MAKALAH KEUNAGAN PUBLIK ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kegiatan
perekonomian yang ada di masyarakat setiap negara bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, yang tentunya akan berimbas pula pada kesejahteraan
negara. Bila berbicara masalah perekonomian mau tidak mau proses kelancarannya
sangat dipengaruhi oleh adanya lembaga keuangan sebagai lembaga yang ikut
memperlancar kegiatan perekonomian. Salah satu lembaga keuangan saat ini yang
perkembangannya memperlihatkan kemajuan pesat adalah lembaga keuangan islam yang berupa baitul maal yang saat ini secara lengkap disebut dengan baitul maal wat tamwil.
Telah
terbukti bahwa kegiatan ekonomi sering kali memerlukan adanya dukungan dari
lembaga keuangan sebagai darah (uang) untuk memperlancar kegiatan perekonomian
tersebut. Baitul maal tanwil sebagai sebuah lembaga koperasi jasa keuangan
syariah (KJKS) sekaligus lembaga intermediasi antara penghimpunan dan
penyaluran dana dari dan utnuk masyrakat (Tho’in, 2011), Baitul maal ini sudah ada sejak zama Rasulullah SAW,
tetapi yang paling kelihatan perannya adalah sejak zaman khulafaur Rasyidin
yaitu dari masa Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan Khalifahb Ali Bin Abi Thalib
(Herlina, 2013).
Dimana
peranan dan fungsi baitul maal pada
waktu Khulafaur Rasyidin tidak hanya sebagai lembaga keuangan yang mengurus ekonomi secara
sederhana, tetapi justru menjadi lembaga yang mengurus seluruh masalah keuangan
negara sekaligus sebagai lembaga keuangan yang mengelola semua kekayaan negara.
Kemuadian perkembangan lembaga ini sekarang menjadi Baitul maal wat tamwil yang
lingkupnya sebagai lembaga keuangan dalam rangka menjadi bagian dalam
kegiatanekonomi rakyat terutama lebih kearah mikro.
Oleh karena
itu, kami akan memaparkan pembahasan tentang sejarah, ruang lingkup, tujuan dan
fungsi baitul maal sebagai lembaga
keuangan islam dalam memperlancar aktivitas perekonomian yang ada pada
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu:
1.
Apa itu
pengertian Baitul maal?
2.
Apa saja sejarah
Baitul maal?
3.
Apa ruang
lingkup Baitul maal?
4.
Apa tujuan dan fungsi
Baitul maal?
C. Tujuan
Adapun
tujuan yang akan kami bahas yaitu:
1.
Memahami apa itu
Baitul maal
2.
Mengetahui
sejarah Baitul maal
3.
Mengetahui ruang
lingkup Baitul maal
4.
Mengetahui tujuan
dan fungsi Baitul maal
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Baitul Maal
Baitul maal berasal dari dua
kata bahasa Arab, yakni baytdan al-mal.
Bayt berarti ‘’rumah’’ sedangkan al-mal berarti ‘’harta’’. Dengan demikian,
secara bahasa baitul mal berarti
‘’rumah harta’’. Menurut Ahmad Ifham Sholihin dalam Buku Pintar Ekonomi Syariah
(2010), secara istilah baitul mal
berarti suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala
harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Pengertian itu
didasarkan pada uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam Al-Amwal fi Dawlah
al-Khalifah.
Selain itu, Ifham Sholihin juga
memberikan dua pengertian lain. Pertama, ia mengartikan sebagai lembaga negara
yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, Kharaj (cukai atas tanah pertanian), Jizyah (pajak yang dibebankan pada penduduk non Muslim yang tinggal
di negara islam), ghanimah (rampasan perang), khaffarat (denda), wakaf,
dan lain-lain yang ditasyarufkan untuk kepentingan umat. Kedua, baitul mal diartikan sebagai rumah
harta, yang pada zaman Rasulullah SAW berfungsi sebagai pembendaharaan negara.
Dulu, baitul mal adalah departemen yang berurusan dengan pendapatan dan
segala hal keekonomian negara. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada baitul mal atau harta publik yang
ebrsifat permanen, karena semua pendapatan yang diperoleh negara
didistribusikan secara langsung. Tidak ada pengkajian, tidak ada pengeluaran
negara , dan baitul mal dakam tataran
publik belum diras perlu.[1]
Sedangkan menurut Ensiklopedia
hukum islam, baitul maal adalah
lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan
uang negara sesuai dengan aturan syari’at. Sedangkan menurut Harun Nasution, baitul maal bisa diartikan sebagai
pembendaharaan (umum atau negara).[2]
Dapat kita simpulkan bahwa baitul maal adalah suatu lembaga
keuangan yang bertugas mengelola, menerima, menyimpan dan mendistribusikan keuangang
negara yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini baitul maal mengatur pengelolaan keuangan negara.
B. Ruang Lingkup Baitul
Maal
Menurut
pendapat Suhrawardi K. Lubis, baitul maal
dilihat dari segi istilah fikih adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas
mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan
dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain
(Maman, 2012).
Baitul Maal jika dilihat dari namanya
berasal dari bahasa Arab, yaitu kata bayt
yang memiliki makna "rumah", serta berasal dari kata al-maal yang yang memiliki arti atau makna
"harta" (Dahlan, 1999).
Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak
yang memiliki kewajiban atau tugas khusus untuk melakukan penanganan atas
segala harta yang dimiliki oleh umat, dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran
negara (Zallum, 1983).[3]
C. Sejarah Baitul Maal
1.
Masa Rasulullah
SAW (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa
Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan
perang) pada Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih
paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT
yang menjelaskan hal tersebut:
‘‘Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang.
Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab
itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian,
dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang
beriman’’.(QS Al Anfaal : 1)[4]
Dengan ayat ini, Allah
menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya
sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan
wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau
mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini
menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul
Amri kaum muslimin, yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri, sesuai
dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum,
1983).
Pada masa Rasulullah SAW ini,
Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani
setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran.
Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena
saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang
diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan
kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.
Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan,
tanpa menunda‑nundanya
lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya
masing-masing.
Seorang sahabat bernama Hanzhalah
bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW, menyatakan, ‘Rasulullah
SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas
segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang
harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu
mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka
melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.” (Zallum, 1983).
Pada umumnya Rasulullah SAW
membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad
menyatakan, ‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun
malamnya…’ Dengan kata lain, bila rharta itu datang pagi-pagi, akan segera
dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang
hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu
belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat
atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).
2.
Masa
Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan
seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di
tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari
wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke
Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu
Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al
Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata
kepadanya, ‘’Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat’’.
(Zallum, 1983).
Kemudian
pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak
(al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat
(al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di
rumahnya, berupa karung atau kantung (ghirarah),
untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai
kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu
Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah
harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau
tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh
lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu
Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang
dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk
menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar
bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar
berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang
jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana
aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada
Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan
(ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan
seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Menjelang
ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul
Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang
pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu
Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar,
“Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah
orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang
mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan
dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
3.
Masa
Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar
bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian
masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya
mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan tetapi setelah penaklukan‑penaklukan
(futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum
muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi),
semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar
lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk
diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan
gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadang‑kadang
ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagi‑bagikannya.
Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan :
‘Umar
pernah memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di
hadapannya. Umar lalu berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini
kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini
ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula
yang lebih mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau
keburukan’
Selama memerintah, Umar bin
Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan
sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada
yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu
Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang
Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta
milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian
musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di
antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti
kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
4.
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35
H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa
Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan
Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam
hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742
M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang
menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam
jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah
ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta
memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal
sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak
kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
5.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40
H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib,
kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang
juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir,
mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya,
dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika
berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
(khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali
menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi
orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri
dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah
kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah,
aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada
bintang di langit.”(Dahlan, 1999).
6.
Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah
kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi
menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh
kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa
pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan
Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
Keadaan
di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin
Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal
dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada
yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya
agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang
tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri,
yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta
tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta
itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi
SAW wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani
Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik
pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
Akan
tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz
kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para
penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian
berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian,
tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau
ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri
Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani
Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam
pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan
memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.
lmam
Abu Hanifah menolak bingkisan dan Khalitah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam
Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya
sendiri. Ia memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak
memiliki hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku
dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
Namun
bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal
harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara
yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan
kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran
sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir,
yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.[5]
D. Tujuan dan Fungsi Baitul
Maal
Tujuan dan
fungsi baitul mal yaitu:
1.
Terwujudnya layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit.
2.
Terwujudnya
layanan pendayagunaan ziswaf yang
mengoptimalkan upaya pemberdayaan
mustahiq berbasis pungutan jaringan.
3.
Terwujudnya
organisasi sebagai good
organization yang mengoptimalkan
nilai bagi stakeholder dan menjadi
benchmark bagi lembaga pengelola ZIS dan wakaf
di Indonesia uang negara sesuai dengan aturan syariat.
Selain
itu Baitul maal juga berfungsi
sebagai bendahara negara (konteks sekarang dalam perekonomian modern disebut
departemen keuangan). Tapi pada hakikatnya baitul
maal berfungsi untuk mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana
yang berasal dari pos-pos penerimaan zakat, kharaj, jizyah, Khums, fay’, dan
lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan yang
menjadi kebutuhan negara.
Adapun
beberapa fungsi dari Baitul maal
(Widodo,1999:44):
a. Penghimpun dan penyalur dana, dengan
menyimpan uang, uang tersebut dapat ditingkatkan utilitasnya, sehingga timbul
unit surplus (pihak yang memiliki dana berlebih) dan unit defisit (pihak
kekurangan dana).
b. Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat
menciptakan alat pembayaran yang sah yang mampu memberikan kemampuan untuk
memenuhi kewajiban suatu lembaga/ perorangan. Sumber pendapatan, baitul maal dapat menciptakan lapangan
kerja dan memberi pendapatan kepada para pegawai.[6]
c. Pemberi informasi, memberi informasi kepada
masyarakat mengenai resiko keuntungan dan peluang yang ada pada lembaga
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baitul Maal adalah suatu lembaga atau badan
yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama
keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang
berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain atau menerima, menyimpan,
dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat.
Tujuan
dan fungsi baitul maal adalah terwujudnya
layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh dan wakaf yang mengoptimalkan nilai
bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit. Kedua terwujudnya layanan
pendayagunaan ziswaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis
pungutan jaringan. Dan juga terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL AKUTANSI DAN PAJAK, EKONOMI ISLAM VOL 14, NO 02
TERJEMAHAN AL- QUR’AN
INDONESIA QS. AL-ANFAL: 1
DAHLAN, ABDUL AZIZ.
ET.AL. (1999) ENSIKLOPEDIA HUKUM ISLAM.
JURNAL AKUTANSI DAN PAJAK, VOL 14, NO 02
[2] Dahlan,
Abdul Aziz. Et.al. (1999) ENSIKLOPEDIA HUKUM ISLAM.45
[3] Jurnal
akutansi dan pajak, vol 14, no 02, hal.02
[4] QS.
Al-Anfal: 1
[6] Jurnal
akutansi dan pajak, vol 14, no 02, hal.02
No comments:
Post a Comment