MAKALAH Tafsir Ekonomi “Ayat Tentang Dasar-Dasar Ekonomi”
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ibadah adalah tindakan untuk mematuhi
perintah dan menjauhi larangan tuhan (Allah) dengan kata lain ibadah ialah
suatu orientasi dari kehidupan dan orientasi tersebut hanya tertuju kepada
tuhan (Allah) saja. Manusia diciptakan oleh tuhan dan hanya berorientasikan
kepada penciptanya yaitu (Allah), sang pencipta yang menumbuhkan dan
mengembangkan manusia, Dia yang memelihara, menjaga dan mendidik manusia, Dia
pula yang memberi petunjuk kepada manusia, oleh karena itu hanya kepada Dia
manusia menyembah
Terkait dengan masalah ibadah,
terdapat beberapa golongan hamba Allah yang sama-sama mengaku sebagai seorang
hamba yang taat beribadah. Mereka memiliki berbagai pengertian yang berbeda
dalam memahami apa hakikat dari ibadah. Diantaranya ada golongan yang
berpendapat bahwa ibadah itu adalah sikap taat dan ketertundukan seorang hamba
kepada sang Kholiqnya dalam rangka Ta'abbud kepada-Nya. Akan tetapi mereka
kurang memperhatikan hal-hal kecil diluar itu yang terkait dengan ibadah
sosial, pergaulan ataupun sikap toleransi dalam sitiap situasi. Ada pula yang
berpendapat bahwa dalam ibadah yang menjadi titik tekan adalah bagaimana
seorang hamba bersungguh-sungguh tatkala mengerjakan sesuatu, dan sesuatu
tersebut bernilai ibadah apabila ia tulus. Akan tetapi mereka acapkali
menyepelekan ibadah mahdhoh, seperti sholat, puasa dan lain-lain.
Kemudian golongan yang terakhir
adalah golongan yang dapat menserasikan antara golongan yang pertama dan kedua,
mereka dapat mensinergikan antara ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru
mahdhoh.Akhir-akhir ini marak para kaum yang mengkaji masalah tersebut dan
memunculkan kesimpulan yang aneh ke dalam telingga kita, kemudian bagaimana
sikap kita sebagai seorang terpelajar menyikapinya? Oleh karena itu, Makalah
ini akan membahas tafsir ayat-ayat ibadah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL-Qur’an Surah Ali’imran ayat 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya :
“Dijadikan
terasa terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan,
berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk
emas dan perak, kuda piliha, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup didunia, dan disisi allah-lah tempat kembali yang baik.”
a.
Asbabun Nuzul
Dari sejarah
kehidupan nabi muhammad saw,ketika utusan Nasrani dan Najran itu datang,mereka
itu memakai pakaian-pakaian yg indah-indah, sutera dewangga. Dan diberitakan
bahwa pakaian-pakaian, perhiasan, sampai ada salib emas tersebut, semuanya
merupakan pemberian dari raja Romawi yg pada saat itu berkuasa di Timur, yang
berkedudukan di waktu itu di syam, yaitu raja Heraclius. Menurut setengah
riwayat bahwa kepala putusan keberatan mengakui kebenaran rasulullah SAW, oleh
karena jaminan hidup dan kemegahan dan perhiasan.
b.
Kandungan Hukum
Dijadikan indah bagi manusia
kecintaan kepada aneka syahwat yakni aneka keinginan. Dalam kalimat ini telah terdapat tiga kata, pertama: zuyyina,artinya
diperhiaskan. Kedua: hubbu, artinya kesukaan atau cinta. Ketiga:
syahwat.
Dijadikan indah bagi manusia
kecintaan kepada aneka syahwat yakni aneka keinginan. Dalam ayat ini tidak
disebutkan apa hal yang menjadikannya indah. Namun yang diperindah adalah
kecintaan kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit
terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi atau material.
Menurut al-Qurtubi dalam kitab
tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,terdapat beberapa perbedaan
pendapat mengenai pengertian al-muzayyindalam ayat tersebut. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudal-muzayyin di sini
ialah Allah Swt. Pendapat ini merupakan asumsi dari Umar bin Khattab, dan
pendapat ini di dukung dengan adanya ayat al-Qur’an yang terkait dengan
pemahaman tersebut, ayat tersebut yang berbunyi: إنا جعلنا ما على الأرض زينة لها .
Sedangkan pendapat lain mengatakan
bahwa al-muzayyin yang dimaksud disini ialah syaithan. Pendapat ini seperti yang dikatakan oleh al-Hasan yang menyatakan bahwa
syaithan sengaja membuat pandangan manusia agar senantiasa condong (mempunyai
kecintaan yang berlebihan) terhadap segala bentuk kesenangan duniawi dan
melupakan kesenangan/kebahagiaan ukhrawi.
Beberapa bentuk kesenangan duniawi yang
diuraikan dalam ayat tersebut ialah: perempuan, anak-anak lelaki, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah
ladang.
Menurut al-Qurthubi, penyebutan
empat jenis harta kekayaan dalam ayat tersebut adalah sesuai dengan jenis
kelompok manusianya (strata sosial yang ada ketika ayat ini diturunkan), yakni:
1)
Jenis harta emas dan perak adalah untuk kelompok masyarakat pedagang
2)
Kuda peliharaan adalah simbol kekayaan pada kalangan raja (bangsawan)
3)
Binatang ternak adalah simbol kekayaan di kalangan masyarakat pedalaman
(badui)
4)
Sawah ladang adalah simbol kekayaan untuk kalangan masyarakat pada umumnya
terutama penduduk pedesaan (masyarakat petani).
B. AL-Qur’an Surah An-Nisa ayat 5-32
1.
AL-Qur’an Surah An-Nisa ayat 5
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي
جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا
لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
a.
Asbabun Nuzul
Pada waktu itu para wali yang
menguasai anak-anak yatim membiarkan begitu saja harta kekayaan yang merupakan
waris dari orang tuanya. Bahkan mereka para wali ikut-ikutan menghabiskan harta
itu sebelum anak-anak itu dewasa, sehingga setelah dewasa menjadi orang yang
serba kekurangan. Sehubungan dengan kebiasan seperti itu Allah SWT. menurunkan
ayat ke-5 dan 6 sebagai perintah terhadap para wali agar memelihara harta
anak-anak yatim.
b.
Kandungan Hukum
Ayat ini menjelaskan bagaimana sikap
manusia dalam memahami harta kekayaan yang dimilikinya; mempergunakan dan membelanjakannya. Ada kata
kunci yang terlebih dahulu harus dipahami dalam menguraikan pengertian ayat
ini, yaitu kata السفهاء.
Menurut Sa'id bin Jubair, al-sufaha' adalah
anak-anak yatim (اليتامى). Abu Malik
mengatakan bahwa al-sufaha' adalah anak kecil yang belum
dewasa (الأولاد الصغار), sementara
menurut Mujahid bahwaal-sufaha' adalah perempum (النساء), dan menurut Umar bahwa yang dimaksud al-sufaha' adalah
orang-orang yang tidak mengetahui hukum/aturan yang terkait dengan
penggunaan harta kekayaan (الجهال بالأحكام).
Dari semua asumsi di atas pengertian al-sufaha' ialah mengarah pada setiap orang yang
berhak mendapatkan perlindungan akan harta kekayaan yang dimilikinya
termasuk penggunaan dan pembelanjaan harta tersebut bagi dirinya. Adanya
perlindungan terhadap harta kekayaan al-sufaha' tersebut
dikarenakan beberapa kondisi, di antaranya adalah karena yang bersangkutan
belum cukup dewasa, hilangnya akal pikiran karena stres/gila atau lainnya, dan
juga karena tidak baiknya yang bersangkutan dalam mempergunakan dan
membelanjakan harta yang dimilikinya.
Di samping menjelaskan kewajiban
seorang wali untuk memberikan (menyediakan) kebutuhan pangan dan
sandang/pakaian bagi al-sufaha'. Ayat ini juga mengandung
penjelasan mengenai kewajiban orang tua memberikan nafkah kepada anak-anaknya, dan suami kepada istrinya.
2.
Surat An- Nisa Ayat 32
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ
بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
a.
Asbabun nuzul
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan
dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata,
"Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum
wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang
diterima lelaki)”. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya:
Dan janganlah kalian iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari
sebagian yang lain. (An-Nisa: 32) Imam Turmuzi meriwayatkannya dari
Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu
Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai
Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu
Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan
melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan
bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak
dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat
mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula
firman-Nya.
b.
Tafsiran menurut
jalalyn
(Dan janganlah kamu mengangan-angankan karunia yang
dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian lainnya) baik dari segi
keduniaan maupun pada soal keagamaan agar hal itu tidak menimbulkan saling
membenci dan mendengki. (Bagi laki-laki ada bagian) atau pahala (dari apa yang
mereka usahakan) disebabkan perjuangan yang mereka lakukan dan lain-lain (dan
bagi wanita ada bagian pula dari apa yang mereka usahakan) misalnya mematuhi
suami dan memelihara kehormatan mereka. Ayat ini turun ketika Umu Salamah mengatakan,
"Wahai! Kenapa kita tidak menjadi laki-laki saja, hingga kita dapat
berjihad dan beroleh pahala seperti pahala laki-laki," (dan mohonlah
olehmu) ada yang memakai hamzah dan ada pula yang tidak (kepada Allah
karunia-Nya) yang kamu butuhkan niscaya akan dikabulkan-Nya. (Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya siapa seharusnya yang
beroleh karunia, begitu pula permohonan kamu kepada-Nya.
c.
Tafsiran menurut
quraish shihab
Laki-laki
hendaknya tidak iri hati terhadap karunia yang diberikan Allah kepada wanita.
Begitu juga, sebaliknya, wanita tidak boleh iri hati terhadap apa-apa yang
dikaruniakan Allah kepada laki-laki. Masing- masing mendapatkan bagian, sesuai
dengan tabiat perbuatan dan haknya. Maka hendaknya masing-masing berharap agar
karunianya ditambah oleh Allah dengan mengembangkan bakat dan memanfaatkan
kelebihan yang dititipkan Allah kepadanya. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu, dan memberikan kepada setiap jenis makhluk sesuatu yang sesuai dengan
kejadiannya.
C.
Surah Ar-Rum Ayat
38-39
1.
Surah Ar-Rum Ayat
38
فَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ۖ وَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula)
kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah
orang-orang beruntung.
a.
Tafsiran ayat 38
Allah Swt. berfirman, memerintahkan
(kepada kaum muslim) agar memberikan kepada kerabat terdekat mereka akan
haknya, yakni berbuat baik dan menghubungkan silaturahmi, juga orang miskin.
Yang dimaksud orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk
ia belanjakan buat dirinya; atau memiliki sesuatu, tetapi masih belum
mencukupinya. Juga kepada ibnu sabil, yaitu seorang musafir
yang memerlukan biaya dan keperluan hidupnya dalam perjalanan, karena biayanya
kehabisan di tengah jalan.
{ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ}
“Itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang mencari keridaan Allah”. (Ar-Rum: 38)
Yang dimaksud dengan wajhullah ialah
Zat Allah, yakni melihat Allah kelak di hari kiamat. Hal ini merupakan tujuan
utama yang paling tinggi.
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Ar-Rum: 38)
Yakni beruntung di dunia dan akhirat.
Selanjutnya disebutkan dalam ayat
{وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ
النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ}
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah”. (Ar-Rum: 39)
barang siapa yang memberi orang lain dengan tujuan agar orang itu balas memberinya
dengan lebih banyak daripada apa yang ia berikan kepadanya, maka perbuatan
seperti ini tidak ada pahalanya di sisi Allah bagi orang yang bersangkutan.
Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid,
Ad-Dahhak, Qatadah, Ikrimah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Asy-Sya'bi.
Perbuatan seperti itu hukumnya boleh, sekalipun tidak ada pahalanya,
hanya saja larangan ini hanya ditujukan kepada Nabi Saw. secara khusus.
Demikianlah menurut pendapat Ad-Dahhak, ia mengatakan demikian dengan berdalilkan
firman Allah Swt.:
{وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ}
Artinya:
“dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang
lebih banyak”. (Al-Muddassir: 6)
Yakni janganlah kamu menghadiahkan
suatu pemberian dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih banyak daripada itu.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa riba itu ada dua macam: 1. Riba yang tidak dibenarkan,
yaitu riba jual beli. 2. Riba yang tidak berdosa, yaitu seseorang yang
menghadiahkan sesuatu dengan tujuan mendapat balasan hadiah yang lebih banyak.
Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman Allah Swt.: “Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (Ar-Rum:
39)
Sesungguhnya pahala di sisi Allah itu hanyalah pahala zakat. Karena itu,
disebutkan dalam firman selanjutnya:
{وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ
اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ}
Artinya:
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya)”. (Ar-Rum: 39)
Merekalah orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah,
sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui sabda Nabi Saw.:
"وَمَا تَصْدَّقَ أَحَدٌ بِعَدْل تَمْرَةٍ مِنْ
كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلَّا أَخْذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ، فَيُرَبِّيها
لِصَاحِبِهَا
كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوّه أَوْ فَصِيلَه، حَتَّى تَصِيرَ التَّمْرَةُ
أَعْظَمَ مِنْ أُحُد"
Artinya:
“Tidaklah seseorang menyedekahkan sesuatu yang semisal dengan sebiji kurma
dari hasil yang halal, melainkan Tuhan Yang Maha Pemurah menerimanya dengan
tangan kanan-Nya, lalu mengembangkannya
buat pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya
atau anak untanya, hingga sebiji kurma itu menjadi lebih besar daripada Bukit
Uhud”.
b. Tafsir menurut jalalayn
(Maka berikanlah kepada kerabat) kepada famili yang terdekat (akan
haknya) yaitu dengan menyantuninya dan menghubungkan silaturahmi dengannya
(demikian pula kepada fakir miskin dan ibnu sabil) orang yang sedang musafir,
yaitu dengan memberikan sedekah kepada mereka, perintah ini ditujukan kepada
Nabi saw. dan sebagai umatnya diharuskan mengikuti jejaknya. (Itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah) yakni pahala-Nya sebagai
imbalan dari apa yang telah mereka kerjakan (dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung) yaitu orang-orang yang memperoleh keberuntungan.
c. Tafsir menurut quraish shihab
Dan apabila hanya Allah Swt. yang meluaskan rezeki dan menetapkan
ukurannya, maka berikanlah hak kaum kerabat kepadanya, yaitu berupa kebajikan
dan hubungan silaturahmi. Dan juga berilah
kepada orang yang membutuhkan dan kehabisan perbekalan di jalan berupa zakat
dan sedekah. Hal itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang menghendaki rida
Allah dan menginginkan pahala-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
keberuntungan dengan kenikmatan yang abadi.
d. Asbabun Nuzul
Abu al ansory Ra
mengatakan bahwa seorang laki laki bertanya kepada rosullah Saw. Kabarkanlah
kepadaku suatu amalan yang bisa memasukanku ke surga dan menjauhkan ku dari
neraka. Para sahabat menjawab hartanya, rosullah Saw bersabda, “apakah pemilik
harta kamu menyembah allah dan tidak menyekutukanya dengan sesuatu pun, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan menyambungkan silaturrahmi kesesama umat manusia
di alam yang fana ini.”(HR.Al bukhori, 2/108-109, muslim 1/42;43)
2. Surah Ar-Rum
Ayat 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ
النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ
وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
a.
Tafsiran
Di dalam bahasa
Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung makna tambahan
secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah /
tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam
membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prisip muamalah dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam
Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam
perihal Pemberihan hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat
tambahan yang lebih. Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer
sebab kemasukan huruf Jer Min.
Dapat
disimpulkan bahwa yang di maksud riba adalah sesuatu yang berlebih atau
berlipat ganda, dari unsur mengutangkan dan pada akhirnya akan menimbulkan
penganiayaan.
b.
Penjelasan
dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Prof.Dr.Qurays Shihab memahami riba
dalam ayat ini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalina
persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-qur’an kata riba ditemukan dalam
Al-qur’an sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik
adalah cara penulisannya.Hanya dalam surat Ar-rum ini yang ditulis tanpa
menggunakn huruf wawu ,ditulis (ربا) . Sedang ,
selainnya ditulis dengan huruf wawu yakni(الربو) . pakar ilmu
Al-qur’an az-Zarkasyi, menjadikan perbedaan penulisan ini sebagai salah satu
indicator tentang perbedaan maknanya . yang ini adalah riba yang halal ,yakni
hadiah, sedang yang sealinnya adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu
pokok keburukan ekonomi.
Sedangkan
perbandingan antara riba dan zakat menunjukkan bahwa riba terkesan mengambil
harta orang lain tanpa ada transaksi penyeimbang,sedangkan zakat memberikan
harta kepada orang lain sebagai wujud kepedulian .Keduanya dapat
melipatgandakan harta sedangkan zakat melipatgandakan pahala karena sifat
kesalehan social orang yang berzakat,”fa ula’ika humul mudh’ifuuna.
D.
Surah AL-Jumu’ah Ayat 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.
1.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
ketika Rasulullah Saw. sedang berkhutbah jumat, tiba-tiba datanglah para
pedagang dengan membawa dagangannya. Dan para sahabat yang
sedang mendengarkan khutbah itu berdiri mengerumuni para pedagang
yang baru datang tersebut. Melihat kejadian tersebut turunlah QS. al-Jumu’ah
ayat 9-10.
Abu hayyan meriwayatkan dalam
tafsirnya Al-Bahrul Muhith, bahwa sebabnya sampai mereka bubar
yaitu karena penduduk madinah pada saat itu ditimpa musim paceklik, dan harga
barang-barang kebutuhan sangat tinggi. Maka ketika Dihyah datang dengan membawa
barang dagangan, sedang menurut adat kebiasaan mereka, bahwa kafilah
yang masuk kota diharuskan masuk memukul kendangan bunyi-bunyian lainya.
Begitulah ketika kafilah-kafilah masuk kota dengan bunyi-bunyianya maka
merekapun buyar untuk menontonnya, sedang Rasulullah SAW pada saat itu tengah
berdiri dia atas mimbar yang dihadapan tinggal dua belas orang. Jabir berkata
:Aku salah seorang diantara mereka. Maka turunlah ayat ini.
2.
Tafsiran surah
ذِ كْرُ اللّهِ Yang di maksud adalah shalat dan khutbah,karena itulah sehingga
ayat di atas menggunakan kata dzikrullah Ayat ini bermakna bahwa manusia
seharusnya mengingat Allah SWT atas limpahan nikmat yang dianugerahka-Nya.
فَا سْعَوْ Yang
pada mulanya berarti berjalan cepat bukan berlari, Dari Abu Qatadah, Ia
berkata, ketika kami shalat bersama Nabi SAW, tiba-tiba terdengar kegaduhan
beberapa orang lelaki, ketika beliau selesai shalat, beliau menanyakan, “Ada
apa kamu?” Mereka menjawab, “Kami bergegas untuk shalat”. Beliau mengatakan,
“Janganlah kamu lakukan itu, Apabila kamu mendatangi shalat, maka berjalanlah
kamu dengan tenang. Kerjakanlah shalat yang kamu dapati dan sempurnakanlah
shalat yang kamu ketinggalan”.
Maksud pernyataan di atas yaitu di
larang bagi kita ketika hendak mendatangi shalat terburu buru atau tergesa gesa
karena di takutan hilangnya kekhusyukan dan kurangnya rukun ibadah yang hendak
di kerjakan,karena pada dasarnya terburu buru ialah perbuatan Syaitan.
ذَرُوا ألبَيع Maksudnya
adalah ketika sudah masuknya waktu shalat jum’at yaitu ketika khatib sudah naik
ke atas mimbar maka di perintahkan untuk umat muslim di hari Jum’at tersebut
untuk tidak bertransaksi dalam hal jual-beli dan kegiatan yang menghalangi
manusia untuk beribadah shalat jum’at.
نُوْدِىَ الصَّلاوةِ Seruan untuk bergegas melaksanakan
shalat.Yaitu ketika khatib telah duduk di atas mimbar.
فانتشرو Arti
bertebaran maksudnya adalh setelah shalat jum’at di bebaskan untuk kaum
musliimin mencari apa yang di inginkannya,selama itu masih dalam tuntunan
Allah,karena karunia Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu bisa mengambil
semuanya.
Hari Jumat di masa jahiliyah disebut hari Arubah, sedang
orang yang pertama kali menyebutnya hari Jumat adalah Ka’ab
bin Lu’ay. Dan diriwayatkan bahwa sebabnya disebut demikian, karena
penduduk Madinah berkumpul sebelum Nabi SAW datang, kemudian orang-orang Anshar
berkata: Kaum Yahudi mempunyai hari dimana pada setiap Minggu mereka berkumpul
pada hari itu, demikian juga kaum Nasrani, maka marilah kita mencari hari yang
kita pergunakan untuk berkumpul pada hari itu, berdzikirlah dan bersyukur
kepadanya.Lalu mereka menyambut: Hari Sabtu milik kaum Yahudi, hari Ahad milik
kaum Nasrani, maka pakailah hari Arubah (untuk kita).Kemudian
mereka menemui As’ad bin Zurarah. Lalu As’ad shalat bersama mereka dua raka’at
bersama pada hari Arubah itu, maka hari itu kemudian
disebut hari Jum’ah karena pada hari itu mereka
berkumpul. Lalu mereka menyembelih seekor kambing untuk makan malam.
Itulah permulaan Jumatan dalam Islam.
Firman Allah “Maka segeralah ingat kepada Allah” adalah suatu
ungkapan yang lembut, yaitu hendaknya seorang mukmin menegakkan sholat Jumat
dengan kesungguhan dan penuh kegairahan, sebab lafal “As-sa’yu”mengandung
arti kehendak, kesungguhan dan tekad yang bulat. Tidak berarti lari,
sebab hal itu di larang.
Firman Allah “Dan tinggalkanlah jual beli itu”, yang dimaksud
adalah segala macam muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya.
Bentuk seperti ini disebut majas mursal.
Sedikit aju banding dari penulis
yaitu di zaman modern sekarang orang sibuk bukan saja di bidang mu’amalah akan
tetapi juga sibuk dengan hal hal lainnya,kesibukan masyarakat tidak hanya di
pasar,tetapi juga di Kantoran,Sekolahan dan lain lain,begitupula selain
pedagang,Guru atau karyawwan kantoran ketika sudah masuk dari pada jum’at
hendaklah ia segera kembali ke rumahnya dan bergegas melaksanakan ibadah shalat
jum’at.dan ada lebih baiknya lagi apabiila sebelum melaksanakan shalat jum’at
hendknya kita melakukan sunah sunah rasul agar lebihmabrur ibadah
yang kita laksanakan.
BAB III
PENUTUP
Daftar Pustaka
M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir
Al-Munashabah. Jakarta. Lentera Hati.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anal
Majid An-Nur. Semarang. Pustaka Rizki Putra.
No comments:
Post a Comment