MAKALAH Tafsir Surah Ali’imran ayat 14
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL-Qur’an
Surah Ali’imran ayat 14
a.
Ayat dan Artinya
Artinya :
“Dijadikan
terasa terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan,
berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas
dan perak, kuda piliha, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
didunia, dan disisi allah-lah tempat kembali yang baik.”
b.
Asbabun Nuzul
Dari sejarah
kehidupan nabi muhammad saw,ketika utusan Nasrani dan Najran itu datang,mereka
itu memakai pakaian-pakaian yg indah-indah, sutera dewangga. Dan diberitakan
bahwa pakaian-pakaian, perhiasan, sampai ada salib emas tersebut, semuanya
merupakan pemberian dari raja Romawi yg pada saat itu berkuasa di Timur, yang
berkedudukan di waktu itu di syam, yaitu raja Heraclius. Menurut setengah
riwayat bahwa kepala putusan keberatan mengakui kebenaran rasulullah SAW, oleh
karena jaminan hidup dan kemegahan dan perhiasan.
c.
Kandungan Hukum
Dijadikan indah bagi manusia
kecintaan kepada aneka syahwat yakni aneka keinginan. Dalam kalimat ini telah terdapat tiga kata, pertama:
zuyyina,artinya diperhiaskan. Kedua: hubbu, artinya
kesukaan atau cinta. Ketiga: syahwat.[5]
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka
syahwat yakni aneka keinginan. Dalam ayat ini tidak disebutkan apa hal yang
menjadikannya indah. Namun yang diperindah adalah kecintaan kepada aneka
syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu
yang bersifat inderawi atau material.[6]
Menurut al-Qurtubi dalam kitab
tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,terdapat beberapa perbedaan
pendapat mengenai pengertian al-muzayyindalam ayat tersebut. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudal-muzayyin di sini
ialah Allah Swt. Pendapat ini merupakan asumsi dari Umar bin Khattab, dan
pendapat ini di dukung dengan adanya ayat al-Qur’an yang terkait dengan
pemahaman tersebut, ayat tersebut yang berbunyi: إنا جعلنا
ما على الأرض زينة لها .
Sedangkan pendapat lain mengatakan
bahwa al-muzayyin yang dimaksud disini ialah syaithan. Pendapat ini seperti yang
dikatakan oleh al-Hasan yang menyatakan bahwa syaithan sengaja membuat
pandangan manusia agar senantiasa condong (mempunyai kecintaan yang berlebihan)
terhadap segala bentuk kesenangan duniawi dan melupakan kesenangan/kebahagiaan
ukhrawi.[7]
Beberapa bentuk kesenangan duniawi
yang diuraikan dalam ayat tersebut ialah: perempuan, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.[8]
Menurut al-Qurthubi, penyebutan
empat jenis harta kekayaan dalam ayat tersebut adalah sesuai dengan jenis
kelompok manusianya (strata sosial yang ada ketika ayat ini diturunkan), yakni:
1. Jenis harta emas dan perak adalah
untuk kelompok masyarakat pedagang
2. Kuda peliharaan adalah simbol
kekayaan pada kalangan raja (bangsawan)
3. Binatang ternak adalah simbol
kekayaan di kalangan masyarakat pedalaman (badui)
4. Sawah ladang adalah simbol kekayaan
untuk kalangan masyarakat pada umumnya terutama penduduk pedesaan (masyarakat
petani).
B. AL-Qur’an Surah An-Nisa ayat 5-32
1. AL-Qur’an Surah An-Nisa ayat 5
a. Ayat dan
artinya
b. Asbabun Nuzul
Pada waktu itu para wali yang
menguasai anak-anak yatim membiarkan begitu saja harta kekayaan yang merupakan
waris dari orang tuanya. Bahkan mereka para wali ikut-ikutan menghabiskan harta
itu sebelum anak-anak itu dewasa, sehingga setelah dewasa menjadi orang yang
serba kekurangan. Sehubungan dengan kebiasan seperti itu Allah SWT. menurunkan
ayat ke-5 dan 6 sebagai perintah terhadap para wali agar memelihara harta
anak-anak yatim.[13]
c. Kandungan
Hukum
Ayat ini menjelaskan bagaimana
sikap manusia dalam memahami harta kekayaan yang dimilikinya; mempergunakan dan membelanjakannya. Ada
kata kunci yang terlebih dahulu harus dipahami dalam menguraikan pengertian
ayat ini, yaitu kata السفهاء.[14]
Menurut Sa'id bin Jubair, al-sufaha' adalah
anak-anak yatim (اليتامى). Abu Malik
mengatakan bahwa al-sufaha' adalah anak kecil yang belum
dewasa (الأولاد الصغار), sementara menurut Mujahid bahwaal-sufaha' adalah
perempum (النساء), dan
menurut Umar bahwa yang dimaksud al-sufaha' adalah orang-orang
yang tidak mengetahui hukum/aturan yang terkait dengan penggunaan harta kekayaan (الجهال بالأحكام).[15]
Dari semua asumsi di atas pengertian al-sufaha' ialah mengarah pada setiap orang yang
berhak mendapatkan perlindungan akan harta kekayaan yang dimilikinya
termasuk penggunaan dan pembelanjaan harta tersebut bagi dirinya. Adanya
perlindungan terhadap harta kekayaan al-sufaha' tersebut
dikarenakan beberapa kondisi, di antaranya adalah karena yang bersangkutan
belum cukup dewasa, hilangnya akal pikiran karena stres/gila atau lainnya, dan
juga karena tidak baiknya yang bersangkutan dalam mempergunakan dan
membelanjakan harta yang dimilikinya.[16]
Di samping menjelaskan kewajiban
seorang wali untuk memberikan (menyediakan) kebutuhan pangan dan
sandang/pakaian bagi al-sufaha'. Ayat ini juga mengandung
penjelasan mengenai kewajiban orang tua memberikan nafkah kepada anak-anaknya, dan suami kepada istrinya.[17]
2. Surat An- Nisa Ayat 32
a.
ayat dan artinya
artinya:
Dan janganlah kalian iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari
sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
b.
Asbabun nuzul
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang
menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah,
kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut
berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)”. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32) Imam Turmuzi meriwayatkannya
dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah,
bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai
Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya.
c.
Tafsiran menurut jalalyn
(Dan janganlah kamu mengangan-angankan
karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian lainnya) baik
dari segi keduniaan maupun pada soal keagamaan agar hal itu tidak menimbulkan
saling membenci dan mendengki. (Bagi laki-laki ada bagian) atau pahala (dari
apa yang mereka usahakan) disebabkan perjuangan yang mereka lakukan dan
lain-lain (dan bagi wanita ada bagian pula dari apa yang mereka usahakan)
misalnya mematuhi suami dan memelihara kehormatan mereka. Ayat ini turun ketika
Umu Salamah mengatakan, "Wahai! Kenapa kita tidak menjadi laki-laki saja,
hingga kita dapat berjihad dan beroleh pahala seperti pahala laki-laki,"
(dan mohonlah olehmu) ada yang memakai hamzah dan ada pula yang tidak (kepada
Allah karunia-Nya) yang kamu butuhkan niscaya akan dikabulkan-Nya.
(Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya siapa
seharusnya yang beroleh karunia, begitu pula permohonan kamu kepada-Nya.
d.
Tafsiran menurut quraish shihab
Laki-laki
hendaknya tidak iri hati terhadap karunia yang diberikan Allah kepada wanita.
Begitu juga, sebaliknya, wanita tidak boleh iri hati terhadap apa-apa yang
dikaruniakan Allah kepada laki-laki. Masing- masing mendapatkan bagian, sesuai
dengan tabiat perbuatan dan haknya. Maka hendaknya masing-masing berharap agar
karunianya ditambah oleh Allah dengan mengembangkan bakat dan memanfaatkan
kelebihan yang dititipkan Allah kepadanya. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu, dan memberikan kepada setiap jenis makhluk sesuatu yang sesuai dengan
kejadiannya.
1.
Surah
Ar-Rum Ayat 38
a.
Tafsiran ayat 38
Allah Swt. berfirman, memerintahkan (kepada kaum muslim) agar memberikan
kepada kerabat terdekat mereka akan haknya, yakni berbuat baik dan
menghubungkan silaturahmi, juga orang miskin. Yang dimaksud orang miskin ialah
orang yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk ia belanjakan buat dirinya; atau
memiliki sesuatu, tetapi masih belum mencukupinya. Juga kepada ibnu
sabil, yaitu seorang musafir yang memerlukan biaya dan keperluan
hidupnya dalam perjalanan, karena biayanya kehabisan di tengah jalan.
{ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ
يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ}
“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah”. (Ar-Rum: 38)
Yang dimaksud dengan wajhullah ialah Zat Allah, yakni melihat
Allah kelak di hari kiamat. Hal ini merupakan tujuan utama yang paling tinggi.
{وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ}
“dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Ar-Rum: 38)
Yakni beruntung di dunia dan akhirat.
Dalam firman selanjurnya disebutkan:
{وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا
لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ}
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah”. (Ar-Rum: 39)
Artinya:
barang siapa yang memberi orang lain dengan tujuan agar orang itu balas
memberinya dengan lebih banyak daripada apa yang ia berikan kepadanya, maka
perbuatan seperti ini tidak ada pahalanya di sisi Allah bagi orang yang
bersangkutan. Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas,
Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, Ikrimah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Asy-Sya'bi.
Perbuatan seperti itu hukumnya boleh, sekalipun tidak ada pahalanya,
hanya saja larangan ini hanya ditujukan kepada Nabi Saw. secara khusus.
Demikianlah menurut pendapat Ad-Dahhak, ia mengatakan demikian dengan
berdalilkan firman Allah Swt.:
{وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ}
“dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. (Al-Muddassir:
6)
Yakni
janganlah kamu menghadiahkan suatu pemberian dengan tujuan untuk mendapatkan
yang lebih banyak daripada itu.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa riba itu ada dua macam: 1. Riba yang tidak
dibenarkan, yaitu riba jual beli. 2. Riba yang tidak berdosa, yaitu seseorang
yang menghadiahkan sesuatu dengan tujuan mendapat balasan hadiah yang lebih
banyak. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman Allah Swt.: “Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (Ar-Rum:
39)
Sesungguhnya pahala di sisi Allah itu hanyalah pahala zakat. Karena itu,
disebutkan dalam firman selanjutnya:
{وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ
تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ}
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
(Ar-Rum: 39)
Merekalah orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah,
sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui sabda Nabi Saw.:
"وَمَا تَصْدَّقَ أَحَدٌ
بِعَدْل تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلَّا أَخْذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ،
فَيُرَبِّيها لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوّه أَوْ فَصِيلَه،
حَتَّى تَصِيرَ التَّمْرَةُ أَعْظَمَ مِنْ أُحُد"
“Tidaklah seseorang menyedekahkan sesuatu yang semisal dengan sebiji
kurma dari hasil yang halal, melainkan Tuhan Yang Maha Pemurah menerimanya
dengan tangan kanan-Nya, lalu mengembangkannya
buat pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya
atau anak untanya, hingga sebiji kurma itu menjadi lebih besar daripada Bukit
Uhud”.
b.
Tafsir menurut jalalayn
(Maka berikanlah kepada kerabat)
kepada famili yang terdekat (akan haknya) yaitu dengan menyantuninya dan
menghubungkan silaturahmi dengannya (demikian pula kepada fakir miskin dan ibnu
sabil) orang yang sedang musafir, yaitu dengan memberikan sedekah kepada
mereka, perintah ini ditujukan kepada Nabi saw. dan sebagai umatnya diharuskan
mengikuti jejaknya. (Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari
keridaan Allah) yakni pahala-Nya sebagai imbalan dari apa yang telah mereka
kerjakan (dan mereka itulah orang-orang yang beruntung) yaitu orang-orang yang
memperoleh keberuntungan.
c. Tafsir menurut
quraish shihab
Dan apabila hanya Allah Swt. yang
meluaskan rezeki dan menetapkan ukurannya, maka berikanlah hak kaum kerabat
kepadanya, yaitu berupa kebajikan dan hubungan silaturahmi. Dan juga berilah kepada orang yang
membutuhkan dan kehabisan perbekalan di jalan berupa zakat dan sedekah. Hal itu
adalah lebih baik bagi orang-orang yang menghendaki rida Allah dan menginginkan
pahala-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan dengan
kenikmatan yang abadi.
d.
Asbabun Nuzul
Abu al ansory Ra
mengatakan bahwa seorang laki laki bertanya kepada rosullah Saw. Kabarkanlah
kepadaku suatu amalan yang bisa memasukanku ke surga dan menjauhkan ku dari
neraka. Para sahabat menjawab hartanya, rosullah Saw bersabda, “apakah pemilik
harta kamu menyembah allah dan tidak menyekutukanya dengan sesuatu pun, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan menyambungkan silaturrahmi kesesama umat manusia
di alam yang fana ini.”(HR.Al bukhori, 2/108-109, muslim 1/42;43)
2.
Surah
Ar-Rum Ayat 39
a.
ayat dan artinya
b.
Tafsiran
Di dalam bahasa Arab, bahwa
lafadz “Riba” itu bisa mengandung makna tambahan secara mutlaq
atau bahwa Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam
pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan
bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam
Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah
disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam perihal Pemberihan hadiah
supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat tambahan yang lebih. Ini
sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf Jer
Min.
Dapat disimpulkan bahwa yang di maksud riba adalah
sesuatu yang berlebih atau berlipat ganda, dari unsur mengutangkan dan pada
akhirnya akan menimbulkan penganiayaan.
Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Seandainya uraian tentang perang Uhud telah selesai, maka
ayat yang berbicara tentang riba di atas ini, boleh jadi tidak terlalu
membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini. Tetapi ayat-ayat yang
berbicara tentang perang Uhud masih cukup panjang. Ini menjad ikan sementara ulama memeras pikiran untuk
mencari hubungannya, bahkan sebagian mereka – karena tidak puas dengan upaya
atau pandangan ulama lain – berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak
perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah yang
dikemukakan oleh al-Qaffal bahwa karena kaum musyrikin membiayai
peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang Uhud, dengan harta yang
mereka hasilkan dari riba, maka boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslim
untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun
mengingatkan mereka agar jangan melangkah kesana.
Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka
yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah meninggalkan posisi
mereka di atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi
saw. sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu adalah
serupa dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang merupakan
bagian yang berlebih dari hiasan dunia. Kesamaanya dalam hal sesuatu yang
terlarang atau sesuatu yang berlebih dari yang wajar, itulah yang mengundang
ayat ini mengajak orang-orang beriman agarjanganlah kamu memakan
riba sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat jahiliyah pada masa
itu, yakni dengan berlipat ganda. Mereka diajak untuk menghindari siksa
Allah didunia dan di akhirat dengan perintah-Nya; Dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan
peliharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat memeliharanya atas
dorongan cinta, maka syukur kepada Allah. Neraka yang disediakan untuk orang-orang
kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba, demikian juga untuk
orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah swt.
Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip
beberapa riwayat, antara lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah ra. yang
kesimpulannya adalah bahwa seseorang – Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil
Asyhal – melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia
memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uhud, dia menanyakan tentang
anak-anak pamannya atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah
disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, segera dia menunggangi kudanya dan
pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya mereka menyuruhnya pulang,
tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam
peperangan itu dan mengalami luka berat. Di rumahnya ia ditanya tentang sebab
keterlibatannya dalam perang, apakah karena ingin membela keluarga atau demi
karena Allah. Dia menjawab, “Demi karena Allah dan Rasul-Nya”. Tidak lama
kemudian dia gugur karena lukanya. Rasul saw. menyatakan bahwa dia adalah
penghuni surga, padahal tidak sekalipun dia shalat.
Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai sebab
turunnya ayat, dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang Uhud yang
menjadi uraian ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat diatas
dapat juga bermakna, ”wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman,
janganlah kamu berbuat seperti Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal
yang menunda keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu kenal berlaku
dalam masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertaqwa kepada Allah agar
kalian tidak celaka tetapi memperoleh keberuntungan”, atau, ”wahai orang-orang
yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah seperti apa yang
dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan Imannya dia berperang, meninggalkan riba
sehingga memperoleh keberuntungan”.
Sayyid Quthub, yang pandangannya dipuji oleh asy-Sya’rawi,
menyatakan bahwa sebelum ayat-ayat surah ini melanjutkan uraian tentang Perang
Uhud serta komentar-komentar yang berkaitan denga peristiwa-peristiwanya,
terlebih dahulu dipaparkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pertempuran
yang dahsyat, yakni pertempuran dalam diri manusia dan lingkungan kehidupannya.
Yakni uraian tentang riba, tentang takwa, dan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, tentang bernafkah di jalan Allah dalam keadaan lapang atau sempit,
sistem kerjasama yang terpuji berhadapan dengan sistem riba yang terkutuk, juga
tentang menahan amarah, pemaafan, penyebarluasan kebajikan ditengah masyarakat,
serta istighfar, permohonan taubat dan kesadaran untuk tidak berlanjut dalam
kesalahan dan dosa. Semua itu dikemukakan sebelum menguraikan peperangan fisik
dan militer agar dapat menunjukan ciri khas ajaran islam, yaitu ”Kesatuan dan
ketercakupan” al-Wahdat wasy syumul menghadapi eksistensi manusia dan
segala aktivitasnya. Semua dikembalikan kepada satu poros, yaitu poros ibadah
dan pengabdian kepada Allah swt. serta mengarahkan segala persoalan kepada-Nya
semata.
Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Prof.Dr.Qurays Shihab memahami riba dalam ayat ini dalam
arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalina persahabatan murni. Di
sisi lain, dalam al-qur’an kata riba ditemukan dalam Al-qur’an sebanyak delapan
kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya.Hanya
dalam surat Ar-rum ini yang ditulis tanpa menggunakn huruf wawu ,ditulis (ربا) . Sedang , selainnya ditulis dengan huruf wawu
yakni(الربو) . pakar ilmu Al-qur’an az-Zarkasyi,
menjadikan perbedaan penulisan ini sebagai salah satu indicator tentang
perbedaan maknanya . yang ini adalah riba yang halal ,yakni hadiah, sedang yang
sealinnya adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan
ekonomi.
Sedangkan perbandingan antara riba dan zakat menunjukkan
bahwa riba terkesan mengambil harta orang lain tanpa ada transaksi
penyeimbang,sedangkan zakat memberikan harta kepada orang lain sebagai wujud
kepedulian .Keduanya dapat melipatgandakan harta sedangkan zakat
melipatgandakan pahala karena sifat kesalehan social orang yang berzakat,”fa
ula’ika humul mudh’ifuuna.
D.
Surah AL-Jumu’ah Ayat 10
a. Ayat dan terjemahan
b. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, ketika Rasulullah
Saw. sedang berkhutbah jumat, tiba-tiba datanglah para pedagang dengan membawa
dagangannya. Dan para sahabat yang sedang mendengarkan khutbah itu
berdiri mengerumuni para pedagang yang baru datang tersebut. Melihat kejadian
tersebut turunlah QS. al-Jumu’ah ayat 9-10.[20]
Abu hayyan meriwayatkan dalam tafsirnya Al-Bahrul
Muhith, bahwa sebabnya sampai mereka bubar yaitu karena penduduk madinah
pada saat itu ditimpa musim paceklik, dan harga barang-barang kebutuhan sangat
tinggi. Maka ketika Dihyah datang dengan membawa barang dagangan, sedang
menurut adat kebiasaan mereka, bahwa kafilah yang masuk kota
diharuskan masuk memukul kendangan bunyi-bunyian lainya. Begitulah ketika
kafilah-kafilah masuk kota dengan bunyi-bunyianya maka merekapun buyar untuk
menontonnya, sedang Rasulullah SAW pada saat itu tengah berdiri dia atas mimbar
yang dihadapan tinggal dua belas orang. Jabir berkata :Aku salah seorang
diantara mereka. Maka turunlah ayat ini.
c. Tafsiran surah
ذِ كْرُ اللّهِ Yang di maksud adalah shalat
dan khutbah,karena itulah sehingga ayat di atas menggunakan kata
dzikrullah Ayat ini bermakna bahwa manusia seharusnya mengingat Allah SWT atas
limpahan nikmat yang dianugerahka-Nya.
فَا
سْعَوْ Yang pada mulanya berarti berjalan cepat bukan
berlari, Dari Abu Qatadah, Ia berkata, ketika kami shalat bersama Nabi SAW,
tiba-tiba terdengar kegaduhan beberapa orang lelaki, ketika beliau selesai
shalat, beliau menanyakan, “Ada apa kamu?” Mereka menjawab, “Kami bergegas
untuk shalat”. Beliau mengatakan, “Janganlah kamu lakukan itu, Apabila kamu
mendatangi shalat, maka berjalanlah kamu dengan tenang. Kerjakanlah shalat yang
kamu dapati dan sempurnakanlah shalat yang kamu ketinggalan”.
Maksud pernyataan di atas yaitu di larang bagi kita
ketika hendak mendatangi shalat terburu buru atau tergesa gesa karena di
takutan hilangnya kekhusyukan dan kurangnya rukun ibadah yang hendak di
kerjakan,karena pada dasarnya terburu buru ialah perbuatan Syaitan.[3]
ذَرُوا ألبَيع Maksudnya adalah ketika sudah masuknya waktu shalat jum’at
yaitu ketika khatib sudah naik ke atas mimbar maka di perintahkan untuk umat
muslim di hari Jum’at tersebut untuk tidak bertransaksi dalam hal jual-beli dan
kegiatan yang menghalangi manusia untuk beribadah shalat jum’at.
نُوْدِىَ
الصَّلاوةِ
Seruan untuk bergegas melaksanakan shalat.Yaitu ketika khatib telah duduk di
atas mimbar.[4]
فانتشرو Arti
bertebaran maksudnya adalh setelah shalat jum’at di bebaskan untuk kaum
musliimin mencari apa yang di inginkannya,selama itu masih dalam tuntunan
Allah,karena karunia Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu bisa mengambil
semuanya.
Hari Jumat di masa jahiliyah disebut hari Arubah, sedang
orang yang pertama kali menyebutnya hari Jumat adalah Ka’ab bin Lu’ay.
Dan diriwayatkan bahwa sebabnya disebut demikian, karena penduduk Madinah
berkumpul sebelum Nabi SAW datang, kemudian orang-orang Anshar berkata: Kaum
Yahudi mempunyai hari dimana pada setiap Minggu mereka berkumpul pada hari itu,
demikian juga kaum Nasrani, maka marilah kita mencari hari yang kita pergunakan
untuk berkumpul pada hari itu, berdzikirlah dan bersyukur kepadanya.Lalu mereka
menyambut: Hari Sabtu milik kaum Yahudi, hari Ahad milik kaum Nasrani, maka
pakailah hari Arubah (untuk kita).Kemudian mereka menemui
As’ad bin Zurarah. Lalu As’ad shalat bersama mereka dua raka’at bersama
pada hari Arubah itu, maka hari itu kemudian disebut
hari Jum’ah karena pada hari itu mereka berkumpul. Lalu
mereka menyembelih seekor kambing untuk makan malam. Itulah permulaan Jumatan
dalam Islam.
Firman Allah “Maka segeralah ingat kepada
Allah” adalah suatu ungkapan yang lembut, yaitu hendaknya seorang
mukmin menegakkan sholat Jumat dengan kesungguhan dan penuh kegairahan, sebab
lafal “As-sa’yu”mengandung arti kehendak,
kesungguhan dan tekad yang bulat. Tidak berarti lari, sebab hal itu di
larang.
Firman Allah “Dan
tinggalkanlah jual beli itu”, yang dimaksud adalah segala macam muamalah
seperti jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Bentuk seperti ini disebut
majas mursal.
Sedikit aju banding dari penulis yaitu di zaman modern sekarang orang
sibuk bukan saja di bidang mu’amalah akan tetapi juga sibuk dengan hal hal
lainnya,kesibukan masyarakat tidak hanya di pasar,tetapi juga di
Kantoran,Sekolahan dan lain lain,begitupula selain pedagang,Guru atau karyawwan
kantoran ketika sudah masuk dari pada jum’at hendaklah ia segera kembali ke
rumahnya dan bergegas melaksanakan ibadah shalat jum’at.dan ada lebih baiknya
lagi apabiila sebelum melaksanakan shalat jum’at hendknya kita melakukan sunah
sunah rasul agar lebihmabrur ibadah yang kita laksanakan.
No comments:
Post a Comment