1

loading...

Wednesday, July 3, 2019

MAKALAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM


MAKALAH KEUNAGAN PUBLIK ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegiatan perekonomian yang ada di masyarakat setiap negara bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang tentunya akan berimbas pula pada kesejahteraan negara. Bila berbicara masalah perekonomian mau tidak mau proses kelancarannya sangat dipengaruhi oleh adanya lembaga keuangan sebagai lembaga yang ikut memperlancar kegiatan perekonomian. Salah satu lembaga keuangan saat ini yang perkembangannya memperlihatkan kemajuan pesat adalah lembaga keuangan  islam yang berupa baitul maal yang saat ini secara lengkap disebut dengan baitul maal wat tamwil.
Telah terbukti bahwa kegiatan ekonomi sering kali memerlukan adanya dukungan dari lembaga keuangan sebagai darah (uang) untuk memperlancar kegiatan perekonomian tersebut. Baitul maal tanwil  sebagai sebuah lembaga koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) sekaligus lembaga intermediasi antara penghimpunan dan penyaluran dana dari dan utnuk masyrakat (Tho’in, 2011),  Baitul maal  ini sudah ada sejak zama Rasulullah SAW, tetapi yang paling kelihatan perannya adalah sejak zaman khulafaur Rasyidin yaitu dari masa Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan Khalifahb Ali Bin Abi Thalib (Herlina, 2013).
Dimana peranan dan fungsi baitul maal pada waktu Khulafaur Rasyidin tidak hanya sebagai lembaga  keuangan yang mengurus ekonomi secara sederhana, tetapi justru menjadi lembaga yang mengurus seluruh masalah keuangan negara sekaligus sebagai lembaga keuangan yang mengelola semua kekayaan negara. Kemuadian perkembangan lembaga ini sekarang menjadi  Baitul maal wat tamwil yang lingkupnya sebagai lembaga keuangan dalam rangka menjadi bagian dalam kegiatanekonomi rakyat terutama lebih kearah mikro.
 Oleh karena itu, kami akan memaparkan pembahasan tentang sejarah, ruang lingkup, tujuan dan fungsi baitul maal sebagai lembaga keuangan islam dalam memperlancar aktivitas perekonomian yang ada pada masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu:
1.      Apa itu pengertian Baitul maal?
2.      Apa saja sejarah Baitul maal?
3.      Apa ruang lingkup Baitul maal?
4.      Apa tujuan dan fungsi Baitul maal?
C.    Tujuan
Adapun tujuan yang akan kami bahas yaitu:
1.      Memahami apa itu  Baitul maal
2.      Mengetahui sejarah Baitul maal
3.      Mengetahui ruang lingkup Baitul maal
4.      Mengetahui tujuan dan fungsi Baitul maal

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Baitul Maal
              Baitul maal  berasal dari dua kata bahasa Arab, yakni baytdan al-mal. Bayt berarti ‘’rumah’’ sedangkan  al-mal berarti ‘’harta’’. Dengan demikian, secara bahasa baitul mal berarti ‘’rumah harta’’. Menurut Ahmad Ifham Sholihin dalam Buku Pintar Ekonomi Syariah (2010), secara istilah baitul mal berarti suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Pengertian itu didasarkan pada uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam Al-Amwal fi Dawlah al-Khalifah.
              Selain itu, Ifham Sholihin juga memberikan dua pengertian lain. Pertama, ia mengartikan sebagai lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, Kharaj (cukai atas tanah pertanian), Jizyah (pajak yang dibebankan pada penduduk non Muslim yang tinggal di negara islam), ghanimah (rampasan perang), khaffarat (denda), wakaf, dan lain-lain yang ditasyarufkan untuk kepentingan umat. Kedua, baitul mal diartikan sebagai rumah harta, yang pada zaman Rasulullah SAW berfungsi sebagai pembendaharaan negara.
              Dulu, baitul mal adalah departemen yang berurusan dengan pendapatan dan segala hal keekonomian negara. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada baitul mal atau harta publik yang ebrsifat permanen, karena semua pendapatan yang diperoleh negara didistribusikan secara langsung. Tidak ada pengkajian, tidak ada pengeluaran negara , dan baitul mal dakam tataran publik belum diras perlu.[1]
              Sedangkan menurut Ensiklopedia hukum islam, baitul maal adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syari’at. Sedangkan menurut Harun Nasution, baitul maal bisa diartikan sebagai pembendaharaan (umum atau negara).[2]
              Dapat kita simpulkan bahwa baitul maal adalah suatu lembaga keuangan yang bertugas mengelola, menerima, menyimpan dan mendistribusikan keuangang negara yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini baitul maal mengatur pengelolaan keuangan negara.

B.  Ruang Lingkup Baitul Maal
              Menurut pendapat Suhrawardi K. Lubis, baitul maal dilihat dari segi istilah fikih adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain (Maman, 2012).
              Baitul Maal jika dilihat dari namanya berasal dari bahasa Arab, yaitu kata bayt yang memiliki makna "rumah", serta berasal dari kata al-maal yang yang memiliki arti atau makna "harta" (Dahlan, 1999).
              Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki kewajiban atau tugas khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang dimiliki oleh umat, dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran negara (Zallum, 1983).[3]

C.  Sejarah Baitul Maal
1.      Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
               Baitul Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal tersebut:
‘‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman’’.(QS Al Anfaal : 1)[4]
               Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin, yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri, sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum, 1983).
               Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagibagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menundanundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
               Seorang sahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW, menyatakan, ‘Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.” (Zallum, 1983).
               Pada umumnya Rasulullah SAW membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad menyatakan, ‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…’ Dengan kata lain, bila rharta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).

2.      Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘’Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat’’. (Zallum, 1983).
Kemudian pada tahun kedua kekhi­lafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya, berupa karung atau kantung (ghirarah), untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Menjelang ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
3.      Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
               Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
               Akan tetapi setelah penaklukanpenaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangu­n sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadangkadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagibagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan :
‘Umar pernah memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’
               Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).

4.      Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
               Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).

5.      Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
               Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
               Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Dahlan, 1999).
6.      Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
               Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
               Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
               Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.
               lmam Abu Hanifah menolak bingkisan dan Khalitah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
               Namun bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.[5]

D.  Tujuan dan Fungsi Baitul Maal
Tujuan dan fungsi baitul mal yaitu:
1.      Terwujudnya layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit.
2.      Terwujudnya layanan pendayagunaan ziswaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan.
3.      Terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder dan menjadi benchmark bagi lembaga pengelola ZIS dan wakaf di Indonesia uang negara sesuai dengan aturan syariat.
                 Selain itu Baitul maal juga berfungsi sebagai bendahara negara (konteks sekarang dalam perekonomian modern disebut departemen keuangan). Tapi pada hakikatnya baitul maal berfungsi untuk mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan zakat, kharaj, jizyah, Khums, fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
                 Adapun beberapa fungsi dari Baitul maal (Widodo,1999:44):
a.       Penghimpun dan penyalur dana, dengan menyimpan uang, uang tersebut dapat ditingkatkan utilitasnya, sehingga timbul unit surplus (pihak yang memiliki dana berlebih) dan unit defisit (pihak kekurangan dana).
b.      Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan alat pembayaran yang sah yang mampu memberikan kemampuan untuk memenuhi kewajiban suatu lembaga/ perorangan. Sumber pendapatan, baitul maal dapat menciptakan lapangan kerja dan memberi pendapatan kepada para pegawai.[6]
c.       Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat mengenai resiko keuntungan dan peluang yang ada pada lembaga tersebut.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
              Baitul Maal adalah suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara  terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain atau menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat.
              Tujuan dan fungsi baitul maal adalah terwujudnya layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit. Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ziswaf yang mengoptimalkan upaya pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan. Dan juga terwujudnya organisasi sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL AKUTANSI DAN PAJAK, EKONOMI ISLAM VOL 14, NO 02
TERJEMAHAN AL- QUR’AN INDONESIA QS. AL-ANFAL: 1
DAHLAN, ABDUL AZIZ. ET.AL. (1999) ENSIKLOPEDIA HUKUM ISLAM.
JURNAL AKUTANSI DAN PAJAK, VOL 14, NO 02


[2] Dahlan, Abdul Aziz. Et.al. (1999) ENSIKLOPEDIA HUKUM ISLAM.45
[3] Jurnal akutansi dan pajak, vol 14, no 02, hal.02
[4] QS. Al-Anfal: 1
[6] Jurnal akutansi dan pajak, vol 14, no 02, hal.02

No comments:

Post a Comment