1

loading...

Monday, October 29, 2018

MAKALAH SOSIOLOGI POLITIK KONFLIK DAN INTEGRITAS POLITIK


MAKALAH SOSIOLOGI POLITIK KONFLIK DAN INTEGRITAS POLITIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Organisasi merupakan kesatuan individu yang memiliki tujuan yang sama. Namun layaknya ilmu Sosiologi yang selalu berubah, setiap individu pun dapat berubah seiring berubahnya pola pemikiran setiap individu. Seringkali dalam individu dihadangkan pada perbedaan-perbedaan yang pada ujungnya menimbulkan konflik.
Orde baru, seringkali menerjemahkan konflik dalam istilah yang negative sebagai bentuk trauma orde baru akibat ketidakstabilan politik pada masa orde lama, dominasi ilmu sosial fungsionalisme structural di jagad keilmuan sosial Indonesia pada periode tersebut serta kepentingan pembangunan yang mensyarakat stabilitas politik berlebihan. Itulah yang kemudian menyebabkan segala potensi modal sosial, aspirasi, dan konflik yang terpendam muncul secara radikal dalam bentuk kekerasan selama transisi demokrasi sejak 1998 sebagai efek dari pengharaman konflik serta pengabaian eksistensi dinamika sosial.

Latar belakang inilah kemudian memberikan doktrin pada masyarakat bahwa politik adalah sesuatu yang negative, atau hal yang disgusting (menjijikkan) mengingat politik tidak pernah terlepas dari permasalahan-permasalahan baik politik, ekonomi, maupun sosial. Jika hal sepenting politik dipandang sebagai sesuatu yang disgusting, maka tingkat kepercayaan masyarakat pada anggota politisi pun rendah. Sehingga hubungan sosial antara masyarakat dengan pemerintah terhambat dan program-program pemerintah pun tak dapat berjalan dengan baik dan merata.
Karena itulah, penulis kemudian membawa pembaca memahami pengertian konflik secara mendalam, mengetahui tipe-tipe dan bentuk-bentuk konflik, berikut penyebab dan resolusi konflik. Selain itu, penulis akan membahas tentang Integrasi politik yang akan menjelaskan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang disebut dengan konflik itu?
2.      Apa saja bentuk dan penyebab konflik?
3.      Bagaimanakah cara menyelaesaikan konflik itu?
4.      Apakah integrasi politik itu?

C.    Tujuan Masalah
1.      Meluruskan kembali paradigma pengertian konflik pada pembaca
2.      Menjelaskan kepada pembaca bentuk dan penyebab konflik
3.      Memberikan pilihan solusi kepada pembaca dalam menyelesaikan konflik
4.      Memberi pengetahuan kepada pembaca hakikat integrasi politik
  

  
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Konflik
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memiliki fungsi positif, konflik menjadi dinamika sejarah manusia, konflik menjadi entitas hubungan sosial daan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Secara etimologis, konflik berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersamadan fligere benturan atau tabrakan. Dan juga Configere yang berarti saling memukul. Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris Conflict.[1] konflik didefinisikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara multan.[2]
Sedangkan menurut para ahli Sosiologi adalah sebagai berikut[3] :
·      Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
·      Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
·      Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
·      Menurut Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial di mana orang per orangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan.
Dari pendapat-pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek (penyabab) konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik (solusi).
Di Indonesia, Konflik seringkali diterjemahkan dalam istilah yang negative sebagai bentuk trauma orde baru akibat ketidakstabilan politik pada masa orde lama, dominasi ilmu sosial fungsionalisme structural di jagad keilmuan sosial Indonesia pada periode tersebut serta kepentingan pembangunan yang mensyarakat stabilitas politik berlebihan. Itulah yang kemudian menyebabkan segala potensi modal sosial, aspirasi, dan konflik yang terpendam muncul secara radikal dalam bentuk kekerasan selama transisi demokrasi sejak 1998 sebagai efek dari pengharaman konflik serta pengabaian eksistensi dinamika sosial.
Padahal dalam pandangan Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali.

B.     Bentuk dan Penyebab Konflik
Adapun bentuk-bentuk konflik politik itu dapat diidentifikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Maurice Devurege. Ia  mengidentifikasi bentuk-bentuk konflik politik menjadi dua kategori yakni; senjata-senjata pertempuran dan strategi politik

1)      Senjata-senjata pertempuran
Manusia dan organisasi dalam konflik satu sama lain mempergunakan berbagai jenis senjata di dalam perjuangan politik. Senjata yang digunakan tergantung dari masyarakat setempat dan kelompok-kelompok sosialnya, diantaranya ialah senjata dalam bentuk kekerasan fisik, senjata dalam bentuk yang lain sepertikekayaan, media dan organisasi. Namun, belakangan ini kekerasan fisik merupakan senjata yang sering digunakan.
Padahal tujuan pertama-tama dari politik adalah untuk menghapus kekerasan, untuk menggantikan konflik berdarah dengan bentuk-bentuk perjuangan sipil yang lebih dingin, dan untuk menghapus peperangan, baik sipil atau internasional. Politik cenderung menghapus kekerasan, akan tetapi dia tidak pernah berhasil seluruhnya. Senjata-senjata dalam arti sempitnya senjata militer tidak seluruhnya dikeluarkan dari konflik politik. Senjata pertempuran bisa berupa :
a)      Kekerasan fisik
Berbicara secara luas, ada dua jenis kekerasan yang dipergunakan sebagai senjata di dalam pertempuran politik: kekerasan oleh negara melawan para warganya, dan kekerasan antara kelompok warga negara atau melawan negara.
Alat kekerasan yang digunakan negara untuk melawan negara adalah militer yang mempergunakan senjata. untuk mempertahankan otoritasnya terhadap rakyat yang diperintahkannya, senjata mili­ter juga dipergunakan dalam perjuangan politik Pertama, senjata dipergunakan selama tahap awal dari perkembangan sosial, ketika negara masih terlalu lemah untuk memperoleh monopoli lengkap dari senjata-senjata militer bagi keuntungannya sendiri.
Lantas, perjuangan merebut kekuasaan terdiri dari munculnya fraksi bersenjata yang saling berhadapan baik itu organisasi politik yang mempergunakan senjata maupun pemberontakan terhadap negara.  Kemudian, ketika militer tidak lagi untuk melayani negara, tidak lagi berada dalam kuasa mereka yang memerintah, dan ketika mereka sendiri bergabung di dalam perjuangan untuk merebut kekuasaan. Maka militer berubah menjadi kelompok kepentingan, yang berupaya untuk merebut kekuasaan.
b)      Kekayaan
Dalam realitas politik; uang tidak pernah menjadi satu-satunya "penguasa". Namun dalam banyak masyarakat, seperti dalam masyarakat kapitalis, uang adalah senjata yang hakiki. Untuk itu, uang yang merupakan simbol dari kekayaan telah menjadi sebuah senjata politik. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa kekayaan merupakan bagian dari hal yang mewarnai bentuk-bentuk konflik politik.
Seperti dalam masyarakat agraris yang menggunakan kekayaannya seperti tanah sebagai sumber dari kekuatan politik, hal ini dilakukan oleh kelas pemilik tanah atau aristokrat[4]. Kemudian, pada abad kesembilan belas muncul kalangan borjuis yang menggantikan sumbernya dari pemilikan tanah kepada kekuatan uang. Jadi, pada pekembangannya uang mulai terkesan sebagai senjata politik.
c)      Organisasi
Di dalam komunitas manusia yang besar, terutama di dalam negara modern, pertikaian politik dilancarkan antara organisasi-organisasi. Organisasi-organisasi ini kelompok-kelompok yang berstruktur, dengan kemampuan artikulasi, dan hirarkis, terutama terlatih bagi perjuangan merebut kekuasaan.
Hakikat organisatoris dari kekuatan- kekuatan sosial ini adalah fakta yang fundamental dari kehidupan politik masa kini. Kita dapat mengklasifikasikan organisasi politik menjadi dua kategori utama partai-partai politik dan kelompok kepentingan. Tujuan utama dari partai adalah memperoleh kekuasaan atau mengambil bagian dalam kekuasaan; mereka berusaha memperoleh kursi dalam pemilihan umum, mengangkat wakil dan menteri, dan mengontrol pemerintah. Sedangkan kelompok kepentingan tidak berusaha untuk me­rebut kekuasaan atau berpartisipasi di dalam pelaksanaan kekuasaan, namun tujuannya adalah mempengaruhi dan menekan mereka yang memegang kekuasaan.
d)     Media informasi
Dalam rezim-rezim otoritarian, media informasi biasanya berada da­lam kontrol negara, yang berfungsi untuk menyebarkan propaganda negara. Propaganda ini cenderung untuk mengamankan dukungan penuh dan pemerintah. Dia tidak berorientasi kepada perjuangan kelas atau kategori sosial yang meliputi bangsa, akan tetapi kepada penyatuan negara. Dia merupakan alat integrasi sosial atau pseudointegrasi.
Sedangkan dalam rezim demokratis, tidak semua media informasi dikontrol oleh negara; banyak yang memiliki sifat seperti kelompok kepentingan. Pluralisme media adalah unsur di dalam pluralisme rezim, bersama dengan pluralisms partai politik.

2)      Strategi politik
a)      Konsentrasi atau penyebaran-penyebaran senjata politik
Dari segi distribusi senjata-senjata politik, masyarakat dapat dibagi menjadi dua jenis masyarakat politik, yakni masyarakat dengan konsentrasi senjata dan masyarakat dengan penyebaran senjata.
Di dalam masyarakat dengan konsentrasi senjata, semua senjata-senjata politik, atau sekurang-kurangnya yang utama, dipegang oleh satu kelas atau kelompok sosial. Seperti yang terdapat di dalam masyarakat feodal dan monarki, misalnya, senjata utama pada masa itu — senjata-senjata militer dan kekayaan pemilikan tanah— dikonsentrasikan di dalam tangan kaum aristokrat.
Sedangkan di dalam masyarakat dengan penyebaran senjata, senjata-senjata utama dibagi pada beberapa kelas atau kategori kelas. Saat ini, di satu pihak, kaum kapitalis memiliki kekayaan, yang dipakainya untuk kepentingan propaganda, dengan demikian memegang unsur-unsur kekuasaan politik yang paling penting dalam tangannya. Namun dipihak lain, kaum pekerja/buruh juga mempenyai kekuatan dengan bentuk organisasi masa (partai-partai rakyat dan serikat buruh).
b)      Perjuangan terbuka atau perjuangan diam-diam
Perjuangan terbuka dalam konflik politik dapat ditemukan pada negara yang menganut faham demokrasi. Dimana dalam demokrasi konflik politik bersifat resmi atau diakui, seperti dalam kampanye, pemilu, demonstrasi dan di parlemen. Biasanya kelompok-kelompok yang bertarung dalam konflik politik ini adalah organisasi politik yang legal seperti partai.
Bagi organisasi yang tidak berorientasi kepada politis, mereka memiliki potensi untuk berupaya mengejar tujuan-tujuan politiknya dengan cara yang ilegal. Karena sifanya ilegal, maka perjuangannya dilakukan secara diam-diam. Fakta ini dapat dilihat dari munculnya gerakan-gerakan bawah tanah yang berupaya untuk merebut kekuasaan.

c)      Pergolakan didalam rezim dan perjuangan untuk mengontrol rezim
Perbedaan antara perjuangan merebut rezim dan perjuangan di dalam rezim berhubungan dengan konsep legitimasi. Konflik-konflik berada dalam kerangka pemerintah, bilamana mayoritas para warga menganggap pemerintah tersebut legitimete, bilamana ada konsensus tentang hal ini. Konflik tidak dapat ditampung di dalam kerangka pemerintah kecuali ada konsensus tentang legitimasinya.
Apabila konsensus itu berantakan, ketika  hanya sebagain kelompok yang mengakui legitimasi pemerintah, maka akan muncul perjuangan melawan rezim.
Akibatnya, perju­angan di dalam rezim dan perjuangan melawan rezim bukanlah strategi alternatif yang bisa dipilih seseorang dalam suatu suasana yang normal, tetapi dalam situasi tertentu. Bilamana konsensus politik secara mendalam terbagi, maka situasi revolusioner menghasilkan per­juangan melawan rezim.
Perjuangan melawan suatu rezim selalu berarti bahwa sebagian warga negara tidak menerima lembaga-lembaga yang ada dan berjuang untuk menggantikannya dengan lembaga-lembaga lain.
d)     Strategi dua blok atau strategi sentris
Perjuangan politik di dalam suatu sistem dwi-partai berbeda dari perjuangan di dalam sistem multi-partai. Dalam perjuangan sistem dwi partia mengambil bentuk duel, sedangkan dalam sistem multi partai, sejumlah musuh saling berhadapan dan membentuk berbagai koalisi. Perbedaan politik antara kiri dan kanan memungkinkan kita memperbandingkan kedua situasi tersebut.
Golongan politik “kanan” memilih sikap untuk menerima tatanan sosial yang ada dan mereka secara relatif puas terhadap tatanan tersebut,  yang akhinya mereka putuskan untuk melanjutkannyas. Sedangkan golongan “kiri” tidak menyukai tatanan sosial yang ada dan mau mengubahnya. Namun, pada kenyataannya, strategi dua blok adalah bentuk sentrisme, karena se­tiap blok dipaksa untuk mengorientasikan politiknya ke arah tengah.
e)      Kamuflase
Salah satu alat strategi yang digunakan dalam setiap jenis rezim ialah kamuflase. Kamuflase merupakan upaya untuk menyembunyikan tujuan-tujuan yang sebenarnya dan motif-motif aksi politik yang sebenarnya di balik tujuan dan motif yang semu yang lebih populer,  dan karena itu, mengambil keuntungan dari dukungan rakyat yang lebih besar.
Alat ini dipakai oleh individu-individu, partai-partai, dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam perjuangannya untuk memenangkan atau mempengaruhi kekuasaan. Dia juga dipakai oleh pemerintah untuk memperoleh kepatuhan dari para warga dan untuk mengembangkan integrasi sosial dan politik yang nyata.
Kamuflase mempunyai beberapa bentuk diantranya ialah Teknik kamuflase yang paling biasa adalah menutupi suatu tujuan yang kurang terhormat di balik sesuatu yang lebih terhormat dalam hu-bungan dengan sistem nilai dari suatu masyarakat tertentu.
Teknik lain dalam kamuflase adalah membuat kasak-kusuk terhadap sebagian besar penduduk bahwa kepentingannya berada dalam ancaman,sedangkan isu tersebut hanya menyangkut kepentingan pribadi dari sebuah minoritas yang kecil.
Penyebab Terjadinya Konflik Politik
Pada dasarnya, penyebab konflik politik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) kemajemukan horizontal1[5] dan (2) kemajemukan vertikal. Yang di maksud kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara cultural seperti suku, bangsa, daerah, agama dan ras serta majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, tokoh agama. Sementara itu kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang terpolarisasi secara hierarkis (dalam ketidaksederajatan) yang didasarkan pada perbedaan kekayaan, pendidikan, kekuasaan, kewenangan dan sebagainnya.
            Yang di maksud dengan kemajemukan horizontal-soial adalah kemajemukan yang di timbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik yang didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama dan sebagainnya. Inilah penyebab timbulnya suatu konflik karena masing-masing unsur ini mempunyai kepentingan yang berbeda & bertentangan.
            Misalnya, kelompok militer tertentu mempunyai kepentingan yang berbeda dengan seorang kelompok wartawan-wartawan[6]. Sementara itu, dipihak lain para pengusaha sebagai pihak yang memberikan upah selalu berusaha mempertahankan posisinya agar pengeluaran ongkos produksi yang teralokasikan pada upah selalu berusaha agar tidak naik. Karena berimbas pada  makin rendahnya pendapatan perusahaan.sedangkan kaum buruh meminta upah minium regional (UMR) kepada pemerintah. Disinilah pihak pemerintah sebagai pihak yang menengarai konflik dituntut untuk membuat kebijakan yang keterpihakan. Kebijakan itu memuaskan kepada pihak-pihak yang berselisih.
            Kemajemukan vertical dapat menimbulkan konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan dan kekuasaan. Polarisasi masyarakat seperti ini menimbulkan benih konflik. Konflik yang disebabkan kemajemukan vertical ini akan meluas kalau sekelompok kecil masyarakat mendominasi ketiga sumber kekuasaan itu sekaligus. Singkat, distribusi kekuasaan yang pincang adalah penyebab utama timbulnya konflik politik.

C.    Resolusi Konflik
Resolusi Konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunkan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik bisa dibagi dua[7]:
a.       Pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation)
b.      Melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention)
Berikut akan kami jabarkan secara ringkas tentang jenis-jenis metode resolusi konflik sebagai berikut :
a.       Pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation)
Adapun pola interaksi konflik dalam upaya mencapai keluaran konflik diantaranya :
·         Interaksi konflik dengan keluaran yang diharapkan dapat mengalahkan lawan konflik (win & lose solution)
·         Interaksi konflik dengan tujuan menciptakan kolaborasi atau kompromi (win & win solution)
·         Interaksi konflik menghidar
·         Interakasi konflik mengakomodasi (menyenangkan lawan dan mengorbankan diri sendiri)

Resolusi Konflik self regulation dapat menggunakan dua pola[8] :
Ø  Resolusi Konflik tanpa kekerasan
Resolusi ini tidak menggunakan kekerasan fisik, verbal maupun non-verbal untuk mencapai resolusi konflik yang diharapkan. Akan tetapi, pola ini seringkali menimbulkan luka psikologis walaupun mungkin dalam kadar minimal.
Resolusi konflik tanpa kekerasan sangat bermanfaat digunakan jika pihak membutuhkan antara satu dengan yang lain untuk mencapai tujuannya.
Ø  Resolusi konflik dengan kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konfliknya untuk memenangkan konflik.
Resolusi konflik dengan kekerasan biasanya digunakan setelah gagal memenangkan konflik dengan berbagai teknik konflik lainnya.
b.      Melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention)
Pada Metode ini, adakalanya pihak ketiga sebagai pihak yang pasif dan adakalanya sebagai pihak yang aktif. Adapun Model-model resolusi intervensi pihak ketiga antara lain [9] :
·      Resolusi Konflik melalui proses pengadilan
·      Resolusi Konflik melalui proses atau pendekatan legislasi (pengeluaran Undang-Undangan baru)
·      Resolusi Konflik melalui proses administrasi (dilakukan oleh lembaga Negara, bukan lembaga yudikatif)
·      Resolusi Perselisihan Alternatif
Resolusi konflik melalui pihak ketiga yang bukan pengadilan dan proses administrasi yang diselenggarakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif. ADR terdiri dari mediasi (pihak ketiga sebagai fasilitator) dan arbitrase (pihak ketiga memiliki wewenang memutuskan).
·         Rekonsiliasi
Mengembalikan situasi sepenuhnya seperti sebelum konflik terjadi. hal ini disebabkan ketidakpuasan ke dua belah pihak.
Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam penyelesaian konflik yaitu[10] :

1.      Peacekeeping
Adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.
Dalam hal ini AS dan NATO melakukan intervensi militer dalam usahanya untuk menghentikan konflik yang terjadi di Kosovo. Karena kepemimpinan AS yang efektif di NATO, maka AS mengizinkan NATO untuk melakukan serangan ke Serbia dan memaksanya keluar dari Kosovo. Kemudian AS menerapkan resolusi DK PBB Nomor 1244 Tahun 1999 yang menempatkan Kosovo di bawah mandat PBB.
2.      Peacemaking
Adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan.
Dikaitkan dengan kasus ini pihak – pihak yang bersengketa dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penegah, akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak ketiga tersebut hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai yang sedang berunding.
3.      Peacebuilding
Adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace (atau theabsence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.

D.    Integrasi politik
Setiap Negara menghadapi masalah penciptaan identitas bersama untuk membentuk suatu bangsa yang dirumuskan dalam system nilai yang di anut dan di hayati oleh suatu masyarakat[11]. Syarat berdirinya suatu Negara baik secara de facto maupun secara de jure dimana adanya wilayah yang didiami oleh warga Negara, system pemerintahan, rakyat dan pengakuan dari Negara lain belum cukup di sebut Negara. Negara harus mempunyai factor penunjang yaitu adanya system nilai yang memiliki kekuataan menggerakkan warga Negara kearah mana tujuan Negara hendak di capai. 
            Oleh sebab itu, harus ada pola yang menghubungkan antara emerintah dengan rakyat yang di perintah atas dasar system nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Kenyataan itulah yang harus disertakan ketika Negara hendak mengintegrasikan seluruh komponen bangsanya, sedangkan yang dimaksud integrasi politik suatu bangsa hal ini adalah penyatuan masyarakat dalam system politik. Merujuk pada tulisan ramlan surbakti, integrasi politik dibagi menjadi 4 jenis yaitu :
1.      Integrasi bangsa
Integrasi bangsa merupakan penyatuan berbagai kelompok social budaya ke dalam satu kesatuan wilayah ke dalam suatu identitas nasional.
Berbagai suku, pengguna bahasa, penganut adat & agama dan ideology yang berbeda perlu disatukan dalam sebuah kesatuan yang utuh.
Dalam hal ini, cliford geertz mengemukakan bahwa pada dasarnya ada lima pola keragaman primordial dalam masyarakat majemuk yaitu :
1)      Pola kelompok dominan dan minoritas
2)      Pola kelompok sentral dengan beberapa kelompok menengah yang agak menentang
3)      Pola tidak ada kelompok dominan
4)      Pola kelompok budaya yang seimbang
5)      Pola berdasarkan pembagian etnik yang terdiri dari banyak kelompok kecil.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang jika mengikuti pendapat Geertz tergolong kelompok sentral dengan beberapa kelompok menengah yang menetang yaitu jawa dan luar jawa. Akan tetapi bahasa yang digunakan tidak memakai bahasa jawa melainkan bahasa melayu. Indonesia menemph kebijakan yaitu penciptaan suatu kebudayaan nasional yang disebut prinsip bhinneka tunggal ika. Namun asumsi ini tidak benar karena lebih di dominasi oleh kebudayaan jawa. Seperti simbol-simbol, lambang Negara, dan kebiasaaan politik yang selalu memakai symbol jawa.
2.      Integrasi wilayah
Integrasi wilayah adalah pembentukan kewenangan nasional terhadap wilayah atau daerah politik yang lebih kecil yang mungkin berdasarkan kelompok social budaya tertentu. Salah satu problema yang di hadapi oleh pemerintah dalam Negara-negara yang baru terbentuk adalah pembentukan pemerintah pusat yang menguasai seluruh wilayah & penduduk yang ada dalam batas wilayah tersebut.
Pengertian Negara ditujukan pada adanya pusat kekuasaan yang menguasai wilayah-wilayah yang  menjadi batas wilayahnya, sedangkan pengertian bangsa lebih menunjukkan pada kesamaan pada warga mendiami wilaah Negara tersebut.
Jadi integrasi wilayah suatu Negara erat kaitannya dengan pembinaan negara dan integrasi bangsa berhubungan dengan pembinaan bangsa.
3.      Integrasi nilai  
Integrasi nilai dipahami sebagai persetujuan bersama mengenai tujuan & prinsip dasar politik, prosedur pemecahan masalah bersama dan penyelesaian konflik pada masyarakat itu sendiri. System nilai tersebut biasanya dirumuskan dalam konstitusi Negara yang bersangkutan.
Misalnya Indonesia sebagai Negara yang mendasarkan pada pancasila dan UUD 1945 maka dua dasar Negara tersebut menjadi dasar bagi integritas nilai-nilai yang dirangkum dari keanekaragaman system nilai-nilai yang dirangkum dari keanekaragaman system nilai dari berbagai daerah dan masyarakat yang beragam itu. Oleh sebab itu kedua dasar ideologi konstitusional tersebut dijadikan pijakan dalam setiap menentukan tujuan & dasar negara.
4.      Integrasi elite
Integrasi dengan khalayak adalah upaya untuk menghubungkan antara kaum elite dengan khalayak atau rakyat yang diperintah. Bentuk hubungan ini dipahami dalam artian pertautan antara sistem nilai yang diusung oleh pemerintah itu sejalan atau tidak dengan kehendak masyarakat. Sebab dasar dari pengaruh tersebut terdapat pada sumber-sumber pengaruh yang dimiliki penguasa.
Kewenangan adalah bentuk kekuasaan penguasa kepada pihak yang dikuasai. Inilah perbedaan pemerintahan negara jajahan dengan pemerintah negara merdeka. Jika negara jajahan terdapat hubungan pemerintah dengan yang diperintah namun bentuk kepatuhan rakyat yang diperintah tidak didasarkan pada  nilai yang disepakati bersama.
Sedangkan negara yang merdeka dianggap sebagai sistem pemerintah yang lebih absah karena adanya kesepakatan nilai-nilai antara yang memberi perintah dengan yang diperintah.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek (penyabab) konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik (solusi).
Konflik mempunyai dua bentuk yaitu senjata-senjata pertempuran diantaranya ialah senjata dalam bentuk kekerasan fisik,kekayaan, media dan organisasi. Bentuk kedua dari konflik yaitu strategi politik untuk digunakan dalam berpolitik yang meliputiKonsentrasi atau penyebaran-penyebaran senjata politik, Perjuangan terbuka atau perjuangan diam-diam, Pergolakan didalam rezim dan perjuangan untuk mengontrol rezim dan lain sebagainya.
Sedangkan penyebab adanya konflik itu ssendiri karena kemajemukan horisontal struktur masyarakat yang majemuk secara cultural serta majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan profesi. Adapun penyebab yang lain disebakan oleh kemajemukan vertikal yang memiliki arti kemajemukan yang di timbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik yang didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama dan sebagainnya.
Resolusi Konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunkan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik bisa dibagi dua yakni Pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation) dan Melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention). Untuk mengatasi konflik politik ini dibutuhkan suatu integrasi politik seperti persatuan tanpa melihat sebuah perbedaan yang meliputi, bangsa, wilayah, nilai serta elite.

B.     Saran
Diharapkan setelah pembeljaran ini, para akademika mampu menyempurnakan keilmuan yang masih sederhana serta penuh kekurangan. Sehingga karya yang tidak layak dipublikasikan ini bisa menjadi bidang keilmuan sosiologi-politik yang sempurna dan bisa digunakan sebagaimana mestinya.


DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Yulius. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi. 2007.  Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ritzer , George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2012. Jakarta : Kencana
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. 2013. Jakarta : Kencana
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. 2009. Jakarta : Kencana
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. 2010. Jakarta : Salemba Humanika.




[1] Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. (Jakarta : Salemba Humanika, 2010) hlm. 4
[2] Pruit & Rubin, 2004 (dalam karya Novri Susan, M.A). Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. (Jakarta : Kencana, 2009) cetakan 1 hlm.5
[4] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta : Kencana, 2012) terjemah hlm. 170
[5] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 59
[6] Ibid, hlm. 60
[7] Wirawan. Op.cit. hlm, 177
[8] Wirawan. Op.cit. hlm. 181
[9] Ibid. hlm. 184
[10] Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi  (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007) hlm. 93
[11] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.cit. hlm.77


No comments:

Post a Comment