1

loading...

Wednesday, August 14, 2019

MAKALAH PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)


MAKALAH PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)


     A.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Pada pasal 1365, BW menyatakan onrechtmatig adalah bahwa perbuatan melawan hukum yang menyebabkan orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa yang bersalah karena menyebabkan kerugian itu harus mengganti kerugian tersebut. Selain itu, perbuatan melawan hukum dapat dipahamai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang sebagai mana ditegaskan dalam pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata.
Ultrech berpendapat bahwa penafsiran dalam pasal 1365 KUH Perdata dalam yurisprudensi Belanda (yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran legoisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanya lah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran legoisme yang berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada akhir abad ke-19, pendapat aliran legoisme ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, telah diketahui bahwa Molengraflah yang mula-mula mengatakan penafsiran yang sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diditeruskan.[1]
Dalam sejarah perbuatan melawan hukum disebutkan bahwa pasal 1365 KUH Perdata telah diperluas pengertianya menjadi membuat sesuatu dan tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu) dengan ketentuan apabila

a.         Melanggar hak orang lain,
b.         Bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu,
c.         Bertentangan dengan kesusilaan, maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain.
Pada pasal 1365 KUH Perdata secara tegas diatur tentang barang siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Jikalau wanprestasi, maka cukuplah ia yang menunjuk perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian bahwa tidak terjadi wanprestasi. Selain hal tersebut, dapat pula dipahami bahwa dalam  perbuatan melawan hukum, maka penggugat yang harus membuktikan tentang  adanya  perbuatan melawan hukum termasuk unsure kesalahan yang dilakukan oleh tergugat.
Secara konprenhensif terdapat perbedaan yang mendasar antara perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi. Misalnya, berkaitan dengan ganti rugi, dalam konteks ini wanorestasi dapat diperkirakan karena adanya perjanjian, sedangkan perbuatan melawan hukum diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Begitu juga dari segi pembuktiannya yaitu jika wanprestasi yang harus dibuktikan adalah hal-hal apa saja yang telah dilanggar dalam perjanjian sedangkan pada PMH tentang kesalahan yang telah diperbuat tergugat, mengenai tuntutannya juga berbeda yaitu pada wanprestasi adanya somasi untuk menyatakan tergugat lalai sedangkan PMH langsung melakukan penuntutan begitu ada perbutan melawan hukum terjadi.[2]
Menurut Rosa Agustina, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum diperlukan syarat-syarat berikut :
a.         Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
b.         Bertentangan dengan hak subjektif orang lain,
c.         Bertentangan dengan kesusilaan,
d.        Bertentangan dengan kepatutan dan kehati-hatian.
Selanjutnya perlu juga dipahami, bahwa dalam praktiknya terdapat beberapa yurisprudensi yang tidak membolehkan penggabungan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yakni:
a.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 1875 K/Pdt/1984,
b.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 879 K/Pdt/1997,
c.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 2452 K/Pdt/2009.
Larangan menggabungkan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut memiliki alasan yang cukup kuat, yaitu dengan alasan gugatan menjadi kabur atau melanggar tata tertib beracara.[3]
Dalam praktik perdailan saat ini masalah penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dengan wanprestasi dalam satu gugatan dibolehkan, hal tersebut ditemukan pada putusan MA Nomor 2686/K/Pdt/1987 tanggal 29 Januari 1987. Seperti dalam gugatan adalah merupakan perbuatan melawan hukum  sedangkan peristiwa hukumnya adalah wanprestasi, hal tersebut tidak menjadi gugatan obscure libel. Hal ini dapat ditemukan pada putusan MA Nomor 8986 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 1987. M. Yahya Harahap  mengatakan bila posita gugatan berdasarkan wanprestasi tetapi didalam petitum  menyatakan PMH, maka hakim harus meluruskan sesuai maksud posita  sehingga hakim harus dapat memisahkan  apakah gugatan tersebut murni  PMH atau dalam gugatan disebutkan PMH tetapi sebenarnya wanprestasi, seperti dalam putusan MA Nomor 2157 K/Pdt 2012.

2.      Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Menurut aliran logisme  bahwa perbuatan melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kewajiban hukum yang ditentukan dalam undang-undang yang tertulis saja. Karena aliran ini berpandangan sempit tentang perbuatan melawan hukum maka banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya adalah perbuatan melanggar hukum tetapi menurut aliran logisme ini tidak digolongkan dalam onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum ).
Adapun yang dimaksud dengan penafsiran sempit adalah dikatakan ada onrechtmatigedaad, kalau:
a.         Ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang,
b.         Tindakan tersebut bertentangan denagn kewajiban hukum si pelaku,
c.         Bertentangan dengan kesusilaan,
d.        Bertentanagn dengan kepatutan dan kehati-hatian.
Untuk memenuhi rasa keadilan maka pengertian perbuatan melawan hukum diperluas. Perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepantasan bertentangan dengan kewajiban sendiri yang ditentukan undang-undang bertentangan dengan hak orang lain.[4]
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata , antara lain :
a.         Adanya suatu pelanggaran hukum
Dengan meninjau perumusan luas dari onrechtmatigedaad atau perbuatan haruslah perbuatan melawan hukum apabila terdapat :
a)    Pertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku,
b)    Pertentangan dengan hak orang lain,
c)    Pertentangan dengan kewajiban hukumnya  sendiri,
d)   Pertentangan dengan kesusilaan,
e)    Pertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat atau benda.
Yang dimaksudkan dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan denga hak subjektif orang lain yaitu kewenangan yang asal dari daerah hukum, hak-hak yang diakui oleh yurisprudensi  adalah hak-hak pribadi, seperti hak atas kebebasan, kehormatan, dan kekayaan. Menurut terminolagi hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai yang didasarkan pada hukum, baik dengan tertulis. Menurut rumusan perbuatan melawan hukum diatas  yang dimaksud dengan kewajiban melawan hukum adalah kewajiban menurut undang-undang.
b.        Terdapat Kesalahan
Untuk dapat seseorang dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum, pasal 1365 KUHPerdata mengisyaratkan adanya kesalahan. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa pasal 1365 KUHPerdata tidak membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kesalahan dalam bentuk kehati-hatian. Jadi, berbeda dengan hukum pidana yang membedakan antara kesengajaan dengan kurang hati-hati.[5]
Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dtentukan ganti rugi yang seadil-adilnya.
c.         Terjadi Kerugian
Kerugianyang disebabkan karena perbuatan melawan hukum dapat berupa:
1)    Kerugian Materi
Kerugian materi dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain.
2)    Kerugian Immaterial
Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melanggar hukum dapat berupa:
a)   Kerugian moral,
b)   Kerugian ideal,
c)   Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang,
d)  Kerugian non-ekonomis.
d.        Adanya Hubungan Kuasalitas
Untuk menentukan ganti rugi terhadap orang yang melakukan pebuatan melawan hukum selain harus ada kesalahan , disamping itu pula harus ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian tersebut.
3.      Faktor-Faktor Yang Menyebabkan HilangnyPertanggungjawaban
Perbuatan Melawan Hukum
Hal-hal yang dapat menghilangakan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum dibedakan dalam dua golongan yaitu golongan yang berasal dari undang-undang dan berasal dari hukum yang tidak tertulis.[6]
a.         Yang Berasal Dari Undang-Undang
1)    Hak Pribadi
Sifat melawan hukum lenyap bilmamana seseorang dalam melakuakan perbuatannya dapat mendalilkan bahwa hak pribadi yang menjadi dasar perbuatanya. Contoh pasal 1354 KUHPerdata dengan pasal 1358 KUHPerdata tentang zaakwarneming. Pada umunya seseorang tidak dapat membuat suatu perjanjian atas nama orang lain sepengetahuanya, misalnya, menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan ketiga. Kalau hal menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum semacam itu  kalau pada suatu saat barang milik orang lain tidak terurus sama sekali dan si pemilik tidak diketahui  tempatnya, supaya barang itu tidak terlantar seorang tadi berinisiatif mengurus barang tersebut untuk kepentingan si pemilik barang, inilah yang dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan pasal 1357 KUHPerdata si pengurus barang tersebut berhak memperjanjikan pada pihak ketiga yang mengikat si pemilik walau tanpa kuasanya.
2)    Pembelaaan Diri
Dalam hal ini harus ada seoarang dari pihak lain baru bias dilakukan pembelaan diri. Kalau pada waktu pembelaan diri  tergolong pada perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan hukumnya  menjadi lenyap. Harus diperhatikan bahwa harus benar-benar ada keadaan yang memerlukan seseorang untuk membela diri  ini  juga harus diperhatikan bahwa pembelaan diri ini tidak berakibat serangan baru terhadap yang menyerang.[7]
3)    Keadaan Memaksa (overmacht)
Menurut subekti, suatu keadaan dapat dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar  kekuasaan manusia dan memaksa tatkala kerugian  yang timbul akibat keadaan memaksa, kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena keadaan itu diluar kekuasaan manusia.[8]
4)    Perintah Jabatan
Perintah jabatan adalah melaksanakan pekerjaan berdasarkan perbuatan yang berlaku dalam lingkunganya.
b.        Yang Berasal Dari Hukum Yang Tidak Tertulis
Sifat melanggar hukum dapat hilang karena suatu hal yang berasal dari hukum tidak tertulis  atau tidak brasal dari undang-undang, misalnya: wewenang untuk melanggar hak orang lain atas dasar persetujuan yang berhak.

Putusan Nomor 669 K/Ag/2017
Kaidah Hukum:
a.         Apabila pengurus lembaga keuangan syariah (LKS) dalam menjalankan usahanya menyalahgunakan kewenangan sebagai pengurus seperti membuat akad fiktif, maka perbuatan akad tersebut termasuk perbuatan melawan hukum (PMH)  dan pengurus yang menggantikan dapat menuntut pengguna lama  mengembalika dana LKS  yang telah digelapnya. Dan hal tersebut bukan termasuk perkara  sengketa hubunagan kerja  antar pengurus LKS.
b.         Jika pengurus LKS melakukan penggelapan  dan LKS melalui akad syariah fiktif, maka itu adalah  perbuatan melawan hukum (PMH)  yang pembatalan akad tersebut  serta pengembalian dana LKS menjadi keweweangan  absolute peradialn agama.

Daftar Pustaka
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. Ke-6. Jakarta: Kencana –PrenadaMedia, 2012
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, 1993

[1]  Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.119
[2] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.120
[3] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.121
[4] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.122
[5] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.123
[6] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.125
[7] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.126
[8] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.127





No comments:

Post a Comment