَمَاسَّا مِنْ
قَبْلِ أَنْ …
“Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur...”
Lafadz “raqabah” (hamba
sahaya) dalam masalah dzihar ini
berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur
men-dzihar istrinya dan
ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba
sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.[12]
·
Ayat Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ...
“dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman....”
Lafadz “raqabah” (hamba..sahaya)..dalam..ayat..ini..berbentuk muqayyad..dengan..diikat..lafadz “mukminah” (beriman),..maka..hukumnya
ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena
sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya,
namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.[13]
4. Jika sebab
dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda
dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana
yang muqayyad.[14]
Contoh:
·
Ayat Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang
berbunyi:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ ...
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...”
Lafadz “yad” dalam
ayat di atas berbentuk mutlaq,
yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari
tangan yang harus dipotong.
·
Ayat Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah
ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى
الْمَرَافِقِ...
“Hai..orang..orang..yang..beriman,..apabila..kamu..hendak..mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”
Lafadz “yad” dalam
ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena
diikat..dengan..lafadz “ilal..marafiqi”(sampai..dengan..siku)...Ketentuannya
hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari..dua..ayat..di..atas..terdapat..lafadz..yang..sama..yaitu lafadz “yad”.Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan
yang kedua berbentukmuqayyad. Keduanya
mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yangmutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus
potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan
masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa yangmutlaq tidak
bisa dipahami menurut yang muqayyad.[15]
C.
Hukum Lafazh Mutlaq dan Lafazh Muqayyad Menurut Para Ulama
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa
hukum lafazh mutlaq itu
wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi
kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh
muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.
1.
Bentuk mutlak dan
muqayyad yang disepakati
Berikut adalah bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati oleh
para ulama:
a.
Hukum dan sebabnya
sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajbnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.
Hukum dan sebabnya
berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya
dan muqayyad tetap
pada kemuqayyadannya.
c.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, ulama..sepakat..pula..bahwa..tidak..boleh..membawa lafazh..mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap
berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.[16]
2. Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad
Berikut..adalah..hal-hal..yang..diperselisihkan..dalam mutlaq dan muqayyad:
a.
Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudhu’) dan hukumnya sama. Menurut
Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, danHanafiyah, dalam hal ini wajib
membawa mutlaq kepada
muqayyad.
b.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah
ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama..Hanafi..tidak..boleh..membawa mutlaq kepada..muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya.[17]
D. Alasan
Masing-Masing Pendapat Para Ulama
Berikut ini adalah pendapat dari Ulama
Hanafiyah dan Jumhur Ulama:
1. Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prinsip bahwa kita
melaksanakan dalalah lafazh atas
semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga..lafazh..mutlaq tetap..pada.. kemutlakannya dan lafazh..muqayyad tetap..pada..kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri.
Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti
mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan
hal ini, lafazh mutlaq tidak
bisa dibawa padamuqayyad, kecuali
apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan
salah satunya membawa pada tanaqud(saling
bertentangan).[18]
2. Alasan Jumhur
Al-Quran merupakan kesatuan hukum yang
utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada
suatu kata dalam Al-Quran yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada
setiap tempat yang terdapat kata itu. (Imam Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar
untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagi orang diam,
yang tidak menyebut qayyid. Di
sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid, dan
tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyad sebagai
orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya qayyid...Di..sini..tampak..jelas..adanya..kewajiban..memakai qayyid ketika
adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai
penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan dasar untuk menjelaskan
maksud mutlaq.[19]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mutlaq adalah suatu lafadz yang
menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang
menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba
sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak
lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga
ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad
adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang
membatalkannya.
apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz
menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan
materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi
bukan dari ucapan lafaz itu sendiri.
Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat..pada..sebab..hukum...Namun,..masalah..(maudhu’)..dan..hukumnya..sama...Menurut..jumhur..Ulama..dari..kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam..hal..ini..wajib..membawa mutlaq kepada muqayyad.
Mutlaq dan muqayyad terdapat
pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah
ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafi tidak boleh membawa mutlaq kepada muqayyad,melainkan masing-masingnya
berlaku sesuai dengan sifatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih-Ushul fiqih.
Bandung. Pustaka setia.
As, Mudzakir. 2007. Studi ilmu-ilmu Qur’an.
Bogor. Litera AntarNusa.
Fidaus. 2004. Ushul Fiqih (metode
mengkaji dan memahami islam secara komprehensif). Jakarta. Zikrul Hakim.
Rosihon. 1999. Mutiara ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Bandung. Pustaka Setia.
Praja, Juhaya S. 2010. Ushul Fiqih.
Bandung. Pustaka Setia.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu ushul
fiqih. Bandung. Pustaka Setia.
[2] Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa,2007), h. 358
[3]
Ibid, h. 360
[4] Ibid, h. 362
[5] Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan
memahami hukum islam secara komprehensif), (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 148.
[6] ibid
[7] Ibid h. 49-50
[9] Ibid, h. 185
[10] ibid
[12]
Ibid, h. 362
[13] Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 233
[14] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 190
[15] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 193
[19] Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,2010), h. 167.
No comments:
Post a Comment