BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melihat
konteks historis agama islam yang terurai panjang dan sesuatu yang menarik
untuk dikaji dan dipelajari secara mendalam, maka akan ditemukan sebuah
gambaran perjuangan gigih oleh baginda nabi besar Muhammad saw dalam
menyebarkan agama yang pada saat ini oleh Michael hart mengartikan nabi
Muhammad saw sebagai “100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah” yaitu
tokoh pertama dalam bukunya. Hal ini dapat didasarkan
dengan keberhasilan nabi Muhammad dalam menyebarkan agama islam.
Selain itu dengan keberadaan al – qur’an yang
merupakan bentuk mukjizat berupa kitab suci yang diakui kebenaran serta
keasliannya. Al – qur’an merupakan sumber pedoman umat islam dalam segala aspek
kehidupan serta sendi –sendi kebutuhannya yang beragam serta selalu berubah
dengan perputaran roda zaman.
Di dalam
al – qur’an banyak ayat yang menyebutkan tentang kewajiban umat islam untuk
mengajak kepada kebaikan yang sailing mengingatkan dalam kemunkaran dapat
disumpulkan jika agama islam mengajarkan bahwa interaksi sesama merupakan
sebuah keindahan apabila dihiasi dan saling mengingatkan dan mengajak ke dalam
kebaikan. Sehingga pada dasarnya islam memberikan rasa
solidaritas kepada sesama sebagai bentuk kebersamaan dan karakteristik dari
agama islam dalam bentuk aktifitas.
Mengajak manusia menuju agama Allah merupakan salah satu ibadah
yang agung, manfaatnya menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama Allah
merupakan perkataan yang paling baik. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى
مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju
Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33].
Dakwah
mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai
kemuliaan bahwa para da’i mengemban tugas para nabi. Allah Azza wa Jalla
memerintahkan RasulNya untuk mengatakan, dakwah merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:
قُلْ هَذِهِ
سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
“Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf:108].
Karena dakwah
merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan mengikuti Sunnah
Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini merupakan syarat diterimanya
ibadah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ilmu ?
2. Apa itu dakwah ?
3. Seperti apakah ikhlas
dalam berdakwah itu ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu
ilmu.
2. Untuk mengetahui apa itu
dakwah.
3. Dan untuk mengetahui
bagaimana kita ikhlas dalam berdakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa
Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam
bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science,
sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science
umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan,
meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami
pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan)
itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
“Science is knowledge arranged in a system,
especially obtained by observation and testing of fact (And English reader’s
dictionary)
“Science is a systematized knowledge obtained
by study, observation, experiment” (Webster’s super New School and Office
Dictionary)
Dari pengertian di atas nampak
bahwa Ilmu memang mengandung arti pengetahuan, tapi pengetahuan dengan
ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis atau menurut Moh Hatta
(1954 : 5) “Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu”.[1]
B. PENGERTIAN DAKWAH
Dakwah dalam bahasa Arab berasal dari kata (da'a yad'u, da'watan),
berarti menyeru, memanggil, mengajak, menjamu.[2]
Atau kata da'a, yad'u, duaan, da'wahu, berarti menyeru akan dia.[3]
Asal kata dakwah dalam
berbagai bentuknya (fi; il dan isim)terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 211
kali,3 dengan rincian, dalam masdar terulang 10 kali, fi'il Madhi 30 kali,
Fi'iI Mudhari' 112, Isim Fa'il 7 kali dan sedangkan dengan kata dua sebanyak 20
kali, Dakwah dan yang seakar dengan kata Da’wah dalam bentuk Masdar 10 kali dan
dalam AI-Qur'an, yaitu dalam surat al-Baqarah: 186, Al-a‟raf: 5, Yunus: 10, 89,
al-Rad : 14, Ibrahim : 44, Al- Anbiya': 15, ar-Rum 25, al-Ghafir: 434.
Dalam bentuk fi’il Madhi
diulang 30 kali , antara lain dalam surat 186, ali- Imran: 38, al-Anfal: 24,
Yunus: 12, alRum: 25, al-Zumar 8,49, Fushilat: 33, ad-Dukhan: 22, alQamar: 10 5
dan lain-lain.
Sedangkan kata da’wah
dalam bentuk fi’il mudhari’ diulang sebanyak 112 kali, antara lain dalam surat
al-Baqarah :271, ali-Imran :104, an Nisa‟117 (dua kali ), al-An‟am :52, 108,
Yunus 66, Hud :101, al-Rad :14, an-Nahl : 20, al-Isra‟:67, al-Kahfi : 28,
al-Hajj: 62, al-Furqan :68, al-Qasash :41, alAnkabut :42 dan lain sebagainya.
Dalam bentuk fi‟il amar diulang sebanyak 32 kali, antara lain :
surat al-Baqarah : 61, 68, 70, al-A‟raf :134, dan anNahl:125, al-Hajj :67,
al-Qashash: 87 asy-Syura : 15, adZukhruf :496 dan lain-lain.
Dalam bentuk Isim Fa'il diulang 7 kali, yaitu dalam surat al-
Baqarah: 186, Thaha :108, al-Ahzab : 46, al-Ahqaf. 31,32 dan al-Qamar: 6,77 .
Berdasarkan uaraian di
atas ternyata kata dakwah dalam al-Quran dari berbagai bentuknya terdapat 211
kali, ini menggambarkan bahwa dakwah itu sangat penting dan harus dilakukan
oleh umat Islam, baik secara individu ataupun secara kelompok, dengan terencana
dan profesional sesuai dengan tujuan dakwah itu sendiri.
Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat di atas ternyata tidak
semua kata Da'wah yang berarti ajakan dan seruan, bahkan ada yang berarti doa
dan permohonan.
Ilmu dakwah ialah ilmu yang berisi tentang cara-cara dan tuntutan untuk
menarik perhatian orang lain agar menganut, mengikuti atau menyetujui dan
melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau persetujuan tertentu.
Sementara hukumnya yaitu ada sebagian ulama’ yang menyatakan hukum berdakwah
itu adalah fardhu a’in, maksud hukum disini merupakan undang-undang yang telah
sebagaimana tercantum didalam al-qur’an dan sunnah rasul untuk setiap umat
muslim.[4]
C. MACAM – MACAM DAKWAH
Ada beberapa macam ilmu dakwah, diantaranya :
1.
Dakwah Fardiah, yaitu metode dakwah yang dilakukan
seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam
jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan
yang matang dan tersusun secara tertib.Termasuk kategori dakwah seperti ini
adalah menasihati teman sekerja, teguran, anjuran, atau memberi
contoh.Misalnya, pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara
selamatan, dan lain-lain.
2.
Dakwah Ammah,
yaitu metode dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang
ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka.
Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato).Dakwah Ammah ini kalau
ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang
dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-doal dakwah.
3. Dakwah
bil-lisan, yaitu penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah
atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). dakwah jenis ini akan
menjadi efektif bila disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah
Jumat atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah
praktis, konteks sajian terprogram, dan disampaikan dengan metode dialog dengan
hadirin.
4.
Dakwah bil al-Hal,
yaitu dakwah yang menggunakan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si
penerima dakwah (al-Mad’u) mengikuti jejak dan perbuatan si Da’i (juru
dakwah).Dakwah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima
dakwah. Pada saat pertama kali Rasulullah Saw tiba di kota Madinah, beliau
mencontohkan Dakwah bil-Haal ini dengan mendirikan Masjid Quba, dan
mempersatukan kaum Anshor dan kaum Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.
5.
Dakwah bit-Tadwin,
yaitu dakwah melalui tulisan, baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku,
majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan dakwah.
Metode ini bagus diterapkan pada zaman modern sekarang ini, karena metode ini
sangat efektif dan efisien. Keuntungan lain dari dakwah model ini tidak menjadi
musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut dakwah
bit-Tadwin ini Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya tinta para ulama adalah
lebih baik dari darahnya para syuhada”.
6.
Dakwah bil Hikmah, yaitu menyampaikan dakwah dengan
cara yang arif bijaksana, melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak
obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa
ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain
dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang
dilakukan atas dasar persuasif.Menurut Sukriadi Sambas, kajian ontology
keilmuan ilmu dakwah yaitu mencakup hakikat dakwah, hakikat ilmu dakwah itu
dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengetahuan yang berasal dari Allah dan
kemudian dikumpulkan oleh umat Islam secara sistematis dan terorganisir yang
membahas interaksi antar unsur dalam sistem melaksanakan kewajiban dengan
maksud mempengaruhi, pemahaman yang tepat mengenai kenyataan dakwah sehingga
akan dapat diperoleh susunan ilmu yang bermanfaat bagi tugas pedakwah dan
khalifah umat Islam.[5]
Pada
hakikatnya gerakan dakwah islam terporos pada amar ma’ruf nahi munkar , ma’ruf
mempunyai arti segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan
munkar yaitu perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah.
Pebuatan
amar ma’ruf bisa dilakukan oleh siapapun, karena kalau hanya sekedar menyuruh
kepada kebaikan itu mudah dan tidak ada resiko bagi si penyuruh.Lain halnya
dengan nahi munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang
melakukannya, karena mencegah kemunkaran harus sesuai dengan tindakan konkrit,
nyata dan dilakukan atas dasar kesadaran yang tinggi dalam rangka menegakkan
kebenaran.[6]
D. IKHLAS DALAM DAKWAH
Hendaklah ada diantara kamu suatu golongan yang
menyeru pada kebaikan ajaran islam dan menyeru pada yang ma’ruf dan yang
melarang pada yang munkar. Merekalah yakni orang-orang yang menyeru dan
melarang tadi (orang-orang yang beruntung) atau berbahagia. “min” disini untuk
menunjukkan “sebagian” karna apa yang diperintahkan itu merupakan fardlu
kifayah yang tidak mesti bagi seluruh umat dan tidak pula layak bagi setiap
orang, misalnya orang bodoh.[7]
Wajib bagi orang yang
melaksanakan dakwah memenuhi syarat-syarat agar ia dapat melaksanakan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya, dan bisa menjadi contoh saleh yang menjadi
panutan dalam ilmu dan amalnya:
1.
Mengetahui al-Qur’an as-Sunah, sejarah perjalanan Nabi dan khulafaur
rasidin.
2.
Mengetahui kondisi bangsa yang didakwahi baik menyangkut karakter, perilaku
atau budaya mereka.
3.
Mengetahui bahasa masyarakat yang hendak didakwahi. Dalam hal ini Nabi
pernah memerintah para sahabat mempelajari bahasa Ibrani untuk menghadapi
bangsa Yahudi.
4.
Mengetahui agama-agama dan madzha-madzhab yang berkembang, sehingga dapat
mengerti mana praktek kehidupan yang batal atau menyimpang dari ajaran agama.[8]
Seorang da’i harus
memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari
ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan
fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan,
mencari suara, atau tujuan dunia lainnya.
Oleh karena itulah, Allah
memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan, bahwa Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an
kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ
إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al Qur`an)”. Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala umat.” [Al An’am : 90].
Karena, jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meminta upah, maka hal itu akan menyebabkan umat menjadi keberatan dan
menjauh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya:
“Yaitu: Aku tidak meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan
dakwahku kepada kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu.
Tidaklah upahku, kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat
Al An’am : 90].
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَمْ تَسْئَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ
مُّثْقَلُونَ
“Ataukah engkau meminta upah kepada mereka
sehingga mereka dibebani dengan hutang”. [Ath Thur : 40].
Dakwah dengan tanpa meminta upah, itu
merupakan bukti kebenaran dakwah tersebut. Allah Azza wa Jalla mengisahkan tiga
rasulNya yang diutus bersama-sama, kemudian semuanya diingkari oleh kaum
mereka. Selanjutnya:
وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ
يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّ
يَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan
bersegera, ia berkata: “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang
yang tidak meminta upah (balasan) kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. [Yasin : 20-21].
Nabi-nabi zaman dahulu juga tidak meminta upah
kepada kaum mereka. Allah Azza wa Jalla memberitakan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud,
Nabi Shalih, Nabi Luth, Nabi Syu’aib -‘alaihimus salam- berkata kepada kaumnya
masing-masing:
وَمَآ
أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ
الْعَالَمِينَ.
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam”. [Asy
Syu’ara’ ayat 109, 127, 145, 164, 180].
Maka
fenomena pada zaman ini, yang sebagian “mubaligh” membuat tarif untuk
tablighnya, merupakan perkara yang menyelisihi syari’at. Sebagian ada yang
memasang tarif untuk berceramah di kota yang dekat dengan Rp. 500.000,00 setiap
jamnya. Jika bersama group musiknya (rebana!) tarifnya meningkat menjadi
1.500.000,00. Semakin jauh tempat yang dituju untuk berceramah, semakin tinggi
pula tarifnya!
Seandainya yang disampaikan oleh para mubaligh itu
merupakan kebenaran, maka memasang tarif dalam dakwah itu merupakan kesalahan,
apalagi jika yang disampaikan di dalam ceramah-ceramah itu ternyata
dongeng-dongeng, lelucon-lelucon dan nyanyian-nyanyian yang dibumbui dengan
nasihat-nasihat agama, maka itu merupakan kemungkaran, walaupun dinamakan
dengan nama yang indah. Karena hal itu bertentangan dengan jalan para
nabi dalam berdakwah.
Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas,
kemudian dia diberi harta, sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak
memintanya, tujuannya hanyalah berdakwah, baik dia mendapatkan harta itu atau
tidak, maka –insya Allah- menerimanya tidak mengapa.
Dengan demikian maka sepantasnya seorang da’i juga
memiliki pekerjaan dan usaha untuk mencukupi kebutuhannya, sehingga dia tidak
menggantungkan kepada umat. Karena sesungguhnya makanan terbaik yang
dimakan oleh seseorang ialah hasil keringatnya sendiri.
Selain
ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan ilmu, hikmah dan kesabaran.
Tidak berdakwah dengan bid’ah dan kemaksiatan. Karena memang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan panutan terbaik bagi umat Islam dalam
segala perkara, termasuk di dalam berdakwah menuju agama Allah. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ
اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Al
Ahzab:21].[9]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa dakwah merupakan
kewajiban secara kolektif (fardhu kifayah), karena apabila sekelompok umat
telah melaksanakan aktivitas dakwah, maka kewajiban dakwah sudah terlepas bagi
kelompok umat yang lainnya.[10]
Ditambahkan oleh Muhammad Ghozali yang juga menyatakan bahwa
umat Islam harus saling membantu untuk tercapainya tujuan dakwah.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus arab
Indonesia, (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Qur‟an, Jakarta :PT
Hidakarya Agung : 1989)
Luis Ma‟luf, almunjid fi
al-lughat, (Dar al Masyriq, Beirut, 1997), h.216
Jalaludin
Muhamad Ibnu Ahmad al Mahally& Jalaludin Asy-Suyuthi, Tafsir Jalalain jilid
1,(Bandung:sinar baru algesindo,2003)
Teungku
Muhammad Hasbi ash - Shiddieqy, Tafsir
Al-Qur’anul Masjid An - Nuur, (Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra,2000)
Aziz, Jum’ah Amin Abdul,
Fiqih Dakwah. ( Solo: Era Intermedia.
2000).
Moedjiono, Imam. 2007. metode
dakwah praktis. Yogyakarta: As-Salaam press.
Ali Aziz, Muhammad. 2009.
Ilmu dakwah. Jakarta: kencana
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu mengandung arti pengetahuan,
tapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis
atau menurut Moh Hatta (1954 : 5) “Pengetahuan yang didapat dengan jalan
keterangan disebut Ilmu”.
Ilmu dakwah ialah ilmu yang berisi tentang cara-cara dan tuntutan untuk
menarik perhatian orang lain agar menganut, mengikuti atau menyetujui dan
melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau persetujuan tertentu.
Sementara hukumnya yaitu ada sebagian ulama’ yang menyatakan hukum berdakwah
itu adalah fardhu a’in, maksud hukum disini merupakan undang-undang yang telah
sebagaimana tercantum didalam al-qur’an dan sunnah rasul untuk setiap umat
muslim.
Ibnu
Taimiyah menyatakan
bahwa dakwah merupakan kewajiban secara kolektif (fardhu kifayah), karena
apabila sekelompok umat telah melaksanakan aktivitas dakwah, maka kewajiban
dakwah sudah terlepas bagi kelompok umat yang lainnya. Ditambahkan oleh
Muhammad Ghozali yang juga menyatakan bahwa umat Islam harus saling membantu
untuk tercapainya tujuan dakwah.
B. Saran
Demikian makalah kami
buat terima kasih kepada para pembaca yang telah menelaah isi makalah ini yang
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Karena kekurangannya
pengetahuan dan bahan rujukan yang ada hubunganya dengan judul makalah ini.
Kami mengharap saran dan
kritikan yang membangun dari pembaca untuk sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
ini berguna bagi penulis pribadi dan umumnya bagi para pembaca yang di rahmati
Allah SWT.
KATA PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah yang telah menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab dan telah
memberikan kemudahan dalam mempelajarinya.
Aku bersaksi
bahawa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah
Rasul Allah yang diutus dengan membawa ajaran dan pedoman hidup yang baik untuk
manusia di dunia dan akhirat.
Sebagai umat
islam, kita dituntut untuk bisa mengkaji dan mempelajari Al-Quran dan Sunnah,
sebagai dua sumber utama ajaran islam yang harus kita pegang teguh. Tentunya
kita tidak mungkin memahami kedua sumber tersebut kecuali setelah mengetahui
kaidah-kaidah bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu dan Sharaf, karena keduanya
merupakan kunci dalam mempelajari Al-Quran dan Sunnah.
Dalam makalah
ini, penulis mencoba memberikan penjelasan tentang salah satu objek kajian ilmu
Nahwu yaitu tentang Ilmu Dakwah.
Semoga dengan
dibuatnya makalah ini menjadi bekal yang bermanfaat bagi pembaca, khususnya
bagi penulis, untuk memperoleh berbagai kemudahan dalam mempelajari Ilm Dakwah.
Amin.
Walaupun demikian, penulis
menyadari masih banyak kekurangan serta keterbatasan dalam pembahasan makalah
ini. Untuk itu saran serta koreksi sangat penulis harapkan untuk memperoleh
sebuah kesempurnaan di masa depan kelak. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
semata.
Bengkulu, Juni 2017
penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................
A. Pengertian Ilmu ................................................................................ 3
B. Pengertian Dakwah ......................................................................... 4
C. Macam – macam Dakwah ............................................................... 5
D. Ikhlas Dalam Dakwah ..................................................................... 7
BAB III PENUTUP ......................................................................................
A. Kesimpulan ...................................................................................... 13
B. Saran ................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 14
[2]
Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir
Qur‟an, Jakarta :PT Hidakarya Agung : 1989), h.127
[3]
Luis Ma‟luf, almunjid fi al-lughat, (Dar al Masyriq, Beirut, 1997), h.216
[7] Jalaludin Muhamad Ibnu Ahmad al Mahally& Jalaludin Asy-Suyuthi, Tafsir Jalalain jilid 1,(Bandung:sinar baru
algesindo,2003), 249
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash - Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An - Nuur,
(Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra,2000), 658.
No comments:
Post a Comment