MAKALAH PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)
A. PEMBAHASAN
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan
yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Pada
pasal 1365, BW menyatakan onrechtmatig adalah bahwa perbuatan melawan hukum
yang menyebabkan orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa yang bersalah
karena menyebabkan kerugian itu harus mengganti kerugian tersebut. Selain itu,
perbuatan melawan hukum dapat dipahamai sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang sebagai mana ditegaskan
dalam pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata.
Ultrech berpendapat bahwa penafsiran dalam
pasal 1365 KUH Perdata dalam yurisprudensi Belanda (yurisprudensi Indonesia
mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran
legoisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanya lah suatu
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja. Perbuatan yang
bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai
aliran legoisme yang berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada
akhir abad ke-19, pendapat aliran legoisme ini mendapat tantangan dari berbagai
pihak, telah diketahui bahwa Molengraflah yang mula-mula mengatakan penafsiran
yang sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diditeruskan.[1]
Dalam sejarah perbuatan melawan hukum
disebutkan bahwa pasal 1365 KUH Perdata telah diperluas pengertianya menjadi
membuat sesuatu dan tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu) dengan ketentuan
apabila
a.
Melanggar hak orang lain,
b.
Bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum
dari yang melakukan perbuatan itu,
c.
Bertentangan dengan kesusilaan, maupun
asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang
lain.
Pada pasal 1365 KUH Perdata secara tegas
diatur tentang barang siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum harus
mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Jikalau wanprestasi, maka cukuplah ia
yang menunjuk perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani
pembuktian bahwa tidak terjadi wanprestasi. Selain hal tersebut, dapat pula
dipahami bahwa dalam perbuatan melawan
hukum, maka penggugat yang harus membuktikan tentang adanya
perbuatan melawan hukum termasuk unsure kesalahan yang dilakukan oleh
tergugat.
Secara konprenhensif terdapat perbedaan
yang mendasar antara perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi. Misalnya,
berkaitan dengan ganti rugi, dalam konteks ini wanorestasi dapat diperkirakan
karena adanya perjanjian, sedangkan perbuatan melawan hukum diserahkan kepada
hakim untuk menilainya. Begitu juga dari segi pembuktiannya yaitu jika
wanprestasi yang harus dibuktikan adalah hal-hal apa saja yang telah dilanggar dalam
perjanjian sedangkan pada PMH tentang kesalahan yang telah diperbuat tergugat,
mengenai tuntutannya juga berbeda yaitu pada wanprestasi adanya somasi untuk
menyatakan tergugat lalai sedangkan PMH langsung melakukan penuntutan begitu
ada perbutan melawan hukum terjadi.[2]
Menurut Rosa Agustina, dalam menentukan
suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum diperlukan
syarat-syarat berikut :
a.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku,
b.
Bertentangan dengan hak subjektif orang
lain,
c.
Bertentangan dengan kesusilaan,
d.
Bertentangan dengan kepatutan dan kehati-hatian.
Selanjutnya perlu juga dipahami, bahwa
dalam praktiknya terdapat beberapa yurisprudensi yang tidak membolehkan
penggabungan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yakni:
a.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1875
K/Pdt/1984,
b.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 879
K/Pdt/1997,
c.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2452
K/Pdt/2009.
Larangan menggabungkan antara wanprestasi
dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan
Mahkamah Agung tersebut memiliki alasan yang cukup kuat, yaitu dengan alasan
gugatan menjadi kabur atau melanggar tata tertib beracara.[3]
Dalam praktik perdailan saat ini masalah
penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dengan wanprestasi dalam
satu gugatan dibolehkan, hal tersebut ditemukan pada putusan MA Nomor
2686/K/Pdt/1987 tanggal 29 Januari 1987. Seperti dalam gugatan adalah merupakan
perbuatan melawan hukum sedangkan
peristiwa hukumnya adalah wanprestasi, hal tersebut tidak menjadi gugatan
obscure libel. Hal ini dapat ditemukan pada putusan MA Nomor 8986 K/Pdt/2007
tanggal 24 Oktober 1987. M. Yahya Harahap
mengatakan bila posita gugatan berdasarkan wanprestasi tetapi didalam
petitum menyatakan PMH, maka hakim harus
meluruskan sesuai maksud posita sehingga
hakim harus dapat memisahkan apakah gugatan
tersebut murni PMH atau dalam gugatan
disebutkan PMH tetapi sebenarnya wanprestasi, seperti dalam putusan MA Nomor
2157 K/Pdt 2012.
2. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Menurut aliran logisme bahwa perbuatan melawan hukum hanyalah
perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan
undang-undang atau dengan kewajiban hukum yang ditentukan dalam undang-undang
yang tertulis saja. Karena aliran ini berpandangan sempit tentang perbuatan
melawan hukum maka banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya
adalah perbuatan melanggar hukum tetapi menurut aliran logisme ini tidak
digolongkan dalam onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum ).
Adapun yang dimaksud dengan penafsiran
sempit adalah dikatakan ada onrechtmatigedaad, kalau:
a.
Ada pelanggaran terhadap hak subjektif
seseorang,
b.
Tindakan tersebut bertentangan denagn
kewajiban hukum si pelaku,
c.
Bertentangan dengan kesusilaan,
d.
Bertentanagn dengan kepatutan dan
kehati-hatian.
Untuk memenuhi rasa keadilan maka
pengertian perbuatan melawan hukum diperluas. Perbuatan melawan hukum mencakup
perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepantasan bertentangan
dengan kewajiban sendiri yang ditentukan undang-undang bertentangan dengan hak
orang lain.[4]
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam
pasal 1365 KUHPerdata , antara lain :
a.
Adanya suatu pelanggaran hukum
Dengan meninjau perumusan luas dari
onrechtmatigedaad atau perbuatan haruslah perbuatan melawan hukum apabila
terdapat :
a) Pertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku,
b) Pertentangan dengan hak orang lain,
c) Pertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri,
d) Pertentangan dengan kesusilaan,
e) Pertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat atau benda.
Yang dimaksudkan dengan bertentangan dengan
hak orang lain adalah bertentangan denga hak subjektif orang lain yaitu
kewenangan yang asal dari daerah hukum, hak-hak yang diakui oleh
yurisprudensi adalah hak-hak pribadi,
seperti hak atas kebebasan, kehormatan, dan kekayaan. Menurut terminolagi hukum
dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai yang didasarkan pada hukum, baik
dengan tertulis. Menurut rumusan perbuatan melawan hukum diatas yang dimaksud dengan kewajiban melawan hukum adalah
kewajiban menurut undang-undang.
b.
Terdapat Kesalahan
Untuk dapat seseorang dipertanggungjawabkan
atas perbuatan melawan hukum, pasal 1365 KUHPerdata mengisyaratkan adanya
kesalahan. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa pasal 1365 KUHPerdata tidak
membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kesalahan dalam bentuk
kehati-hatian. Jadi, berbeda dengan hukum pidana yang membedakan antara
kesengajaan dengan kurang hati-hati.[5]
Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai
dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan seseorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum sehingga dtentukan ganti rugi yang seadil-adilnya.
c.
Terjadi Kerugian
Kerugianyang disebabkan karena perbuatan
melawan hukum dapat berupa:
1) Kerugian Materi
Kerugian materi dapat berupa kerugian yang
nyata diderita dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang
lain.
2) Kerugian Immaterial
Yang termasuk dalam kerugian immaterial
akibat perbuatan melanggar hukum dapat berupa:
a) Kerugian moral,
b) Kerugian ideal,
c) Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang,
d) Kerugian non-ekonomis.
d.
Adanya Hubungan Kuasalitas
Untuk menentukan ganti rugi terhadap orang
yang melakukan pebuatan melawan hukum selain harus ada kesalahan , disamping
itu pula harus ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu
dengan kerugian tersebut.
3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan HilangnyPertanggungjawaban
Perbuatan Melawan Hukum
Hal-hal yang dapat menghilangakan
pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum dibedakan dalam dua golongan
yaitu golongan yang berasal dari undang-undang dan berasal dari hukum yang
tidak tertulis.[6]
a.
Yang Berasal Dari Undang-Undang
1) Hak Pribadi
Sifat melawan hukum lenyap bilmamana
seseorang dalam melakuakan perbuatannya dapat mendalilkan bahwa hak pribadi
yang menjadi dasar perbuatanya. Contoh pasal 1354 KUHPerdata dengan pasal 1358
KUHPerdata tentang zaakwarneming. Pada umunya seseorang tidak dapat membuat
suatu perjanjian atas nama orang lain sepengetahuanya, misalnya, menyewakan
barang tersebut, dinamakan perbuatan ketiga. Kalau hal menyewakan barang
tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum semacam itu kalau pada suatu saat barang milik orang lain
tidak terurus sama sekali dan si pemilik tidak diketahui tempatnya, supaya barang itu tidak terlantar
seorang tadi berinisiatif mengurus barang tersebut untuk kepentingan si pemilik
barang, inilah yang dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan pasal 1357
KUHPerdata si pengurus barang tersebut berhak memperjanjikan pada pihak ketiga
yang mengikat si pemilik walau tanpa kuasanya.
2) Pembelaaan Diri
Dalam hal ini harus ada seoarang dari pihak
lain baru bias dilakukan pembelaan diri. Kalau pada waktu pembelaan diri tergolong pada perbuatan melawan hukum, maka
sifat melawan hukumnya menjadi lenyap. Harus
diperhatikan bahwa harus benar-benar ada keadaan yang memerlukan seseorang
untuk membela diri ini juga harus diperhatikan bahwa pembelaan diri
ini tidak berakibat serangan baru terhadap yang menyerang.[7]
3) Keadaan Memaksa (overmacht)
Menurut subekti, suatu keadaan dapat
dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar kekuasaan manusia dan memaksa tatkala
kerugian yang timbul akibat keadaan
memaksa, kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena
keadaan itu diluar kekuasaan manusia.[8]
4) Perintah Jabatan
Perintah jabatan adalah melaksanakan
pekerjaan berdasarkan perbuatan yang berlaku dalam lingkunganya.
b.
Yang Berasal Dari Hukum Yang Tidak Tertulis
Sifat melanggar hukum dapat hilang karena
suatu hal yang berasal dari hukum tidak tertulis atau tidak brasal dari undang-undang,
misalnya: wewenang untuk melanggar hak orang lain atas dasar persetujuan yang
berhak.
Putusan Nomor 669 K/Ag/2017
Kaidah Hukum:
a.
Apabila pengurus lembaga keuangan syariah
(LKS) dalam menjalankan usahanya menyalahgunakan kewenangan sebagai pengurus
seperti membuat akad fiktif, maka perbuatan akad tersebut termasuk perbuatan
melawan hukum (PMH) dan pengurus yang
menggantikan dapat menuntut pengguna lama
mengembalika dana LKS yang telah
digelapnya. Dan hal tersebut bukan termasuk perkara sengketa hubunagan kerja antar pengurus LKS.
b.
Jika pengurus LKS melakukan
penggelapan dan LKS melalui akad syariah
fiktif, maka itu adalah perbuatan
melawan hukum (PMH) yang pembatalan akad
tersebut serta pengembalian dana LKS
menjadi keweweangan absolute peradialn
agama.
Daftar Pustaka
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. Ke-6. Jakarta: Kencana
–PrenadaMedia, 2012
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,
Bandung, 1993
[1] Suadi Amran, Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.119
[2] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.120
[3] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.121
[4] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.122
[5] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.123
[6] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.125
[7] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.126
[8] Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Kencana
Prenadamedia Group Jakarta, 2018, hal.127
No comments:
Post a Comment