MAKALAH PMDI (MUHAMMAD IBN ABD AL WAHHAB DAN GERAKAN WAHHABIYAH)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammad bin
Abdul Wahab lahir di Uyainah, daerah Najed pada tahun 1115 H dan wafat pada
tahun 1206 H. Negeri tempat kelahirannya adalah sebuah daerah terpencil di
pedalaman Arab Saudi. Daerah ini tandus dan tidak banyak diperhatikan orang
sebelum timbulnya gerakan pemberharuan yang dipelopori Muhammad bin Abdul
Wahab. Meskipun daerah ini secara resmi merupkan daerah jajahan turki, tetapi
pemerintahan turki tidak begitu memerhatikan daerah ini. Karena tidak begitu
mempunyai wakil pemerintahan yang efektif, kabilah-kabilah Arab yang mendiami
daerah ini tersebut tetap sebagai kelompok-kelompok yang bebas. Mereka di bawah
bimbingan berbagai kepala suku (amir-amir) mereka. Pada masa itu, kebesaran dan
kekuasaan kerajaan Turki Usmani mulai merosot dan rapuh.
Muhammad bin
Abdul Wahab dibesarkan dan didik ayahnya sendiri. Ayahnya seorah fakih (ahli
fikih) dan kadi (hakim) di negeri yang bermazhab Hambali, suatu aliran yang
menjadi rujukan penduduk Najed pada umumnya.
Di dalam buku sirah
al-Imam asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab oleh Amin Sa’id disebutkan
bahwa ayah Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ulama besar pada masanya.
Selain itu, datuknya yang bernama Sulaiman Ali adalah ulama terkemuka di Najed.
Ia menjadi nara sumber bagi ulama-ulama di daerah Najed dalam berbagai
kesulitan yang mereka hadapi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apasajakah yang tertera dalam Pemikiran Muhammad Ibn Abd Al Wahhab?
2.
Bagaimanakah proses Gerakan Wahhabi?
3.
Bagaimanakah proses Pemurnian atau Pembaharuan dalam Pemikiran Muhammad Ibn
Abd Al Wahhab dan pergerakannya?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah Pemikiran- Pemikiran pada masa Muhammad Ibn Abd Al
Wahhab.
2.
Untuk mengidentifikasi bagaimanakan proses Gerakan Wahhabi.
3.
Untuk mengetahui bagaimanakah proses terjadinya Pemurnian atau Pembaharuan
pada masa Wahhabi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M)
adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah
menjabat sebagai mufti Daulah
Su’udiyyah yang kemudian
berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid
bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang
berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para
pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena
pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad,
bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri
mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.
Pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahhab didasarkan atas ajaran-ajaran Syekhul Islam, Ibnu
Taimiyah dan mazhab Hambali. Prinsip-prinsip dasar ajaran tersebut adalah:
a.
Ketuhanan Yang
Esa dan mutlak (karena itu penganutnya menyebut dirinya dengan nama al-Muwahhidun).
b.
Kembali pada
ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Al-Qur`an dan Hadits.
c.
Tidak dapat
dipisahkan kepercayaan dari tindakan, seperti sholat dan beramal.
d.
Percaya bahwa
Al-Qur`an itu bukan ciptaan manusia.
e.
Kepercayaan
yang nyata terhadap Al-Qur`an dan Hadits.
f.
Percaya akan
takdir.
g.
Mengutuk
segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar.
h.
Mendirikan
Negara Islam berdasarkan hukum Islam secara sempurna.
1.
Kerangka
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Pola (kerangka)
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab terhadap al-Qur’an dan sunah menyatakan
bahwa wibawa keduanya mutlak. Adapun akal hanya berfungsi sebagai instrument
atau alat untuk memahami maksud-maksud nas. Inilah yang disebut sebagi Pola
Puritanis atau Salafiyah.
Paham Wahabi
hingga kini menjadi mazhab resmi Kerajaan Saudi Arabia yang berpusat di Riyad.
Pengaruh gerakan Wahabi ini tidak terbatas di Jazirah Arab saja, tetapi sampai
ke penjuru negeri Islam, seperti:
a.
Di Nigeria dan
Sudan disebarluaskan Syaikh usman dan Fodio
b.
Di Aljazair dan
Libia disebarluaskan Imam Sanusi
c.
Di Mesir
disebarluaskan Syaikh Muhammad Abduh
d.
Di Oman
disebarluaskan gerakan Biyadiyyah
e.
Di India
disebarluaskan Sayyid Ahmad dengan gerakan Mujahidin
f.
Di Minangkabau
disebarluaskan H. Miskin, H. Piabang, dan H. Sumanik dengan gerakan paderinya.
2.
Pemikiran Kalam
Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang
paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad
Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Pokok-pokok pemikiran
Muhammad Abdul Wahab yaitu:
a.
Yang harus
disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah
dinyatakan sebagai musyrik
b. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut
paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada
Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang
berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik
c. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai
pengantar dalam doa dikatakan sebagai syirik
d. Meminta syafaat selain kepada Allah adalah
perbuatan syrik
e. Bernazar kepada selain Allah merupakan sirik
f. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an,
hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
g. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah
merupakan kekufuran
h. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau
interpretasi bebas termasuk kekufuran.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang
mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah
sebagai berikut:
a.
Hanya Al-Quran
dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam
b. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
c. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak
tertutup
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat
julukan rajul ad-da’wah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang
terdepan dalam pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur
Jazirah dan sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.
B.
Gerakan Wahhabi
Wahabi (Wahhaby)
sebutan bagi orang yang mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahhab, sedangkan
pahamnya disebut Wahabiyah (Wahhabiyyah) atau Wahabisme. Para
pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab sendiri lebih memilih sebutan
”Al-Muwahhidun”, artinya orang-orang mengikuti Tauhid (Keyakinan kepada Allah
Yang Maha Esa) yang menjadi landasan dan orientasi utama ajaran Islam. Menurut
Nashir bin Abdul Karim Al-Aqli, pengikut Wahhabiyah ini lebih suka dan
mengidentifikasikan dirinya dalam predikat Islamiyyah La Wahhabiyyah, pengikut
ajaran Islam dan bukan Wahabiyah.
Wahhab berkomitmen kuat untuk menegakkan tauhid yang diyakini dan
dipahaminya sebagai murni sebagaimana aqidah “As-Salaf As-Shalih”,
sekaligus memberantas praktik syirk dan bid’ah di kalangan umat Islam di
Jazirah Arab kala itu yang dipandang bertentangan dengan ajaran tauhid. Sebutan
”Wahhabi” bagi pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab dan ”Wahabisme” atau
”Wahhabiyah” untuk gerakannya, jauh lebih populer dari gerakan Islam ini, yang
sering disamakan dengan gerakan Salafiyah atau Fundamentalisme Islam yang
militan di abad modern (Obert, 1997). Wahabiyah
secara khusus dilekatkan dengan dan mengatasnamakan gerakan Salaf, yakni
orientasi keagamaan yang ingin kembali ke masa Nabi dan tiga generasi
sesudahnya, yang dipandang mempraktikkan Islam yang murni. Gerakan ini memiliki
pengaruh yang luas untuk memurnikan tauhid umat Islam, menghilangkan
segala perbuatan bid’ah, serta menghancurkan paham-paham yang banyak dianut
oleh kaum Muslimin (Al-Hafni, 1999).
Wahabiah adalah
suatu gerakan (revolusi) akidah murni yang sama sekali jauh dari unsur politik
yang digerakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Najed dengan bantuan
keluarga Amir Sa’ud, pendiri kerajaan Arab Saudi sekarang. Karena revolusi itu
digerakkan oleh Ibnu Abdul Wahab, maka dinamailah Wahabi. Sejak Revolusi
Wahabi (1143 H) sampai saat ini nama Wahabi ialah semata-mata untuk memperbaiki
akidah umat Islam yang telah kotor oleh pelbagai bid’ah, khurafat (takhayul).
Atau dengan kata lain untuk memurnikan kembali akidah ahlus sunnah waljama’ah,
menurut Mazhab Salfiah, seperti yang dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal
(169-241 H) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H). untuk mencapai tujuan tersebut, maka
digerakkanlah suatu revolusi yang kemudian dikenal Revolusi Wahabi (1143-1205
H).
Apabila waktu
salat lima waktu tiba, semua jamaah menunaikan salat di bawah komando seorang
imam. Padahal berates-ratus tahun sebelumnya di Masjidil Haram itu
masing-masing mazhab sembahyang dengan imam sendiri-sendiri. Karena mereka
menganggap tidak sah beriman kepada orang yang berbeda mazhab. Yang bermazhab
Syafi’I hanya boleh mengikuti imam yang bermazhab Syari’I pula. Juga dengan
mazhab yang lainnya. Tadinya di Masjidil Haram diadakan empat kali azan dalam
satu waktu, yaitu masing-masing di makam Hanafi, Makam Maliki, Makam Syafi’I,
dan makam Hambali, sesuai dengan pengikut mazhab Islam yang empat. Oleh Wahabi
azan empat kali dihilangkannya dalam satu waktu dan digantikannya denga sekali
azan saja untuk semua, sebagaimana seorang imam saja utnuk diikuti oleh
semuanya.
Tidak sampai di
batas itu saja kiprah kaum Wahabi dalam pembenahan Islam. Hampir semua aspek
keislaman menjadi perhatian mereka, terutama sekali dalam hal akidah, lalu
syari’ah, dan muamalah. Sangat kita sesalkan bahwa sekarang masih ada umat
Islam yang masih menganggap Wahabi sebagai golongan khawarij (ahli bid’ah).
Padahal, justru merekalah yang menumpas kaum khawarij Najed sampai ke
akar-akarnya.
Paham dan
gerakan Muhammad bin Abdul Wahab di bidang akidah dan syariah adalah sebagai
berikut:
a. Tauhid adalah pemahaman
tentang ketuhanan yang penting memadai sebagai jalan yang mampu memurnikan
akidah Islam yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya.
b. Tidak ada perkataan
seorang pun yang patut dijadikan dalil agama Islam, melaikan firman Allah dan
sunah Rasulullah saw.
c. Taklid kepada ulama tidak
dibenarkan.
d. Pintu ijtihad terbuka sepanjang
masa dan tidak pernah terputus.
e. Syirik dalam segala
bentuk, khurafat dan takhayul harus dikikis habis.
f. Ia menhendaki system
pendidikan diubah dengan system dinamis dan kreatif.
C.
Pemurnian atau
Pembaharuan
a. Gerakan
Pemurnian
Gerakan Wahabiyah atau predikat apapun yang dinisbahkan pada
gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab ini, sebenarnya gerakan ini pada dasarnya
merupakan “gerakan pemurnian Islam” (al-Harakah al-Tandhifiyah al-Islamiyyah),
hanya sebagai satu sisi atau bagian dari Islam secara keseluruhan. Jargon
gerakannya sebagaimana tema gerakan-gerakan pemurnian Islam ialah “at-Tandhif
al-Aqidah al-Islamiyyah”, pemurnian akidah Islam. Pemunrian Islam atau
pemurnian aqidah yang diusung, merujuk pada aqidah “al-Salaf al-Shalih”
sebagaimana dipelopori oleh mazhab Hanbali dan Ibn Taimiyyah yang menjadi
kiblat pemikiran keagamaan Muhammad bin Abdil Wahhab serta gerakan-gerakan
pemurnian Islam lain di banyak belahan dunia Islam kala itu dan sesudahnya.
Gerakan Wahabi juga secara tegas dan keras menolak sinkretisme kaum
sufis dan tradisional yang membawa pada praktik agama yang bersifat syirk atau
politeistik, seraya menggelorakan gerakan menegakkan tauhid atau monoteisme
yang membawa semangat transendensi Tuhan. Demikian kerasnya hingga gerakan Abd
al-Wahhab memasukkan golongan muslim yang terlibat keyakinan dan praktik
keagamaan yang menempuh jalan sufi yang menjurus ke syirk sebagai kafir dan
boleh dibunuh karena meninggalkan ajaran Islam.
Gerakan Wahhab menjadi kekuatan yang militan secara politik
setelah dirinya bergabung dengan pemimpin lokal Saudi yang bernama Muhammad Ibn
Saud dari Dar’iyah, yang kemudian melahirkan kekuasaan baru di Semenanjung Arab
Saudi. Kerjasama Wahhab dan Suud memadukan militansi agama dan kekuatan militer
yang meluas di jazirah Arab dan akhirnya membentuk dan menjadi peletak
dasar bagi pemerintahan baru Kerajaan Islam Saudi Arabia yang bercorak
Wahabiyah. Sejak itu gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Wahhab memperoleh
dukungan politik yang kuat dan luas dari Muhammad ibn Sau’d dan penerusnya Aiz
ibn Sa’ud. Gerakan ini bukan hanya menegakkan tauhid murni sebagaimana diyakini
dan dipahaminya, sekaligus melakukan pemberantasan terhadap praktik syirk dan
bid’ah, bahkan disertai gerakan penghancuran terhadap tempat-tempat yang
dikeramatkan oleh sebagian umat Islam kala itu.
Dengan gerakan menegakkan tauhid yang murni sebagai prinsip akidah
monoteisme absolut yang menjadi doktrin utamanya, Wahabiyah melakukan
penghancuran atas kuburan-kuburan dan benda-benda yang keramat yang
”diberhalakan” sebagai ikhtiar untuk mencegah umat Islam terjerumus ke jalan
kemusyrikan dengan radikal ke semua jazirah yang menjadi area pengaruhnya.
Bukan hanya di Makkah dan Madinah yang menjadi pusat kekuasaan Islam kala itu,
Wahabiyah melakukan gerakan penghancuran benda-benda dan kuburan-kuburan yang
dikeramatkan, bahkan hingga ke wilayah Irak di Karbala, sehingga menimbulkan
konflik dengan kalangan Syi’ah (Esposito, 2003). Karena karakternya
yang keras inilah, Wahhabi dikenal sebagai gerakan Islam yang lebih radikal dan
tidak kenal kompromi terhadap ajaran-ajaran yang dipandang tidak Islami (Jainuri,
2002).
Gerakan penghancuran tempat-tempat keramat seperti kuburan,
dilakukan oleh Wahhab setelah terbentuk kekuasaan bersama Muhammad bin Sa’ud,
terutama setelah berganti ke Aziz bin Muhammad Sa’ud. Aziz ibn Sa’ud pada tahun
1802 menyerang kota Karbala di Iraq, tempat kuburan Hussein bin Ali, dan
menurut catatan sejarawan Tamim Ansari membunuh sekitar duaribu penduduk Syi’ah
setempat. Pada tahun 1804, pasukan Aziz Sa’ud menaklukan Madinah dan juga
menghancurkan kuburan para Sahabat Nabi Muhammad. Tahun 1811 aliansi
Aziz-Wahabi memperluas kekuasaan hingga ke Turki dan Asia kecil. Namun
gerakannya terhenti dan dipukul mundur oleh pasukan Turki Usmani. Di bawah
pasukan Muhammad Ali, kemudian Aiz bin Sa’ud ditangkap dan dibawa ke Istanbul,
yang kemudian dibunuh di ibukota kekuasaan Turki ini. Sebagaimana ayahnya
Muhammad bin Sa’ud yang juga dibunuh tahun 1792, Azis Sa’ud terbunuh pula, yang
menandai berakhirnya generasi awal peletak dasar Kerajaan Arab Saudi secara
tragis, tetapi dinasti dan kekuasaan Saudiyah berlangsung hingga saat ini, yang
juga bercorak paham Wahabi.
Bagi pengikut Wahabiyah sendiri, gerakan pemurnian Islam merupakan
jalan lurus yang diyakini sebagai wujud menegakkan tauhid yang murni dan
membersihkannya dari praktik-praktik syirk dan bid’ah yang menodainya.
Abdurrahman Ar-Ruwaisyidi sebagaimana dikutip Nashir Al-Aqli melakukan
pembelaan terhadap ajaran Wahhabiyah sebagai berikut: ”Wahhabiyah
bukan merupakan agama baru atau mazhab yang diada-adakan seperti isu yang
dihembuskan oleh orang-orang yang tidak simpati kepadanya. Akan tetapi, Wahhabiyah
adalah hasil perjuangan murni yang menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam
sejati yang bersumber dari tasyri’ yang murni dan mengajak kepada gerakan
pembersihan total terhadap segala bentuk kemusyrikan, bid’ah, penyimpangan,
serta kesesatan yang dapat menodai kesucian iman, merusak agama, dan menjauhkan
kesetiaan kaum muslimin terhadap nilai-nilai ajarannya, baik dari segi
keyakinan maupun perilaku” (Al-Aqli, hal. 4).
Menurut Stoddard gerakan Wahabi atau Wahabiyah merupakan fenomena
kebangkitan Islam awal abad ke-20 yang dinisbahkan pada gerakan pembaruan yang
bercorak revivalisme Islam di Saudi Arabia, yakni pembaruan Islam dalam corak
yang lebih kaku untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dari dalam, yang
melahirkan kebangkitan dunia Islam. Wahabiyah memiliki watak dan orientasi
keagaman yang puritan-konservatif dan cenderung keras dalam memberantas apa yang
disebut dengan praktik keagamaan syirk dan bid’ah.
Revivalisme Islam (al-Sahwa al-Islamyyah / al-Baats al-Islamiyyah)
merupakan gerakan kebangkitan kembali Islam. Pada umumnya istilah ”kebangkitan
Islam” dipergunakan untuk semua gerakan yang bertujuan memperbaharui cara
berpikir dan cara hidup umat Islam. Dalam pemikiran Ibn Taimiyah gerakan
seperti ini dinamakan ”muhyi atsari Salaf”, yakni membangkitkan kembali
ajaran-ajaran Islam generasi awal. Gerakan ini ingin mengembalikan umat Islam
pada ajaran yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul yang murni, menentang
praktik-praktik kemusyrikan dan bid’ah, dan mempraktikkan ijtihad, sehingga
disebut pula sebagai Gerakan Salaf (Stoddard, 1966).
Secara normatif atau di atas kertas gerakan pemurnian Islam atau
pemurniah aqidah sesungguhnya tidak ada masalah, lebih-lebih dengan
semangat untuk kembali pada ajaran murni Al-Quran dan As-Sunnah, al-Ruju’
ila al-Quran wa al-Sunnah. Demikian pula tidak ada yang salah
dengan dakwah Salafiyah yang didukung kekuatan politik seperti aliansi
Wahhab-Sa’ud pada masa pergerakan Islam di Semenjung Arab abad XII Hijriyah
itu. Masalahnya tinggal bagaimana penafsiran tentang paham dan praktik
Aqidah Islam yang murni atau Aqidah Salaf itu dikonstruksikan oleh setiap orang
atau gerakan, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan di setiap kurun
waktu dan tempat, inilah yang biasanya menimbulkan keragaman dalam menampilkan
gerakan pemurnian Islam. Keyakinan, paham, dan praktik Islam murni atau lebih
khusus lagi aqidah yang murni sering berbeda satu sama lain di antara orang
Islam atau golongan Islam di sepanjang tempat dan zaman. Sehingga persoalan ini
menyisakan agenda berikutnya, apakah konstruksi Islam murni atau aqidah murni
dari sesorang atau sekelompok orang itu representatif dengan keyakinan seluruh
umat Islam dan autentisitas ajaran Islam itu sendiri? Islam murni ketika masuk
dalam pandangan orang atau kelompok orang Islam yang mengkonstruksikan atau
menafsirkannya tentu tidak identik dengan Islam itu sendiri, selalu ada
reduksi, bias, dan penafsiran yang tidak sama dan sebangun.
Persoalan berikutnya tentang tema pemurnian ajaran Islam. Apakah
pemurnian merupakan esensi satu-satunya dari dimensi keyakinan, pemahaman, dan
pengamalan ajaran Islam? Termasuk ketika pemurnian diidentikkan dengan tajdid
fi al-Islam sebagaimana pandangan umum yang mewarnai
gerakan-gerakan untuk “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah”. Tarjih
Muhammadiyah sejak tahun 2000 misalnya, mengoreksi penyempitan makna tajdid
atau gerakan untuk kembali kepada ajaran Islam yang autentik itu dengan
menambahkan dimensi “dinamisasi” atau pembaruan dalam arti luas, sehingga
tajdid bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian
sebagai satu kesatuan gerakan tajdid. Lebih dari itu, tentu Islam sebagai
ajaran melampau segala penyempitan dan reduksi tafsir, sehingga dimensi Islam
pun dipahami bukan sekadar aspek aqidah tetapi juga ibadah, akhlaq, dan
mu’amalat-dunyawiyah; yang semuanya ialah Islam. Islam dalam pandangan Tarjih
Muhammadiyah bahkan bukan sekadar mengandung perintah-perintah (al-awamir)
dan larangan-larangan (al-nawahi), tetapi juga
petunjuk-petunjuk (al-irsyadat) bagi kehidupan umat
manusia di dunia dan akhirat; yang menunjukkan keluasan kandungan Islam yang
sama sekali tidak cukup memadai manakala hanya dikonstruksi dengan satu aspek,
satu esensi, dan satu model tafsir.
Selain itu, sikap dan tindakan-tindakan keras yang dilakukan
Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud atau penerusnya Azis bin
Muhammad bin Sa’ud seperti melakukan pengancuran terhadap kuburan-kuburan yang
dikeramatkan, juga kekerasan yang menimbulkan terbunuhnya sesama muslim, jelas
tidak dapat dipindah dan diterapkan dalam masyarakat yang berbeda dan ditiru
oleh gerakan-gerakan Islam lain. Masalah ini penting agar tidak terjadi
pembenaran atas segala tindakan kekerasan atasnama Wahhabi apalagi atasnama
Islam yang mengedepankan perdamaian dan cara-cara dakwah bil-hikmah. Jika hal
itu terjadi maka berarti terdapat absolutisasi paham dan pengamalan ajaran Islam
yang tidak memahami situasi dan konteks zaman, maupun substansi dan pesan Islam
yang lebih luas.
Akhirnya, sebagai catatan perlu dikemukakan bawa Wahabiyah maupun
gerakan Islam lainnya lahir dalam argumentasi teks dan konteksnya sendiri, yang
belum tentu sama dan sebangun dengan pandangan Islam secara keseluruhan,
sekaligus tidak sama pula dengan wilayah sosiologis praktik pengamalan
Islam belahan dunia Muslim yang lain. Tidak ada tafsir dan gerakan Islam yang
sepenuhnya ideal, selalu terkena hukum relativitas. Kelompok moderat sekalipun,
termasuk yang akomodasi terhadap budaya lokal, jangan mengklaim diri sebagai
wujud kesempurnaan Islam, lebih-lebih ketika mengawetkan bentuk-bentuk
tradisionalisme yang berlawanan dengan prinsip utama tauhid dan menyandera
spirit kemajuan Islam. Tidak ada aktualisasi Islam yang sempurna di muka bumi
ini, yang paling penting berusaha untuk menampilkan kedalaman dan keluasan
ajaran Islam di sepanjang zaman. Kesempurnaan dan keluasan ajaran Islam
meniscayakan perwujudan yang konsisten disertai perangkat-perangkat spiritual,
intelektual, institusional, dan infrastuktur yang sepadan sehingga Islam tampil
sebagai din
al-hadharah (agama peradaban, agama kemajuan).
Mungkin Wahabiyah di Saudi Arabia ketika berdiri memang berhadapan
dengan realitas sosiologis paganisme yang angkuh dan meluas, sehingga manakala
tidak disikapi dengan sikap puritan akan melahirkan praktik-praktik syirk,
bid’ah, dan khurafat yang masif dan pada akhirnya mematikan spirit utama
tauhid. Namun sudah barang tentu Wahabiah juga tidak harus direproduksi dalam
konteks zaman dan tempat yang keadaannya jauh berbeda, lebih-lebih ketika Islam
dan umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini memiliki agenda dan tantangan
strategis yang jauh lebih kompleks ketimbang di masa lampau. Diperlukan
pemahaman Islam yang lebih mendalam dan luas, sekaligus mendakwahkannya sejalan
dengan prinsip-prinsip Islam sebagai agama pembawa misi rahmatan lil-‘alamin.
Penting untuk dicatat bahwa setiap gerakan Islam dalam bentuk
perwujudan yang beragam memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri, baik yang
berdimensi peneguhan atau pemurnian maupun pembaruan. Karenanya jangan
sampai melakukan absolutisasi paham dan gerakan Islam, lebih-lebih untuk
suatu paham dan gerakan yang bersifat bias atau reduksi Islam. Selain itu
diperlukan kritik dan penyempurnaan yang terus-menerus sesuai dengan kedalaman
dan keluasan dimenasi ajaran Islam serta kompleksitas sosio-histroris yang
dihadapi umat Islam di tengah-tengah kehidupan yang penuh tantangan. Setiap
reduksi, penyederhanaan, taklid, tafsir, dan pelanggengan status-quo pandangan
keislaman yang tidak sejalan dengan misi utama, kedalaman esensial, dan
keluasan ajaran Islam maka pada akhirnya hanya akan melahirkan jalan sempit bagi
perjalanan Islam dan peradaban umat Islam, yang justru dapat melahirkan kondisi
Islam sebagai “al-Ghuraba” sebagaimana prediksi Nabi tentang nasib Islam dan
umat Islam yang terasing di masa depan. Wallahu ‘alam bi-shawwab.
b.
Gerakan
Pemberharuan
Muhammad bin Abdul
Wahab diasuh dalam lingkungan penganut Mazhab Hambali, suatu aliran yang
menganut paham salafiah. Aliran salafiah adalah aliran yang menggunakan sikap,
paham, dan amalan-amalan ulama-ulama salaf (sahabat-sahabat Nabi saw yang saleh
dan tabiin) sebagai ukuran (atau dasar orientasi) dalam menilai murni dan
tidaknya pengalaman-pengalaman ajaran agama. Dalam menggunakan ukuran paham dan
pengamalan ulama-ulama salaf ini, Imam Ahmad bin Hambal merupakan tokoh yang
paling gigih dalam mempertahankan kesederhanaan dan pemurnian pengamalan
ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang tauhid. Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa ia adalah wakil yang paling tegas dari ahli-hali sunah dalam
mempertahankan kemurnian akidah.
Melihat gerakan
dakwahnya yang sangat keras dalam membumikan kembali ajaran-ajaran Islam yang
bersih dari syikir dan bid’ah, seorang amir hari al-Hasan yang mengusai
Uayainah segara memerintahkan kepada amir Uyainah untuk membunuh Muhammad bin
Abdul Wahab. Akan tetapi, amir Uyainah tersebut akhirnya memilih jalan tengah,
yaitu dengan diam-diam memerintahkan Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke
Dar’iyah. Negeri ini agaknya tertarik terhadap ajaran-ajarannya. Di Dar’iyah
inilah usaha Muhammad bin Abdul Wahab menunjukkan keberhasilannya secara baik. Usaha
pemberharuan Muhammad bin Abdul Wahab adalah suatu upaya untuk mengembalikan
kehidupan umat sesuai dengan kehidupan Nabi saw, dan sahabat-sahabatnya yang
saleh. Mereka harus taat dan patuh melakukan perintah-perintah dan hukum-hukum
al-Qur’an dan sunah Nabi saw. Segala bentuk kesyirikan dan bid’ah serta
penambahan dari bentuk Islam pada masa Nabi saw diberantas.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsep dari pemikiran
dari Muhammad bi Abdul Wahab adalah tentang ketuhanan yang lebih menyerukan
kepada tauhid umat Islam dan pemberharuan Muhammad bin Abdul Wahab adalah suatu
upaya untuk mengembalikan kehidupan umat sesuai dengan kehidupan Nabi saw, dan
sahabat-sahabatnya yang saleh.
Berhadapan dengan suatu
peradaban yang dianggap maju, seorang muslim akan dihadapkan dengan beberapa
pilihan. Ia bisa tetap kokoh menjaga khazanah warisan yang ia peroleh dari
peradabannya sendiri. Pada kesempatan yang sama ia juga kehilangan sikap kritis
dan bahkan menjadi corong dari peradaban yang ia anggap maju tersebut.
Dalam memperbincangkan
makna agama, din, dan religi Wahhabi cenderung menganggap sinonim ketiga term
tersebut. Makna satu term bahkan bisa diperlakukan sama dan inheren bagi term
yang berbeda. Gagasan yang cenderung simplistik ini tentu memiliki konsekuensi
logis bagi pemikiran derivatif lainnya terutama dalam memandang agama dan
aspek-aspek yang ada di seputarnya.
Akhirnya penyederhaan
yang sama juga terjadi saat membicarakann tentang klasifikasi dan tujuan hidup
beragama. Nampaknya upaya-upaya simplifikasi yang dilakukan oleh Wahhabi ini
bukan ditujukan untuk menyampaikan suatu risalah yang bersifat ringkas.
DAFTAR PUSTAKA
Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu
Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, Bandung: Mizan Publika, 2010,
hlm. 196-197
Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Din Kajian
Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas, dalam Jurnal Islamia Thn I No.
3/ September-November 2004,
Haedar Nashir. “Anatomi Gerakan Wahabiyah”. http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/05/08/anatomi-gerakan-wahabiyah/. Diakses pada 28
september 2018. 13:00
Zafirint. “Tentang Pemikiran Muhammad Bin
ʿAbd Al-Wahhāb”. November 2014. https://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-muhammad-bin-%CA%BFabd-al-wahhab/. Diakses pada
28 september 2018. 10:30
https://ibnwahhab.wordpress.com/2014/06/23/perjuangan-muhammad-bin-abd-al-wahhab-memurnikan-aqidah-islam/. Diakses pada 29 september 2018.
15:20
Mansur
Mangasing. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=153769&val=5919&title=MUHAMMAD%20IBN%20%C3%A2%E2%82%AC%CB%9CABD%20AL-WAHH%C3%83%E2%80%9AB%20%20DAN%20%20GERAKAN%20WAHABI
No comments:
Post a Comment