
Contoh Proposal Metodelogi Penelitian “Tradisi Dut’ Panaik dalam pernikahan suku Bugis di Desa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma”.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dilakukan dan dihasilkan manusia dan meliputi kebudayaan material dan
nonmaterial, kebudayaan juga tidak diwariskan
secara generative tetapi hanya diperoleh dengan secara belajar kebudayaan ini diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat dengan demikian kebudayaan berarti keseluruhan yang kompleks
yang mencakup pengetahuan, adat istiadat, kepercayaan dan kemampuan lain
seperti kebiasaan yang diadakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat yang
berangkutan sehingga tidak heran jika banyak sekali kebudayaan yang
beranekaragam.[1]
Keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia yang terlihat pada salah satu suku diprovinsi Sulawesi selatan yang
dikenal suku Bugis yang mayoritas beragama muslim kata Bugis bersal dari kata
to ugi yang berarti orang Bugis.[2] Dalam perkembangan suku Bugis tidak hanya
berdomisili didaerah Sulawesi saja akan tetapi telah menyebar ke berbagai
daerah Indonesia dan hamper di seluruh pesisir pantai dipelosok bangsa ini akan
ditemukan komunitas orang-orang Bugis sesuai dengan sumber yang menyatakan
bahwa jika petualangan orang-orang Bugis sudah berlangsung sejak abad ke 16-17,
tidak heran jika banyak ditemukan orang-orang Bugis yang menyebar berbagai
diberbagai daerah selain factor pelaut, sesuai dengan salah satu sumber yang
mngatakan bahwa suku bangsa Bugis terkenal dengan pelaut ulung dan pedagang
yang mengarungi lautan luas nusantara dengan kapal layarnya dengan kata lain
senang mengarungi lautan pesisir nusantara yang hingga sebagian menetap
diwilayah pesisir.
Secara historis suku Bugis dalam buku
orang-orang besar Bengkulu yang ditulis oleh Agus Sutianto, migrasi orang-orang
Bugis sebenarnya tidak terlepas dari sistem sosial budaya lokal atau adat
istiadat yang telah mentradisi dalam kehidupan masyarakatnya
|
Dimana tradisi terbentuk melalui kebiasaan
turu-menurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya kelompok masyarakat
yang bersangkutan. Ia berkembang menjadi suatu sistem yang memiliki pola dan
norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap
pelanggaran yang dilakukan. Karena memang tradisi merupakan gagasan yang
berasal dari masa lalu namun masih benar-benar masih ada, belum dihancurkan, dibuang
atau dilupakan yang dilihat dari aspek gagasan (keyakinan, kepercayaan, simbol,
norma, nilai, aturan, dan idiologi) salah satu budaya dalam pandangan hidup
masyarakat Bugis yang kuat yang disebut dengan siri, yaitu bangunan moralitas
adat, ketika seseorang ingin mempertahankan diri dan martabatnya, karena merasa
tidak memperboleh perlakuan yang layak dari sesame hingga merasa harga dirinya
terlanggar.
Didalam
daur hidup manusia terdapat peristiwa-peristiwa
penting yang dirayakan oleh manusia dalam berbagai tradisi dalam kaitannya dengan
budaya-budaya
dinusantara daur hidup manusia yang sangat dirayakan Peristiwa adalah momen
perkawinan dan momen
kematian dalam dua Peristiwa ini budaya nusantara mengatur banyak upacara dan bermacam-macam persyaratan. Padahal kedua peristiwa-peristiwa
tersebut juga telah memiliki banyak ketentuan dari peraturan-peraturan yang
bersumber dari agama. Disinilah
bisa terjadi semacam rebutan pengaruh dari peraturan agama dan peraturan adat
dalam mengatur masalah perkawinan.
Didalam fiqih pernikahan akad ijab kabul wali
dari pihak perempuan, dua orang saksi dan ditambah dengan mahar (maskawin) yaitu
sesuatu wajib yang diberikan oleh seorang calon suami kepada istrinya ketika
ketika akad nikah, dan banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh Islam, hanya
menurut kekuatan suami beserta kerelaan istri.
Begitupula dalam masyarakat Bugis yang
mayoritas beragama Islam, sepanjang sepengetahuan penulis pernah terjadi
peraturan adat dalam mengatur masalah pernikahan yang wajib dibayar oleh pihak
laki-laki dimana peran adat disini sangat lah pentingdalam kelancaran
pernikahan ketika dilakukan proses negosiasi yang dilakukan oleh utusan pihak
keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dalam menentukan kesanggupan
pihak laki-laki untuk membayar sejumlahuang yang telah dipatok oleh pihak
keluarga perempuan.
Adakala pernikahan tersebut menjadi batal
karena tidak terjadinya kesepakatan antara keduanya selainitu terkadang karena
tingginya uang yang dipatok oleh pihak keluarga calon istri, sehingga dalam
kenyataan nya banyak pemuda yang gagal menikah karena ketidakmampuannya
memenuhi adat tersebut sepengetahuannya penulis pada umumnya masyarakat Bugis
beranggapan bahwa uang yang diterima pihak pengantin wanita sebagai uang
belanja (Dut ‘ Balanca) yang akan digunakan untuk acara resepsi yang mereka
selenggarakan berkaitan dengan akan kedatangan mempelai pria .padahal jika
diamati suku Bugis didesa tersebut telah jauh dari daerah asalnya dan telah
banyak berinteraksi dengan suku yang lain yaitu suku Jawa, Sunda dan Bengkulu
seiring perkembangan zaman tentunya tradisi tersebut tidak lagi sesuai dengan
kondisi sekarang dan adapula menganggap tradisi tersebut bukan zaman nya lagi.
Walaupun demikian sepengetahuan penulis ingin meneliti peraturan adat tersebut
pernah terjadi pada masyarakat suku Bugis didesa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Apa tradisi Dui’
Panaik dalam pernikahan suku Bugis didesa Riak Siabun1 , Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma ?
2.
Bagaimana proses pelaksanaan dan tradisi Dui’ Panaik dalam
pernikahan suku Bugis didesa Riak
Siabun I,Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma?
C.
Batasan
Masalah
Agar penelitian yang akan dilaksanakan tidak
terlalu meluas, maka penelitian akan dibatasi pada tradisi Dui’ Panaik dalam
pernikahan suku Bugis didesa Riak Siabun 1 dengan data nikah pada dua tahun
terakhir antara sesama suku Bugis dan tentunya hanya terfokuskan dilokasi
penelitian didesa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma, dengan
jumlah penduduk suku Bugis menurut data yang diperoleh yaitu 880 jiwa batasan
ini nantinya akan membantu peneliti agar lebih focus pada topik yang akan
dipecahkan.
D.
Tujuan Penelitian
Secara garis
besar penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui
tradisi Dui’ Panaikdalam pernikahan suku Bugis didesa Riak Siabun 1 ,Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Seluma.
2.
Untuk mengetahui proses pelaksanaan dari tradisi Dui’ Panaik dalam
pernikahan suku Bugis didesa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma.
E.
Kegunaan Penelitian
Manfaat
dari penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana tradisi Dui’
Panaik dalam pernikahan suku Bugis didesa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma.
a. memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang tradisi Dui’ Panaik
dalam pernikahan suku Bugis didesa Riak Siabun 1 yang hingga kini masih tetap dipertahankan.
b.
Penelitian ini sebagai sumbangan untuk perpustakaan sebagai bahan
bacaaan mahasiswa/I agar menambah wawasan terkait dengan masalah tradisi Dui’
Panaik dalam pernikahan suku Bugis.
F.
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka
adalah cara untuk memperoleh data yang ada karena data merupakan satu hal terpenting
dalam ilmu pengetahuan bagian ini berisikan uraian sistematis hasil hasil
perubahan dari yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan
mengenai tradisi Dui’ Panaik yang terdapat dalam pernikahan suku Bugis
sepengetahuan peneliti belum ada yang mengangkat sebuah skripsi khususnya yang
ada di kabupaten Seluma.
G. Metodelogi Penelitian
1.
Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan ini memilih tradisi Dui’ Panaik
didesa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma Dui’ Panaik ini
merupakan uang belanja yang digunakan calon mempelai wanita didalam memenuhi
kebutuhan pernikahannya. Berdasarkan data dilapangan menyatakan tradisi ini
masih tetap dipertahankan oleh masyarakat suku Bugis di desa Riak Siabun 1
dalam melangsungkan pernikahan oleh karena itu fokus lokasi penelitian yang
ingin penulis lakukan adalah didesa tersebut.
2.
Penetuan Informan
Penentuan
informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowballing yaitu
berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya
sampai mendapatkan data jenuh yaitu tidak terdapat informasi baru lagi. Sesuai
dengan apa yang diungkapkan dalam buku Suardi Endaswara yang prinsipnya menghendaki seorang informan itu harus paham
terhadap budaya yang
dibutuhkan.[3]
3.
Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif yang merupakan penelitian
dengan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada dengan mendiskripsikan suatu keadaan yang sebenarnya.[4]
4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara
pengumpulan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya
cara pengumpulan data dapat menggunakkan teknik wawancara, pengamatan, studi, dokumentasi.[5] Maka
teknik pengumpulan data yang digunakkan oleh penulis yaitu:
a.
Teknik Wawancara
Wawancara
merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan
secaralangsung dengan yang dilakukan diwawancarai.teknik wawancara yang
diinginkan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam yaitu proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya sambil bertutup
muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancara.
b.
Teknik Partisipant Observation
Penulis
menggunakkan teknik participant observation sesuai dengan konsep Spradly yang
mengatakan bahwa peneliti berusaha menyimpun pembicaraan informan membuat, membuat
penjelasan berulang menegaskan pembicaraan informan dan tidak menanyakan makna
tetapi gunanya.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi
dapat diartikan sebagai bahan penelitian yang berupa tulisan, foto-foto dan bahan lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Dokumentasi
diartikan sebagai cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti surat-surat, buku dan
foto-foto yang bisa menjelaskan mengenai tradisi Dui’ Panaik dalam pernikahan
suku Bugis.
5.
Teknik Analisis
Data
Penulisan
ini menggunakkan metode penelitian kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap tradisi Dui’ Panaik dalam pernikahan
dalam kaitan ini ditetapkan konsep analisa budaya.
H.
Sistematika Penulisan
Untuk
mempermudah menguraikan dalam penelitian ini penulis memformulasikan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab I. Terdiri atas
pendahuluan, yang meliputi
latar belakang masalah, rumusan dan
batasan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian tinjauan pustaka dan metodelogi penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab
II. Kerangka teori pengertian tradisi dan budaya, pernikahan sebagai Peristiwa agama dan budaya, kedatangan orang Bugis Bengkulu, serta tradisi pernikahan suku Bugis.
Bab III. Gambaran umum wilayah penelitian yang
meliputi: deskripsi wilayah penelitian (kondisi geografis wilayah dan iklim, jumlah
penduduk, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sarana, dan prasarana),
serta suku Bugis Didesa Riak Siabun 1.
Bab VI. Deskripsi penelitian dan pembahasan, yang
meliputi deskripsi penelitian (pengertian tradisi Dui’ Panaik, proses
pelaksanaan Dui’ Panaik), temuan penelitian (symbol-simbol dan makna, dampak serta
eksistensi dari tradisi Dui’ Panaik), dan pembahasan (nilai-nilai keIslaman
yang terkandung dalam tradisi Dui’ Panaik , meningkatkan etos kerja yang merupakan
praktek budaya; identitas suku Bugis).
Bab
V. Merupakan bagian
akhir pembahasan akhir pembahasan yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian
dan saran-saran.

KERANGKA TEORI
A.
Pengertian
Tradisi dan Kebudayaan
Tradisi dalam bahasa latin yaitu tradita, artinya diteruskan, sehingga
dapat diartikan sebagai sesuatu kebiasaan yang berkembang dimasyarakat baik
menjadi adat kebiasaan atau diasimilasikan dengan ritual adat atau agama selain
pengertian tersebut tradisi juga berbentuk melalui kebiasaan turun-menurun
sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya kelompok masyarakat yang
bersangkutan.ia berkembang menjadi suatu sitem yang memiliki pola dan norma
yang sekaligus juga mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran
yang dilakukan.[6]
Tradisi merupakan suatu bagian dari kebudayaan
atau wujud dari kebudayaan yang merupakan ciri dari suatu masyarakat atau komunitas
sehingga hal-hal yang berhubungan dengan suatu kebiasaan selalu dihubungkan
dengan etnis tertentu.[7] Kemudian
jika dilihat dari asal kata kebudayaan yang berasal dari kata sansekerta buddhayah
yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan yaitu hal-hal yang bersangkutan dengan
akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai perkembangan dari kata
majemuk budi-daya yang berarti daya dan budi yang berupa cipta, karya dan rasa.[8] Sedangkan
‘kebudayaan’ adalah hasil cipta karya dan rasa itu. Dalam istilah antropologi
budaya perbedaan tiadakan kata budaya disini hanya dipakai sebagai singkatan
saja dari kebudayaan dengan arti yang sama. Kata culture merupakan kata
asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata latin colore
berarti mengelola, mengerjakan terutama mengelola tanah atau bertani dari arti
ini berkembang arti culture sebagai upaya serta tindakan manusia untuk
mengelolah tanah dan mengubah alam.
B.
Pernikahan
Sebagai Peristiwa Agama Dan Budaya
Pertemuan antara budaya dan agama adalah
keniscahayaan yang tidak terelakkan. Agama sebagai kabar dari langit (istilah
Peter L Berger) merupakan kebutuhan esensial dan memang diperuntukkan bagi
manusia sedangkan budaya merupakan akal budi manusia, hasil cipta, rasa, dan
karsa khas manusia.
|
Adapun agama atau budaya dalam bentuk gagasan
dapat dikenal dalam pepatah pepitih adat di Bugis, acehminang, melayu yang
bermakna semisal adat bersandi syara syarat basandi ketahuilah agama menyatu
adat memakai. Sebaliknya dalam proses relasi yang diamelatik antara agama dan
budaya akan terjadi sesuatu yang tidak harmonis bagi keduanya. Ketika agama menerima
atau mengakomodasi budaya kedalam sistemnya ia cenderung kehilangan
kemurniannya bercampur baur lalu menjadi sinkretisme penuh bid’ah (hiretik) dan
suferfisi (tahayul) sebaliknya ketika agama menolak budaya maka agama itu akan
menjadi norma ekslufis yang rigid (kaku), kering dan cenderung ditinggalkan
sebagai sekedar kabar dari langit yang tidak mampu menjawab tantangan zaman
berupa persoalan aktual umat manusia adapun agama bagi budaya dilekmatikannya
menyikapi agama ialah ketika menerima agama cenderung mapan menjadi pakem yang
menolak inovasi, kreasi dan improvisasi baru, itulah yang membuat suatu tradisi
budaya menjadi dinamis atau hidup.
C.
Kedatangan
Orang Bugis Ke Bengkulu
Asal mula suku Bugis berasal dari kabupaten Wajo
di Sulawesi Selatan baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun kelompok
(komunitas) dalam penyebutannya akrab dikenal sebagai to Wajo atau to Wajo’E
(orang wajo) adapun tempat tinggal mereka, dinamakan tana Wajo yakni tempat
atau lingkungan sekitar lokasi rumah yang dihuni we tadampali. Dalam dalam
bahasa Bugis pohon Wajo e disebut pohon Bajo, sehingga tempat berdirinya rumah
we tedambali dimana tempat pohon Wajo e atau pohon Bugis.[9]
Orang-orang Bugis berimigrasi sebenarnya juga
tidak terlepas dari latar belakang kultur dan sosial mereka merantau ataupun
jiwa berpetualang yang melekat dalam budaya orang Bugis telah mentradisi dalam
kehidupan sosial masyarakat. Salah satu sistem budaya yang telah terpatri dalam
pandangan hidup masyarakat Bugis yang sangat kuat disebut dengan siri. Proses
awal migrasi keluarga besar pribumi Bugis ke Bengkulu abad ke 17, sebenarnya
tidak lepas dari peranan kerajaan indra pura sebagai (pintu masuk) berbagai
suku bangsa yang datang dari arah utara menuju arah Bengkulu, perlu dijelaskan
terlebih dahulu mengenai proses transmigrasi keluarga besar pribumi keturunan Bugis
dari indrapura hingga ke Bengkulu.[10]
Awal mula suku Bugis datang ke Bengkulu
sebagaimana dikatakan bahwa kedatangan suku Bugis, yang pernah tercatat sebagai
kampong Bugis, yang dikenal sebagai pelaut yang berani.[11] Dikatakan
demikian karena anggapan tersebut bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang
berlabu pelabuhan nusantara dan dikenal sebagai orang yang berkarakter keras
dan sangat menjunjung tinggi kehormatan namun dibalik sifat keras itu, orang Bugis
juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta
sangat tinggi kesetiakawanannya.[12]
Diantara nama-nama keluarga bangsawan Bugis, Bugis
daeng mabela yang menepati posisi puncak kejayaan keluarga Bugis dibengkulu
disepanjang sejarahnya hingga tiga dasawarsa diabad ke 19 pengaruh kekuasaan
maeng mabela semakin besar setelah beliau pada waktu itu memegang berbagai
jabatanyang straregis, sepertu jabatan penghulu (kepala) orang asing. Kapten
korps Bugis serta Anggota Dewan Pangeran.[13] Yang
merupakan suku pendatang di Bengkulu.[14]
D.
Tradisi
Pernikahan Suku Bugis
Pada umumnya baik laki-laki maupun perempuan
setelah meninggalkan masa remajanya dan menginjak masa dewasanya, memiliki
hasrat untuk rumah tangga sikap kedewasaan nya mulai tumbuh, rasa tanggung
jawabannya semakin tampak, dia mulai mengarah terhadap gadis atau bujang mana
yang akan dipilih sebagai calon istri atau suaminya.
Kalau semasa remajanya ia mengenal dengan lain
jenisnya bahkan ia telah mendapatkan pilihan hatinya maka selanjutnya ia mulai
berketetapan hati untuk menjadikan gadis atau bujang tersebut sebagai calon
istri atau suaminya. Namun hal ini tidaklah muda seperti yang diangan-angankan,
sebab menurut adat-istidat ataupun tradisi haruslah melalui liku-liku prosedur
yang panjang untuk sampai kepada jenjang yang disebut dengan pernikahan.[15]
Perkawinan adalah media budaya dalam mengatur
hubungan antara sesama manusia yang berlaianan jenis kelamin, karenanya
perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkatan yang lebih dewasa melalui
media ini, dengan demikian maka perkawinan merupakan suatu yang luhur dan suci
dalam kehidupan seseorang.[16]
Didalam
perkawinan merupakan sebuah wujud relasi sosial yang saling memperkuat dalam terciptanya sebuah keluarga,[17] tata cara pernikahan suku Bugis:
1.
Tahap Pelamaran
(Penjajakan)
Disoppeng pada tahun 1970, sudah menjadi
kebiasaan bagi orang tua untuk mempertimbangkan pendapat anak laki-laki mereka
tentang siapa yang akan dinikahkannya, orang tua sering menunjukkan beberapa
alternative wanita muda menurut mereka dapat diterima sebagai rujukan untuk
anak lelaki mereka, tak jarang seorang lelaki muda juga mempunyai aktifitas ini
dengan memberitahu pilihannya kepada orang tua.
2.
Tahap Pertunangan
Tahap
pertunangan; penentuan hari, bahkan untuk peralatan pernikahan yang besar sekalipun.
3.
Jenjang
Pernikahan
Kesibukan
berlangsung dirumah mempelai wanita sehari menjelang dan pada hari pelaksanaan akad nikah.
4.
Tahap Resepsi
Orang
Bugis menggunakkan istilah “pesta kawin”untuk menyebut hari pelaksanaan resepsi
yang resmi.
5.
Pertemuan Resmi
Selanjutnya
Menginap tiga malam dan pertemuan antar besan
pada hari setelah pesta usai. Yakni setelah keseluruhan perjamuan dan resepsi,
pengantin laki-laki diharuskan melakukan kunjungan penghormatan kepemakaman
leluhur pengantin wanita.

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah Penelitian
1.
Kondisi Geografis Dan Iklim Wilayah
Penelitian
Wilayah penelitian yang ada didesa Riak Siabun
1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma yang terletak dikota Bengkulu, berdasarkan
data dari kantor pertahanan kota Bengkulu, bahwa kota Bengkulu memiliki luas
wilayah 146,87km ditinjau dari keadaan geografisnya kota Bengkulu terletak
dipesisir barat pulau Sumatra.
Kota Bengkulu memiliki relief permukaan yang
bergelombang, terdiri dari dataran pantai dan daerah bukit-bukit serta
dibeberapa tempat dapat cekungan alur sungai kecil kota Bengkulu disebelah
utara berbatasan dengan Bengkulu tengah dan sebelah barat berbatasan dengan Samudra
Indonesia.[18]
kota Bengkulu memiliki 9 kecamatan dan 67 kelurahan dengan jumlah kelurahan
terbanyak dikecamatan diteluk Segara yaitu 13 kelurahan.[19]
Kecamatan sukaraja merupakan salah satu 14
kecamatan yang merupakan bagian dari kabupaten Seluma dengan luas wilayah
240,78 km atau 10,03% dari luas Kabupaten Seluma Sukaraja beriklim trofis
topografi kecamatan Sukaraja sebagian besar dengan hamparan. Tinggi dari
permukaan lautnya rata-rata desa dan kelurahan dikecamatan Sukaraja diantara
2m-50m.
Didalam
wilayah kecamatan sukaraja kabupaten Seluma provinsi Bengkulu yang berbatasan
dengan:
a. Sebelah utara
berbatasan dengan kelurahan Padang Serai kota Bengkulu
b.
Sebelah timur berbatasan dengan desa Jenggalu Kecamatan Sukaraja
c.
Sebelah selatan berbatasan dengan desa Sumber Makmur Kecamatan
Sukaraja.
d.
Sebelah barat
berbatasan dengan desa Riak Siabun Kecamatan Sukaraja.[20]
|
Luas wilayah desa Riak Siabun 1 adalah 900 ha dimana
90% berupa daratan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang dimanpaatkan untuk
persawahan, perkebunan sawit serta lahan tidur dan 10% untuk perumahan
masyarakat desa. Iklim didesa Riak Siabun 1. Sebagaimana desa-desa lain di wilayah
Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan hal tersebut terhadap polatanam
kemudian wilayah penelitian yang berbeda dikecamatan Sukaraja secara geografis
dibatasi oleh batas alam dengan batas administrasi, yaitu:
·
Sebelah utara kota Bengkulu dan kabupaten
Bengkulu Tengah
·
Sebelah selatan kecamatan Air Periukan
·
Sebelah barat Samudra Hindia
·
Selah timur kecamatan Lubuk Sandi
2.
Kondisi
Sosial Budaya Wilayah Penelitian
Masyarakat didesa Riak Siabun 1 tidak hanya
terdiri dari suatu suku saja, tetapi terdiri dari suku Bugis dan suku jawa yang
merupakan suku pendatang yang mendominasi didesa tersebut. Sehingga kearifan
lokal yang lain telah dilakukan oleh
masyarakat sejak adanya desa Riak Siabun 1, seperti halnya penduduk yang
mayoritas dihuni oleh penduduk jawa dan Bugis sehingga tradisi dan adat istiadat
mereka masih terasa kental, dengan jumlah penduduk suku Bugis menurut data yang
diperoleh yaitu 880 jiwa dimana jumlah keseluruhan dari penduduk desa Riak
Siabun 1 adalah 1660 jiwa, yang terbagi dalam 4 (empat) wilayah dusun, yaitu:
1) Desa Rawang Jawi
2) Dusun Palakka atau Parit III
3) Dusun Permajaan ,dan
4) Dusun Bangun
Jawa
TABEL.
I
JUMLAH
PENDUDUK
Keterangan
|
Dusun Rawang Jawi
|
Dusun Palakka Atau Parit III
|
Dusun Permajaan
|
Dusun Bangun Jaya
|
Jiwa
|
391
|
199
|
237
|
343
|
Kkn
|
115
|
54
|
126
|
91
|
Sumber: RPJM Desa Riak Siabun 1
3.
Kondisi
Ekonomi Wilayah Penelitian
Keadaaan
ekonomi masyarakat desa Riak Siabun 1 secara kasat mata terlihat jelas tidak
adanya perbedaan antara rumah tangga yang berkategori miskin, sedang, dan kaya.
Hal
ini disebabkan karena mata pencariannya disektor usahanya hamper sama yaitu
disktor formal dan nonformal,[21] selengkapnya sebagai berikut:
TABEL II
PEKERJAAN
Pekerjaan
|
Jumlah Orang
|
PNS
|
3
|
Pedagang
|
16
|
Petani
|
330
|
Peternak
|
189
|
Pelajar
|
501
|
Buruh
|
12
|
Sesuai dengan data yang diperoleh bahwa desa Riak
Siabun 1, merupakan desa pertanian maka sebagian besar penduduknya bermata
pencarian sebagai petani selain itu penggunaan tanah sebagian besar juga
diperuntukkan untuk perkebunan sawit.
4.
Keadaan
Pendidikan dan
Kesehatan Serta Sarana dan Prasarana Desa Diwilayah Penelitian
Masyarakat
Riak Siabun 1, kecamatan Sukaraja
mulai sadar akan pentingnya pendidikan, apalagi pendidikan agama data penelitian yang diperoleh tentang
pendidikan masyarakat Riak Siabun 1 sebagai berikut:
TABEL III
PENDIDIKAN
Pra
Sekolah
|
SD
|
SLTP
|
SLTA
|
Sarjana
|
127
orang
|
506
orang
|
437
orang
|
48
orang
|
7
orang
|
Sumber : RPJM Desa Riak Siabun 1
B.
Suku
Bugis Di Desa Riak Siabun
1
Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman
suku, agama, dan bahasa. Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan serta kebiasaan
yang dipunyai manusia sebagai anggota masyarakat.
Suku Bugis yang terdapat didesa Siabun 1
memiliki mata pencarian petani, berkebun, nelayan, dan lain-lain. Kemudian
dalam hal membuat rumah suku Bugis dulunya masih mempertahankan rumah adatnya
walaupun walaupun sudah tidak terlihat lagi (punah) yang biasanya disebut
dengan Lego.[22]

DESKRIPSI
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Penelitian
1.
Pengertian
Dut’ Panaik
Secara etimologi Dui’ Panaik berasal dari dari
bahasa Bugis yaitu uang naik (uang yang diberikan)[23]
sedangkan secara terminologi Dui’ Panaik ini mempunyai makna yaitu sejumlah
uang dengan nilai yang cukup tinggi yang diberikan oleh pihak mempelai pria
kepada calon mempelai wanita yang akan digunakkan untuk keperluan pesta
pernikahan pasangannya serta belanja untuk keperluan pernikahan lainnya.[24] Maksudnya
adalah untuk membelanjakan kebutuhan pesta pernikahan mulai penyewaan gedung, dan
tenda, membeli kebutuhan konsumsi dan semua yang berkaitan dengan kebutuhan
resepsi pernikahan.[25] Tetapi
memang pada umumnya masyarakat Bugis
beranggapan bahwa Dut‘ Panaik yang diterima pihak pengantin wanita sebagai uang
belanja (Dut‘ Balanca) yang akan digunakan untuk acara resepsi yang mereka
selenggarakan berkaitan dengan datangan mempelai pria.
Tradisi
yang dilakukan suku Bugis ini mempunyai beberapa tahap yang dilakukan yaitu:
1) Penjajakan
Dalam suku Bugis penjajakan berbuat seperti burung-burung (yang terbang
kian kemari untuk mencari makan). Karena dalam hal ini penjajakan seperti
halnya burung yang sedang terbang kemana-mana untuk mencari-cari makan seperti
halnya mencari-cari calon untuk anaknya kendati demikian kecenderungan keluarga
dalam memilih jodoh dari lingkungan keluarga sendiri karena dianggap sebagai
hubungan perkawinan atau perjodohan yang ideal.
2) Kunjungan Lamaran
Menurut informan maming biasanya didesa ini dari pihak laki-laki mengutus
beberapa orang selain dari pada keluarganya sendiri yang dianggap dituakan atau
dihormati seperti ketua adat atau beberapa orang terpandang yang dianggap dapat
menyampaikan tujuan mereka yaitu kunjungan lamaran sehingga dapat
mempertimbangkan hal lamaran pada waktu lamaran.[26]
3) Penerimaan Lamaran
|
Setelah hari dan tanggal yang disetujui untuk
bertemu atau berkumpul telah tib, biasanya tahap yang ketiga yaitu acara
artinya penerimaan lamaran oleh kedua belah pihak keluarga untuk mengikat janji
yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.
Menurut informan maming (79 tahun) biasanya
didesa ini jika terjadi pemberian maskawin tersebut dibayarkan dengan wujud
sebidang tanah misalnya sawah ladang dan lain-lain.sehingga kebiasaan suku Bugis
ini terjadi dua sompa yaitu:
a. Orang Bugis
biasanya menyebut Sompa Labu
Adapula biasanya
factor ataupun penyebab yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya Dui’ Panaik
menurut informan Emi (50 tahun)
yaitu:[28]
a.
Sistem Ekonomi
Keluarga Calon Istri
Biasanya status ekonomi menadi tolak ukur dalam menentukan Dui’ Panaik
dalam pernikahan suku Bugis karena semakin tinggi status ekonomi semakin tinggi
pula Dui’ Panaik yang diberikan oleh calon pria kepada pihak keluarga calon
istri.
b. Jenjang Pendidikan Calon Istri
Jenjang pendidikan calon istri juga
mempengaruhi penentuan dalam Dui’ Panaik biasanya jika pendidikan semakin
tinggi maka semakin banyak pula Dui’ Panaik yang harus diberikan dan jika tidak
memberikan dengan patokan yang telah dipatok oleh keluarga wanita biasanya akan
mendapat sebuah babi dari masyarakat.
c.
Perbedaan
Antara Perawan Dan Janda
faktor diatas dari penyebab tinggi rendahnya Dui’
Panaik ,maka perbedaan antara perawan dan janda juga menjadi tolak ukur dari
tinggi rendahnya Dui’ Panaik yang akan diberikan didesa ini perawan dan janda terdapat
perbedaan dalam penentun Dui’ Panaik, biasanya perawan lebih banyak diberikan Dui’
Panaik dan janda tidak berkemungkinan mendapatkan Dui’ Panaik lebih renda jika
status sosialnya bagus.
d.
Keadaan Atau
Kondisi Fisik Calon Istri
Selain faktor penyebab faktor diatas yang
meliputi tolak ukur dari tinggi rendahnya Dui’ Panaik dalam pernikahan Bugis.menurut
informan biasnya kondisi dari wanitapun menjadi tolak ukur dalam menentukan Dui’
Panaik, biasanya semakin sempurna kondisi dari calon wanita maka semakintinggi
pula Dui’ Panaik yang akan diberikan kepada calon mempelai wanita.
2.
Proses
Pelaksanaan Dui’ Panaik
Pelaksanaan Dui’ Panaik terjadi setelah
penerimaan lamaran berlangsung, sebagaimana hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti, dimana penelitian ikut serta dalam pelaksanaan tradisi Dui’ Panaik
dirumah calon mempelai wanita yang sebelumnya rombongan dari pihak mempelai
yang pria mengantarkan Dui’ Panaik kerumah calon mempelai wanita. Terlebih
dahulu brombongan berkumpul dirumah pihak keluarga pria, pada pukul 09:05 WIB.
Sebelum beranjak kerumah mempelai wanita karena pada hari itu dari pihak
keluarga laki-laki biasanya telah
menyiapkan makanan khas Bugis yang akan disediakan untuk para tamu yang akan
ikut serta pada acara penyerahan dui’ Panaik
peneliti sendiri melihat ketika berada dirumah pihak laki-laki tuan rumah telah
menyiapkan makanan diruang tengah dengan menggunakan talam dengan berisikan
berbagai macam makanan.
Selama observasi berlangsung pada hari
tersebut dirumah calon mempelai pria, peneliti mengamati persiapan Dui’ Panaik,
dimana Dui’ Panaik dibungkus dengan kain putih yang kemudian diletakkan didalam
sebuah tempat yang disebut penom berisikan kain putih, serta berisikan beras
lalu diletakkan diatasnya Dui’ Panaik[29]
sebesar Rp.30.000.000.000 kemudian Dui’ Panaik telah selesai disiapkan, terlihat
dari pihak laki-laki juga telah menyiapkan hadiah persembahan untuk mempelai
wanita dan keluarganya yang telah disepakati sebelumnya yaitu beras ketan 1 kg,
beras biasa 1kg, gula 50 kg, gandum 25 kg, biasanya semua itu disiapkan oleh
pihak laki-laki.
Setelah penyerahan Dui’ Panaik pihak keluarga
tinggal dirumah saja tidak boleh ikut kerumah mempelai wanita di karenakan
orang tuanya bertugas untuk menjaga anaknya yang akan dinikahkan nya itu.[30]
B.
Temuan Penelitian
1. Simbol-Simbol Dan Makna
Didalam tradisi Dui’ Panaik dalam pernikahan
suku Bugis didesa Riak Siabun 1, terdapat beberapa macam makna dan simbol
ketika proses pelaksanaan Dui’ Panaik yaitu;
Kain putih dua lapis tersebut mempunyai makna
lapisan pertama wanita yang harus
dilindungi dan lapisan kedua laki-laki harus melindungi wanita atau sebagai pelindung,simbol dari
beras dan piring putih sebagai wadah nyapenulis belum menemukan penafsiran mengenai
makna dari kedua simbol tersebut dalam tradisi Dui’ Panaik.
2. Dampak Serta Ekstensi Dari Tradisi Dui’ Panaik
a. Positif
berdampak positif bagi wanita Bugis dan
laki-laki Bugis salah satunya dampak positif Dui’ Panaik dalam pernikahan bagi
pernikahan suku Bugis dapat dilihat dari fungsi Dui’ Panaik tersebut untuk
keperluan biaya pesta pernikahan pasangannya serta belanja untuk keperluan
pernikahan lainnya.
1) Pentingnya makna hidup
Makna hidup bagi pandangan orang Bugis,dapat
ditelusuri secara sederhana kedalam tiga aspek yaitu hidup mengabdi kepada
tuhan,hidup dan bekerja dan hidup untuk bersenang-senang akhirnya.
2) Fungsi kerja
Fungsi kerja berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui
pekerjaan yang ditekuni selama ini sehingga terciptalah sebuah paradigma dari
pola pikir masyarakat Bugis bahwa bekerja keras adalah ( reso) yaitu faktor
utama yang sangat menentukan kelangsungan hidup sekarang dan dan dimassa akan
datang.
3) Kemapamanan ideal
Pandangan ini berhubungan dengan semua jenis keberhasilan yang hendak
dicapaib atau yang dicita-citakan oleh orang Bugis.dengan tujuan meraih
penghidupan yang layak.
4) Dasar keberhasilan usaha
Pandangan dalam mengenai keberhasilan usaha,juga merupakan salah satu
faktor penting dalam perubahan pola fikir orang Bugis,keberhasilan usaha
ditentukan dalam beberapa faktor seperti kehendak tuhan,bantuan orang lain,dan
keuletan sendiri.
5) Penggunaan uang lebih
Pandangan uang lebih bagi masyarakat orang Bugis,tampaknya bervanasi
berdasarkan tingkat pemahaman nengenai penting nya nialai uang dalam
kehidupan.sebagianmasyarakat menganggap uang lebih adalah untuk membayar hutang
dan dikosumsi langsung sesuai dengan kebutuhan masing-masing.[31]
b. Dampak Negatif
Tradisi Dui’ Panaik dalam pernikahan suku Bugis
didesa Riak Siabun 1 selain berdampak positif (tetapi disisi lain juga
menimbulkan dampak negatif ). Seiring perkembangan zaman adat-istiadat dalam
pernikahan khususnya Bugis. Nilai-nilai yang ada mulai mengalami pergeseran, walaupun
disisi lain memunculkan dampak yang positif, akan tetapi terlepas dari hal
tersebut tradisi ini juga dapat memberatkan pihak laki-laki yang ingin menikah
buktinya saja secara umum dalam kenyataannya sebenarnya banyak laki-laki
keberatan adanya tradisi tersebut karena Dui’ Panaik terbilang tidak sedikit
jumlahnya dan kedudukannya sebagai uang adat yang wajib dibayar.
3. Eksistensi Dui’ Panaik
Eksistensi Dui’ Panaik dalam suku Bugis didesa Riak
Siabun 1 masih tetap dipertahankan, terlihat akan melangsungkan proses
pernikahan, dan tradisi ini tetap digunakkan, sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan dilapangan tradisi tersebut masih tetap ada hingga sekarang.
C.
Pembahasan
1. Nilai-Nilai Keislaman Yang Terkandung Dalam
Tradisi Dui’ Panaik
Sistem nilai merupakan nilai yang paling
tinggi dan paling abstrak,dari adat-istiadat atupun tradisi.hal ini disebabkan
karena nilai-nilai tersebut merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dan warga suatu masyarakat mengenai apa yang
mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup sehingga dapat
berfungsi suatu pedoman yang memberi arah dan orentasi kepada para warga
masyarakat tersebut.[32]
Untuk mengembangkan kebudayaannya manusia
melakukan penilaian terhadap budaya namun perlu dipahami bahwa hal-hal yang
berhubungan nilai ini sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kebudayaan itu sendiri. Nilai-nilai itu diciptakan dimuliakan oleh leluhur
mereka sebagai peletak dasar masyarakat dan kebudayaan, kemudian dialihkan turun-menurun
dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
2. Meningkatkan Etos Kerja Yang Merupakan Praktek
Budaya Sendiri
Dalam bahasa Bugis etos kerja yaitu bekerja
keras dalam memperoleh uang dari jerih payahnya dalam bekerja oleh karena itu semangat
kerja bagi laki-laki yang berasal dari suku Bugis lalu ingin menikahi gadis Bugis
untuk memenuhi jumlah Dui’ Panaik yang dipandang sebagai praktek budaya siri
(malu) yang tergolong sebagai uang adat yang sering bernilai tinggi maka laki-laki
tersebut berusaha untuk mengumpulkan uang demi kelancaran dari proses
pernikahan.
Maka tidak jarang para lelaki suku Bugis
merantau yaitu: meninggalkan kampung halamannya dengan harapan dapat sukses
ditanah rantau dan kembali dengan membuktikan siri’nya, yaitu membawa
kesuksesan. Maka jika dikaitkan dengan Dui’ Panaik sebagai uang adat yang harus
dibayar oleh laki-laki tersebut tentunya akan mencari pekerjaan yang bagus agar
dapat menghasilkan uang demi meminang wanita yang dicintai.
3. Identitas Suku Bugis
Dui’ Panaik dalam suku Bugis telah menjadi
identitas karena tradisi tersebut telah menjadi kebiasaan yang sudah mendarah
daging dalam kehidupan masyarakat Bugis, selain itu suku Bugis sadar akan
kenyataan bahwa kebiasaan telah mendapatkan peran penting dalam mengatur lalu
lintas hubungan dan tata tertib sosial masyarakat.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tradisi Dui’ Panaik dalam pernikahan suku Bugis
didesa Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma merupakan sejumlah
uang naik yang diambil dari bahasa Bugis, yang mempunyai makna sebagai uang
yang diberikan oleh pihak mempelai pria kepada mempelai wanita yang akan
digunakkan untuk keperluan biaya pesta pernikahan pasangannya. Dan uang tersbut
kedudukannya sebagai uang adat yang hukumnya wajib (dalam hukum adat yang wajib
dibayar dalam pernikahan demi kelancaran proses berlangsungnya pernikahan dan Dui’
Panaik ini merupakan simbol dari seberapa besar keseriusan dari pihak pria
untuk menikahi seorang wanita serta kesanggupannya berkorban sebagai
perwujudannya keinginannya untuk menjadi anggota keluarga wanita.
2. Adapun pelaksanaan Dui’ Panaik setelah proses
penerimaan lamaran berlangsung, yang dimulai dari prose penjajakan, kunjungan
lamaran, penerimaan lamaran, pemberian Dui’ Panaik yaitu dengan menyiapkan uang
tersebut sebelumnya dirumah mempelai laki-laki yang sudah ditutupi oleh kain
putih dua lapis, yang diikatkan dileher salah satu laki-laki yang masih
memiliki hubungan dekat atau masih berstatus keluarganya, kemudian para
rombongan bersama-sama mengantarkan Dui’ Panaik tersebut kerumah calon mempelai
wanita setelah itu, penyerahan dibuka dengan kata sambutan dari pihak wanita
dan menghitung kembali uang dari pihak mempelai laki-lakiadapun dampak positif
dan dampak negatif dari Dui’ Panaik dalam pernikahan suku Bugis.
3. Dampak positif dari tradisi tersebut yaitu; untuk
biaya pesta pernikahan pasangannya, sebagai penghormatan dan etos kerja bagi
laki-laki kemudian dampak negatif tradisi Dui’ Panaik yaitu dapat memberatkan
dari pihak laki-laki yang akan menikah karena jumlah Dui’ Panaik yang tinggi, terjadi
kawin lari, menjadi perawan tua, terjadi perceraian, gagal menikah kemudian, terjadi
kasus ingkar janji atas kesepakatan Dui’ Panaik, hamil diluar nikah akan
menjadi tampilan gaya hidup mewah dan status sosial seseorang atau keluarga
untuk mendapatkan nilai dimata masyarakat, menjadi timbulnya pendorong gengsi
demi menjaga martabat keluarga karena adanya pertambangan akan persepsi orang
lain diluar keluarga kedua mempelai.
B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka ada
beberapa saran yang hendak penulis ungkapkan yaitu:
1.
|
Diharapkan pada masyarakat agar tetap
menjunjung tinggi tradisi Dui’ Panaik dalam pernikan suku Bugis, walaupun
disisi lain nilai-nilai ada mulai mengalami pergeseran, akan tetapi terlepas
dari hal tersebut tradisi ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan secara
hukum adat itu diperbolehkan agar tetap bisa dipertahankan, selain itu hukum
adat dianggap sebagi sumber hukum karena sadar atau kenyataan bahwa kebiasaan
mendapatkan perananan penting dalam mengatur lalu lintas hubungan dan tata
tertib dalam masyarakat.
2. Diharapkan pada pemerintah untuk kabupaten Seluma
dapat memberikan perhatian khusus terhadap tradisi yang ada yang masih melekat
dalam kehidupan masyarakat agar budaya asli dapat dijaga dan tetap berada pada
jalan yang mengukuti syariat Islam.
3. Kepada masyarakat didesa Riak Siabun 1 Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Seluma khususnya suku Bugis, diharapkan dalam pelaksanaan
tradisi Dui’ Panaik setidak-tidaknya harus dipermudahkan dengan cara mengurangi
jumlah Dui’ Panaik tersebut, supaya tidak memberatkan bagi pihak laki-laki
untuk melaksanakan Sunnah Rasulullah Saw, yaitu kewajiban untuk menikah, serta
dapat memahami makna yang sebenarnya dari tradisi Dui’ Panaik tersebut, agar
tidak salah menafsirkannya sehingga tidak memunculkan banyak kasus dan
penyimpangan akibat tradisi tersebut.

Achmad Ramli. 1978/1979. Geografi Budaya Daerah
Provinsi Bengkulu, Departemen F A K Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya
Proyek Penelitian dan Pencatatan Daerah.
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Provinsi Bengkulu,
Proyek Penelitian dan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ahmadin. 2015. Kapitalisme Bugis Bisnis Berbasis
Kearifan Lokal, Makassar: Rayhan Intermedia.
Anakbusur. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017. Asal Kata Bugis. http://anakbusursulsel blogspot.co.id.html.
Endraswara Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian
Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ibrahim Rasyid. Adat Kebiasaan Pada Dasar Hidup Dalam
Masyarakat Kota Bengkulu, Badan Musyawarah Adat Kota Bengkulu
Kota Bengkulu Dalam Angka 2015. 2015. Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Bengkulu.
Muhammad Alfan. 2013.
Filsafat Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia.
Mursal Esten. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung:
Angkasa.
Mustadjar Musdaliah. 2013. Sosialogi Gender Dalam
Keluarga Bugis. Makassar: Rayhan Intermedia.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian,
Jakarta: Kencana.
Pelras Christian.2006. Manusia Bugis. Jakarta,
Nalar.
Rahim
A Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama kebudayaan Bugis.
Yogyakarta: Ombak.
RPJM Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa),
Desa Riak siabun 1, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu
2014-2017.
Satori Djam’an dan Aan Komariah. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Setiyanto Agus. 2015. Orang-Orang Besar Bengkulu. Yogyakarta:
Ombak, 2015.
Statistik Daerah Kota Bengkulu 2015. 2015. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bengkulu.
Waib Mardan dkk, Pengaruh Kontak Budaya Masyarakat
Bengkulu Terhadap Pemahaman Sistem Nilai Budaya Nasional.

Bismillahir-Rahmanir-Rahim,
Alhamdulillah puji syukur selalu
terlimpahkan kepada Allah SWT karena atas izin-Nya penulis
dapat menyusun dan menyelesaikan Proposal yang berjudul “Tradisi Dui’ Panaik Dalam Pernikahan
Suku Bugis Didesa Riak Siabun 1 Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Seluma”.
Apabila masih ada
penjelasan yang kurang dalam proposal ini, penulis
mengharapkan tambahan penjelasan dari teman-teman dan dosen pengampu dalam
bidang ini. Karena kami menyadari bahwasanya proposal yang penulis buat ini belum
sempurna dan masih banyak sekali kesalahan yang harus dibenarkan. Kami juga
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman dan dosen pengampu supaya ke depannya
kami bisa membuat proposal yang lebih baik pastinya.
Akhir kata, semoga proposal yang ini bisa
bermanfaat bagi para pembaca dan bisa mempermudah para pembaca untuk mengetahui
dan memahami pembahasan tentang “Tradisi Dui’ Panaik Dalam Pernikahan
Suku Bugis Didesa Riak Siabun 1 Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Seluma”.
Bengkulu, Juni
2017
Penulis
|

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
............................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah ........................................................................................ 3
C.
Batasan
Masalah .......................................................................................... 3
D.
Tujuan
Penelitian........................................................................................... 3
E.
Kegunaan
Penelitian..................................................................................... 3
F.
Tinjauan
Pustaka........................................................................................... 3
G.
Metodologi
Penelitian................................................................................... 4
H.
Sistematika
Penulisan.................................................................................... 5
BAB II KERANGKA TEORI
A.
Pengertian Tradisi
dan Kebudayaan ............................................................ 7
B.
Pernikahan Sebagai
Peristiwa Agama dan Budaya ..................................... 7
C.
Kedatangan
Orang Bugis Ke Bengkulu ...................................................... 8
D.
Tradisi
Pernikahan Suku Bugis..................................................................... 9
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A.
Deskripsi
Wilayah Penelitian ...................................................................... 11
B.
Suku Bugis di
Desa Riak Siabun 1 ............................................................. 14
BAB IV DESKRIPSI PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi
Penelitian...................................................................................... 15
B.
Temuan
Penelitian........................................................................................ 17
C.
Pembahasan.................................................................................................. 19
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 21
B.
Saran-Saran.................................................................................................. 21
|
DAFTAR PUSTAKA
|

“Tradisi Dut’
Panaik dalam pernikahan suku Bugis di Desa
Riak Siabun 1 Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma”.
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Akhir Mata Kuliah
Metodelogi
Penelitian
[1] A Rahman
Rahim, Nilai-Nilai Utama kebudayaan Bugis, (Yogyakarta, Ombak 2011),
hal.21
[2] Anakbusur, Asal
Kata Bugis, http://anakbusursulsel
blogspot.co.id.html. Diakses pada tanggal 7 mei 2017
[3] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2012), hal. 239
[4] Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif.
(Bandung, Alfabeta, 2014), hal. 23
[7] Ahmadin, Kapitalisme Bugis Bisnis Berbasis Kearifan Lokal,
(Makassar, Rayhan Intermedia, 2015), hal. 24
[11] Ramli Achmmad, Geografi Budaya Daerah Provinsi Bengkulu, Departemen
F A K Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan
Daerah, 1978/1979
[14] Ramli Achmmad, Geografi Budaya Daerah Provinsi Bengkul, Departemen F
A K Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan
Daerah, 1978/1979
[15] Rasyid Ibrahim, Adat Kebiasaan Pada Dasar Hidup Dalam Masyarakat Kota
Bengkulu, Badan Musyawarah Adat Kota Bengkulu
[16] Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Provinsi Bengkulu, Proyek Penelitian dan
Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 33
[17] Musdaliah Mustadjar, Sosialogi Gender Dalam Keluarga Bugis, (
Makassar, Rayhan Intermedia, 2013), hal. 109
[20] RPJM Desa (rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa), Desa Riak siabun 1,
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu 2014-2017, hal. 9
[29] Makna simbol dari piring putih, beras putih, serta Dui’ Panaik yang
diletakkan di atasnya, sampai sekarang penulis tidak menemukan tafsiran
mengenai makna simbol tersebut, sehingga jika ada yang mengetahuinya dikemudian
hari maka dapat melengkapi makna simbol yang ada.
[32] Mardan Waib dkk, Pengaruh Kontak Budaya Masyarakat Bengkulu Terhadap
Pemahaman Sistem Nilai Budaya Nasional, hal. 24
No comments:
Post a Comment