MAKALAH
PEMIKIRAN KALAM AHMAD KHAN DAN MUHAMMAD IQBAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam mempelajari suatu agama,
aspek yang pertama kali harus dikaji adalah konsep ketuhanannya. Dari konsep
ketuhanan akan diketahui watak dan nilai agama tersebut serta dampaknya bagi
kehidupan. Sebab konsep ketuhanan merupakan titik sentral yang menjadi landasan
dan sumber pemikiran serta tindakan, dan menjadi tujuan tempat kembali bagi
pemeluk agama yang bersangkutan.
Dalam
Islam kajan-kajian yang banyak membahas mengenai ketauhidan (ketuhanan) disebut
Ilmu Kalam yakni meyakini Tuhan yang esa dan meyakini sifat-sifatNya. Allah SWT berfirman yang artinya; “Katakanlah Dia lah
Allah yang Maha Esa(1) Allah tempat bergantung (2) Dia tidak beranak dan tidak
pula diperanakan (3) dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia (4)” (QS.
Al-ikhlas 1-4). Adapun hadits Nabi SAW tentang ilmu kalam yaitu hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda”Orang-orang yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua
golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”
Pada saat ini paham aliran
islam sudah mulai banyak bermunculan disekitar lingkungan kita yang terkadang
dapat memicu pertikaian jika kita tidak bijaksana dalam menyikapinya. Pasca
Rasulullah SAW wafat, mulai banyak aliran islam yang bermunculan dan itupun
terus berlanjut beserta dengan perkembangan yang dialami oleh masing-masing
aliran tersebut. Hingga pada masa modernpun aliran-aliran pemikiran Islam terus
berkembang dan bertambah.
Dalam makalah ini kami
memaparkan mengenai ilmu kalam modern yang masih terasa perkembangannya saat
ini. Fokus pembahasan kami pada makalah ini adalah pemikiran Muhammad Abduh dan
Muhammad Iqbal, dimana pemikiran mereka telah membawa perubahan bagi
perkembangan Islam dan tidak sedikit yang mengikutinya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Aamiin
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian ilmu kalam modern?
2.
Bagaimana pemikiran
kalam Muhammad Abduh?
3.
Bagaimana pemikiran
kalam Muhammad Iqbal?
C. Tujuan Penulisan
Makalah
1. Agar memahami makna dari ilmu kalam modern
2. Mengenal
sosok pembaharu Muhammad Abduh dan Muhammmad Iqba serta mengetahui
pemikiran-pemikiran kalam keduanya.
PEMBAHASAN
A.
Muhammad Iqbal
1.
Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada
tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya
bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya
sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[1]
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir
Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah
menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar
di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu
dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang
filsafat pada universitas tersebut.[2]
Ketika belajar di kota India, Beliau
menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan
dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya
terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam
mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat
islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad
sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[3]
Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau
memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[4]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih
selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai
dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah
kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar
dalam bidang filsafat.[5]
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi
tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992,
beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi
baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan
untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh
sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula,
dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[6]
2.
Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak
konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya,
mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam
kehidupan sosial manusia.[7] Oleh karena itu,
manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya
penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang
dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut
beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan
menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan
kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang
dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip
gerak dalam struktur Islam.[8]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan
semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam,
ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan
kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga
legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk
menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat
Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih
lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama,
beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[9]
1)
Otoritas penuh dalam menentukan
perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
madzhab-madzhab saja;
2)
Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam
batas-batas tertentu dari satu madzhab;
3)
Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan
hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan
pendiri madzhab.
a.
Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang
berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan
inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,
kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[10]
Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali
(penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[11]
b.
Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen
kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang
berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah
luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap
ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang
matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian
dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut
ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau
oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada
suksesi (penggantian).[12]
c.
Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri
manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat
dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu
diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya
serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni
melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan
jiwa sehingga fana dengan Allah.[13]
d.
Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya
bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat
kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam
(karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah
kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga
mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya
ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.[14]
e.
Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat.
Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan
kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan
Al-Qur’an adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas
hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah
kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan
yang menuju kepada perpecahan.[15]
B.
Sayyid Ahmad Khan
1.
Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817.
Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi
Muhammad SAW.[16] Melalui
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.[17]
Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II
(1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan
agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau rajin membaca
buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas
tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur.[18]
Pengaruhnya beliau di Serikat India
Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau pengliham utama
kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau tidak langsung beliau
berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan gerakan reformis
diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di
india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan
di Turki.[19]
Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke
Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[20]
Di kota Delhi inilah beliau dapat
melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh
dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud
Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya
pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Di
tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun
1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan
timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi,
beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau
sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju.
Beliau berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris
dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi beliau menolaknya.[21]
Pada tahun 1861 beliau mendirikan
sekolah Inggris di Maradabad,[22]
dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin menuntut ilmu.[23]
Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College
(MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan
berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.[24]
Membentuk All India Muhammadan
Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di
bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya
tulis yang di hasilkannya seperti tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862
tentang bible dan Asbab Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad
1870 (biografi Nabi Muhammad).[25]
Hingga akhir ayatnya beliau selalu mementingkan pendidikan umat Islam India,[26]
dan meninggal dunia pada tahun 1989.[27]
2.
Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran
dengan Muhammad Abduh di Mesdir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin
Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi
dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat
dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah
segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.[28]
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal
menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan
melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan
faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam
daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk
merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan
kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian
umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin
Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut,
Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban
Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang
dianutnya, ia menentang keras faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam
India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya
beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature
(sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah,
Menurut beliau, Islam agama agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena
hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah
tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[29]
Sejalan dengan keyakinan tentang
kekuatan akal dan hukum alam, beliau tidak mau pemikirannya tergantung otoritis
Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun
menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Beliau hanya mau
mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya
bersifat membantu dan kurang begitu penting.Alasan penolakan beliau terhadap
Hadist adalah karena Hadist berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada
abad pertama atau kedua sewaktu hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum
Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat
timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk
menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[30]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya
terhadap taklid, beliau memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihat baru untuk
menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[31]
PENUTUP
A. Simpulan
ilmu kalam modern adalah
sebuah sudut pemikiran dalam agama islam yang dibangun diatas keyakinan bahwa
kemajuan ilmiah dan wawasan modern mengharuskan reinterpretasi atau pemahaman
ulang terhadap berbagai doktrin ajaran agama tradisional.
Pemikiran
kalam Muhammad Abduh yaitu jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah
melalui wahyu saja tetapi juga dengan akal. Bahkan lebih jauh lagi Muhammad Abduh berpendapat
bahwa :
1. Tuhan
dan sifat-sifatNya
2. Keberadaan
hidup Akhirat
3. Kebahagiaan
jiwa diakhirat
4. Kewajiban
manusia mengenal Tuhan
5. Kewajiban
manusia untuk berbuat baik menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di
akhirat.
Sedangkan
pemikiran kalam Muhammad Iqbal lebih menekankan bahwa konsep Islam mengenai
alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang .Secara tegas Iqbal mengatakan
bahwa intisari hidup adalah gerak, konsep lama yang mengajarkan bahwa alam
bersifat statis ditolak oleh Iqbal. Menurut Iqbal gerak alam yang selalu berubah adalah keniscayaan yang dapat
dijadikan pengajaran bagi orang-orang yang berakal.
[1] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : Siratuh Wa Falsafah
Wa Syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 17
[2]Abdul Wahab Azzam, Iqbal : Siratuh Wa Falsafah
Wa Syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 18
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990). Hal. 190
[7]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221-222
[8] Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion
Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal. 92
[9]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221
[10]Muhammad Iqbal, the Recontraction….,hal. 154
[15]H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam,
terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 133-134.
[22]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218-219.
[23]Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia
Islam.., hal. 258.
[25]Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia
Islam.., hal. 258.
[26]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218.
[27]Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia
Islam.., hal. 257.
[28]Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[30]Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan
Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66.
No comments:
Post a Comment