1

loading...

Friday, July 12, 2019

MAKALAH PEMIKIRAN KALAM AHMAD KHAN DAN MUHAMMAD IQBAL


MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM AHMAD KHAN DAN MUHAMMAD IQBAL

BAB I
PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG
Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama kali harus dikaji adalah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan akan diketahui watak dan nilai agama tersebut serta dampaknya bagi kehidupan. Sebab konsep ketuhanan merupakan titik sentral yang menjadi landasan dan sumber pemikiran serta tindakan, dan menjadi tujuan tempat kembali bagi pemeluk agama yang bersangkutan.
Dalam Islam kajan-kajian yang banyak membahas mengenai ketauhidan (ketuhanan) disebut Ilmu Kalam yakni meyakini Tuhan yang esa dan meyakini sifat-sifatNya. Allah SWT berfirman yang artinya; “Katakanlah Dia lah Allah yang Maha Esa(1) Allah tempat bergantung (2) Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan (3) dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia (4)” (QS. Al-ikhlas 1-4). Adapun hadits Nabi SAW tentang ilmu kalam yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah bersabda”Orang-orang yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh  golongan.”
Pada saat ini paham aliran islam sudah mulai banyak bermunculan disekitar lingkungan kita yang terkadang dapat memicu pertikaian jika kita tidak bijaksana dalam menyikapinya. Pasca Rasulullah SAW wafat, mulai banyak aliran islam yang bermunculan dan itupun terus berlanjut beserta dengan perkembangan yang dialami oleh masing-masing aliran tersebut. Hingga pada masa modernpun aliran-aliran pemikiran Islam terus berkembang  dan bertambah.
Dalam makalah ini kami memaparkan mengenai ilmu kalam modern yang masih terasa perkembangannya saat ini. Fokus pembahasan kami pada makalah ini adalah pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal, dimana pemikiran mereka telah membawa perubahan bagi perkembangan Islam dan tidak sedikit yang mengikutinya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Aamiin
    B.  Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian ilmu kalam modern?
2.        Bagaimana pemikiran kalam Muhammad Abduh?
3.        Bagaimana pemikiran kalam Muhammad Iqbal?
   C. Tujuan Penulisan Makalah
1.      Agar memahami makna dari ilmu kalam modern
2.      Mengenal sosok pembaharu Muhammad Abduh dan Muhammmad Iqba serta mengetahui pemikiran-pemikiran kalam keduanya.
                                                           BAB II
PEMBAHASAN
   A.  Muhammad Iqbal
1.    Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[1] Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[2]
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[3] Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[4]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[5] Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[6] 
2.    Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[7] Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[8]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[9]
1)   Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
2)   Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;
3)   Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.

a.         Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[10] Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[11]
b.    Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).[12]
c.    Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[13]
d.   Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.[14]
e.    Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[15]
    B.  Sayyid Ahmad Khan
1.    Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.[16] Melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.[17] Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur.[18]  Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.[19] Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[20]
Di kota Delhi inilah beliau dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju. Beliau berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi beliau menolaknya.[21]
Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad,[22] dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin menuntut ilmu.[23] Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.[24]
Membentuk All India Muhammadan Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya seperti tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862 tentang bible dan Asbab Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad).[25] Hingga akhir ayatnya beliau selalu mementingkan pendidikan umat Islam India,[26] dan meninggal dunia pada tahun 1989.[27]
2.    Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesdir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.[28]
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[29]
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, beliau tidak mau pemikirannya tergantung otoritis Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.Alasan penolakan beliau terhadap Hadist adalah karena Hadist berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[30]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, beliau memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihat baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[31]
                                                   BAB III
PENUTUP

     A.    Simpulan
ilmu kalam modern adalah sebuah sudut pemikiran dalam agama islam yang dibangun diatas keyakinan bahwa kemajuan ilmiah dan wawasan modern mengharuskan reinterpretasi atau pemahaman ulang terhadap berbagai doktrin ajaran agama tradisional.
Pemikiran kalam Muhammad Abduh yaitu jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah melalui wahyu saja tetapi juga dengan akal. Bahkan lebih jauh lagi Muhammad Abduh berpendapat bahwa :
    1.      Tuhan dan sifat-sifatNya
    2.      Keberadaan hidup Akhirat
    3.      Kebahagiaan jiwa diakhirat
    4.      Kewajiban manusia mengenal Tuhan
     5.      Kewajiban manusia untuk berbuat baik menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
Sedangkan pemikiran kalam Muhammad Iqbal lebih menekankan bahwa konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang .Secara tegas Iqbal mengatakan bahwa intisari hidup adalah gerak, konsep lama yang mengajarkan bahwa alam bersifat statis ditolak oleh Iqbal. Menurut Iqbal gerak alam yang selalu berubah adalah keniscayaan yang dapat dijadikan pengajaran bagi orang-orang yang berakal.


[1] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : Siratuh Wa Falsafah Wa Syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 17
[2]Abdul Wahab Azzam, Iqbal : Siratuh Wa Falsafah Wa Syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 18
[3] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), hal. 267-268
[4] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 220
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990). Hal. 190
[6]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220-221.
[7]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221-222
[8] Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal. 92
[9]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221
[10]Muhammad Iqbal, the Recontraction….,hal. 154
[11] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 222
[12]Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 223.
 [13]Azzam, Iqbal...hal. 56
 [14] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 131-132.
[15]H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 133-134.
[16] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 217.
[17] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[18] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217.
[19] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 323-325.
[20] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan pAkistan, Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66.
[21] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217-218.
[22]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218-219.
[23]Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 258.
[24]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218.
[25]Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 258.
[26]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218.
[27]Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257.
[28]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[29] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 219
[30]Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66.
[31] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hlm 219

No comments:

Post a Comment