1

loading...

Wednesday, July 3, 2019

MAKALAH FIQIH MUAMALAH JUAL BELI DAN AL-KIYAR


 MAKALAH FIQIH MUAMALAH

JUAL BELI DAN AL-KIYAR




PENDAHULUAN

    A.    LATAR BELAKANG
             Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap waktu oleh semua manusia.Tetapi jual beli yang benar menurut hukum islam belum tentu semua orang muslim melaksanakanya.Bahkan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang ketentuan- ketentuan yang ditetapkan oleh hukum islamdan hal jual beli (bisnis).Di dalam al-Qur’an dan hadis yang merupakan sumber hukum islam hanya memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut islam buakn hanya untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli.Sekarang ini lebih banyak penjual yang mengutakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum islam.Setiap manusia yang di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain,akan selalu melakukan tolong menolong dan menghadapi berbagai kebutuahan yang berneka ragam.
Dan ada juga yang dimaksud dengan khiyar,dalam perspektif islam,jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus dikatakan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari agama islam,yakni al-Qur’an dan hadist kara itu merupakan sistem nilai yang islami yang ,endasari prilaku prdagangan merupakan masalah penting untuk diungkap dari prespektif islam tersebut.Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan yang lainya.tidak ada seorang yang dapat menguasai seluruh apa yang dinginkan tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang di tetapkan itu.Hubungan jual beli sangat erat kaitanya dengan al-kiyar,jual beli itu sendiri merupakan suatu proses transaksi jual beli yang dilakukan antara kedua belah pihak dan penjual,dan al-kiyar itu sendiriberperan sebagai acuan karakter seseorang yaitu seperti kejujuran dalam menjual barang atau pada proses transaksi.

PEMBAHSAN
A.  Pengertian jual beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual,mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.Lafal al-bai’ dalam bahsa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawanya,yakni kata asy-syira(beli).[1]Dengan demikian kata al-bai’ berarti jual,tapi sekaligus juga berarti beli.Jual beli atau bisnis menurut bahasa berasal dari kata al-bai’a bentuk jamaknya al-baya’u dan konjungsinya adalah ba’a-yubai’a-baya’u yang artinya menjual.Menurut bahsa jual beli berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu.Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
a.    Menukar baranng dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (idris,1986:5).
b.    Menurut syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi,menurut syara,pengertian jual beli yang tepat adalah memiliiki suatu harta (uang) dengan menganti sesuatu atas dasar izin syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang (al-Ghazzi,th:30)
c.    Menurut imam taqiyudin dalam kitab kiffayatul akhyar,saling tukar harta saling menerima,dapat dikelola (tasharuf) dengan ijab kabul,dengan cara yang sesuai deanga syara (Taqiyudin,t.th:329)
d.   Syekh Zakaria al Ashari dalam kitabnya fath al-wahab,tukar menukar benda lain dengan apa yang khusus (dibolehkan) (Zakariya,t.th:157).
e.    Menurut sayyid sabiq dalam kitabnya fiqih sunah,penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan ada penganti nya dengan cara yang diperbolehkan (sabiq,t.th:126)
Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis) diantaranya,ulama hanafiah’’jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara yang disepakati.Menurut imam nawawi dalam al-majmu mengatakan,jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilkan.Menukar barang dengan barang atau  barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merrelakan .[2]
B.     Dasar Hukum Jual Beli
Dasar  hukum jual beli adalah al-Qur’an dan al- hadits, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275:
Orang-orang   yang   makan   (mengambil)   riba   tidak   dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnyajual beli itu sama denganriba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (Q.S.Al.Baqarah: 275).
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hamban-Nya dengan baik dan melarang praktek jual beli yang mengandung riba.
Dalam  Hadis  lain  yang  diriwayatkan  oleh  Imam Muslim yang berbunyi, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar kerikil dan jual beli garar (H.R. Muslim) (Muslim, t.th : 156-157).
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh, namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib dan bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam ini maka pemerintah boleh memaksa para pedagang  menjual baraang sesuai dengan harga dipasaran dan para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam menentukan harga dipasaran serta pedangan juga dapat dikenakan saksi karena tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat.
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang lainnya. Adapun dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’ adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut :
Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang kebolehan jual beli dan hikmah jual beli adalah kebutuhan manusia tergantung pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya terkadang tidak begitu saja memberikan kepada orang lain (al-Asqalani, t.th:287).[3]
Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa hukum jual beli adalah jaiz ( boleh ). Namun tidak menutup kemungkinan perubahan status jual beli itu sendiri, semuanya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.
C.  Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Setelah diketahui pengertian dan dasar hukumnya, bahwa jual beli (bisnis) merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela dan atas kesepakatan bersama. Suapaya bisnisyangkitalakukanituhalal,makaperlumemperhatikan rukun dan syarat jual beli (bisnis). Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan (DIKNAS, 2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan ((DIKNAS, 2002:1114). Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn) jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dansandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan syarat (Arab, syarth jamaknya syara’ith) secara literal berarti pertanda, indikasi dan memastikan.[4]
Menurut istilah rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun  (unsurnya)  itu  sendiri,  bukan  karena  tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan  yang  disifati  (al-maushuf)  menjadi  unsur  bagi  sifat (yang  mensifati).  Adapun  syarat,  menurut  terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri. Hikmah dari   ketiadaan   syarat   itu   berakibat   pula   meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum (Amin,2004:95). Dalam syari’ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu (Dahlan, 1996:.1510).[5]
Definisi syarat berkaitan dengan sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada (Dahlan, 1996: 1691). Perbedaan   antara   rukun   dan   syarat   menurut   ulama ushul fiqih, yaitu rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri (Dahlan, 1996: 1692). Misalnya, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah. Menurut  jumhur  ulamak rukun jual beli itu ada empat (Zakaria, t.th:158),  yaitu :
Pertama, Akad (ijab qobul), pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh ijab qabul menurut cara yang disyariatkan sehingga tampak akibatnya (al-Zuhaily, t.th:115).
Mengucapkan dalam akad merupakan salah satu cara lain yang dapat ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad diantaranya:
1.    Dengan cara tulisan, misalnya, ketika dua orang yang terjadi transaksi jual beli yang berjauhan maka ijab qabul dengan cara tulisan (kitbah).
2.    Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan akad jual beli dengan cara ucapan atau tulisan, maka boleh menggunakan isyarat. Sehingga muncullah kaidah: ناسللبا نايبلك شرخل ةدوهعلما ةراشالا isyarat  bagi  orang  bisu  sama  dengan  ucapan  lidah (Suhendi, 2007:49).
3.     Dengan cara ta’ahi (saling memberi), misalnya, seseorang melakukan pemberian kepada orang lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan imbalan kepada orang yang memberinya tanpa ditentukan besar imbalan.
4.    Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan, apabila     seseorang     meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain kemudian orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang titipan dengan jalan dalalah al hal.[6]
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tulis. Ijab qabul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
D.  Macam-macam jual beli
Jual beli dapat di tinjau berbagai segi.Ditinjau dari segi hukunya,jual beli ada dua macam,jual beli yang sah menurut hukum dan batal menuurut hukum dari segi objek jual beli atau dari segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyudi[7]bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk :
“jual beli ada tiga macam:1) jual beli benda yang kelihatan,2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji,dan 3) jual beli benda yang tidak ada”.
Jual beli benda yang ialah pada waktu melakukan akad jual beli bendaau barang yang diperjualbelikan ada didepan  penjual dan pembeli.Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan,seperti membeli beras di pasar.Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan).
Menurut kebiasaan para pedagang,salam adalah untuk jual beli yang tidak (kontan),salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditaguhkan hingga masa tertentu,sebagai imbalan harga yang ditetapkan ketika akad.
E.  Sayarat-syarat sah ijab kabul
Syarat-syarat ijab kabul ialah sebagai berikut:
1.    Jangan ada yang memisahkan pembeli,pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.
2.    Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab kabul.
3.    Beragama islam,syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu,misalnya seorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang tidak beragama islam,sebab besar kemungkinan pembeli tersebuat akan merendahkan abid yang beraga islam,sedangkan allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir utuk merendahkan mukmin.
Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal,jual beli adalah tukar menukar harta atas dasar suka sama suka atau memindahkan milik dengan cara yang di izinkan agama,jadi jual beli adalah saling tukar harta dan menerima (tasarruf) ijab kabul sesuai dengan syara.Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat sah ijab kabul yaitu harus terpenuinya akad-akad nya.[8]
F.   Pengertian Khiyar
Dalam perspektif Islam,  jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami yang mendasari perilaku perdagangan merupakan masalah penting untuk diungkapkan.
Dari perspektif Islam tersebut, perdagangan ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdagangan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai Islam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang   berdimensi   ukhrawi,   dan   demikian   sebaliknya   berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan terlepas dari nilai-nilai Islam yang dimaksud.[9]
Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang diharapkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Untuk itu Allah memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengadakan penukaran perdagangan dan semua yang kiranya dapat bermanfaat dengan cara jual beli dan semua cara hubungan yang lain. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan baik dan proses hidup ini berjalan dengan baik dan produktif pula.Nabi Muhammad SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki aneka macam perdagangan dan pertukaran. Oleh karena itu, sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak bertentangan dengan syari‟at yang dibawanya. Sedang sebagian yang lain dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syari‟at. Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, diantaranya:
a.    Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b.    Karena ada unsur-unsur penipuan
c.     Karena ada unsur-unsur pemaksaan.
Untuk dapat mengaplikasikan nilai positif dan menghindarkan dari  perbuatan-perbuatan  yang  negatif  dalam  perdagangan,  sangat perlu  kiranya  untuk  menerapkan  prinsip-prinsip  yang  berlandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya dalam perdagangan yang modern seperti sekarang ini yang sangat rentan terhadap aksi penipuan, sangat perlu adanya hak khiyar antara penjual dan pembeli supaya dari pihak pembeli tidak merasa dirugikan atau tertipu dari jual beli yang telah dilakukan  ketika  terdapat  cacat  atau  rusak  pada  barang  yang  telah dibeli.
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru- khairan-wa khiyaratan ( ﺓسﺎﻴﺨ٘  - ﺍسﻴﺧ-  سﯾﺨﻴ  - زﺎﺨ )   yang sinonimnya:
ٔي  سﻴﺨٕ٘ﺎَ  ٓﺎﻄﻋﺃ ,yang artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya   menimbulkan   penyesalan   kepada   salah   seorang   dari pembeli  atau  penjual  yaitu  kalau  pedagang  mengharap  barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau  salah  satu  pihak  yang  diterima  oleh  pihak  lainnya  atau  kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.[10]
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau  ada  perjanjian  pada  waktu  akad,  atau  karena  sebab  yang  lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.
G. Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan  prinsip  wajib  menegakkan  kejujuran  dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan  cacat  barang.  Apabila  dalam  barang  yang  akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[11]
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al- Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong     dan     merahasiakan,     maka     dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).
 Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya:  Pilihlah.  Dan  kadang-kadang  beliau  bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).[12]
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat („aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar   ditetapkan   oleh   syari‟at   Islam   bagi   orang-orang   yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka  lakukan,  sehingga  kemaslahatan  yang  dituju  dalam  suatu transaksi  tercapai  dengan  sebaik-baiknya.  Status  khiyar,  menurut ulama fiqih adalah disyari‟atkan atau dibolehkan karena masing- masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.
H.  Macam-macam Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari‟at Islam adalah adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan  transaksi  itu  sendiri,  memelihara  kerukunan,  hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan,kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.Syari‟at bertujuan melindungi manusia dari keburukan- keburukan itu, maka syari‟at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka  tegaknya  keselamatan,  kerukunan  dan  keharmonisan  dalam hubungan antar manusia.[13] Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk diketahui. Adapun   macam khiyar tersebut antar lain:
a.    Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari  sejak  mulai  berakad  sampai  sempurna,  berlaku  dan  wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya  akad  apapun  keadaan  pihak  yang  berakad.
    Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.[14]
hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yaitu:
Artinya: Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada   temannya:   Pilihlah.   Dan   kadang-kadang   beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).
Ketika  jual  beli  telah  berlangsung,  masing-masing  pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan   tempat   transaksi.   Pada   prinsipnya   khiyar   majlis berakhir dengan adanya dua hal:
1.    memilih akan terusnya akad jual beli tersebut.
2.    Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan akad.
b.    Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.[15]
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar:
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “ Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli   telah   wajib   dilaksanakan. Apabila   mereka  berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.(HR. Muttafaq „alaih, dan redaksi dari Muslim)Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di  dalamnya  terdapat  unsur penipuan  dan  dusta. 
Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat  dan  waktu  yang  telah  ditentukan  satu  kesempatan  untuk menunggu karena memang diperlukan.
Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo ini.
c.    Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.[16]
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib  yang mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya.Menurut ijma‟ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis,  yaitu hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar Rasulullah bersabda:
Artinya:“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual  barang  jualannya  kepada  muslim lain  yang didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.
Alasannya   ia   telah   rela   dengan   barang   tersebut   beserta kondisinya.  Namun  jika  pembeli  belum  mengetahui  cacat  barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat.
Dimyauddin  Djuwaini  mengatakan  bahwa  khiyar  „aib bisa dijalankan dengan syarat sebagai berikut:
1.    Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika „aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2.    Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3.    Pembeli tidak mengetahui adanya „aib atas obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4.    idak ada persyaratan bara‟ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5.    „Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.
Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.[17]
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian, sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a.    Barang rusak sebelum diterima pembeli
1)   Barang  rusak  dengan  sendirinya  atau  rusak  oleh  penjual, maka jual beli batal.
2)   Barang  rusak  oleh  pembeli,  maka  akad  tidak  batal  dan pembeli harus membayar.
3)   Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi   pembeli   harus   khiyar   antara   melanjutkan   atau membatalkan akad jual beli.
Jadi dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan kiyar itu sendiri adalah suatu perbuatan yang jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami yang mendasari perilaku perdagangan merupakan masalah penting untuk diungkapkan.[18]

PENUTUP

A.  Kesimpulan
Bagi umat Islam yang   melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum Islam, akan mendapatkan  berbagai  hikmah  diantaranya;  bahwa jual beli (bisnis) dalam Islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan berbagain   pahala,dan juga harus menerapkan sifat kejujuran dalam proses transaksi bisnis,yaitu tidak adanya kecurangan di antara kedua belah pihak antara penjual dan pembeli,apabila keduanya berlaku jujur makan akan mendapatkan jual beli yang berkah.
B.  Saran
Mudah-mudahan dengan dibuatnya makalah tentang jual beli dengan al-kiyar ini bisa menambah pengetahuan kita dalam proses jual beli dan berdagang sesuai dengan tuntunan dan syariat islam,dan tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam melakukan transaksi jual beli.

DAFTAR PUSTAKA
 Shobirin. 2015"Jual beli dalam pandangan islam." Jurnal bisnis,  Vol 3,No.2
Abu, Imam Taqiyudin. Terjemahan Kifayah Al-Akhyar. Surabaya: bina ilmu, 1997
dkk, Jusmaliani,2008 "Bisnis Berbasis Syariah." Jurnal bisnis,  Vol.1,No.1,
 Sudarsono,1992,Pokok-pokok Hukum isalam,Vol 1,No 1
Ya‟qub,Hamzah,1992,Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola pembinaan hidup                 dalam  Berekonomi), jurnal umum, Vol 1,No 1
                           Wahbah Zuhaili, Al-Fqhu As-Sayafi'i Al-Muyassar.2010, "fiqih imam syafii."        jurnalumu umum, Vol 1,No.1,hlm.22.
 Muhammad Azzam, Abdul Aziz, 2014,Macam-macam  kiyar, op.cit.Vol 1 No 1
 Djuwaini,Dimyauddin,2014,Macam-macam  khiyar,jurnal umum, Vol 1,op.cit. No 1
Bidayatul Mujtahid,Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Ghazali Said,2007, Terj.
  Bidayatul Mujtahid”, 2007, Vol 1 No 1


[1] Shobirin, jurnal bisnis dan manajement islam  ,Vol. 3, No. 2, Desember 2015,hal 241.
[2] Shobirin, jurnal bisnis dan manajement islam , Vol. 3, No. 2, Desember 2015,hal 242.
[3] Shobirin, jurnal bisnis dan manajement islam Vol. 3, No. 2, Desember 2015,hal 242.
5 Shobirin, jurnal bisnis dan manajement islam,vol.3 No 2,Desember 2015,hal 245.
[5]  Shobirin, jurnal bisnis dan manajement islam,vol.3 No 2,Desember 2015,hal 246.

[6] Shobirin, jurnal bisnis dan manajement islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2015,hal 247.
[7] Imam Taqiyyudin Abu,Terjemahan Kifayah Al-Akhyar,Surabaya bina ilmu,1997,hlm.329.
[8] Imam Taqiyyudin Abu,Terjemahan Kifayah Al-Akhyar,Surabaya bina ilmu,1997,Juz 1,hal 239
[9] Jusmaliani dkk, Jurnal Bisnis Berbasis Syariah,Jakarta: Bumi Aksara, 2008,Vol.1 No.1 hlm.16.

[10] Sudarsono,Pokok-pokok Hukum isalam,Jakarta:Rineka Cipta,1992,Vol 1,hlm.19.
[11] Hamzah Ya’’qub Macam-macam kiyar,2014 .Vol 1.no 27 hlm.153,
[12] Imam Bukhori,ibid.hlm.25.
[13] Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi), 1992, Vol 1,hlm. 21.
[14] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul
Hafiz, “ Fiqih Imam Syafi‟i”,2010,Vol 1 hlm.22.
[15] Abdul Aziz Muhammad Azzam,Macam-macam  kiyar,2014, op.cit.Vol 1 hlm.25.
[16] Dimyauddin Djuwaini.Macam-macam  khiyar,2014, Vol 1,op.cit. hlm. 98.
[17] Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj.
“Bidayatul Mujtahid”, 2007, Vol 1 hlm.27.
[18] Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj.
“Bidayatul Mujtahid”, 2007, Vol 1 hlm.28.



No comments:

Post a Comment