MAKALAH FIQIH MUAMALAH
JUAL BELI DAN AL-KIYAR
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Jual
beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap
waktu oleh semua manusia.Tetapi jual beli yang benar menurut hukum islam belum
tentu semua orang muslim melaksanakanya.Bahkan ada pula yang tidak tahu sama
sekali tentang ketentuan- ketentuan yang ditetapkan oleh hukum islamdan hal
jual beli (bisnis).Di dalam al-Qur’an dan hadis yang merupakan sumber hukum
islam hanya memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut islam
buakn hanya untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli.Sekarang ini lebih
banyak penjual yang mengutakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada
ketentuan-ketentuan hukum islam.Setiap manusia yang di dunia ini pasti saling
membutuhkan orang lain,akan selalu melakukan tolong menolong dan menghadapi
berbagai kebutuahan yang berneka ragam.
Dan ada juga yang dimaksud dengan khiyar,dalam perspektif
islam,jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus dikatakan dalam
kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari agama islam,yakni al-Qur’an dan
hadist kara itu merupakan sistem nilai yang islami yang ,endasari prilaku
prdagangan merupakan masalah penting untuk diungkap dari prespektif islam
tersebut.Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara
satu dengan yang lainya.tidak ada seorang yang dapat menguasai seluruh apa yang
dinginkan tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang di tetapkan
itu.Hubungan jual beli sangat erat kaitanya dengan al-kiyar,jual beli itu
sendiri merupakan suatu proses transaksi jual beli yang dilakukan antara kedua
belah pihak dan penjual,dan al-kiyar itu sendiriberperan sebagai acuan karakter
seseorang yaitu seperti kejujuran dalam menjual barang atau pada proses
transaksi.
PEMBAHSAN
A.
Pengertian jual beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual,mengganti
dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.Lafal al-bai’ dalam bahsa arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawanya,yakni kata asy-syira(beli).[1]Dengan
demikian kata al-bai’ berarti jual,tapi sekaligus juga berarti beli.Jual beli
atau bisnis menurut bahasa berasal dari kata al-bai’a bentuk jamaknya al-baya’u
dan konjungsinya adalah ba’a-yubai’a-baya’u
yang artinya menjual.Menurut bahsa jual beli berarti menukarkan sesuatu dengan
sesuatu.Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
a.
Menukar baranng dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan (idris,1986:5).
b.
Menurut syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi,menurut syara,pengertian jual
beli yang tepat adalah memiliiki suatu harta (uang) dengan menganti sesuatu
atas dasar izin syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui
pembayaran yang berupa uang (al-Ghazzi,th:30)
c.
Menurut imam taqiyudin dalam kitab kiffayatul
akhyar,saling tukar harta saling menerima,dapat dikelola (tasharuf) dengan ijab kabul,dengan cara
yang sesuai deanga syara (Taqiyudin,t.th:329)
d.
Syekh Zakaria al Ashari dalam kitabnya fath al-wahab,tukar menukar benda
lain dengan apa yang khusus (dibolehkan) (Zakariya,t.th:157).
e.
Menurut sayyid sabiq dalam kitabnya fiqih
sunah,penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau
memindahkan hak milik dengan ada penganti nya dengan cara yang diperbolehkan
(sabiq,t.th:126)
Ada
sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis)
diantaranya,ulama hanafiah’’jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
(benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara yang
disepakati.Menurut imam nawawi dalam al-majmu mengatakan,jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk kepemilkan.Menukar barang dengan barang
atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik atas dasar saling merrelakan .[2]
B.
Dasar Hukum Jual Beli
Dasar hukum jual
beli adalah al-Qur’an dan al- hadits, sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Baqarah ayat 275:
Orang-orang
yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
Sesungguhnyajual beli itu sama denganriba, padahal Allah Telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (Q.S.Al.Baqarah: 275).
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa
Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hamban-Nya dengan baik dan
melarang praktek jual beli yang mengandung riba.
Dalam Hadis lain
yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim yang berbunyi, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli
melempar kerikil dan jual beli garar (H.R. Muslim) (Muslim, t.th : 156-157).
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah
atau boleh, namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa
menjadi wajib dan bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan
barang sehingga persedian dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek
semacam ini maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual baraang sesuai dengan harga dipasaran
dan para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam menentukan harga
dipasaran serta pedangan juga dapat dikenakan saksi karena tindakan tersebut
dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat.
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan
kesepakatan antara penjual dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu
dengan uang ataupun yang lainnya. Adapun dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’
adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam
kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut :
Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang
kebolehan jual beli dan hikmah jual beli adalah kebutuhan manusia tergantung
pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya terkadang tidak begitu saja
memberikan kepada orang lain (al-Asqalani, t.th:287).[3]
Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa
hukum jual beli adalah jaiz ( boleh ). Namun tidak menutup kemungkinan
perubahan status jual beli itu sendiri, semuanya tergantung pada terpenuhi atau
tidaknya syarat dan rukun jual beli.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Setelah diketahui pengertian dan dasar hukumnya, bahwa
jual beli (bisnis) merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela dan atas
kesepakatan bersama. Suapaya bisnisyangkitalakukanituhalal,makaperlumemperhatikan
rukun dan syarat jual beli (bisnis). Rukun secara bahasa adalah yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan (DIKNAS, 2002:966). Sedangkan syarat
adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan
((DIKNAS, 2002:1114). Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab,
rukn) jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang
dansandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan
syarat (Arab, syarth jamaknya syara’ith) secara literal berarti pertanda,
indikasi dan memastikan.[4]
Menurut istilah rukun diartikan dengan sesuatu yang
terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat
eksisnya sesuatu itu dengan rukun
(unsurnya) itu sendiri,
bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek
(pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi
sifat, dan yang disifati
(al-maushuf) menjadi unsur
bagi sifat (yang mensifati).
Adapun syarat, menurut
terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad Khudlari Bek,
ialah sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya
hukum itu sendiri. Hikmah dari
ketiadaan syarat itu
berakibat pula meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum
(Amin,2004:95). Dalam syari’ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu (Dahlan, 1996:.1510).[5]
Definisi syarat berkaitan dengan sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada (Dahlan, 1996: 1691).
Perbedaan antara rukun
dan syarat menurut
ulama ushul fiqih, yaitu rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung
keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di
luar hukum itu sendiri (Dahlan, 1996: 1692). Misalnya, rukuk dan sujud adalah
rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk
dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah
satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan
tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah. Menurut jumhur
ulamak rukun jual beli itu ada empat (Zakaria, t.th:158), yaitu :
Pertama, Akad (ijab qobul), pengertian akad menurut
bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut
istilah ahli fiqh ijab qabul menurut cara yang disyariatkan sehingga tampak
akibatnya (al-Zuhaily, t.th:115).
Mengucapkan dalam akad merupakan salah satu cara lain yang
dapat ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang
dapat menggambarkan kehendak untuk berakad para ulama menerangkan beberapa cara
yang ditempuh dalam akad diantaranya:
1.
Dengan cara tulisan, misalnya, ketika dua orang yang terjadi transaksi jual
beli yang berjauhan maka ijab qabul dengan cara tulisan (kitbah).
2.
Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan akad jual beli
dengan cara ucapan atau tulisan, maka boleh menggunakan isyarat. Sehingga
muncullah kaidah: ناسللبا نايبلك شرخل ةدوهعلما ةراشالا isyarat
bagi orang bisu
sama dengan ucapan
lidah (Suhendi, 2007:49).
3.
Dengan cara ta’ahi (saling memberi),
misalnya, seseorang melakukan pemberian kepada orang lain, dan orang yang
diberi tersebut memberikan imbalan kepada orang yang memberinya tanpa
ditentukan besar imbalan.
4.
Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan, apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang
lain kemudian orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu
berdiam diri saja hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang
yang meletakkan barang titipan dengan jalan dalalah al hal.[6]
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan
pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab
ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan
lisan atau tulis. Ijab qabul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan
yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
D.
Macam-macam jual beli
Jual beli dapat di tinjau berbagai segi.Ditinjau dari
segi hukunya,jual beli ada dua macam,jual beli yang sah menurut hukum dan batal
menuurut hukum dari segi objek jual beli atau dari segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli
dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyudi[7]bahwa
jual beli dibagi menjadi tiga bentuk :
“jual beli ada tiga macam:1) jual beli benda yang
kelihatan,2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji,dan 3) jual
beli benda yang tidak ada”.
Jual beli benda yang ialah pada waktu melakukan akad jual
beli bendaau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli.Hal ini lazim dilakukan masyarakat
banyak dan boleh dilakukan,seperti membeli beras di pasar.Jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan).
Menurut kebiasaan para pedagang,salam adalah untuk jual
beli yang tidak (kontan),salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau
sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,maksudnya ialah perjanjian yang
penyerahan barang-barangnya ditaguhkan hingga masa tertentu,sebagai imbalan
harga yang ditetapkan ketika akad.
E.
Sayarat-syarat sah ijab kabul
Syarat-syarat
ijab kabul ialah sebagai berikut:
1.
Jangan ada yang memisahkan pembeli,pembeli jangan diam saja setelah penjual
menyatakan ijab dan sebaliknya.
2.
Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab kabul.
3.
Beragama islam,syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda
tertentu,misalnya seorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada
pembeli yang tidak beragama islam,sebab besar kemungkinan pembeli tersebuat
akan merendahkan abid yang beraga islam,sedangkan allah melarang orang-orang
mukmin memberi jalan kepada orang kafir utuk merendahkan mukmin.
Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal,jual beli adalah tukar
menukar harta atas dasar suka sama suka atau memindahkan milik dengan cara yang
di izinkan agama,jadi jual beli adalah saling tukar harta dan menerima
(tasarruf) ijab kabul sesuai dengan syara.Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat
sah ijab kabul yaitu harus terpenuinya akad-akad nya.[8]
F.
Pengertian Khiyar
Dalam perspektif Islam,
jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakkan dalam
kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni Al-Qur‟an dan
Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami yang mendasari perilaku perdagangan
merupakan masalah penting untuk diungkapkan.
Dari perspektif Islam tersebut, perdagangan ternyata
memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdagangan
yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai Islam dalam penelaahan ini dipahami
sebagai yang berdimensi ukhrawi,
dan demikian sebaliknya
berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan terlepas dari
nilai-nilai Islam yang dimaksud.[9]
Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat
menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai
sebagian yang diharapkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan
orang lain. Untuk itu Allah memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengadakan
penukaran perdagangan dan semua yang kiranya dapat bermanfaat dengan cara jual
beli dan semua cara hubungan yang lain. Sehingga hidup manusia dapat berdiri
dengan baik dan proses hidup ini berjalan dengan baik dan produktif pula.Nabi
Muhammad SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki aneka macam
perdagangan dan pertukaran. Oleh karena itu, sebagian yang mereka lakukan
dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak bertentangan dengan syari‟at yang
dibawanya. Sedang sebagian yang lain dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan
tujuan dan jiwa syari‟at. Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab,
diantaranya:
a.
Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b.
Karena ada unsur-unsur penipuan
c.
Karena ada unsur-unsur pemaksaan.
Untuk dapat mengaplikasikan nilai positif dan
menghindarkan dari
perbuatan-perbuatan yang negatif
dalam perdagangan, sangat perlu
kiranya untuk menerapkan
prinsip-prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam,
khususnya dalam perdagangan yang modern seperti sekarang ini yang sangat rentan
terhadap aksi penipuan, sangat perlu adanya hak khiyar antara penjual dan
pembeli supaya dari pihak pembeli tidak merasa dirugikan atau tertipu dari jual
beli yang telah dilakukan ketika terdapat
cacat atau rusak
pada barang yang
telah dibeli.
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata:
khara-yakhiru- khairan-wa khiyaratan ( ﺓسﺎﻴﺨ٘ - ﺍسﻴﺧ- سﯾﺨﻴ - زﺎﺨ ) yang sinonimnya:
ٔي سﻴﺨٕ٘ﺎَ ٓﺎﻄﻋﺃ ,yang
artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah
kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan
akad atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan
berpikir antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar.
Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan
penyesalan kepada salah
seorang dari pembeli atau
penjual yaitu kalau
pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang
kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau
uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk menetapkan
syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah
satu pihak yang
diterima oleh pihak
lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak
menghendakinya.[10]
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat
diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau
membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada
perjanjian pada waktu
akad, atau karena
sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada
rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.
G.
Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan
prinsip wajib menegakkan
kejujuran dan kebenaran dalam
perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat
barang. Apabila dalam
barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui
oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak
boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk
penipuan dan kecurangan.[11]
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw.
Diantara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al- Bukhari dari
Abdullah bin Al-Harits:
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya
mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila
mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam
jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan
merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka
berdua. ( HR. Al-Bukhari).
Disamping itu ada
hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda
Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum
berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah.
Dan kadang-kadang beliau
bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).[12]
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual
beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat
cacat („aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan
oleh syari‟at Islam
bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak
dirugikan dalam transaksi yang mereka
lakukan, sehingga kemaslahatan
yang dituju dalam
suatu transaksi tercapai dengan
sebaik-baiknya. Status khiyar,
menurut ulama fiqih adalah disyari‟atkan atau dibolehkan karena masing-
masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa
tertipu.
H.
Macam-macam Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari‟at Islam
adalah adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan
atau membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah
untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi
itu sendiri, memelihara
kerukunan, hubungan baik serta
menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah
terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan
menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada
kemarahan,kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya
yang dilarang oleh agama.Syari‟at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-
keburukan itu, maka syari‟at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya
keselamatan, kerukunan dan
keharmonisan dalam hubungan antar
manusia.[13]
Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk
diketahui. Adapun macam khiyar tersebut
antar lain:
a.
Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus
yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli
fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak
mulai berakad sampai
sempurna, berlaku dan
wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan
terjadinya akad apapun
keadaan pihak yang
berakad.
Adapun menurut
istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap
pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat
transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual
beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.[14]
hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu
Umar yaitu:
Artinya: Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda
Nabi saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum
berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada
temannya: Pilihlah. Dan
kadang-kadang beliau bersabda:
atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).
Ketika jual beli
telah berlangsung, masing-masing
pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad
hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila
kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat
transaksi. Pada prinsipnya
khiyar majlis berakhir dengan
adanya dua hal:
1.
memilih akan terusnya akad jual beli tersebut.
2.
Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang
mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad
yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk
mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih
meneruskan akad.
b.
Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar
dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh
melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama,
apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia
mengendaki ia bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat
adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli
memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah
satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.[15]
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau
bersabda: “ Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak
berhak melakukan khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah
satu dari keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka
berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah
wajib dilaksanakan. Apabila mereka
berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak
meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.(HR. Muttafaq
„alaih, dan redaksi dari Muslim)Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua
belah pihak yang berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang
kemungkinan di dalamnya terdapat
unsur penipuan dan dusta.
Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad
dalam masa khiyar syarat dan waktu
yang telah ditentukan
satu kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan.
Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika
waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak
termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo ini.
c.
Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah
(berkurangnya nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan
kriteria yang diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli
dan pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum
diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah
transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.[16]
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah
aib yang mengakibatkan berkurangnya
harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya.Menurut
ijma‟ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad
berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis, yaitu hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata,
“ Aku mendengar Rasulullah bersabda:
Artinya:“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya
mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim
lainnya, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual barang
jualannya kepada muslim lain
yang didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau
cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui
adanya cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar
setelahnya.
Alasannya ia telah
rela dengan barang
tersebut beserta
kondisinya. Namun jika
pembeli belum mengetahui
cacat barang tersebut dan
mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli
berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi
sesuai dengan adanya cacat.
Dimyauddin
Djuwaini mengatakan bahwa
khiyar „aib bisa dijalankan
dengan syarat sebagai berikut:
1.
Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah
terima, jika „aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2.
Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3.
Pembeli tidak mengetahui adanya „aib atas obyek transaksi, baik ketika
melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui
sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4.
idak ada persyaratan bara‟ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrak jual
beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5.
„Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.
Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang
telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa
memperoleh ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat
bahwa pembeli tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan
ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.[17]
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau
sebagian, sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a.
Barang rusak sebelum diterima pembeli
1)
Barang rusak dengan
sendirinya atau rusak
oleh penjual, maka jual beli
batal.
2)
Barang rusak oleh
pembeli, maka akad
tidak batal dan pembeli harus membayar.
3)
Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli
harus khiyar antara
melanjutkan atau membatalkan
akad jual beli.
Jadi dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan kiyar
itu sendiri adalah suatu perbuatan yang jelas bahwa acuan kejujuran dalam
berdagang harus diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari
ajaran Islam, yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami
yang mendasari perilaku perdagangan merupakan masalah penting untuk
diungkapkan.[18]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bagi umat Islam yang
melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum
Islam, akan mendapatkan berbagai hikmah
diantaranya; bahwa jual beli
(bisnis) dalam Islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap
sesama, akan menumbuhkan berbagain
pahala,dan juga harus menerapkan sifat kejujuran dalam proses transaksi
bisnis,yaitu tidak adanya kecurangan di antara kedua belah pihak antara penjual
dan pembeli,apabila keduanya berlaku jujur makan akan mendapatkan jual beli
yang berkah.
B.
Saran
Mudah-mudahan dengan dibuatnya makalah tentang jual beli
dengan al-kiyar ini bisa menambah pengetahuan kita dalam proses jual beli dan
berdagang sesuai dengan tuntunan dan syariat islam,dan tidak melakukan
kecurangan-kecurangan dalam melakukan transaksi jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Shobirin. 2015"Jual beli dalam
pandangan islam." Jurnal bisnis,
Vol 3,No.2
Abu, Imam Taqiyudin. Terjemahan Kifayah Al-Akhyar.
Surabaya: bina ilmu, 1997
dkk, Jusmaliani,2008
"Bisnis Berbasis Syariah." Jurnal bisnis, Vol.1,No.1,
Sudarsono,1992,Pokok-pokok Hukum isalam,Vol 1,No 1
Ya‟qub,Hamzah,1992,Kode
Etik Dagang Menurut Islam (Pola pembinaan hidup dalam
Berekonomi), jurnal umum, Vol 1,No 1
Wahbah Zuhaili, Al-Fqhu As-Sayafi'i
Al-Muyassar.2010,
"fiqih imam syafii." jurnalumu umum,
Vol 1,No.1,hlm.22.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz, 2014,Macam-macam kiyar, op.cit.Vol 1 No 1
Djuwaini,Dimyauddin,2014,Macam-macam khiyar,jurnal umum,
Vol 1,op.cit. No 1
Bidayatul
Mujtahid,Abdul Wahid Muhammad
Ibnu Rusyd, Ghazali Said,2007,
Terj.
“ Bidayatul Mujtahid”,
2007, Vol 1 No 1
[13] Hamzah Ya‟qub, Kode
Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi), 1992, Vol 1,hlm. 21.
Hafiz, “ Fiqih Imam Syafi‟i”,2010,Vol 1 hlm.22.
[17] Abdul Wahid Muhammad Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj.
“Bidayatul
Mujtahid”, 2007, Vol 1 hlm.27.
“Bidayatul
Mujtahid”, 2007, Vol 1 hlm.28.
No comments:
Post a Comment