1

loading...

Wednesday, October 31, 2018

MAKALAH PMDI (MUHAMMAD IBN ABD AL WAHHAB DAN GERAKAN WAHHABIYAH)

MAKALAH PMDI (MUHAMMAD IBN ABD AL WAHHAB DAN GERAKAN WAHHABIYAH)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di Uyainah, daerah Najed pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Negeri tempat kelahirannya adalah sebuah daerah terpencil di pedalaman Arab Saudi. Daerah ini tandus dan tidak banyak diperhatikan orang sebelum timbulnya gerakan pemberharuan yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab. Meskipun daerah ini secara resmi merupkan daerah jajahan turki, tetapi pemerintahan turki tidak begitu memerhatikan daerah ini. Karena tidak begitu mempunyai wakil pemerintahan yang efektif, kabilah-kabilah Arab yang mendiami daerah ini tersebut tetap sebagai kelompok-kelompok yang bebas. Mereka di bawah bimbingan berbagai kepala suku (amir-amir) mereka. Pada masa itu, kebesaran dan kekuasaan kerajaan Turki Usmani mulai merosot dan rapuh.
Muhammad bin Abdul Wahab dibesarkan dan didik ayahnya sendiri. Ayahnya seorah fakih (ahli fikih) dan kadi (hakim) di negeri yang bermazhab Hambali, suatu aliran yang menjadi rujukan penduduk Najed pada umumnya.
Di dalam buku sirah al-Imam asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab oleh Amin Sa’id disebutkan bahwa ayah Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ulama besar pada masanya. Selain itu, datuknya yang bernama Sulaiman Ali adalah ulama terkemuka di Najed. Ia menjadi nara sumber bagi ulama-ulama di daerah Najed dalam berbagai kesulitan yang mereka hadapi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apasajakah yang tertera dalam Pemikiran Muhammad Ibn Abd Al Wahhab?
2.      Bagaimanakah proses Gerakan Wahhabi?
3.      Bagaimanakah proses Pemurnian atau Pembaharuan dalam Pemikiran Muhammad Ibn Abd Al Wahhab dan pergerakannya?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah Pemikiran- Pemikiran pada masa Muhammad Ibn Abd Al Wahhab.
2.      Untuk mengidentifikasi bagaimanakan proses Gerakan Wahhabi.
3.      Untuk mengetahui bagaimanakah proses terjadinya Pemurnian atau Pembaharuan pada masa Wahhabi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab didasarkan atas ajaran-ajaran Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah dan mazhab Hambali. Prinsip-prinsip dasar ajaran tersebut adalah:
a.       Ketuhanan Yang Esa dan mutlak (karena itu penganutnya menyebut dirinya dengan nama al-Muwahhidun).
b.      Kembali pada ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Al-Qur`an dan Hadits.
c.       Tidak dapat dipisahkan kepercayaan dari tindakan, seperti sholat dan beramal.
d.      Percaya bahwa Al-Qur`an itu bukan ciptaan manusia.
e.       Kepercayaan yang nyata terhadap Al-Qur`an dan Hadits.
f.       Percaya akan takdir.
g.      Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar.
h.      Mendirikan Negara Islam berdasarkan hukum Islam secara sempurna.
1.      Kerangka Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Pola (kerangka) pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab terhadap al-Qur’an dan sunah menyatakan bahwa wibawa keduanya mutlak. Adapun akal hanya berfungsi sebagai instrument atau alat untuk memahami maksud-maksud nas. Inilah yang disebut sebagi Pola Puritanis atau Salafiyah.
Paham Wahabi hingga kini menjadi mazhab resmi Kerajaan Saudi Arabia yang berpusat di Riyad. Pengaruh gerakan Wahabi ini tidak terbatas di Jazirah Arab saja, tetapi sampai ke penjuru negeri Islam, seperti:
a.       Di Nigeria dan Sudan disebarluaskan Syaikh usman dan Fodio
b.      Di Aljazair dan Libia disebarluaskan Imam Sanusi
c.       Di Mesir disebarluaskan Syaikh Muhammad Abduh
d.      Di Oman disebarluaskan gerakan Biyadiyyah
e.       Di India disebarluaskan Sayyid Ahmad dengan gerakan Mujahidin
f.       Di Minangkabau disebarluaskan H. Miskin, H. Piabang, dan H. Sumanik dengan gerakan paderinya.
2.      Pemikiran Kalam Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Pokok-pokok pemikiran Muhammad Abdul Wahab yaitu:
a.       Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
b.      Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik
c.       Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa dikatakan sebagai syirik
d.      Meminta syafaat selain kepada Allah adalah perbuatan syrik
e.       Bernazar kepada selain Allah merupakan sirik
f.       Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
g.      Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
h.      Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas termasuk kekufuran.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut:
a.       Hanya Al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam
b.      Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
c.       Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.
B.     Gerakan Wahhabi
Wahabi (Wahhaby) sebutan bagi orang yang mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahhab, sedangkan pahamnya disebut Wahabiyah (Wahhabiyyah) atau Wahabisme. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab sendiri lebih memilih sebutan ”Al-Muwahhidun”, artinya orang-orang mengikuti Tauhid (Keyakinan kepada Allah Yang Maha Esa) yang menjadi landasan dan orientasi utama ajaran Islam. Menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aqli, pengikut Wahhabiyah ini lebih suka dan mengidentifikasikan dirinya dalam predikat Islamiyyah La Wahhabiyyah, pengikut ajaran Islam dan bukan Wahabiyah.
Wahhab berkomitmen kuat untuk menegakkan tauhid yang diyakini dan dipahaminya sebagai murni sebagaimana aqidah “As-Salaf As-Shalih”,  sekaligus memberantas praktik syirk dan bid’ah di kalangan umat Islam di Jazirah Arab kala itu yang dipandang bertentangan dengan ajaran tauhid. Sebutan ”Wahhabi” bagi pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab  dan ”Wahabisme” atau ”Wahhabiyah” untuk gerakannya, jauh lebih populer dari gerakan Islam ini, yang sering disamakan dengan  gerakan Salafiyah atau Fundamentalisme Islam yang militan di abad modern (Obert, 1997).  Wahabiyah secara khusus dilekatkan dengan dan mengatasnamakan gerakan Salaf, yakni orientasi keagamaan yang ingin kembali ke masa Nabi dan tiga generasi sesudahnya, yang dipandang mempraktikkan Islam yang murni. Gerakan ini memiliki pengaruh yang luas  untuk memurnikan tauhid umat Islam, menghilangkan segala perbuatan bid’ah, serta menghancurkan paham-paham yang banyak dianut oleh kaum Muslimin (Al-Hafni, 1999).
Wahabiah adalah suatu gerakan (revolusi) akidah murni yang sama sekali jauh dari unsur politik yang digerakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Najed dengan bantuan keluarga Amir Sa’ud, pendiri kerajaan Arab Saudi sekarang. Karena revolusi itu digerakkan oleh Ibnu Abdul Wahab, maka dinamailah Wahabi. Sejak Revolusi Wahabi (1143 H) sampai saat ini nama Wahabi ialah semata-mata untuk memperbaiki akidah umat Islam yang telah kotor oleh pelbagai bid’ah, khurafat (takhayul). Atau dengan kata lain untuk memurnikan kembali akidah ahlus sunnah waljama’ah, menurut Mazhab Salfiah, seperti yang dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal (169-241 H) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H). untuk mencapai tujuan tersebut, maka digerakkanlah suatu revolusi yang kemudian dikenal Revolusi Wahabi (1143-1205 H).
Apabila waktu salat lima waktu tiba, semua jamaah menunaikan salat di bawah komando seorang imam. Padahal berates-ratus tahun sebelumnya di Masjidil Haram itu masing-masing mazhab sembahyang dengan imam sendiri-sendiri. Karena mereka menganggap tidak sah beriman kepada orang yang berbeda mazhab. Yang bermazhab Syafi’I hanya boleh mengikuti imam yang bermazhab Syari’I pula. Juga dengan mazhab yang lainnya. Tadinya di Masjidil Haram diadakan empat kali azan dalam satu waktu, yaitu masing-masing di makam Hanafi, Makam Maliki, Makam Syafi’I, dan makam Hambali, sesuai dengan pengikut mazhab Islam yang empat. Oleh Wahabi azan empat kali dihilangkannya dalam satu waktu dan digantikannya denga sekali azan saja untuk semua, sebagaimana seorang imam saja utnuk diikuti oleh semuanya.
Tidak sampai di batas itu saja kiprah kaum Wahabi dalam pembenahan Islam. Hampir semua aspek keislaman menjadi perhatian mereka, terutama sekali dalam hal akidah, lalu syari’ah, dan muamalah. Sangat kita sesalkan bahwa sekarang masih ada umat Islam yang masih menganggap Wahabi sebagai golongan khawarij (ahli bid’ah). Padahal, justru merekalah yang menumpas kaum khawarij Najed sampai ke akar-akarnya.
Paham dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahab di bidang akidah dan syariah adalah sebagai berikut:
a.    Tauhid adalah pemahaman tentang ketuhanan yang penting memadai sebagai jalan yang mampu memurnikan akidah Islam yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya.
b.    Tidak ada perkataan seorang pun yang patut dijadikan dalil agama Islam, melaikan firman Allah dan sunah Rasulullah saw.
c.    Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
d.   Pintu ijtihad terbuka sepanjang masa dan tidak pernah terputus.
e.    Syirik dalam segala bentuk, khurafat dan takhayul harus dikikis habis.
f.     Ia menhendaki system pendidikan diubah dengan system dinamis dan kreatif.
C.    Pemurnian atau Pembaharuan
a.      Gerakan Pemurnian
Gerakan Wahabiyah atau predikat apapun  yang dinisbahkan pada gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab ini, sebenarnya gerakan ini pada dasarnya merupakan “gerakan pemurnian Islam” (al-Harakah al-Tandhifiyah al-Islamiyyah), hanya sebagai satu sisi atau bagian dari Islam secara keseluruhan. Jargon gerakannya sebagaimana tema gerakan-gerakan pemurnian Islam ialah “at-Tandhif al-Aqidah al-Islamiyyah”, pemurnian akidah Islam. Pemunrian Islam atau pemurnian aqidah yang diusung, merujuk pada aqidah “al-Salaf al-Shalih” sebagaimana dipelopori oleh mazhab Hanbali dan Ibn Taimiyyah yang menjadi kiblat pemikiran keagamaan Muhammad bin Abdil Wahhab serta gerakan-gerakan pemurnian Islam lain di banyak belahan dunia Islam kala itu dan sesudahnya.
Gerakan Wahabi juga secara tegas dan keras menolak sinkretisme kaum sufis dan tradisional yang membawa pada praktik agama yang bersifat syirk atau politeistik, seraya menggelorakan gerakan menegakkan tauhid atau monoteisme yang membawa semangat transendensi Tuhan. Demikian kerasnya hingga gerakan Abd al-Wahhab memasukkan golongan muslim yang terlibat keyakinan dan praktik keagamaan yang menempuh jalan sufi yang menjurus ke syirk sebagai kafir dan boleh dibunuh karena meninggalkan ajaran Islam. 
Gerakan  Wahhab menjadi kekuatan yang militan secara politik setelah dirinya bergabung dengan pemimpin lokal Saudi yang bernama Muhammad Ibn Saud dari Dar’iyah, yang kemudian melahirkan kekuasaan baru di Semenanjung Arab Saudi. Kerjasama Wahhab dan Suud memadukan militansi agama dan kekuatan militer yang meluas di jazirah Arab dan akhirnya membentuk  dan menjadi peletak dasar bagi pemerintahan baru Kerajaan Islam Saudi Arabia yang bercorak Wahabiyah. Sejak itu gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Wahhab memperoleh dukungan politik yang kuat dan luas dari Muhammad ibn Sau’d dan penerusnya Aiz ibn Sa’ud. Gerakan ini bukan hanya menegakkan tauhid murni sebagaimana diyakini dan dipahaminya, sekaligus melakukan pemberantasan terhadap praktik syirk dan bid’ah, bahkan disertai gerakan penghancuran terhadap tempat-tempat yang dikeramatkan oleh sebagian umat Islam kala itu.
Dengan gerakan menegakkan tauhid yang murni sebagai prinsip akidah monoteisme absolut yang menjadi doktrin utamanya, Wahabiyah melakukan penghancuran atas kuburan-kuburan dan benda-benda yang keramat yang ”diberhalakan” sebagai ikhtiar untuk mencegah umat Islam terjerumus ke jalan kemusyrikan dengan radikal ke semua jazirah yang menjadi area pengaruhnya. Bukan hanya di Makkah dan Madinah yang menjadi pusat kekuasaan Islam kala itu, Wahabiyah melakukan gerakan penghancuran benda-benda dan kuburan-kuburan yang dikeramatkan, bahkan hingga ke wilayah Irak di Karbala, sehingga menimbulkan konflik dengan kalangan Syi’ah (Esposito, 2003). Karena karakternya yang keras inilah, Wahhabi dikenal sebagai gerakan Islam yang lebih radikal dan tidak kenal kompromi terhadap ajaran-ajaran yang dipandang tidak Islami  (Jainuri, 2002).
Gerakan penghancuran tempat-tempat keramat seperti kuburan, dilakukan oleh Wahhab setelah terbentuk kekuasaan bersama Muhammad bin Sa’ud, terutama setelah berganti ke Aziz bin Muhammad Sa’ud. Aziz ibn Sa’ud pada tahun 1802 menyerang kota Karbala di Iraq, tempat kuburan Hussein bin Ali, dan menurut catatan sejarawan Tamim Ansari membunuh sekitar duaribu penduduk Syi’ah setempat. Pada tahun 1804, pasukan Aziz Sa’ud menaklukan Madinah dan juga menghancurkan kuburan para Sahabat Nabi Muhammad. Tahun 1811 aliansi Aziz-Wahabi memperluas kekuasaan hingga ke Turki dan Asia kecil. Namun gerakannya terhenti dan dipukul mundur oleh pasukan Turki Usmani. Di bawah pasukan Muhammad Ali, kemudian Aiz bin Sa’ud ditangkap dan dibawa ke Istanbul, yang kemudian dibunuh di ibukota kekuasaan Turki ini. Sebagaimana ayahnya Muhammad bin Sa’ud yang juga dibunuh tahun 1792, Azis Sa’ud terbunuh pula, yang menandai berakhirnya generasi awal peletak dasar Kerajaan Arab Saudi secara tragis, tetapi dinasti dan kekuasaan Saudiyah berlangsung hingga saat ini, yang juga bercorak paham Wahabi.
Bagi pengikut Wahabiyah sendiri, gerakan pemurnian Islam merupakan jalan lurus yang diyakini sebagai wujud menegakkan tauhid yang murni dan membersihkannya dari praktik-praktik syirk dan bid’ah yang menodainya. Abdurrahman Ar-Ruwaisyidi sebagaimana dikutip Nashir Al-Aqli melakukan pembelaan terhadap ajaran Wahhabiyah sebagai berikut: ”Wahhabiyah bukan merupakan agama baru atau mazhab yang diada-adakan seperti isu yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak simpati kepadanya. Akan tetapi, Wahhabiyah adalah hasil perjuangan murni yang menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam sejati yang bersumber dari tasyri’ yang murni dan mengajak kepada  gerakan pembersihan total terhadap segala bentuk kemusyrikan, bid’ah, penyimpangan, serta kesesatan yang dapat menodai kesucian iman, merusak agama, dan menjauhkan kesetiaan  kaum muslimin terhadap nilai-nilai ajarannya, baik dari segi keyakinan maupun perilaku” (Al-Aqli, hal. 4).
Menurut Stoddard gerakan Wahabi atau Wahabiyah merupakan fenomena kebangkitan Islam awal abad ke-20 yang dinisbahkan pada gerakan pembaruan yang bercorak revivalisme Islam di Saudi Arabia, yakni pembaruan Islam dalam corak yang lebih kaku untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dari dalam, yang melahirkan kebangkitan dunia Islam. Wahabiyah memiliki watak dan orientasi keagaman yang puritan-konservatif dan cenderung keras dalam memberantas apa yang disebut dengan praktik keagamaan  syirk dan bid’ah. Revivalisme Islam (al-Sahwa al-Islamyyah / al-Baats al-Islamiyyah) merupakan gerakan kebangkitan kembali Islam. Pada umumnya istilah ”kebangkitan Islam” dipergunakan untuk semua gerakan yang bertujuan memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat Islam. Dalam pemikiran Ibn Taimiyah gerakan seperti ini dinamakan ”muhyi atsari Salaf”, yakni membangkitkan kembali ajaran-ajaran Islam generasi awal. Gerakan ini ingin mengembalikan umat Islam pada ajaran yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul yang murni, menentang praktik-praktik kemusyrikan dan bid’ah, dan mempraktikkan ijtihad, sehingga disebut pula sebagai Gerakan Salaf (Stoddard, 1966).
Secara normatif atau di atas kertas gerakan pemurnian Islam atau pemurniah aqidah  sesungguhnya tidak ada masalah, lebih-lebih dengan semangat untuk kembali pada ajaran murni Al-Quran dan As-Sunnah, al-Ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah. Demikian pula tidak ada yang salah dengan dakwah Salafiyah yang didukung kekuatan politik seperti aliansi Wahhab-Sa’ud pada masa pergerakan Islam di Semenjung Arab abad XII Hijriyah itu.  Masalahnya tinggal bagaimana penafsiran tentang paham dan praktik Aqidah Islam yang murni atau Aqidah Salaf itu dikonstruksikan oleh setiap orang atau gerakan, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan di setiap kurun waktu dan tempat, inilah yang biasanya menimbulkan keragaman dalam menampilkan gerakan pemurnian Islam. Keyakinan, paham, dan praktik Islam murni atau lebih khusus lagi aqidah yang murni sering berbeda satu sama lain di antara orang Islam atau golongan Islam di sepanjang tempat dan zaman. Sehingga persoalan ini menyisakan agenda berikutnya, apakah konstruksi Islam murni atau aqidah murni dari sesorang atau sekelompok orang itu representatif dengan keyakinan seluruh umat Islam dan autentisitas ajaran Islam itu sendiri? Islam murni ketika masuk dalam pandangan orang atau kelompok orang Islam yang mengkonstruksikan atau menafsirkannya tentu tidak identik dengan Islam itu sendiri, selalu ada reduksi, bias, dan penafsiran yang tidak sama dan sebangun.
Persoalan berikutnya tentang tema pemurnian ajaran Islam. Apakah pemurnian merupakan esensi satu-satunya dari dimensi keyakinan, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam? Termasuk ketika pemurnian diidentikkan dengan tajdid fi al-Islam sebagaimana pandangan umum yang mewarnai gerakan-gerakan untuk “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah”. Tarjih Muhammadiyah sejak tahun 2000 misalnya, mengoreksi penyempitan makna tajdid atau gerakan untuk kembali kepada ajaran Islam yang autentik itu dengan menambahkan dimensi “dinamisasi” atau pembaruan dalam arti luas, sehingga tajdid bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan gerakan tajdid. Lebih dari itu, tentu Islam sebagai ajaran melampau segala penyempitan dan reduksi tafsir, sehingga dimensi Islam pun dipahami bukan sekadar aspek aqidah tetapi juga ibadah, akhlaq, dan mu’amalat-dunyawiyah; yang semuanya ialah Islam. Islam dalam pandangan Tarjih Muhammadiyah bahkan bukan sekadar mengandung perintah-perintah (al-awamir) dan larangan-larangan (al-nawahi), tetapi juga petunjuk-petunjuk (al-irsyadat) bagi kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat; yang menunjukkan keluasan kandungan Islam yang sama sekali tidak cukup memadai manakala hanya dikonstruksi dengan satu aspek, satu esensi, dan satu model tafsir.
Selain itu, sikap dan tindakan-tindakan keras yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud atau penerusnya Azis bin Muhammad bin Sa’ud seperti melakukan pengancuran terhadap kuburan-kuburan yang dikeramatkan, juga kekerasan yang menimbulkan terbunuhnya sesama muslim, jelas tidak dapat dipindah dan diterapkan dalam masyarakat yang berbeda dan ditiru oleh gerakan-gerakan Islam lain. Masalah ini penting agar tidak terjadi pembenaran atas segala tindakan kekerasan atasnama Wahhabi apalagi atasnama Islam yang mengedepankan perdamaian dan cara-cara dakwah bil-hikmah. Jika hal itu terjadi maka berarti terdapat absolutisasi paham dan pengamalan ajaran Islam yang tidak memahami situasi dan konteks zaman, maupun substansi dan pesan Islam yang lebih luas.
Akhirnya, sebagai catatan perlu dikemukakan bawa Wahabiyah maupun gerakan Islam lainnya lahir dalam argumentasi teks dan konteksnya sendiri, yang belum tentu sama dan sebangun dengan pandangan Islam secara keseluruhan, sekaligus tidak sama pula dengan  wilayah sosiologis praktik pengamalan Islam belahan dunia Muslim yang lain. Tidak ada tafsir dan gerakan Islam yang sepenuhnya ideal, selalu terkena hukum relativitas. Kelompok moderat sekalipun, termasuk yang akomodasi terhadap budaya lokal, jangan mengklaim diri sebagai wujud kesempurnaan Islam, lebih-lebih ketika mengawetkan bentuk-bentuk tradisionalisme yang berlawanan dengan prinsip utama tauhid dan menyandera spirit kemajuan Islam. Tidak ada aktualisasi Islam yang sempurna di muka bumi ini, yang paling penting berusaha untuk menampilkan kedalaman dan keluasan ajaran Islam di sepanjang zaman. Kesempurnaan dan keluasan ajaran Islam meniscayakan perwujudan yang konsisten disertai perangkat-perangkat spiritual, intelektual, institusional, dan infrastuktur yang sepadan sehingga Islam tampil sebagai din al-hadharah (agama peradaban, agama kemajuan).
Mungkin Wahabiyah di Saudi Arabia ketika berdiri memang berhadapan dengan realitas sosiologis paganisme yang angkuh dan meluas, sehingga manakala tidak disikapi dengan sikap puritan akan melahirkan praktik-praktik syirk, bid’ah, dan khurafat yang masif dan pada akhirnya mematikan spirit utama tauhid. Namun sudah barang tentu Wahabiah juga tidak harus direproduksi dalam konteks zaman dan tempat yang keadaannya jauh berbeda, lebih-lebih ketika Islam dan umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini memiliki agenda dan tantangan strategis yang jauh lebih kompleks ketimbang di masa lampau.  Diperlukan pemahaman Islam yang lebih mendalam dan luas, sekaligus mendakwahkannya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sebagai agama pembawa misi rahmatan lil-‘alamin.
Penting untuk dicatat bahwa setiap gerakan Islam dalam bentuk perwujudan yang beragam memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri, baik yang berdimensi peneguhan atau pemurnian maupun pembaruan.  Karenanya jangan sampai melakukan absolutisasi paham dan gerakan Islam,  lebih-lebih untuk suatu paham dan gerakan yang bersifat bias atau reduksi Islam. Selain itu diperlukan kritik dan penyempurnaan yang terus-menerus sesuai dengan kedalaman dan keluasan dimenasi ajaran Islam serta kompleksitas sosio-histroris yang dihadapi umat Islam di tengah-tengah kehidupan yang penuh tantangan. Setiap reduksi, penyederhanaan, taklid, tafsir, dan pelanggengan status-quo pandangan keislaman yang tidak sejalan dengan misi utama, kedalaman esensial,  dan keluasan ajaran Islam maka pada akhirnya hanya akan melahirkan jalan sempit bagi perjalanan Islam dan peradaban umat Islam, yang justru dapat melahirkan kondisi Islam sebagai “al-Ghuraba” sebagaimana prediksi Nabi tentang nasib Islam dan umat Islam yang terasing di masa depan.  Wallahu ‘alam bi-shawwab.
b.      Gerakan Pemberharuan
Muhammad bin Abdul Wahab diasuh dalam lingkungan penganut Mazhab Hambali, suatu aliran yang menganut paham salafiah. Aliran salafiah adalah aliran yang menggunakan sikap, paham, dan amalan-amalan ulama-ulama salaf (sahabat-sahabat Nabi saw yang saleh dan tabiin) sebagai ukuran (atau dasar orientasi) dalam menilai murni dan tidaknya pengalaman-pengalaman ajaran agama. Dalam menggunakan ukuran paham dan pengamalan ulama-ulama salaf ini, Imam Ahmad bin Hambal merupakan tokoh yang paling gigih dalam mempertahankan kesederhanaan dan pemurnian pengamalan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang tauhid. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ia adalah wakil yang paling tegas dari ahli-hali sunah dalam mempertahankan kemurnian akidah.
Melihat gerakan dakwahnya yang sangat keras dalam membumikan kembali ajaran-ajaran Islam yang bersih dari syikir dan bid’ah, seorang amir hari al-Hasan yang mengusai Uayainah segara memerintahkan kepada amir Uyainah untuk membunuh Muhammad bin Abdul Wahab. Akan tetapi, amir Uyainah tersebut akhirnya memilih jalan tengah, yaitu dengan diam-diam memerintahkan Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke Dar’iyah. Negeri ini agaknya tertarik terhadap ajaran-ajarannya. Di Dar’iyah inilah usaha Muhammad bin Abdul Wahab menunjukkan keberhasilannya secara baik. Usaha pemberharuan Muhammad bin Abdul Wahab adalah suatu upaya untuk mengembalikan kehidupan umat sesuai dengan kehidupan Nabi saw, dan sahabat-sahabatnya yang saleh. Mereka harus taat dan patuh melakukan perintah-perintah dan hukum-hukum al-Qur’an dan sunah Nabi saw. Segala bentuk kesyirikan dan bid’ah serta penambahan dari bentuk Islam pada masa Nabi saw diberantas.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsep dari pemikiran dari Muhammad bi Abdul Wahab adalah tentang ketuhanan yang lebih menyerukan kepada tauhid umat Islam dan pemberharuan Muhammad bin Abdul Wahab adalah suatu upaya untuk mengembalikan kehidupan umat sesuai dengan kehidupan Nabi saw, dan sahabat-sahabatnya yang saleh.
Berhadapan dengan suatu peradaban yang dianggap maju, seorang muslim akan dihadapkan dengan beberapa pilihan. Ia bisa tetap kokoh menjaga khazanah warisan yang ia peroleh dari peradabannya sendiri. Pada kesempatan yang sama ia juga kehilangan sikap kritis dan bahkan menjadi corong dari peradaban yang ia anggap maju tersebut.
Dalam memperbincangkan makna agama, din, dan religi Wahhabi cenderung menganggap sinonim ketiga term tersebut. Makna satu term bahkan bisa diperlakukan sama dan inheren bagi term yang berbeda. Gagasan yang cenderung simplistik ini tentu memiliki konsekuensi logis bagi pemikiran derivatif lainnya terutama dalam memandang agama dan aspek-aspek yang ada di seputarnya.
Akhirnya penyederhaan yang sama juga terjadi saat membicarakann tentang klasifikasi dan tujuan hidup beragama. Nampaknya upaya-upaya simplifikasi yang dilakukan oleh Wahhabi ini bukan ditujukan untuk menyampaikan suatu risalah yang bersifat ringkas.











DAFTAR PUSTAKA

Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Bandung: Mizan Publika, 2010, hlm. 196-197
Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Din Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas, dalam Jurnal Islamia Thn I No. 3/ September-November 2004,
Haedar Nashir. “Anatomi Gerakan Wahabiyah”. http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/05/08/anatomi-gerakan-wahabiyah/. Diakses pada 28 september 2018. 13:00
Zafirint. “Tentang Pemikiran Muhammad Bin ʿAbd Al-Wahhāb”. November 2014. https://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-muhammad-bin-%CA%BFabd-al-wahhab/. Diakses pada 28 september 2018. 10:30
Mansur Mangasing. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=153769&val=5919&title=MUHAMMAD%20IBN%20%C3%A2%E2%82%AC%CB%9CABD%20AL-WAHH%C3%83%E2%80%9AB%20%20DAN%20%20GERAKAN%20WAHABI




No comments:

Post a Comment