MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
“ ISLAM DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN”
BAB I
PENDAHULUAN
“ ISLAM DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban
baru yang memiliki corak keIslaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban Islam
mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam
yang dibawa oleh para mubaligh Islam dari Arab dikulturasikan dengan tradisi
dan budaya setempat.[1]
Dengan diproklamasikanya kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, menyusul kekalahan Jepang dalam perang Dunia
II, terjadilah perkembangan penting menyangkut hubungan politik antara Islam
dan Negara bekas wilayah Hindia-Belanda . Takluknya Jepang mendorong sebagian
besar pemimpin pergerakan Indonesia untuk mengumumkan berdirinya negara
nasional yang merdeka. Sejak saat itu perdebatan politik yang berkaitan dengan
bentuk pemerintahan dan dasar negara Indonesia, bukan lagi merupakan masalah
wacana ideologi tetapi telah menyangkut masalah kekuasaan. Para pendiri republik
ini tidak menemui banyak kesulitan untuk membentuk negara kesatuan Republik
Indonesia , tetapi tidak dapat menghindari perbedaan pandangan mengenai dasar
negara bagi Indonesia yang baru merdeka.
Perdebatan begitu pelik dan terus berlanjut hingga
dua dasawarsa setelah kemerdekaan. Bahkan boleh dikatakan, hal tersebuat telah
mendominasi wacana politik Indonesia. Kenyataan bahwa perdebatan ideologis
seperti itu memancing terjadinya konflik yang sebagian besar tidak disebabkan
oleh tingkat ketaatan religious yang berbeda dikalangan elit Muslim, melainkan
sebuah pandangan yang melandasi konsep nasionalis mengenai santri abangan dan Islam
sekuler. Hal ini terutama disebabkan ketidakmampuan elit politik nasional dalam
menegosiasikan dan mendamaikan perbedaan pandangan tersebut, seakan-akan Islam
dan nasionalisme merupakan dua identitas yang menafikan satu sama lain.
Perdebatan mengenai Islam dan negara pasca kemerdekaan dapat ditelusuri dari
proses pertumbuhan bangkitnya paham kebangsaan Indonesia pada abad XX M, ketika
bermunculan konflik ideologis anatar gerakan masyarakat pribumi melawan
kolonialisme dan tuntutan kemajuan bagi masyarakat.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Islam di Indonesia dalam masa revolusi ?
2. Bagaiamana peran Islam dalam kemerdekaan ?
3. Bagaimana peradaban Islam dan negara pancasila ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui Islam di Indonesia dalam masa revolusi
2. Untuk
mengetahui peran Islam dalam kemerdekaan
3. Untuk
mengetahui peradaban Islam dan negara pancasila
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Islam Indonesia dalam Masa Revolusi
Pada masa awal Jepang datang ke Indonesia, mereka
anti Barat. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk merangkul Islam, terutama
pemimpin-pemimpinya . Oleh Karena itu, kelompok Islam, baik yang berasal
Muhammadiyah maupun persantren, dipersatukan, diikutsertakan dalam birokasi, dilatih
dalam bidang politik. Pemuda-pemuda Islam, dan kiai-kiai dilibatkan dalam
latihan militer, didirikan laskar Hisbullah, Sabilillah. Sejumlah pemimpin
tentara ketika perjuangan revolusi antara lain jenderal sudirman dan Kasman
Singodimejo adalah tokoh Islam yang dilatih Jepang.
Pada akhir masa pendudukan Jepang , perhatian
penguasa militer Jepang beralih dari golongan Islam kegolongan nasionalis
sekular. Sewaktu Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dan
membentuk BPUPKI wakil golongan Islam yang didudukkan dalam badan itu ternyata
tidak proporsional. Dari 68 anggota badan itu hanya 15 orang mewakili golongan Islam
. Dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang , 4 orang mewakili aspirasi Islam,
satu orang (A.A Maramis) adalah non-muslim, 4 orang lagi golongan nasionalis
sekular . Pada tanggal 22 juni 1945 berhasil menyetujui Piagam Jakarta yang
mencantumkan keharusan menjalankan syariat agama Islam bagi pemeluknya dalam
negara Indonesia yang merdeka nanti.
Tema penting dalam perdebatan BPUPKI adalah
mengenai landasan ideologi Indonesia merdeka , apakah negara Islam atau
pemisahan antara agama dan negara (sekular)? Wakil-wakil Islam yang menonjol
seperti Ki Bagus Hadikusuma, K.H. Ahmad Sanusi, Wahid Hasyim, Abd. Kahar
Muzakkir berpendapat bahwa Islam adalah agama yang berkepentingan dengan
masalah politik duniawi. Islam adalah din wa daulah. Islam tidak membedakan
masalah agama dari keduniaan , tidak memisahkan urusan akhirat dan dunia. Oleh
karena itu, negara Indonesia haruslah negara Islam. Namun tidak jelas apa dan
bagaimana rumusan negara Islam itu. Dalam Khazanah pemikiran Islam Indonesia
pada awal abad ke-20 pernah lahir gagasan Tjkroaminoto mengenai sosialisme Islam,
juga ada gagasan mengenai nasionalisme Islam, atau dasar-dasar demokrasi Islam
dari pemikir-pemikir Islam seperti A. Hassan, Nasir dan Agus Salim, tetapi
pemikiran – pemikiran itu kemudian tenggelam dalam kebisingan pertempuran
revolusi. Bahkan, para pemikir Islam menyatakan bahwa memanggul senjata melawan
penjajah untuk membela negara merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
agama. Sikap mereka itu menentukan perjuangan masa revolusi. Baru nanti pada
masa demokrasi parlementer gagasan mengenai Islam sebagai ideologi dan dasar
negara menghangat kembali.[3]
B. Peran Islam dalam Kemerdekaan
Islam
merupakan agama yang meletakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan bagi
setiap pemeluknya. Islam mencakup berbagai aspek kehidupan manusia serta upaya
menghidupkan pemahaman dan pemikiran terhadap kejadian alam semesta beserta
seluruh isinya. Dengan demikian jika bimbingan wahyu datang kepada Nabi
Muhammmad dipahami dengan pemahaman yang benar dan dikembangkan melalui
pemikiran –pemikiran yang rasional, sudah tentulah akan tercipta keseimbangan
antara jasmani dan ruhani. Islam telah memberikan kemerdekaan kepada seluruh
manusia dalam arti setiap manusia mempunyai nilai yang sama dihadapan-Nya.
Allah juga meletakkan prinsip persaudaraan diantara sesama manusia dalam arti
bahwa manusia satu dengan manusia yang lain mempunyai derajat, hak, dan
kewajiban yang sama.
1.
Kemerdekaan dalam Ajaran Islam
Tugas
utama yang diletakkan oleh Nabi Muhammad SAW pada setiap pengikut adalah
meretas belenggu yang menghantui pikiran manusia dan menghantarkanya kepada
keadaan sesuai dengan fitrahnya: yaitu menghapuskan penyakit syirik yang
menyebabkan manusia berpaling untuk memuja sesuatu yang tidak sebenarnya .
Tugas ini sebenarnya tiada lain membebaskan pikiran manusia itu dan belenggu
yang membatasi ruang gerak pikiran karena apabila pikiran seseorang telah
terdapat kepada sesuatu yang menyesatkan maka pikiran itu tiada lain terkecuali
diperbudak oleh pengikutnya.
Kemerdekaan menurut Islam bukan hanya kemerdekaan
individual, bukan hanya kehidupan kolektif, dan bukan kemerdekaan dalam bidang
pemerintahan, tetapi kemerdekaan yang sangat tinggi harganya yaitu kemerdekaan
universal dalam kaitanya antara dirinya dengan alam semesta.
Inilah prinsip-prinsip yang memberikan gelora dan
semangat juang yang tinggi bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya ,
sehingga mampu mengubah kehidupan padang pasir yang liar,buas, dan kejam
menjadi masyarakat yang tentram, damai, dan merdeka. Inilah modal perjuangan yang mengilhami serta memperkuat kaum muslim
Indonesia berjuang untuk meretas soverenitas yang dipaksakan oleh konolialisme
dan imperialisme yang dilakukan oleh Belanda yang berkedok atas dasar prinsip
mission scare.
Jiwa semangat yang
berharga ini baru meledak pada saat menjelang kemerdekaan. Karena saat itulah
merupakan eksistensial momentum kemerdekaan yang kelahirannya disamping
kematangan pikiran dan pembentukan penyatuan untuk satu nusa, sebangsa dan
setanah air. Juga diperlukan kondisi yang mendukung kelahiranya serta situasi
yang memberikan kemungkinan. Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia
bukan semata-mata perjuangan seluruh rakyat, tetapi juga merupakan limpahan
rahmat Allah SWT seperti dalam mukaddimah UUD 1945. Dalam hubungan aneka ragam
agama dan seluruh kekuatan politik, umat Islam telah merasa puas dengan
dicantumkanya “Ketuhanan yang Maha Esa“ dalam UUD 1945. Meskipun umat Islam
dengan penuh toleransi rela penghapusan “tujuh kata “ pada sila pertama seperti
yang termuat dalam piagam Jakarta. Hal ini berarti umat Islam telah memahami
akan arti pentingnya persatuan sebagai syarat mutlak bagi terbinanya
kemaslahatan seperti halnya “ Piagam Madinah “ yang dibuat oleh Rasulluah
karena adanya suatu pertimbangan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dicapai
seluruhnya, tidak boleh ditinggalkanya” dan juga atas pertimbangan bahwa
kemaslahatan yang general didahulukan dari pada kemaslahatan special.
Kemaslahatan umum disini ialah menegakkan
berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab , Persatuan Indonesia,
Permusyawaratan yang dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan dan keadilan sosial
yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah prinsip-prinsip yang terdapat
dalam Alqur’an dan Sunnah yang memberikan landasan yang kuat bagi terlaksananya
ajaran Islam. Kemaslahatan khusus ialah cita-cita kaum muslim
untuk mendirikan masyarakat yang seutuhnya diatur oleh Alqur’an dan Sunnah.
Pemikiran yang serupa ini merupakan refleksi
pemikiran yang berinteraksi dengan bimbingan Alqur’an dan Sunnah, sehingga
terlihatlah faktor-faktor yang sangat penting dari kilasan pemikiran kaum
muslim guna mencapai kemerdekaan RI. Dengan demikian
terbentuklah negara Republik yang berdaulat yang mempunyai wawasan dan strategi
yang sangat penting bagi percaturan politik Internasional.[4]
2.
Faktor-Faktor yang Mendorong Umat Islam Mencapai Kemerdekaan
a. Faktor Ideologi
Ajaran Iman yang tertuang
dalam hati kaum muslim Indonesia merupakan akidah yang kokoh, kuat dan berakar
jiwa dalam jiwa mereka. Didalamnya terkandung ajaran yang meletakkan kekuatan
pada Maha Pencipta manusia serta alam dan isinya, terpancarlah keyakinan bulat
akan kekuatan yang ada pada manusia merupakan amanah yang harus dilakukan
sesuai dengan kehendakNya. Sikap serupa itu membuahkan gerak , tingkah laku dan
perbuatan yang rela berkorban untuk menjunjung tinggi kebenaran ini merupakan
faktor bagi tercapainya perjuangan kemerdekaan.
b. Faktor Politik
Ajaran Montesquieu, Voltaire,
dan Jean Jacques Rousseau membuahkan Revolusi perancis
dan menyebabkan rasa cinta tanah air Les enfants de la Patri . Ajaran itu
banyak dibaca oleh pemuda bangsa Indonesia yang sedang belajar, sehingga
menimbulkan pergerakan-pergerakan dikalangan kaum muslim, hanya saja niat ini
belum dapat dicetuskan menunggu saat-saat yang baik sebagai peluang ditambah
dengan semangat patriotris pahlawan-pahlawan kemerdekaan seperti Imam Bonjol,
Diponegoro, dan sebagainya yang ikut mendobrak kekuasaan Belanda untuk mencapai
kemerdekaan.
c. Faktor Ekonomi
Indonesia berada diantara dua benua Asia dan
Australia, dan dua samudera samudera India dan samudera pasifik, sehingga dalam
strategi ekonomi merupakan lintas perdagangan yang sangat menguntungkan.
Tanahnya yang subur dibelah oleh sungai-sungai dan gunung-gunung merupakan
sumber kekuatan ekonomi. Juga barang-barang tambang yang tersebar di nusantara,
merupakan kekuatan yang mendukung bagi tercapainya kemerdekaan.
d. Faktor Sosial
Indonesia terdiri dari aneka ragam suku yang
didukung oleh aneka ragam susunan kemasyarakatan yang beraneka ragam nilai yang
ikut memberikan alternatif yang sangat banyak bagi pembentukan nilai-nilai
kemasyarakatan.
e. Faktor Budaya
Hampir seluruh hasil budaya yang berada di
Indonesia dapat dipertahankan pada budaya yang terpancar dan kebudayaan yang
pernah dipersatukan oleh Majapahit, dan inilah yang diyakini oleh bangsa
Indonesia sebagai budaya asli. Islam membawa kebudayaan yang konkrit dalam
amalan-amalan sehari-hari, seperti Akhlaqul karimah dikembangkan dan diamalkan
untuk mewujudkan tata kehidupan yang harmonis sehingga dapat menempatkan
pihak-pihak yang patut dihormati dan meletakkan nila-nilai yang sebenarnya dijunjung
tinggi untuk dihormati. Akidahnya berpijak pada
kesatuan bulat yang meletakkan pada prinsip unity. Ajaran-ajaranya menjunjung
nilai dan martabat manusia sehingga manusia mengerti akan fungsi dan tugasnya.[5]
C. Peradaban Islam dan Negara Pancasila
Suasana sosial
politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak
adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama
intelektual-aktivis Islam dan kelompok nasionalis. Perdebatan diantara mereka
mengenai corak hubungan antara Islam dan negara seperti terhenti. Paling tidak
untuk sementara kedua kelompok ini merupakan perbedaan teologis antara mereka
karena muncul kesadaran bahwa pada masa itu para pendiri republik harus
menumpahkan seluruh energi kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia
yang baru berdiri dan mencegah Belanda masuk kembali (Abdullah, 1974 : 98).
Hanya saja saat itu benturan- benturan tidak dapat dihindarkan antar kelompok Islam
dan nasionalis. Tetapi tetap dilihat harmonis dengan cara para kelompok
nasionalis tetap memegang kemudi kepemimpinan, menyusul kemudian diserahkanya
kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik Indonesia pada Desember 1949 M,
dimana kelompok Islam mulai menunjukkan potensi yang besar dalam percaturan
politik nasional.
Melalui Masyumi,
sebuah federasi organisasi Islam yang kemudian diubah menjadi partai politik
umat Islam pada 7 November 1945 M kelompok Islam berhasil memobilisasi kekuatan
politik cukup besar. Karena perkembangan demikian, pada awal 1946 M, Sultan
Sjahrir ketua umum Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang tiga kali menjabat
sebagai perdana menteri semasa revolusi memprediksi bahwa jika pemilihan umum
diselenggarakan pada sekitar tahun-tahun itu, kemungkinan besar Masyumi yang
pada saat itu merupakan gabungan kalangan Muslim modernis seperti (Muhammadiyah,
dengan jumlah anggotanya yang terbesar diwilayah perkotaan) dan kalangan muslim
tradisionalis (seperti NU dengan jumlah anggotanya yang terbesar diwilayah
pedesaan) akan memperoleh kemenangan dengan meraih 80% suara.
Tidak ada
perdebatan politik ideologis terbuka pada saat itu, hubungan politik yang
relatif harmonis antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis harus
benar-benar tercipta. Perkembangan demikian terus berlangsung selama hampir 5
tahun politik Indonesia pasca revolusi (antara 1950-1953 M). Ungkapan yang
mencoba persoalkan pancasila secara terang-terangan dari para pemimpin politik Islam
juga jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir, ketua umum Partai Masyumi yang di
masa-masa sebelumnya kiat mengkampanyekan gagasan negara Islam , pada sekitar
1951 M menyatakan bahwa karena dimasukkanya prinsip “Percaya kepada Tuhan”
kedalam pancasila, Indonesia tidak menyingkirkan agama dari masalah negara.
Kenyataan ini menunjukkan perkembangan hubungan politik antara Islam dan Negara
pada dasarnya relatif baik. Penerimaan pancasila sebagai ideologi negara tidak
dianggap sebagai perwujudan keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari
negara. Bahkan dengan dimasukkanya pernyataan monoteistik “Ketuhanan Yang
Maha Esa“ ke dalam dasar negara, Indonesia sudah dipandang seolah-olah sebuah
“Negara Islam“ . Hal ini merupakan sebuah ilustrasi yang dapat menggambarkan
sikap para pemimpin Muslim tentang penerimaan mereka terhadap pancasila.
(Effendi, tt :438).
Hubungan politik
yang Harmonis antara Islam dan Negara seolah-olah berakhir dengan memanasnya
situasi politik tanah air karena persiapan pemilu yang direcanakan pada 1955 M.
Perkembangan ini mengakibatkan kesepakatan ideologis yang dicapai sehari
setelah proklamasi pudar. Para tokoh politik kelompok Islam dan nasionalis
tampat menyadari bahwa langkah mereka mulai rentan. Karena alasan ini, para
elit politik negara terlibat dalam perdebatan ideologis-politik mengenai bentuk
negara dan kerangka konstitusionalnya. Dengan mengangkat kembali isu ideologi
negara kedua kelompok politik berlomba memperebutkan jumlah kursi di Majelis
Konstituante, dan dengan sendirinya mempertegas posisi politik masing-masing.[6]
Di bawah ini adalah hasil peradaban Islam di
Indonesia Pasca Kemerdekaan:
1. Bidang Pendidikan
Bagi semua umat manusia, pendidikan merupakan persolan penting dalam
hidup dan kehidupan. Pendidikan selalu selalu menjadi tumpuan harapan untuk
mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan wahana, sarana dan
proses, serta alat untuk mentransfer warisan umat dari nenek moyang kepada anak
cucu dan dari orang tua kepada anak. Pendidikan tidak berada dalam ruang hampa,
artinya, pendidikan selalu berada dalam konteks. Tetapi penerapan secara
mentah-mentah sistem pendidikan impor seperti layaknya peralatan, perlengkapan,
sayur mayur, dan buah-buahan merupakan awal kebinasaan umat. Sistem pendidikan
seperti ini hanya akan melahirkan generasi muda yang tidak mempunyai jati diri
dan kepribadian (Aly, 2003: 4-5). Pada sisi lain, persoalan pendidikan merupakan
faktor penentu bagi perkembangan umat. Ia menjadi prioritas utama untuk
dilakasanakan, sebab sampai saat ini masyarakat Muslim sangat terbelakang
dibidang pendidikan.
Dengan demikian salah satu target yang harus
diusahakan semaksimal mungkin adalah revitalisasi pelaksanaan pendidikan bagi
umat Islam melalui cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai dan motif ajaran Islam
sehingga tidak salah arah dengan pelaksanaan pendidikan dengan ala Barat. Sistem pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional di Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 15
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, mendeklarasikan
bahwa pendidikan formal termasuk pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan khusus, pendidikan magang, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesi (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Peraturan Pelaksanaanya, 1996).
Pendidikan Islam di Indonesia di berikan pada tiga sektor, yaitu
non-formal, informal, dan formal. Yang bersifat non-formal biasanya diberikan
di masjid-masjid, surau dan langgar. Penekanan utama yang diberikan pada
sektor ini adalah pendidikan Al-Qur’an, tajwid dan ibadah seperti wudlu dan
sholat. Pendidikan informal, diberikan dirumah dengan menekankan kepada
pengajaran individu, khususnya dalam belajar al-Qur’an sesuai dengan
tingkatan pelajar. Sedangkan sistem pendidikan formal diberikan di sekolah,
madrasah dan pesantren. Bagi lembaga-lembaga organisasi Islam yang mengelola
lembaga pendidikan Islam yang mengelola lembaga pendidikan Islam, kecuali
pesantren, mempergunakan kurikulum pemerintah dalam lembaga pendidikan mereka,
dengan memberi penekanan sedikit pada pengajaran agama Islam. Jadi, dapat
dikatakan bahwa madrasah dikategorikan kedalam dua bentuk kurikulum, yaitu:
madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu umum dan ilmu ilmu keIslaman (Suprayetno,
2002: 281).
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian pendidikan
agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun
swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga
tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
(BPKNP) tanggal 27 Desember 1945 M, yang menyebutkan bahwa madrasah dan
pesantrren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan
pencerdasan rakyat, kenyataan ini timbul karena kesadaran umat Islam yang lama
terpuruk dibawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajahan Belanda, pintu
masuk pendidikan modern bagi umat Islam yang sangat sempit. Dalam hal ini
minimal ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu :
a. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang diskriminatif terhadap
kaum Muslimin.
b. Politik non-koperatif para ulama terhadap Belanda yang memfatwakan bahwa
ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah bentuk
penyelewengan agama.
Hal tersebut diatas adalah beberapa faktor
yang menyebabkan kaum Muslim Indonesia lemah dalam bidang intelektualitas.
Membicarakan pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa terlepas dari
membicarakan bentuk, sistem dan cita-cita bangsa Indonesia merupakan hasil
perjuangan yang sekian lama, terutama terwujud melalui berbagai organisasi pergerakan,
baik sosial, agama, maupun politik yang senantiasa mendapat dukungan dari
pemerintah. Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, pemerintah menyesuaikan
pendidikan dengan tuntunan dan aspirasi rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD
1945 pasal 31 yang berbunyi:
a. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
b. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Oleh sebab itu, pembatasan pemberian pendidikan disebabkan perbedaan
agama, sosial, ekonomi dan golongan yang ada dimasyarakat tidak dikenal lagi.
Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih di mana dia akan belajar,
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
Dalam
pasal 4 Tap MPRS No.XXVI/MPRS/1996 selanjutnya disebutkan tentang isi
pendidikan, dimana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi
pendidikan adalah:
a. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan
beragama.
b. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
c. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki oleh semua rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, antara lain:
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki oleh semua rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, antara lain:
1) Membentuk manusia pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi
kualitasnya yang mampu mandiri.
2) Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mewujudkan
kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideologi yang bertentangan
dengan Pancasila.
Dengan landasan demikian, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara
semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh
rakyat, dan berlaku diseluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencakup
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, dan terpadu dalam arti adanya saling
keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan
nasional.
Di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting di bidang pendidikan.
Sejak Islamisasi di negeri ini telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan,
khususnya pesantren dan surau yang telah menjadi benteng Islam yang demikian
kuat berpengaruh. Pesantrren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia
yang bersifat “indigenous” (Maunah, 2009:2). Kemudian muncul sistem madrasah
yang merupakan usaha dalam pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam tanpa
menghilangkan sistem pesantrennya. Pemerintah telah mendirikan madrasah
(sekolah-sekolah agama Islam) dari tingkat dasar, menengah dan tinggi. Di
samping itu pendidikan agama juga telah menjadi salah satu mata pelajaran
penting di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia telah berdiri sejak 1940 M.
kemudian berdiri lembaga pendidikan Islam yang di kelola oleh Negara dan swasta
di seluruh Indonesia, seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN),
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Indonesia (UII).
2. Bidang Politik
Sejak di tumpasnya
peristiwa “G30 S/PKI” pada tanggal 30 Oktober 1965 M, bangsa Indonesia telah
memasuki fase baru yang di namakan Orde Baru. Orde Baru bukan merupakan
golongan tertentu, sebab Orde Baru bukan berupa penyelewengan fisik. Perubahan
Orde Lama (sebelum 30 September 1965) ke Orde Baru berlangsung melalui kerja
sama erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang di
sebut Angkatan 1966. Pada tahun 1966 M, mahasiswa mulai melakukan demonstrasi
memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan, harga yang meningkat dan korupsi
yang merajalela. Protes itu berkembang dan berhulu protes terhadap Soekarno.
Akhirnya pada tahun itu Soekarno didesak untuk menandatangani surat yang
memerintahkan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan guna keselamatan dan
stabilitas negara serta pemerintahan. Dekrit 5 Juli 1959, di samping
mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante, juga menandai
datangnya suatu sistem politik yang disebut Demokrasi Terpimpin (Thohir, 2004:
314). Dekrit ini lahir atas dasar kekecewaan terhadap perkembangan demokrasi di
Indonesia.
Selain proses tersebut, beberapa mahasiswa dikirim ke barat
untuk mempelajari Islam juga untuk ikut mewarnai kehidupan Islam di Indonesia.
Hampir semua pemikir Islam di Indonesia pernah belajar Islam di Barat dan disaat
yang sama juga pernah mengecap pendidikan islam di pesantren seperti di
tegaskan rumadi bahwa akhir tahun 80an, mulai ramai anak-anak NU yang belajar
ke barat seiring berbagai kebijakan pemerintah. Para pemuda muslim banyak yang
belajar keluar negeri.[7]
3. Bidang Budaya
Produk kesenian Islam di indonesia sebenarnya
sangat minim apabila di bandingkan dengan produk kesenian di negara Islam yang
lain. Hal itu karena semangat yang mendorong muslim di negara lain untuk
menciptakan pekerjaan besar tidak muncul di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya
hanya berasal dari pengaruh luar atau hanya berupa peniruan yang tidak begitu
sempurna. Diantara penyebab kesenian Islam tidak berkembang ialah :
a. Islam datang ke Indonesia akibat dampak kehancuran Baghdad, sehingga
para pedagang ataupun ulama yang datang pada saat itu lebih memikirkan
keselamatan mereka.
b. Di
Indonesia, terutama di pulau Jawa pada saat Islam datang sudah memiliki
peradaban asli yang di pengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, yang sudah
mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan. Hal itu yang
menyebabkan seni Islam harus menyesuaikan diri.
c. Mayoritas umat Islam pendatang adalah pedagang yang berorientasi mencari
untung. Kalaupun ada ulama yang tidak berorientasi pada hal itu, mereka
berdakwah dan tidak menetap pada tempat tertentu, sehingga mereka tidak bepikir
untuk membuat sesuatu yang abadi.
d. Ketika
ada usaha kaum pribumi untuk membangun masjid, usaha itu dihancurkan oleh
bangsa Barat yang sejak semula memang sudah bersikap memusuhi terhadap umat Islam.
e. Islam yang datang ke Indonesia bercorak Islam tasawuf, sehingga lebih
mementingkan rohani dari pada masalah duniawi.
f. Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional,
sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan dari pada kesenian.
g. Islam datang
dengan jalan damai. Asalkan tidak tidak melanggar aturan agama, maka kesenian
tidak di larang. Karena itulah aspek seni dan budaya yang ada di Indonesia
tidak sehebat di negara Islam lain.
Walaupun terdapat
faktor-faktor yang menghambat perkembangan seni budaya Indonesia, akan
tetapi ada beberapa produk budaya yang sangat penting. Islam datang ke
Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaanya, maka Islam Indonesia tidak
lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam di Indonesia, dirasakan demikian
sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan
kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa
oleh para juru dakwah melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun
budaya seperti halanya dilakukan oleh para walisongo di Pulau Jawa. Para
walisongo tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan
melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak
sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas
dan berubah menjadi adat-istiadat di dalam kehidupan sehari-hari, dan
secara langsung hal ini juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan
bangsa Indonesia misalnya : setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan
bahasa Arab (Al-Quran), yang sudah secara langsung masuk kedalam bahasa daerah
dan Indonesia, hal itu tidak di sadari bahwa sebenarnya yang dilakukan tidak
lain adalah ajaran-ajaran Islam (Diskusi Kelompok Lokakarya MPK UGM, 2003: 39).
Selain itu dari segi arsitektur bangunan juga terdapat
pada batu nisan Fatima binti Maymun, yang ditemukan di Leran (Jawa) dan
bertanggal 475 H, adalah prasasti arab yang umumnya dianggap sebagai yang
tertua yang pernah ditemukan di Indonesia. Meskipun kini tempat
nisan itu ditemukan telah menjadi satu tujuan ziarah. Benda itulah sebuah
cat-jimat yang ditemukan di Barus (Sumatra) oleh satu tim arkeologi
Indonesia-Prancis pada tahun 1997, waktu diadakan penggalian di tempat
tersebut. Cat-jimat itu ditemukan di situs Labu Tua, di luar kerangka
stratigrafi. Situs itu sendiri diketahui berasal dari periode pertengagan kedua
abad ke-9 sampai akhiar abad-11, tetapi sukar diketahui bagaimana benda kecil
di atas dapat ditentukan masanya. Patut dicatat lebih dahuli, bahwainilah cap jimat
islam kuno yang pertama ditemukan di Indonesia. Deskripsinya
sederhana saja. Cap jimat itu terbuat dari kaca tembus lihat berwarna hijau
tua, berbentuk lonjong, dengan pinggir bawahnya berlekuk. Ukurannya 15mm
panjang, 13m lebar, 3mm tebal. Disisi bawah terdapat sebuah inskripsi dua baris
dalam bahasa arab yang berupa relief timbul.[8]
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan
Indonesia yang lain, juga dapat terlihat dari ciri dan corak bangunan
masjid di Indonesia yang lain, juga dapat terlihat dari ciri dan corak bangunan
masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari
masjid-masjid tua maupun yang baru, misalnya masjid yang di bangun oleh Yayasan
Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan joglo yang
berseni budaya Jawa. Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid secara
nyata dapat di tunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian
diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu
dengan tiang batu dan atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat
dengan tembok kayu. Misalnya, Masjid Agung Banten (bangunan menara dan
madrasah), masjid Menara Kudus (bangunan bagian depan berwujud pintu
gerbang dan kubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), Masjid Sumatera Barat
(pembangunan puncak tumbang dengan mahkota kubah) dan sebagainya (Tim Penulis
Ensiklopedi Islam, 1997: 172-173). Setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaan
juga banyak berdiri masjid-masjid model baru yaitu masjid Raya Makassar (Ujung
Pandang), masjid Syuhada (Yogyakarta), masjid Agung al-Azhar (Jakarta), masjid
Istiqlal (Jakarta), masjid Salman ITB (Bandung).
Peran pemerintah dalam perkembangan Islam pasca kemerdekaan:
Peran pemerintah dalam perkembangan Islam pasca kemerdekaan:
a. Hari-hari besar sebagai hari nasional, seperti 1 Muharrom, Maulid Nabi,
nuzulul Quran, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha.
b. Mendirikan departemen Agama RI
pada 3 Januari 1945 M.[9]
Dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia dibentuk Departemen Agama (dulu namanya Kementrian Agama). Yang pertama kalinya didirikan pada masa kabinet Syahrir untuk memberikan sebuah konsepsi kepada kaum Muslimin.Dapat dikatakan bahwa berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim. Menteri agama pertama adalah Muhammad Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946.[10]
Dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia dibentuk Departemen Agama (dulu namanya Kementrian Agama). Yang pertama kalinya didirikan pada masa kabinet Syahrir untuk memberikan sebuah konsepsi kepada kaum Muslimin.Dapat dikatakan bahwa berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim. Menteri agama pertama adalah Muhammad Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946.[10]
c. Membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI didirikan pada masa
pemerintahan Soekarno, berdiri pertama kali didaerah-daerah karena untuk
menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1985. Pada
tanggal 8 September 1969, di Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia
(PDII). Dan pada tanggal 26-29 November 1974 menyelenggarakan Loka Karya
Mubaligh se-Indonesia. Dalam tahun 1975 usaha-usaha dimulai untuk mendirikan
Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota propinsi dibentuk, atau bagi yang masih
aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang baru. Sementara
itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh
Indonesia. Musyawarah itu sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975,
dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama propinsi. Dalam periode pertama
(1975-1980) jabatan umum ketua Majelis Ulama Indonesia adalah Prof. Dr. Hamka
yang terpilih kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Namun beliau mengundurkan
diri dari jabatannya pada bulan Mei 1981 karena persoalan fatwa ‘’natal
bersama”.[11]
1) Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dari tanah air.
2) Menetapakam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
3) Melembagakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) secara nasional dari
tingkat pusat sampai ketingkat desa, mendirikan dan meresmikan masjid, serta
Badan Amil Zakat (BAZ).
4) Ikut serta dalam membangun kerukunan hidup umat beragama baik intern
umat beragama serta antar umat beragama dan pemerintah.
5) Memberlakukan secara yuridis-formal sebagian hukum Islam, yaitu
penyelenggaraan Peradilan Islam Indonesia, dengan Undang-Undang pada tahun1989
M. (Amin, 2004: 389-397).
4. Bidang Ekonomi
Indonesia sedikit
tertinggal jika di bandingkan dengan negara Muslim lain dalam pendirian Negeri
Syariah sebagai bentuk awal pertumbuhan ekonomi Islam di berbagai belahan dunia
Islam, bahkan dengan negara serumpun sekalipun yaitu Malaysia. Malaysia mendirikan
Bank Islam pertamanya pada tahun 1983 M. Yang diberi nama Bank Islam Malaysia
Behard (BIMB). Sedangkan Indonesia baru mendirikan Bank Syariah pada tahun 1991
dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) (Rahardjo, 2004: xix). Namun
baru bisa beroperasi pada tahun 1992 M.
Dalam kurun waktu
tahun 1991-1998 M., perkembangan Bank Syariah di Indonesia dapat dikatakan
lambat (Harahap, 2004: 39). Hal itu karena aspek perundangan, yaitu pada UU
No.7 1992 mengenai Perbankan dan Pengaturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 M.
Yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan UU tersebut, dalam pasal 6
menentukan bahwa bank umum dan Bank Pekreditan Rakyat (BPR) yang kegiatannya berasaskan
prinsip bagi hasil. Selain itu, masih harus menganut pada aturan konvensional
sehingga manajemen BMI cenderung meniru produk dan jasa perbankan konvensional
yang kemudian “di Islamkan”. Sehingga penawaran produk yang di lakukan oleh BMI
terbatas. Pada saat itu juga BMI berhasil berdiri dengan menganut prinsip
Syariah, sehingga sejak itu didirikan lembaga keuangan syariah mikro yaitu Bank
Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS, kini singkatannya menjadi Bank Pembiayaan
rakyat Syariah) dan Baitul Mal Wattamwil (BMT) (Karim, 2004: 25).[12]
Dari waktu ke
waktu kondisi Bank Syariah Indonesia mengalami banyak perubahan. Dan pada
akhirnya memunculkan lembaga bisnis Syariah, yang perkembangannya di Idonesia
sangat pesat. Dalam bidang akademik, beberapa universitas terkemuka di
Indonesia juga giat mengembangkan kajian akademik tentang ekonomi syariah. Hal itu ditandai
dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan program pendidikan
formal maupun pelatihan dalam bidang Ekonomi Islam, Keuangan Islam dan
Perbankan Syariah baik pada tingkat S1, S2, maupun S3.[13]
Melihat kondisi di atas maka pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Islam di
Indonesia semakin lebih baik, terutama pada era reformasi memberikan
harapan dan menumbuhkan rasa optimisme serta semangat untuk mengembangkan
Ekonomi Islam di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Islam Indonesia dalam Masa Revolusi
Pada masa awal Jepang datang ke Indonesia, mereka anti Barat. Oleh
karena itu, mereka berusaha untuk merangkul Islam, terutama
pemimpin-pemimpinya. Sejumlah pemimpin tentara ketika perjuangan revolusi
antara lain jenderal sudirman dan Kasman Singodimejo adalah tokoh Islam yang
dilatih Jepang. Sewaktu Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia dan membentuk BPUPKI wakil golongan Islam yang didudukkan
dalam badan itu ternyata tidak proporsional. Dari 68 anggota badan itu hanya 15
orang mewakili golongan Islam . Dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang,
4 orang mewakili aspirasi Islam. Ki Bagus
Hadikusuma, K.H. Ahmad Sanusi, Wahid Hasyim, Abd. Kahar Muzakkir berpendapat
bahwa Islam adalah agama yang berkepentingan dengan masalah politik duniawi. Islam
adalah din wa daulah. Islam tidak membedakan masalah agama dari keduniaan ,
tidak memisahkan urusan akhirat dan dunia. Oleh karena itu, negara Indonesia
haruslah negara Islam. Namun tidak jelas apa dan bagaimana rumusan negara Islam
itu. Para pemikir Islam menyatakan bahwa memanggul senjata melawan penjajah
untuk membela negara merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama.
Sikap mereka itu menentukan perjuangan masa revolusi
2. Peran Islam dalam Kemerdekaan
Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam kemerdekaan. Islam
merupakan agama yang meletakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan bagi
setiap pemeluknya. Ia mencakup berbagai aspek kehidupan manusia serta upaya
menghidupkan pemahaman dan pemikiran terhadap kejadian alam semesta beserta
seluruh isinya. Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia bukan
semata-mata perjuangan seluruh rakyat, tetapi juga merupakan limpahan rahmat
Allah SWT. Seperti dalam mukaddimah UUD 1945.
3. Peradaban Islam dan negara Pancasila
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan
memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama
intelektual-aktivis Islam dan kelompok nasionalis. Hubungan politik yang
Harmonis antara Islam dan Negara seolah-olah berakhir dengan memanasnya situasi
politik tanah air karena persiapan pemilu yang direcanakan pada 1955 M.
Peradaban Islam Indonesia Pasca Kemerdekaan menghasilkan kemajuan diberbagai
bidang yaitu : bidang pendidikan, bidang ekonomi, bidang budaya dan bidang
politik.
B. Kritik dan Saran
Demikian pemaparan
makalah tentang Peradaban Islam Indonesia Pasca Kemerdekaan. Kami menyadari
bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan
saran selalu kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah peradaban
Islam, Jakarta : Amzah.
Karim, M Abdul. 2005. Islam dan Kemerdekaan
Indonesia, Yogyakarta : Sumbangsih PressYogyakarta.
Sunanto, Musyarifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Syaefudin, Machfud dkk. 2013. Dinamika Peradaban
Islam Perspektif Historis. Yogyakarta : Pustaka Ilmu.
Yatim, Badri.
2003. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyyah II. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Kamaruzzam, Bustamam Ahmad. 2004. Wajah
Baru Islam di Indonesia, Cet 1. Yogyakarta: UII Press.
Kals, Claude Guillot dan Ludvik. 2008. Inskripsi
Islam Tertua di Indonesia, Cet. 1. Jakarta:
Pepustakaan Populer Gramedia.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah “Peradaban Islam Di Indonesia
Pasca Kemerdekaan”. Tugas ini
dibuat dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah SPI.
Disamping itu kami juga berharap semoga dengan adanya makalah ini, dapat
memberikan sedikit kontribusi dalam menambah khasanah pengetahuan teman-teman
pembaca.
Pada kesempatan ini kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi
yang telah banyak memberikan pengetahuan kepada kami dalam menyusun tugas ini
serta kepada semua pihak yang telah membantu.
Selanjutnya dalam
penyajian makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami mengaharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca, khususnya dari
teman-teman mahasiswa dan dosen pembimbing.
Bengkulu, September 2017
Penyusun
|
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Islam Indonesia Dalam Masa Revolusi................................................... 3
B.
Peran Islam Dalam Kemerdekaan........................................................... 4
C.
Peradaban Islam dan Negara Pancasila................................................... 8
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................. 20
B.
Kritik dan Saran..................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA
|
[2]
Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis,
Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 300-301
[3]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT
Raja Grafindo persada, 2005 hlm 46-53
[4]
M. Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta :
Sumbangsih Press Yogyakarta, 2005 hlm 59-63
[5]
M. Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta :
Sumbangsih Press Yogyakarta, 2005 hlm 67-69
[6]
Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis,
Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 301-303
[7]
Bustamam Ahmad
Kamaruzzam, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
UII Press, 2004), Cet. 1, hlm. 139-142
[8]
Claude Guillot
dan Ludvik Kals, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, (Jakarta:
Pepustakaan Populer Gramedia, 2008), Cet. 1, hlm. 33-34
[9]
Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis,
Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 303-310
[10]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyyah II,
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003, hlm. 306
[11]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyyah II,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 320
[12]
Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis,
Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 310-312
[13]
Machfud Syaefudin dkk, Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis,
Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2013 hlm. 315
No comments:
Post a Comment