1

loading...

Saturday, July 6, 2019

MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DAN APLIKASI KASUS KEBIJAKAN FISKAL DI NEGARA MUSLIM

MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM

KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DAN APLIKASI KASUS KEBIJAKAN FISKAL DI NEGARA MUSLIM


BAB I

PENDAHULUAN

Keuangan Publik meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk kepentinga masyarakat, baik yang dikelola secara individual, kolektif ataupun oleh pemerintah.
Abu Ubaid memandang kekayaan public merupakan suatu kekayaan khusus, dimana pemerintah berhak mengatur dan mengolahnya. Bahkan mendistribusikan kepada masyarakat. Kebijakan pengelolaan keuangan public juga dikenal dengan kebijakan fiscal yaitu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliaharaan, pembayaran dari sumber – sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan public dan pemerintahan. Kebijakan fiscal meliputi kebijakan – kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran dan utang.
Lima belas abad yang lampau tidak ada konsep yang jelas mengenai cara mengurus keuangan dan kekayaan Negara dibelahan dunia maupun. Pemerintah suatu Negara adalah badan yang dipercaya utnu menjadi
Kekayaan Negara dan keuangan. Rasulullah adalah kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dibidang keuangan Negara diabad ketujuh, yaitu semua hasil pengumpulan Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemdian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan Negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan milik individu.
Karena harta yang dihasilkan merupakan harta milik Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, maka perlu dilakukan pengawasan dan pengaturan terhadap harta tersebut.
Pengertian pengawasan harta dalam aturan harta islam kadang tidak berbeda menurut para penulis modern dalam harta umum. Yaitu mengikuti aturan – aturan. Kaidah dan petunjuk tertentu yang bertujuan untuk menjaga harta umum, mengembangkan dan melindunginya, baik dalam mengumpulkan atau mengeluarkannya dan mengawasinya untuk mencegah kelailan. Dan membenarkan kesalahan agar harta umum tetap menjadi sarana untuk mewujudkan kemaslahatan ummat secara menyeluruh.
Pengawasan harta dalam aturan harta islam mempunyai peran yang penting karena ia merupakan alat untuk melindungi sumber beitulmaal dan menjaganya dari setiap kesia – siaan, baik kesia – siaan penguasa atau rakyat. Keduanya saling mengawasi untuk menjaga sumber baitulmaal dan melindunginya dari pelanggaran dan untuk memastikan pengumpulan dan pengeluarannya sesuai dengan kaidah syariah. “Sebagaimana oleh Abu Yusuf bahwa uang public adalah amanah yang akan dimintakan pertanggung jawabannys maka harus digunakan sebaik – baiknya untuk kemaslahatan rakyat

BAB II

PEMBAHASAN


     A.    Keuangan Publik Di Indonesia

Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik yang baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran serta mengurangi risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin besar. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.
Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan mengenai pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktikpraktik keuangan berstandar internasional.[1]
Kementerian Keuangan telah melaksanakan reorganisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang paling jelas adalah dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifikasi keuangan internasional (GFS), pembentukan Rekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan pos anggaran pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih terjadi terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas eksternal. Walaupun, kerangka 13 umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur kembali proses yang mendasarinya.
Sejauh ini, beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran pemerintah belum mengalami perbaikan, terutama mengenai indikator realisasi anggaran. Realisasi pengeluaran pemerintah pusat selalu menyimpang dari rencana awal. Subsidi dan transfer anggaran kepada pemerintah daerah cenderung diperkirakan terlalu rendah, yang mengakibatkan terjadinya kelebihan pengeluaran secara keseluruhan.
Ada tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efiien:
(i)         lemahnya penyiapan anggaran;
(ii)       pelaksanaan anggaran yang kaku; dan
(iii)     hambatan implementasi.[2]
 Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah menyebabkan revisi anggaran yang bisa mencapai tiga kali. Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas politik dan anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang flksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat waktu dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat.[3]
 Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara mereformasi secara signifikan sistem penganggaran yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara singkat, faktor-faktor yang mendorong reformasi di bidang penganggaran ini adalah:
(1) Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia yang menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program; 14
(2) Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan dalam suatu kerangka makro;
(3) Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework for budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan disiapkan secara terpisah;
(4) Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya informasi mengenai hasil suatu program (program results);
(5) Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;
(6) Susunan alokasi anggaran yang cukup terinci, secara tidak langsung mencerminkan kontrol yang kuat, namun dalam realisasinya ditengarai menimbulkan berbagai penyimpangan (KKN) dan kebocoran anggaran.
 Adapun pokok-pokok reformasi penganggaran yang terpenting meliputi:
(1) Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah;
(2) Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran pembangunan;
(3) Penerapan anggaran berbasis kinerja.
 Sebelum diberlakukannya UU No. 17/2003, belanja negara dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan (dual-budgeting). Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Sementara pengeluaran pembangunan didefinisikan sebagai pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu.[4]
Adapun belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam 15 pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan. Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek nonfisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kedua, penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi. [5]
Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya.
Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru antara lain:
Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003; Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga, semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lainlain.
Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah, (vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (i) dana perimbangan, dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka secara otomatis tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified budget).
Pengelolaan anggaran sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan. Secara global dan khususnya di negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Namun demikian, analisis Edi Suharto,47 pada banyak negara berkembang, globalisasi dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan Kompas, Mei 2004. 47 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005), 48. 17 kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa lokal, serta memperparah kemiskinan.
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi dimana populasi miskin mereka hidup tanpa perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko yang mengancamnya. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan sosial, meskipun masih terbatas dan dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal.
Dalam analisis Faridi,keuangan publik tidak dapat dilepaskan dari kenyataan peran negara dan pemerintah dalam setiap pembahasan kebijakan publik. Sedangkan dalam teori konvensional lebih memfokuskan pada gagasan tujuan sosial berdasarkan individualisme dan kepentingan pribadi, sedangkan keuangan publik Islam memiliki pendekatan berdasarkan pandangan atas keseluruhan tujuan hidup setiap Muslim dan urgensi peran negara dalam masyarakat Islam.[6]

    B.      Aplikasi Kasus Kebijakan Fiscal di Negara – Negara Muslim
1.      Kebijakan Fiskal di Romawi, Yunani, Mesir Kuno, dan India
Kajian-kajian para sarjana terhadap kebijakan fiskal di Romawi dan Mesir kuno diawali oleh S. H. Wallace. Ia berpendapat bahwa pajak telah dipraktekkan di Mesir oleh orang-orang Romawi. Orang Romawi memungut pajak produksi dari wilayah taklukan. Ada juga pajak tanah yang dipungut secara tunai dari tanah yang menghasilkan bijibijian dan dalam bentuk uang dari tanah yang digunakan pertamanan. Salah satu pajak kuno yang diterapkan di Mesir dan Romawi adalah pajak kepala atau pajak perorangan. Pajak umum lainnya adalah pajak warisan, pajak atas hewan, penjualan berbagai komoditas dan perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Yunani, termasuk sumber pendapatan Negara adalah pajak atas seluruh transaksi keuangan. Selain itu, sumbangan tulus dan sukarela dari warga negara yang kaya juga merupakan sumber penting keuangan negara, terutama dalam keadaan perang.
Berbeda dengan peradaban Romawi, Yunani, dan Mesir kuno, jejak dari studi tentang fiskal di India banyak terekam dalam kitab suci India kuno. Sebut saja Mahabharata, Manu Smriti, Arthasastra, dan Shukranti. Dalam Mahabharata misalnya, dinyatakan “Penguasa berhak mengumpulkan uang, membangun bendahara yang kuat, dan dengan uang tersebut ia harus menolong rakyat”. Disebutkan pula dalam kitab tersebut bahwa pajak harus dibebankan secara bertahap pada musimnya, secara damai dan sesuai dengan norma yang semestinya. Shukra dalam karyanya Sukhranti berpendapat bahwa raja berhak memungut pajak karena ia harus melindungi rakyat dan memberikan pelbagai perlindungan. Dalam Arthasastra, dituliskan bahwa pajak ditetapkan secara bertahap. Raja harus menerima seperenam biji-bijian dan sepersepuluh barang dagangan, dan juga sebagai bebannya.[7]
Seperti ekonomi agraria lainnya, pajak atas tanah merupakan sumber utama pendapatan negara di India, disamping ada sumber-sumber yang lain seperti pajak perorangan, pajak pasar, pajak dari kelomok pengrajin, pendapatan dari tanah milik negara, rampasan perang, upeti, amal keagamaan, dan sumbangan dari para dermawan.
Analisis terhadap perbagai bentuk pembelanjaan publik di Yunani dan Romawi kuno didapatkan bahwa secara umum pembelanjaan diprioritaskan pada pembangunan fisik seperti pembangunan air mancur, jalan raya, kanal, bendungan, benteng, pasar, dan sarana olah raga. Pendapatan dan keputusan pembelanjaannya berada di tangan penguasa dan didasarkan pada kemauan mereka. Pajak umumnya bersifat menindas. Pembelanjaannya juga terkesan mewah
dan tidak produktif.
Terkait bentuk pembelanjaan publik di India, para pemikir India kuno menyebutkan bahwa pemungutan pendapatan lebih penting dari pada pembelanjaanya. Sebagaimana pernyataan Shukra bahwa pembelanjaan harus lebih kecil daripada pendapatan dan harus ada kelebihan
dalam kas negara. Perpajakan dijustifikasi sebagai harta yang harus dibayar oleh rakyat untuk melindungi apa yang mereka terima. Sebagaimana Yunani dan Romawi, pembelanjaan keuangan negara di India juga dialokasikan untuk proyek-proyek publik, terutama pada pembelanjaan untuk ritual keagamaan seperti pembangunan kuil, istana dan kuburan.[8]



DAFTAR PUSTAKA

Jaelani,Aan.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal
Rahmawati,Lilik.2008.Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2.


[1] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.12

[2] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.12-13

[3] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.13

[4] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.14
[5] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.15
[6] Aan Jaelani.2015. Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia:
Tinjauan Keuangan Publik Islam.Jurnal .hlm.15-16
[7] Lilik Rahmawati, “Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2,2008.hlm438-440
[8] Lilik Rahmawati, “Kebijakan Fiscal Dalam Islam.Jurnal Al-Qanun, Vol. 11, No. 2,2008.hlm440-441

No comments:

Post a Comment