1

loading...

Wednesday, October 31, 2018

MAKALAH Tafsir Ekonomi “Ayat Tentang Dasar-Dasar Ekonomi”

MAKALAH  Tafsir Ekonomi  “Ayat Tentang Dasar-Dasar Ekonomi”

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Ibadah adalah tindakan untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan tuhan (Allah) dengan kata lain ibadah ialah suatu orientasi dari kehidupan dan orientasi tersebut hanya tertuju kepada tuhan (Allah) saja. Manusia diciptakan oleh tuhan dan hanya berorientasikan kepada penciptanya yaitu (Allah), sang pencipta yang menumbuhkan dan mengembangkan manusia, Dia yang memelihara, menjaga dan mendidik manusia, Dia pula yang memberi petunjuk kepada manusia, oleh karena itu hanya kepada Dia manusia menyembah
Terkait dengan masalah ibadah, terdapat beberapa golongan hamba Allah yang sama-sama mengaku sebagai seorang hamba yang taat beribadah. Mereka memiliki berbagai pengertian yang berbeda dalam memahami apa hakikat dari ibadah. Diantaranya ada golongan yang berpendapat bahwa ibadah itu adalah sikap taat dan ketertundukan seorang hamba kepada sang Kholiqnya dalam rangka Ta'abbud kepada-Nya. Akan tetapi mereka kurang memperhatikan hal-hal kecil diluar itu yang terkait dengan ibadah sosial, pergaulan ataupun sikap toleransi dalam sitiap situasi. Ada pula yang berpendapat bahwa dalam ibadah yang menjadi titik tekan adalah bagaimana seorang hamba bersungguh-sungguh tatkala mengerjakan sesuatu, dan sesuatu tersebut bernilai ibadah apabila ia tulus. Akan tetapi mereka acapkali menyepelekan ibadah mahdhoh, seperti sholat, puasa dan lain-lain.
Kemudian golongan yang terakhir adalah golongan yang dapat menserasikan antara golongan yang pertama dan kedua, mereka dapat mensinergikan antara ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh.Akhir-akhir ini marak para kaum yang mengkaji masalah tersebut dan memunculkan kesimpulan yang aneh ke dalam telingga kita, kemudian bagaimana sikap kita sebagai seorang terpelajar menyikapinya? Oleh karena itu, Makalah ini akan membahas tafsir ayat-ayat ibadah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    AL-Qur’an Surah Ali’imran ayat 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya :
“Dijadikan terasa terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda piliha, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia, dan disisi allah-lah tempat kembali yang baik.”
a.       Asbabun Nuzul
Dari sejarah kehidupan nabi muhammad saw,ketika utusan Nasrani dan Najran itu datang,mereka itu memakai pakaian-pakaian yg indah-indah, sutera dewangga. Dan diberitakan bahwa pakaian-pakaian, perhiasan, sampai ada salib emas tersebut, semuanya merupakan pemberian dari raja Romawi yg pada saat itu berkuasa di Timur, yang berkedudukan di waktu itu di syam, yaitu raja Heraclius. Menurut setengah riwayat bahwa kepala putusan keberatan mengakui kebenaran rasulullah SAW, oleh karena jaminan hidup dan kemegahan dan perhiasan.
b.      Kandungan Hukum
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat yakni aneka keinginan. Dalam kalimat ini telah terdapat tiga kata,  pertama: zuyyina,artinya diperhiaskan.  Kedua: hubbu, artinya kesukaan atau cinta.  Ketiga: syahwat.
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat yakni aneka keinginan. Dalam ayat ini tidak disebutkan apa hal yang menjadikannya indah. Namun yang diperindah adalah kecintaan kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi atau material.
Menurut al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai pengertian al-muzayyindalam ayat tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudal-muzayyin di sini ialah Allah Swt. Pendapat ini merupakan asumsi dari Umar bin Khattab, dan pendapat ini di dukung dengan adanya ayat al-Qur’an yang terkait dengan pemahaman tersebut, ayat tersebut yang berbunyi: إنا جعلنا ما على الأرض زينة لها .
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa al-muzayyin yang dimaksud disini ialah syaithan. Pendapat ini seperti yang dikatakan oleh al-Hasan yang menyatakan bahwa syaithan sengaja membuat pandangan manusia agar senantiasa condong (mempunyai kecintaan yang berlebihan) terhadap segala bentuk kesenangan duniawi dan melupakan kesenangan/kebahagiaan ukhrawi.
 Beberapa bentuk kesenangan duniawi yang diuraikan dalam ayat tersebut ialahperempuan, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.
 Menurut al-Qurthubi, penyebutan empat jenis harta kekayaan dalam ayat tersebut adalah sesuai dengan jenis kelompok manusianya (strata sosial yang ada ketika ayat ini diturunkan), yakni:
1)      Jenis harta emas dan perak adalah untuk kelompok masyarakat pedagang
2)      Kuda peliharaan adalah simbol kekayaan pada kalangan raja (bangsawan)
3)      Binatang ternak adalah simbol kekayaan di kalangan masyarakat pedalaman (badui)
4)      Sawah ladang adalah simbol kekayaan untuk kalangan masyarakat pada umumnya terutama penduduk pedesaan (masyarakat petani).
B.     AL-Qur’an Surah An-Nisa ayat  5-32
1.      AL-Qur’an Surah An-Nisa ayat 5
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
a.       Asbabun Nuzul
Pada waktu itu para wali yang menguasai anak-anak yatim membiarkan begitu saja harta kekayaan yang merupakan waris dari orang tuanya. Bahkan mereka para wali ikut-ikutan menghabiskan harta itu sebelum anak-anak itu dewasa, sehingga setelah dewasa menjadi orang yang serba kekurangan. Sehubungan dengan kebiasan seperti itu Allah SWT. menurunkan ayat ke-5 dan 6 sebagai perintah terhadap para wali agar memelihara harta anak-anak yatim.
b.       Kandungan Hukum
Ayat ini menjelaskan bagaimana sikap manusia dalam memahami harta kekayaan yang dimilikinya; mempergunakan dan membelanjakannya. Ada kata kunci yang terlebih dahulu harus dipahami dalam menguraikan pengertian ayat ini, yaitu kata السفهاء.
 Menurut Sa'id bin Jubair, al-sufaha' adalah anak-anak yatim (اليتامى). Abu Malik mengatakan bahwa al-sufaha' adalah anak kecil yang belum dewasa (الأولاد الصغار), sementara menurut Mujahid bahwaal-sufaha' adalah perempum (النساء), dan menurut Umar bahwa yang dimaksud al-sufaha' adalah orang-orang yang tidak mengetahui hukum/aturan yang terkait dengan penggunaan harta kekayaan (الجهال بالأحكام).
Dari semua asumsi di atas pengertian al-sufaha' ialah mengarah pada setiap orang yang berhak mendapatkan perlindungan akan harta kekayaan yang dimilikinya termasuk penggunaan dan pembelanjaan harta tersebut bagi dirinya. Adanya perlindungan terhadap harta kekayaan al-sufaha' tersebut dikarenakan beberapa kondisi, di antaranya adalah karena yang bersangkutan belum cukup dewasa, hilangnya akal pikiran karena stres/gila atau lainnya, dan juga karena tidak baiknya yang bersangkutan dalam mempergunakan dan membelanjakan harta yang dimilikinya.
Di samping menjelaskan kewajiban seorang wali untuk memberikan (menyediakan) kebutuhan pangan dan sandang/pakaian bagi al-sufaha'. Ayat ini juga mengandung penjelasan mengenai kewajiban orang tua memberikan nafkah kepada anak-anaknya, dan suami kepada istrinya.

2.      Surat An- Nisa Ayat 32
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
a.       Asbabun nuzul
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)”. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32) Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya.
b.      Tafsiran menurut jalalyn
(Dan janganlah kamu mengangan-angankan karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian lainnya) baik dari segi keduniaan maupun pada soal keagamaan agar hal itu tidak menimbulkan saling membenci dan mendengki. (Bagi laki-laki ada bagian) atau pahala (dari apa yang mereka usahakan) disebabkan perjuangan yang mereka lakukan dan lain-lain (dan bagi wanita ada bagian pula dari apa yang mereka usahakan) misalnya mematuhi suami dan memelihara kehormatan mereka. Ayat ini turun ketika Umu Salamah mengatakan, "Wahai! Kenapa kita tidak menjadi laki-laki saja, hingga kita dapat berjihad dan beroleh pahala seperti pahala laki-laki," (dan mohonlah olehmu) ada yang memakai hamzah dan ada pula yang tidak (kepada Allah karunia-Nya) yang kamu butuhkan niscaya akan dikabulkan-Nya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya siapa seharusnya yang beroleh karunia, begitu pula permohonan kamu kepada-Nya.
c.       Tafsiran menurut quraish shihab
Laki-laki hendaknya tidak iri hati terhadap karunia yang diberikan Allah kepada wanita. Begitu juga, sebaliknya, wanita tidak boleh iri hati terhadap apa-apa yang dikaruniakan Allah kepada laki-laki. Masing- masing mendapatkan bagian, sesuai dengan tabiat perbuatan dan haknya. Maka hendaknya masing-masing berharap agar karunianya ditambah oleh Allah dengan mengembangkan bakat dan memanfaatkan kelebihan yang dititipkan Allah kepadanya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, dan memberikan kepada setiap jenis makhluk sesuatu yang sesuai dengan kejadiannya.
C.    Surah Ar-Rum  Ayat 38-39
1.     Surah Ar-Rum Ayat  38
فَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.
a.       Tafsiran ayat 38
Allah Swt. berfirman, memerintahkan (kepada kaum muslim) agar memberikan kepada kerabat terdekat mereka akan haknya, yakni berbuat baik dan menghubungkan silaturahmi, juga orang miskin. Yang dimaksud orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk ia belanjakan buat dirinya; atau memiliki sesuatu, tetapi masih belum mencukupinya. Juga kepada ibnu sabil, yaitu seorang musafir yang memerlukan biaya dan keperluan hidupnya dalam perjalanan, karena biayanya kehabisan di tengah jalan.
{ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ}
“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah”. (Ar-Rum: 38)
Yang dimaksud dengan wajhullah ialah Zat Allah, yakni melihat Allah kelak di hari kiamat. Hal ini merupakan tujuan utama yang paling tinggi.
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Ar-Rum: 38)

Yakni beruntung di dunia dan akhirat.                                  
Selanjutnya disebutkan dalam ayat                           
{وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ}
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (Ar-Rum: 39)
barang siapa yang memberi orang lain dengan tujuan agar orang itu balas memberinya dengan lebih banyak daripada apa yang ia berikan kepadanya, maka perbuatan seperti ini tidak ada pahalanya di sisi Allah bagi orang yang bersangkutan. Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, Ikrimah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Asy-Sya'bi.
Perbuatan seperti itu hukumnya boleh, sekalipun tidak ada pahalanya, hanya saja larangan ini hanya ditujukan kepada Nabi Saw. secara khusus. Demikianlah menurut pendapat Ad-Dahhak, ia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman Allah Swt.:
{وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ}
Artinya:
“dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. (Al-Muddassir: 6)
Yakni janganlah kamu menghadiahkan suatu pemberian dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih banyak daripada itu.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa riba itu ada dua macam: 1. Riba yang tidak dibenarkan, yaitu riba jual beli. 2. Riba yang tidak berdosa, yaitu seseorang yang menghadiahkan sesuatu dengan tujuan mendapat balasan hadiah yang lebih banyak. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman Allah Swt.: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (Ar-Rum: 39)
Sesungguhnya pahala di sisi Allah itu hanyalah pahala zakat. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:
{وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ}
Artinya:
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya)”. (Ar-Rum: 39)
Merekalah orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui sabda Nabi Saw.:
"وَمَا تَصْدَّقَ أَحَدٌ بِعَدْل تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلَّا أَخْذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ، فَيُرَبِّيها
 لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوّه أَوْ فَصِيلَه، حَتَّى تَصِيرَ التَّمْرَةُ أَعْظَمَ مِنْ أُحُد"
Artinya:
“Tidaklah seseorang menyedekahkan sesuatu yang semisal dengan sebiji kurma dari hasil yang halal, melainkan Tuhan Yang Maha Pemurah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengembangkannya buat pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya atau anak untanya, hingga sebiji kurma itu menjadi lebih besar daripada Bukit Uhud”.
b.      Tafsir menurut jalalayn
(Maka berikanlah kepada kerabat) kepada famili yang terdekat (akan haknya) yaitu dengan menyantuninya dan menghubungkan silaturahmi dengannya (demikian pula kepada fakir miskin dan ibnu sabil) orang yang sedang musafir, yaitu dengan memberikan sedekah kepada mereka, perintah ini ditujukan kepada Nabi saw. dan sebagai umatnya diharuskan mengikuti jejaknya. (Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah) yakni pahala-Nya sebagai imbalan dari apa yang telah mereka kerjakan (dan mereka itulah orang-orang yang beruntung) yaitu orang-orang yang memperoleh keberuntungan.
c.       Tafsir menurut quraish shihab
Dan apabila hanya Allah Swt. yang meluaskan rezeki dan menetapkan ukurannya, maka berikanlah hak kaum kerabat kepadanya, yaitu berupa kebajikan dan hubungan silaturahmi. Dan juga berilah kepada orang yang membutuhkan dan kehabisan perbekalan di jalan berupa zakat dan sedekah. Hal itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang menghendaki rida Allah dan menginginkan pahala-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan dengan kenikmatan yang abadi.
d.      Asbabun Nuzul
Abu al ansory Ra mengatakan bahwa seorang laki laki bertanya kepada rosullah Saw. Kabarkanlah kepadaku suatu amalan yang bisa memasukanku ke surga dan menjauhkan ku dari neraka. Para sahabat menjawab hartanya, rosullah Saw bersabda, “apakah pemilik harta kamu menyembah allah dan tidak menyekutukanya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambungkan silaturrahmi kesesama umat manusia di alam yang fana ini.”(HR.Al bukhori, 2/108-109, muslim 1/42;43)

2.      Surah Ar-Rum Ayat 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
a.       Tafsiran
Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung  makna tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam perihal Pemberihan hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat tambahan yang lebih. Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf Jer Min.
Dapat disimpulkan bahwa yang di maksud riba adalah sesuatu yang berlebih atau berlipat ganda, dari unsur mengutangkan dan pada akhirnya akan menimbulkan penganiayaan.
b.      Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Prof.Dr.Qurays Shihab memahami riba dalam ayat ini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalina persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-qur’an kata riba ditemukan dalam Al-qur’an sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya.Hanya dalam surat Ar-rum ini yang ditulis tanpa menggunakn huruf wawu ,ditulis (ربا) . Sedang , selainnya ditulis dengan huruf wawu yakni(الربو) . pakar ilmu Al-qur’an az-Zarkasyi, menjadikan perbedaan penulisan ini sebagai salah satu indicator tentang perbedaan maknanya . yang ini adalah riba yang halal ,yakni hadiah, sedang yang sealinnya adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.
Sedangkan perbandingan antara riba dan zakat menunjukkan bahwa riba terkesan mengambil harta orang lain tanpa ada transaksi penyeimbang,sedangkan zakat memberikan harta kepada orang lain sebagai wujud kepedulian .Keduanya dapat melipatgandakan harta sedangkan zakat melipatgandakan pahala karena sifat kesalehan social orang yang berzakat,”fa ula’ika humul mudh’ifuuna.
D.    Surah AL-Jumu’ah Ayat 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
1.      Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, ketika Rasulullah Saw. sedang berkhutbah jumat, tiba-tiba datanglah para pedagang dengan membawa dagangannya. Dan para sahabat yang sedang mendengarkan khutbah itu berdiri mengerumuni para pedagang yang baru datang tersebut. Melihat kejadian tersebut turunlah QS. al-Jumu’ah ayat 9-10.
Abu hayyan meriwayatkan dalam tafsirnya Al-Bahrul Muhith, bahwa sebabnya sampai mereka bubar yaitu karena penduduk madinah pada saat itu ditimpa musim paceklik, dan harga barang-barang kebutuhan sangat tinggi. Maka ketika Dihyah datang dengan membawa barang dagangan, sedang menurut adat kebiasaan  mereka, bahwa kafilah yang masuk kota diharuskan masuk memukul kendangan bunyi-bunyian lainya. Begitulah ketika kafilah-kafilah masuk kota dengan bunyi-bunyianya maka merekapun buyar untuk menontonnya, sedang Rasulullah SAW pada saat itu tengah berdiri dia atas mimbar yang dihadapan tinggal dua belas orang. Jabir berkata :Aku salah seorang diantara mereka. Maka turunlah ayat ini.
2.      Tafsiran surah
 ذِ كْرُ اللّهِ  Yang di maksud adalah shalat dan khutbah,karena itulah  sehingga ayat di atas menggunakan kata dzikrullah Ayat ini bermakna bahwa manusia seharusnya mengingat Allah SWT atas limpahan nikmat yang dianugerahka-Nya.
 فَا سْعَوْ   Yang pada mulanya berarti berjalan cepat bukan berlari, Dari Abu Qatadah, Ia berkata, ketika kami shalat bersama Nabi SAW, tiba-tiba terdengar kegaduhan beberapa orang lelaki, ketika beliau selesai shalat, beliau menanyakan, “Ada apa kamu?” Mereka menjawab, “Kami bergegas untuk shalat”. Beliau mengatakan, “Janganlah kamu lakukan itu, Apabila kamu mendatangi shalat, maka berjalanlah kamu dengan tenang. Kerjakanlah shalat yang kamu dapati dan sempurnakanlah shalat yang kamu ketinggalan”.
Maksud pernyataan di atas yaitu di larang bagi kita ketika hendak mendatangi shalat terburu buru atau tergesa gesa karena di takutan hilangnya kekhusyukan dan kurangnya rukun ibadah yang hendak di kerjakan,karena pada dasarnya terburu buru ialah perbuatan Syaitan.
 ذَرُوا ألبَيع Maksudnya adalah ketika sudah masuknya waktu shalat jum’at yaitu ketika khatib sudah naik ke atas mimbar maka di perintahkan untuk umat muslim di hari Jum’at tersebut untuk tidak bertransaksi dalam hal jual-beli dan kegiatan yang menghalangi manusia untuk beribadah shalat jum’at.
 نُوْدِىَ الصَّلاوةِ    Seruan untuk bergegas melaksanakan shalat.Yaitu ketika khatib telah duduk di atas mimbar.
 فانتشرو Arti bertebaran maksudnya adalh setelah shalat jum’at di bebaskan untuk kaum musliimin mencari apa yang di inginkannya,selama itu masih dalam tuntunan Allah,karena karunia Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu bisa mengambil semuanya.
Hari Jumat di masa jahiliyah disebut hari Arubah, sedang orang yang pertama kali menyebutnya hari Jumat adalah Ka’ab bin Lu’ay. Dan diriwayatkan bahwa sebabnya disebut demikian, karena penduduk Madinah berkumpul sebelum Nabi SAW datang, kemudian orang-orang Anshar berkata: Kaum Yahudi mempunyai hari dimana pada setiap Minggu mereka berkumpul pada hari itu, demikian juga kaum Nasrani, maka marilah kita mencari hari yang kita pergunakan untuk berkumpul pada hari itu, berdzikirlah dan bersyukur kepadanya.Lalu mereka menyambut: Hari Sabtu milik kaum Yahudi, hari Ahad milik kaum Nasrani, maka pakailah hari Arubah (untuk kita).Kemudian mereka menemui As’ad bin Zurarah. Lalu As’ad shalat bersama mereka dua raka’at  bersama pada hari Arubah itu, maka hari itu kemudian disebut hari Jum’ah karena pada hari itu mereka berkumpul. Lalu mereka menyembelih seekor kambing untuk makan malam. Itulah permulaan Jumatan dalam Islam.
Firman Allah “Maka segeralah ingat kepada Allah” adalah suatu ungkapan yang lembut, yaitu hendaknya seorang mukmin menegakkan sholat Jumat dengan kesungguhan dan penuh kegairahan, sebab lafal “As-sa’yu”mengandung arti kehendak, kesungguhan dan tekad yang bulat. Tidak berarti lari, sebab hal itu di larang.
Firman Allah “Dan tinggalkanlah jual beli itu”, yang dimaksud adalah segala macam muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Bentuk seperti ini disebut majas mursal.
Sedikit aju banding dari penulis yaitu di zaman modern sekarang orang sibuk bukan saja di bidang mu’amalah akan tetapi juga sibuk dengan hal hal lainnya,kesibukan masyarakat tidak hanya di pasar,tetapi juga di Kantoran,Sekolahan dan lain lain,begitupula selain pedagang,Guru atau karyawwan kantoran ketika sudah masuk dari pada jum’at hendaklah ia segera kembali ke rumahnya dan bergegas melaksanakan ibadah shalat jum’at.dan ada lebih baiknya lagi apabiila sebelum melaksanakan shalat jum’at hendknya kita melakukan sunah sunah rasul agar lebihmabrur ibadah yang kita laksanakan.









BAB III
PENUTUP
Daftar Pustaka

M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir Al-Munashabah. Jakarta. Lentera Hati.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anal Majid An-Nur. Semarang. Pustaka Rizki Putra.










No comments:

Post a Comment