1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Juli 2019

MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DAN APLIKASI KASUS KEBIJAKAN FISKAL DI NEGARA MUSLIM

MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM

KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DAN APLIKASI KASUS KEBIJAKAN FISKAL DI NEGARA MUSLIM


BAB I

PENDAHULUAN

Keuangan Publik meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk kepentinga masyarakat, baik yang dikelola secara individual, kolektif ataupun oleh pemerintah.
Abu Ubaid memandang kekayaan public merupakan suatu kekayaan khusus, dimana pemerintah berhak mengatur dan mengolahnya. Bahkan mendistribusikan kepada masyarakat. Kebijakan pengelolaan keuangan public juga dikenal dengan kebijakan fiscal yaitu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliaharaan, pembayaran dari sumber – sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan public dan pemerintahan. Kebijakan fiscal meliputi kebijakan – kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran dan utang.
Lima belas abad yang lampau tidak ada konsep yang jelas mengenai cara mengurus keuangan dan kekayaan Negara dibelahan dunia maupun. Pemerintah suatu Negara adalah badan yang dipercaya utnu menjadi
Kekayaan Negara dan keuangan. Rasulullah adalah kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dibidang keuangan Negara diabad ketujuh, yaitu semua hasil pengumpulan Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemdian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan Negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan milik individu.
Karena harta yang dihasilkan merupakan harta milik Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, maka perlu dilakukan pengawasan dan pengaturan terhadap harta tersebut.
Pengertian pengawasan harta dalam aturan harta islam kadang tidak berbeda menurut para penulis modern dalam harta umum. Yaitu mengikuti aturan – aturan. Kaidah dan petunjuk tertentu yang bertujuan untuk menjaga harta umum, mengembangkan dan melindunginya, baik dalam mengumpulkan atau mengeluarkannya dan mengawasinya untuk mencegah kelailan. Dan membenarkan kesalahan agar harta umum tetap menjadi sarana untuk mewujudkan kemaslahatan ummat secara menyeluruh.
Pengawasan harta dalam aturan harta islam mempunyai peran yang penting karena ia merupakan alat untuk melindungi sumber beitulmaal dan menjaganya dari setiap kesia – siaan, baik kesia – siaan penguasa atau rakyat. Keduanya saling mengawasi untuk menjaga sumber baitulmaal dan melindunginya dari pelanggaran dan untuk memastikan pengumpulan dan pengeluarannya sesuai dengan kaidah syariah. “Sebagaimana oleh Abu Yusuf bahwa uang public adalah amanah yang akan dimintakan pertanggung jawabannys maka harus digunakan sebaik – baiknya untuk kemaslahatan rakyat

BAB II

PEMBAHASAN


     A.    Keuangan Publik Di Indonesia

Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik yang baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran serta mengurangi risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin besar. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.
Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan mengenai pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktikpraktik keuangan berstandar internasional.[1]
Kementerian Keuangan telah melaksanakan reorganisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang paling jelas adalah dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifikasi keuangan internasional (GFS), pembentukan Rekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan pos anggaran pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih terjadi terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas eksternal. Walaupun, kerangka 13 umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur kembali proses yang mendasarinya.
Sejauh ini, beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran pemerintah belum mengalami perbaikan, terutama mengenai indikator realisasi anggaran. Realisasi pengeluaran pemerintah pusat selalu menyimpang dari rencana awal. Subsidi dan transfer anggaran kepada pemerintah daerah cenderung diperkirakan terlalu rendah, yang mengakibatkan terjadinya kelebihan pengeluaran secara keseluruhan.
Ada tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efiien:
(i)         lemahnya penyiapan anggaran;
(ii)       pelaksanaan anggaran yang kaku; dan
(iii)     hambatan implementasi.[2]
 Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah menyebabkan revisi anggaran yang bisa mencapai tiga kali. Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas politik dan anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang flksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat waktu dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat.[3]
 Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara mereformasi secara signifikan sistem penganggaran yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara singkat, faktor-faktor yang mendorong reformasi di bidang penganggaran ini adalah:
(1) Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia yang menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program; 14
(2) Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan dalam suatu kerangka makro;
(3) Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework for budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan disiapkan secara terpisah;
(4) Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya informasi mengenai hasil suatu program (program results);
(5) Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;
(6) Susunan alokasi anggaran yang cukup terinci, secara tidak langsung mencerminkan kontrol yang kuat, namun dalam realisasinya ditengarai menimbulkan berbagai penyimpangan (KKN) dan kebocoran anggaran.
 Adapun pokok-pokok reformasi penganggaran yang terpenting meliputi:
(1) Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah;
(2) Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran pembangunan;
(3) Penerapan anggaran berbasis kinerja.
 Sebelum diberlakukannya UU No. 17/2003, belanja negara dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan (dual-budgeting). Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Sementara pengeluaran pembangunan didefinisikan sebagai pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu.[4]
Adapun belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam 15 pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan. Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek nonfisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kedua, penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi. [5]
Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya.
Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru antara lain:
Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003; Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga, semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lainlain.
Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah, (vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (i) dana perimbangan, dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka secara otomatis tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified budget).
Pengelolaan anggaran sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan. Secara global dan khususnya di negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Namun demikian, analisis Edi Suharto,47 pada banyak negara berkembang, globalisasi dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan Kompas, Mei 2004. 47 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005), 48. 17 kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa lokal, serta memperparah kemiskinan.
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi dimana populasi miskin mereka hidup tanpa perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko yang mengancamnya. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan sosial, meskipun masih terbatas dan dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal.
Dalam analisis Faridi,keuangan publik tidak dapat dilepaskan dari kenyataan peran negara dan pemerintah dalam setiap pembahasan kebijakan publik. Sedangkan dalam teori konvensional lebih memfokuskan pada gagasan tujuan sosial berdasarkan individualisme dan kepentingan pribadi, sedangkan keuangan publik Islam memiliki pendekatan berdasarkan pandangan atas keseluruhan tujuan hidup setiap Muslim dan urgensi peran negara dalam masyarakat Islam.[6]

    B.      Aplikasi Kasus Kebijakan Fiscal di Negara – Negara Muslim
1.      Kebijakan Fiskal di Romawi, Yunani, Mesir Kuno, dan India
Kajian-kajian para sarjana terhadap kebijakan fiskal di Romawi dan Mesir kuno diawali oleh S. H. Wallace. Ia berpendapat bahwa pajak telah dipraktekkan di Mesir oleh orang-orang Romawi. Orang Romawi memungut pajak produksi dari wilayah taklukan. Ada juga pajak tanah yang dipungut secara tunai dari tanah yang menghasilkan bijibijian dan dalam bentuk uang dari tanah yang digunakan pertamanan. Salah satu pajak kuno yang diterapkan di Mesir dan Romawi adalah pajak kepala atau pajak perorangan. Pajak umum lainnya adalah pajak warisan, pajak atas hewan, penjualan berbagai komoditas dan perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Yunani, termasuk sumber pendapatan Negara adalah pajak atas seluruh transaksi keuangan. Selain itu, sumbangan tulus dan sukarela dari warga negara yang kaya juga merupakan sumber penting keuangan negara, terutama dalam keadaan perang.
Berbeda dengan peradaban Romawi, Yunani, dan Mesir kuno, jejak dari studi tentang fiskal di India banyak terekam dalam kitab suci India kuno. Sebut saja Mahabharata, Manu Smriti, Arthasastra, dan Shukranti. Dalam Mahabharata misalnya, dinyatakan “Penguasa berhak mengumpulkan uang, membangun bendahara yang kuat, dan dengan uang tersebut ia harus menolong rakyat”. Disebutkan pula dalam kitab tersebut bahwa pajak harus dibebankan secara bertahap pada musimnya, secara damai dan sesuai dengan norma yang semestinya. Shukra dalam karyanya Sukhranti berpendapat bahwa raja berhak memungut pajak karena ia harus melindungi rakyat dan memberikan pelbagai perlindungan. Dalam Arthasastra, dituliskan bahwa pajak ditetapkan secara bertahap. Raja harus menerima seperenam biji-bijian dan sepersepuluh barang dagangan, dan juga sebagai bebannya.[7]
Seperti ekonomi agraria lainnya, pajak atas tanah merupakan sumber utama pendapatan negara di India, disamping ada sumber-sumber yang lain seperti pajak perorangan, pajak pasar, pajak dari kelomok pengrajin, pendapatan dari tanah milik negara, rampasan perang, upeti, amal keagamaan, dan sumbangan dari para dermawan.
Analisis terhadap perbagai bentuk pembelanjaan publik di Yunani dan Romawi kuno didapatkan bahwa secara umum pembelanjaan diprioritaskan pada pembangunan fisik seperti pembangunan air mancur, jalan raya, kanal, bendungan, benteng, pasar, dan sarana olah raga. Pendapatan dan keputusan pembelanjaannya berada di tangan penguasa dan didasarkan pada kemauan mereka. Pajak umumnya bersifat menindas. Pembelanjaannya juga terkesan mewah
dan tidak produktif.
Terkait bentuk pembelanjaan publik di India, para pemikir India kuno menyebutkan bahwa pemungutan pendapatan lebih penting dari pada pembelanjaanya. Sebagaimana pernyataan Shukra bahwa pembelanjaan harus lebih kecil daripada pendapatan dan harus ada kelebihan
dalam kas negara. Perpajakan dijustifikasi sebagai harta yang harus dibayar oleh rakyat untuk melindungi apa yang mereka terima. Sebagaimana Yunani dan Romawi, pembelanjaan keuangan negara di India juga dialokasikan untuk proyek-proyek publik, terutama pada pembelanjaan untuk ritual keagamaan seperti pembangunan kuil, istana dan kuburan.[8]



DAFTAR PUSTAKA

Jaelani,Aan.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal
Rahmawati,Lilik.2008.Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2.


[1] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.12

[2] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.12-13

[3] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.13

[4] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.14
[5] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.15
[6] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.15-16
[7] Lilik Rahmawati, “Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2,2008.hlm438-440
[8] Lilik Rahmawati, “Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2,2008.hlm440-441

Kamis, 04 Juli 2019

MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM


MAKALAH KEUNAGAN PUBLIK ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegiatan perekonomian yang ada di masyarakat setiap negara bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang tentunya akan berimbas pula pada kesejahteraan negara. Bila berbicara masalah perekonomian mau tidak mau proses kelancarannya sangat dipengaruhi oleh adanya lembaga keuangan sebagai lembaga yang ikut memperlancar kegiatan perekonomian. Salah satu lembaga keuangan saat ini yang perkembangannya memperlihatkan kemajuan pesat adalah lembaga keuangan  islam yang berupa baitul maal yang saat ini secara lengkap disebut dengan baitul maal wat tamwil.
Telah terbukti bahwa kegiatan ekonomi sering kali memerlukan adanya dukungan dari lembaga keuangan sebagai darah (uang) untuk memperlancar kegiatan perekonomian tersebut. Baitul maal tanwil  sebagai sebuah lembaga koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) sekaligus lembaga intermediasi antara penghimpunan dan penyaluran dana dari dan utnuk masyrakat (Tho’in, 2011),  Baitul maal  ini sudah ada sejak zama Rasulullah SAW, tetapi yang paling kelihatan perannya adalah sejak zaman khulafaur Rasyidin yaitu dari masa Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan Khalifahb Ali Bin Abi Thalib (Herlina, 2013).
Dimana peranan dan fungsi baitul maal pada waktu Khulafaur Rasyidin tidak hanya sebagai lembaga  keuangan yang mengurus ekonomi secara sederhana, tetapi justru menjadi lembaga yang mengurus seluruh masalah keuangan negara sekaligus sebagai lembaga keuangan yang mengelola semua kekayaan negara. Kemuadian perkembangan lembaga ini sekarang menjadi  Baitul maal wat tamwil yang lingkupnya sebagai lembaga keuangan dalam rangka menjadi bagian dalam kegiatanekonomi rakyat terutama lebih kearah mikro.
 Oleh karena itu, kami akan memaparkan pembahasan tentang sejarah, ruang lingkup, tujuan dan fungsi baitul maal sebagai lembaga keuangan islam dalam memperlancar aktivitas perekonomian yang ada pada masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu:
1.      Apa itu pengertian Baitul maal?
2.      Apa saja sejarah Baitul maal?
3.      Apa ruang lingkup Baitul maal?
4.      Apa tujuan dan fungsi Baitul maal?
C.    Tujuan
Adapun tujuan yang akan kami bahas yaitu:
1.      Memahami apa itu  Baitul maal
2.      Mengetahui sejarah Baitul maal
3.      Mengetahui ruang lingkup Baitul maal
4.      Mengetahui tujuan dan fungsi Baitul maal

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Baitul Maal
              Baitul maal  berasal dari dua kata bahasa Arab, yakni baytdan al-mal. Bayt berarti ‘’rumah’’ sedangkan  al-mal berarti ‘’harta’’. Dengan demikian, secara bahasa baitul mal berarti ‘’rumah harta’’. Menurut Ahmad Ifham Sholihin dalam Buku Pintar Ekonomi Syariah (2010), secara istilah baitul mal berarti suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Pengertian itu didasarkan pada uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam Al-Amwal fi Dawlah al-Khalifah.
              Selain itu, Ifham Sholihin juga memberikan dua pengertian lain. Pertama, ia mengartikan sebagai lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, Kharaj (cukai atas tanah pertanian), Jizyah (pajak yang dibebankan pada penduduk non Muslim yang tinggal di negara islam), ghanimah (rampasan perang), khaffarat (denda), wakaf, dan lain-lain yang ditasyarufkan untuk kepentingan umat. Kedua, baitul mal diartikan sebagai rumah harta, yang pada zaman Rasulullah SAW berfungsi sebagai pembendaharaan negara.
              Dulu, baitul mal adalah departemen yang berurusan dengan pendapatan dan segala hal keekonomian negara. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada baitul mal atau harta publik yang ebrsifat permanen, karena semua pendapatan yang diperoleh negara didistribusikan secara langsung. Tidak ada pengkajian, tidak ada pengeluaran negara , dan baitul mal dakam tataran publik belum diras perlu.[1]
              Sedangkan menurut Ensiklopedia hukum islam, baitul maal adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syari’at. Sedangkan menurut Harun Nasution, baitul maal bisa diartikan sebagai pembendaharaan (umum atau negara).[2]
              Dapat kita simpulkan bahwa baitul maal adalah suatu lembaga keuangan yang bertugas mengelola, menerima, menyimpan dan mendistribusikan keuangang negara yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini baitul maal mengatur pengelolaan keuangan negara.

B.  Ruang Lingkup Baitul Maal
              Menurut pendapat Suhrawardi K. Lubis, baitul maal dilihat dari segi istilah fikih adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain (Maman, 2012).
              Baitul Maal jika dilihat dari namanya berasal dari bahasa Arab, yaitu kata bayt yang memiliki makna "rumah", serta berasal dari kata al-maal yang yang memiliki arti atau makna "harta" (Dahlan, 1999).
              Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki kewajiban atau tugas khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang dimiliki oleh umat, dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran negara (Zallum, 1983).[3]

C.  Sejarah Baitul Maal
1.      Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
               Baitul Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal tersebut:
‘‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman’’.(QS Al Anfaal : 1)[4]
               Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin, yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri, sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum, 1983).
               Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagibagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menundanundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
               Seorang sahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW, menyatakan, ‘Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.” (Zallum, 1983).
               Pada umumnya Rasulullah SAW membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad menyatakan, ‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…’ Dengan kata lain, bila rharta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).

2.      Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘’Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat’’. (Zallum, 1983).
Kemudian pada tahun kedua kekhi­lafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya, berupa karung atau kantung (ghirarah), untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Menjelang ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
3.      Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
               Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
               Akan tetapi setelah penaklukanpenaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangu­n sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadangkadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagibagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan :
‘Umar pernah memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’
               Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).

4.      Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
               Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).

5.      Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
               Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
               Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Dahlan, 1999).
6.      Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
               Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
               Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
               Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.
               lmam Abu Hanifah menolak bingkisan dan Khalitah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
               Namun bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.[5]

D.  Tujuan dan Fungsi Baitul Maal
Tujuan dan fungsi baitul mal yaitu:
1.      Terwujudnya layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit.
2.      Terwujudnya layanan pendayagunaan ziswaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan.
3.      Terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder dan menjadi benchmark bagi lembaga pengelola ZIS dan wakaf di Indonesia uang negara sesuai dengan aturan syariat.
                 Selain itu Baitul maal juga berfungsi sebagai bendahara negara (konteks sekarang dalam perekonomian modern disebut departemen keuangan). Tapi pada hakikatnya baitul maal berfungsi untuk mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan zakat, kharaj, jizyah, Khums, fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
                 Adapun beberapa fungsi dari Baitul maal (Widodo,1999:44):
a.       Penghimpun dan penyalur dana, dengan menyimpan uang, uang tersebut dapat ditingkatkan utilitasnya, sehingga timbul unit surplus (pihak yang memiliki dana berlebih) dan unit defisit (pihak kekurangan dana).
b.      Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan alat pembayaran yang sah yang mampu memberikan kemampuan untuk memenuhi kewajiban suatu lembaga/ perorangan. Sumber pendapatan, baitul maal dapat menciptakan lapangan kerja dan memberi pendapatan kepada para pegawai.[6]
c.       Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat mengenai resiko keuntungan dan peluang yang ada pada lembaga tersebut.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
              Baitul Maal adalah suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara  terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain atau menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat.
              Tujuan dan fungsi baitul maal adalah terwujudnya layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit. Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ziswaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan. Dan juga terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL AKUTANSI DAN PAJAK, EKONOMI ISLAM VOL 14, NO 02
TERJEMAHAN AL- QUR’AN INDONESIA QS. AL-ANFAL: 1
DAHLAN, ABDUL AZIZ. ET.AL. (1999) ENSIKLOPEDIA HUKUM ISLAM.
JURNAL AKUTANSI DAN PAJAK, VOL 14, NO 02


[2] Dahlan, Abdul Aziz. Et.al. (1999) ENSIKLOPEDIA HUKUM ISLAM.45
[3] Jurnal akutansi dan pajak, vol 14, no 02, hal.02
[4] QS. Al-Anfal: 1
[6] Jurnal akutansi dan pajak, vol 14, no 02, hal.02