1

loading...

Sunday, December 9, 2018

MAKALAH USHUL FIQIH


USHUL FIQIH
LAFAZH MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Quran mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Quran sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Quran itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Dalam menafsirkan Al-Quran, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Quran yang digunakan untuk menentukan suatu hukum. Oleh karena itu, agar dapat memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai  yaitu mutlaq dan muqayyad.

B.     Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian dari lafazh mutlaq dan muqayyad ?
2.   Apa kaidah-kaidah lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad ?
3.   Bagaimana pendapat para ulama mengenai lafazh mutlaq dan muqayyad?
C.     Tujuan Penulisan
1.   Untuk mengetahui pengertian dari lafazh mutlaq dan muqayyad.
2.   Untuk mengetahui kaidah-kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad.
3.   Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang lafazh mutlaq dan muqayyad.
   
  BAB II
        PEMBAHASAN
A.    Pengertian mutlaq dan muqayyad
Mutlhaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ulama tentang mutlak dan muqayyad:
1)      Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2)      Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadapmaudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.
3)      Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[1]
Munurut bahasa yaitu tidak terikat. Sedangkan menurut istilah  adalah suatu kata yang menunjukan suatu materi tanpa ikatan. Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lafadz   رَقَبَةٍ (seorang budak) dalam ayat:

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Yang artinya: “(maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak)…” (Q.S. Al-Mujadalah [58]: 3). Pernyataan ini diliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik itu yang mukmin atau yang kafir. Lafadz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Oleh karena itu, ulama ushul mendefinisikan mutlaq dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualin isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuik jenisnya.[2]
Muqayyad Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Yang artinya: “maka (henedaklah pembunuh itu) memerdekakan budak yang beriman...” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 92).[3]
Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan..seorang..hamba..sahaya..yang..beriman. Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.
   Para ulama berkata: ”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad), maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab”.
      Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadalah ayat 3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas. [4]




B.     Kaidah Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1.      Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.[5]
Contoh:
·         Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:                                                       
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير...          
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.[6]
·         Ayat muqayyad
Surat..Al..An’am..ayat..145,.dalam..masalah..yang..samayaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا...                                                                                
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena..diikuti..oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.[7]
2.      Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad[8]. Contoh:
   
·         Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
….فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ….
“...Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…
Lafadz “yad” (tangan)..dalam..ayat..di..atas’’berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.[9]
·         Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  …

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan..menyapu..dengan,,tanah,..sedang..ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan..sampai..siku.,,Dengan..demikian..ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.[10]
3.      Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.[11]
Contoh:

·   Ayat Mutlaq
         Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan     seorang suami kepada istrinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
يَتَمَاسَّا مِنْ قَبْلِ أَنْ …

     “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur...”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.[12]
·         Ayat Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang      tidak  sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ...
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah    (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman....”
Lafadz “raqabah” (hamba..sahaya)..dalam..ayat..ini..berbentuk muqayyad..dengan..diikat..lafadz “mukminah” (beriman),..maka..hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.[13]
4.      Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.[14]
Contoh:
·         Ayat Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat   38    yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ...
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...”
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
·         Ayat Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ...
“Hai..orang..orang..yang..beriman,..apabila..kamu..hendak..mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat..dengan..lafadz “ilal..marafiqi”(sampai..dengan..siku)...Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari..dua..ayat..di..atas..terdapat..lafadz..yang..sama..yaitu lafadz “yad”.Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentukmuqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yangmutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yangmutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.[15]

C.    Hukum Lafazh Mutlaq dan Lafazh Muqayyad Menurut Para Ulama
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.
1.      Bentuk mutlak dan muqayyad yang disepakati
Berikut adalah bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati oleh para ulama:
a.       Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajbnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.       Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c.       Hukumnya berbeda  sedangkan  sebabnya sama. Pada bentuk ini, ulama..sepakat..pula..bahwa..tidak..boleh..membawa lafazh..mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.[16]
2.  Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad
Berikut..adalah..hal-hal..yang..diperselisihkan..dalam mutlaq dan muqayyad:
a.       Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudhu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyahMalikiyah, danHanafiyah, dalam hal ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
b.       Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama..Hanafi..tidak..boleh..membawa mutlaq kepada..muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai  dengan sifatnya.[17]

      D.    Alasan Masing-Masing Pendapat Para Ulama
Berikut ini adalah pendapat dari Ulama Hanafiyah dan Jumhur Ulama:
                           1.      Alasan Hanafiyah                                           
Merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafazh atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga..lafazh..mutlaq tetap..pada.. kemutlakannya dan lafazh..muqayyad tetap..pada..kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan hal ini, lafazh mutlaq tidak bisa dibawa padamuqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud(saling bertentangan).[18]
2.      Alasan Jumhur
Al-Quran merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Quran yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu. (Imam Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagi orang diam, yang tidak menyebut qayyid. Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyad sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya qayyid...Di..sini..tampak..jelas..adanya..kewajiban..memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq.[19]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuqmafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri. 
Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat..pada..sebab..hukum...Namun,..masalah..(maudhu’)..dan..hukumnya..sama...Menurut..jumhur..Ulama..dari..kalangan Syafi’iyahMalikiyah, dan Hanafiyahdalam..hal..ini..wajib..membawa mutlaq kepada muqayyad.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafi tidak boleh membawa mutlaq kepada muqayyad,melainkan masing-masingnya berlaku sesuai  dengan sifatnya.









DAFTAR PUSTAKA

Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih-Ushul fiqih. Bandung. Pustaka setia.

As, Mudzakir. 2007. Studi ilmu-ilmu Qur’an. Bogor. Litera AntarNusa.

Fidaus. 2004. Ushul Fiqih (metode mengkaji dan memahami islam secara komprehensif). Jakarta. Zikrul Hakim.

Rosihon. 1999. Mutiara ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung. Pustaka Setia.

Praja, Juhaya S. 2010. Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu ushul fiqih. Bandung. Pustaka Setia.





[1] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),  h. 177.
[2] Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa,2007),  h. 358
[3] Ibid, h. 360
[4] Ibid, h. 362
[5] Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif), (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004),  h. 148.
[6] ibid
[7] Ibid h. 49-50
[8] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),  h. 184
[9] Ibid, h. 185
[10] ibid
[11] Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa,2007),  h. 358
[12] Ibid, h. 362
[13] Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),  h. 233
[14] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),  h. 190
[15] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 193
[16] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 213.

[17]Ibidh. 213-214.
[18] ibid              
[19] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,2010),  h. 167.

No comments:

Post a Comment