MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM
KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DAN APLIKASI KASUS KEBIJAKAN FISKAL DI NEGARA MUSLIM
BAB I
PENDAHULUAN
Keuangan Publik
meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk kepentinga masyarakat, baik
yang dikelola secara individual, kolektif ataupun oleh pemerintah.
Abu Ubaid memandang
kekayaan public merupakan suatu kekayaan khusus, dimana pemerintah berhak
mengatur dan mengolahnya. Bahkan mendistribusikan kepada masyarakat. Kebijakan
pengelolaan keuangan public juga dikenal dengan kebijakan fiscal yaitu
kebijakan yang berkenaan dengan pemeliaharaan, pembayaran dari sumber – sumber
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan public dan pemerintahan. Kebijakan
fiscal meliputi kebijakan – kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran
dan utang.
Lima belas abad yang
lampau tidak ada konsep yang jelas mengenai cara mengurus keuangan dan kekayaan
Negara dibelahan dunia maupun. Pemerintah suatu Negara adalah badan yang
dipercaya utnu menjadi
Kekayaan Negara dan
keuangan. Rasulullah adalah kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep
baru dibidang keuangan Negara diabad ketujuh, yaitu semua hasil pengumpulan
Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemdian dikeluarkan sesuai dengan
kebutuhan Negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan milik
individu.
Karena harta yang
dihasilkan merupakan harta milik Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat, maka perlu dilakukan pengawasan dan pengaturan terhadap harta tersebut.
Pengertian pengawasan
harta dalam aturan harta islam kadang tidak berbeda menurut para penulis modern
dalam harta umum. Yaitu mengikuti aturan – aturan. Kaidah dan petunjuk tertentu
yang bertujuan untuk menjaga harta umum, mengembangkan dan melindunginya, baik
dalam mengumpulkan atau mengeluarkannya dan mengawasinya untuk mencegah
kelailan. Dan membenarkan kesalahan agar harta umum tetap menjadi sarana untuk
mewujudkan kemaslahatan ummat secara menyeluruh.
Pengawasan harta dalam
aturan harta islam mempunyai peran yang penting karena ia merupakan alat untuk
melindungi sumber beitulmaal dan menjaganya dari setiap kesia – siaan, baik kesia
– siaan penguasa atau rakyat. Keduanya saling mengawasi untuk menjaga sumber
baitulmaal dan melindunginya dari pelanggaran dan untuk memastikan pengumpulan
dan pengeluarannya sesuai dengan kaidah syariah. “Sebagaimana oleh Abu Yusuf
bahwa uang public adalah amanah yang akan dimintakan pertanggung jawabannys
maka harus digunakan sebaik – baiknya untuk kemaslahatan rakyat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keuangan Publik Di Indonesia
Dengan
meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik
yang baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran
anggaran serta mengurangi risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah
sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan pemerintah, tuntutan
perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin
besar. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran
diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas
program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan
yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik
terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.
Indonesia
telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan
mengenai pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan
UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan
Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan
langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktikpraktik keuangan
berstandar internasional.[1]
Kementerian
Keuangan telah melaksanakan reorganisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan
meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan,
dan yang paling jelas adalah dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang
sesuai dengan standar klasifikasi keuangan internasional (GFS), pembentukan
Rekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan
pos anggaran pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun
akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan publik sudah menunjukkan
kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih
terjadi terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran,
akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas eksternal. Walaupun, kerangka 13
umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat
dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan
mengatur kembali proses yang mendasarinya.
Sejauh
ini, beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran pemerintah belum
mengalami perbaikan, terutama mengenai indikator realisasi anggaran. Realisasi
pengeluaran pemerintah pusat selalu menyimpang dari rencana awal. Subsidi dan
transfer anggaran kepada pemerintah daerah cenderung diperkirakan terlalu
rendah, yang mengakibatkan terjadinya kelebihan pengeluaran secara keseluruhan.
Ada
tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran
yang efiien:
(i)
lemahnya
penyiapan anggaran;
(ii)
pelaksanaan
anggaran yang kaku; dan
(iii)
hambatan
implementasi.[2]
Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama
taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah menyebabkan revisi
anggaran yang bisa mencapai tiga kali. Kedua, pemerintah masih menerapkan
proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang rinci terhadap
input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas
politik dan anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen
pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun
anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang flksibel
untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk
melaksanakan suatu kegiatan. Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban
sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan dengan kapasitas
kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat
waktu dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat.[3]
Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang
keuangan negara mereformasi secara signifikan sistem penganggaran yang telah
puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara singkat, faktor-faktor yang
mendorong reformasi di bidang penganggaran ini adalah:
(1)
Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia yang menghambat
pendistribusian dana anggaran ke berbagai program; 14
(2)
Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan dalam suatu
kerangka makro;
(3)
Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework for budgeting)
mengingat anggaran rutin dan pembangunan disiapkan secara terpisah;
(4)
Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya informasi mengenai hasil
suatu program (program results);
(5)
Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;
(6)
Susunan alokasi anggaran yang cukup terinci, secara tidak langsung mencerminkan
kontrol yang kuat, namun dalam realisasinya ditengarai menimbulkan berbagai
penyimpangan (KKN) dan kebocoran anggaran.
Adapun pokok-pokok reformasi penganggaran yang
terpenting meliputi:
(1)
Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah;
(2)
Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran
pembangunan;
(3)
Penerapan anggaran berbasis kinerja.
Sebelum diberlakukannya UU No. 17/2003,
belanja negara dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan
(dual-budgeting). Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk
keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan.
Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga,
subsidi, dan belanja lain-lain. Sementara pengeluaran pembangunan didefinisikan
sebagai pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non
fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu.[4]
Adapun
belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang
meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan
tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan
(infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Sementara
itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek
terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya.
Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan
untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam 15 pelaksanaannya
telah menunjukan banyak kelemahan. Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan
belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan
operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek nonfisik. Dengan
demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan
kondisi yang sesungguhnya. Kedua, penggunaan “dual budgeting” mendorong
dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena
untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada
MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja
dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi
pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak
dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima
anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai
entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah
selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban
terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain
menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga
menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai
dengan penganggaran organisasi. [5]
Selanjutnya,
sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran
mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS
(Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja
negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada
pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi
menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini,
belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1)
kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari
modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit
organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan
sosial (social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka
transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari
pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya.
Dalam
melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan
dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001
dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan
dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru antara lain:
Pertama,
dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan
antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos belanja
untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003;
Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan
struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga, semua pengeluaran
negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di hampir
semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan
sebagai belanja lainlain.
Dengan
berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara menurut klasifikasi
ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang,
(iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah,
(vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk
daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (i) dana perimbangan,
dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan format
dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka secara otomatis tidak
ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified
budget).
Pengelolaan
anggaran sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi. Pembangunan
ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan. Secara global dan khususnya di
negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan
solidaritas sosial, serta memperluas kemampuan dan akses orang terhadap
pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Namun
demikian, analisis Edi Suharto,47 pada banyak negara berkembang, globalisasi
dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan Kompas, Mei
2004. 47 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung:
Refika Aditama, 2005), 48. 17 kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa
lokal, serta memperparah kemiskinan.
Kebijakan
privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment)
yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah mendorong negara-negara
berkembang ke dalam situasi dimana populasi miskin mereka hidup tanpa
perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara
otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko yang mengancamnya. Oleh karena
itu, beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang
menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan sosial, meskipun masih terbatas
dan dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal.
Dalam
analisis Faridi,keuangan publik tidak dapat dilepaskan dari kenyataan peran
negara dan pemerintah dalam setiap pembahasan kebijakan publik. Sedangkan dalam
teori konvensional lebih memfokuskan pada gagasan tujuan sosial berdasarkan
individualisme dan kepentingan pribadi, sedangkan keuangan publik Islam
memiliki pendekatan berdasarkan pandangan atas keseluruhan tujuan hidup setiap
Muslim dan urgensi peran negara dalam masyarakat Islam.[6]
B. Aplikasi Kasus Kebijakan Fiscal di Negara –
Negara Muslim
1. Kebijakan
Fiskal di Romawi, Yunani, Mesir Kuno, dan India
Kajian-kajian
para sarjana terhadap kebijakan fiskal di Romawi dan Mesir kuno diawali oleh S.
H. Wallace. Ia berpendapat bahwa pajak telah dipraktekkan di Mesir oleh orang-orang
Romawi. Orang Romawi memungut pajak produksi dari wilayah taklukan. Ada juga
pajak tanah yang dipungut secara tunai dari tanah yang menghasilkan bijibijian dan
dalam bentuk uang dari tanah yang digunakan pertamanan. Salah satu pajak kuno
yang diterapkan di Mesir dan Romawi adalah pajak kepala atau pajak perorangan. Pajak
umum lainnya adalah pajak warisan, pajak atas hewan, penjualan berbagai komoditas
dan perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri.
Di
Yunani, termasuk sumber pendapatan Negara adalah pajak atas seluruh transaksi
keuangan. Selain itu, sumbangan tulus dan sukarela dari warga negara yang kaya juga
merupakan sumber penting keuangan negara, terutama dalam keadaan perang.
Berbeda
dengan peradaban Romawi, Yunani, dan Mesir kuno, jejak dari studi tentang
fiskal di India banyak terekam dalam kitab suci India kuno. Sebut saja Mahabharata,
Manu Smriti, Arthasastra, dan Shukranti. Dalam Mahabharata misalnya,
dinyatakan “Penguasa berhak mengumpulkan uang, membangun bendahara yang kuat,
dan dengan uang tersebut ia harus menolong rakyat”. Disebutkan pula dalam kitab
tersebut bahwa pajak harus dibebankan secara bertahap pada musimnya, secara
damai dan sesuai dengan norma yang semestinya. Shukra
dalam karyanya Sukhranti berpendapat bahwa raja berhak memungut pajak
karena ia harus melindungi rakyat dan memberikan pelbagai perlindungan. Dalam Arthasastra,
dituliskan bahwa pajak ditetapkan secara bertahap. Raja harus menerima
seperenam biji-bijian dan sepersepuluh barang dagangan, dan juga sebagai
bebannya.[7]
Seperti
ekonomi agraria lainnya, pajak atas tanah merupakan sumber utama pendapatan
negara di India, disamping ada sumber-sumber yang lain seperti pajak perorangan,
pajak pasar, pajak dari kelomok pengrajin, pendapatan dari tanah milik negara,
rampasan perang, upeti, amal keagamaan, dan sumbangan dari para dermawan.
Analisis
terhadap perbagai bentuk pembelanjaan publik di Yunani dan Romawi kuno
didapatkan bahwa secara umum pembelanjaan diprioritaskan pada pembangunan fisik
seperti pembangunan air mancur, jalan raya, kanal, bendungan, benteng, pasar,
dan sarana olah raga. Pendapatan dan keputusan pembelanjaannya berada di tangan
penguasa dan didasarkan pada kemauan mereka. Pajak umumnya bersifat menindas.
Pembelanjaannya juga terkesan mewah
dan tidak
produktif.
Terkait
bentuk pembelanjaan publik di India, para pemikir India kuno menyebutkan bahwa
pemungutan pendapatan lebih penting dari pada pembelanjaanya. Sebagaimana
pernyataan Shukra bahwa pembelanjaan harus lebih kecil daripada pendapatan dan
harus ada kelebihan
dalam kas negara. Perpajakan
dijustifikasi sebagai harta yang harus dibayar oleh rakyat untuk melindungi apa
yang mereka terima. Sebagaimana Yunani dan Romawi, pembelanjaan keuangan negara
di India juga dialokasikan untuk proyek-proyek publik, terutama pada
pembelanjaan untuk ritual keagamaan seperti pembangunan kuil, istana dan
kuburan.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Jaelani,Aan.2015.
Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan
Keuangan Publik Islam.Jurnal
Rahmawati,Lilik.2008.Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2.
Tinjauan
Keuangan Publik Islam.Jurnal
.hlm.12
Tinjauan
Keuangan Publik Islam.Jurnal
.hlm.12-13
Tinjauan
Keuangan Publik Islam.Jurnal
.hlm.13
Tinjauan
Keuangan Publik Islam.Jurnal
.hlm.14
Tinjauan
Keuangan Publik Islam.Jurnal
.hlm.15
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.15-16
No comments:
Post a Comment