|
A. Pendahuluan
Fikih sebagai suatu
ilmu tentang hukum Islam, ia tetap tumbuh dan berkembang, sejalan dengan
perkembangan zaman, karena berkaitan dengan segala perbuatan orang-orang
mukallaf, baik ibadahnya maupun muamalahnya. Akan tetapi kehidupan dan perkembangan fikih ini tergantung pada
kegiatan dan ijtihad para fuqoha’ dalam setiap masa.
Menurut Dr. Muhammad
bin Alwi al-Maliki, Tasri’ Islam itu berdiri di atas ijtihad, karena nash-nash
hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah, terbatas sekali seperti yang
dikatakan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lamu al-Muwaqi’in bahwa
jumlah ayat al-Qur’an yang merupakan dasar-dasar hukum, lebih enam ribu ayat,
dan jumlah hadis yang merupakan dasar hukum ada lima ratus hadis yang tersebar
dalam ribuan hadis. Jadi dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan sunnah ada lima
puluh ribu enam ratus nash, dan itulah menjadi dasar tasyri’ Islam yang selalu
memberikan petunjuk bagi umat Islam hingga kini.
Al-Qur’an telah mengajarkan
kaum muslimin, agar mereka berijtihad, dan mengistinbath, atau meminta petunjuk
dari ilmu-ilmu-wan dan ahli pikir mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat an-Nisa’ ayat 83, yang artinya:
“Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan ulil amri diantara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri)”.
Yang dimaksud ulil amri
dalam ayat di atas adalah ilmuwan Muslim dan ahli pikir. Ayat tersebut
merupakan tantangan yang jelas kepada mujtahid untuk berijtihad dan
mengistinbath. Oleh sebab itu penulis ingin membahas tentang mujtahid
berdasarkan menurut pandangan ulama mulai dari pengertian, syarat-syarat dan
tingkatannya.
A. Ijtihad dan Mujtahid
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad merupakan
derivasi ‘musytaq’ dari kata al-jahdu atau al-juhdu yang berarti mencurahkan segenap kemampuan
untuk mencapai sesuatu yang sulit didapat.
Kata ijtihad berasal dari kata kerja
“Ijtihada” artinya bersungguh-sungguh,
yakni hanya terpakai untuk hal-hal yang berat, seperti orang berkata:“Aku
berusaha keras untuk mengangkat batu besar itu”. Kalimat ‘Ijtihad” tidak
terpakai dalam hal-hal yang ringan seperti orang berkata:“Aku berusaha keras
untuk mengangkat biji sawi itu.” Ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqih
adalah:“Seorang ahli fiqih yang mencurahkan kesanggupanya dan berusaha keras
untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syariat.”Dari definisi tersebut dan
beberapa definisi lainnya dapat kita simpulkan bahwa: ijtihad adalah pengerahan
usaha yang sungguh-sungguh hinga tingkat maksimal oleh seorang fakih atau ahli
agama, guna menyelidiki dan memeriksa keterangan dari Al-Qur’an dan sunnah
untuk memperoleh sangkaan yang berat atau hukum yang bersifat Zonni, dalam
meng-istinbat-kan suatu hukum syara’ untuk diamalkan .Dapat di ambil hakikat
dari ijtihad sebagai berikut ;
1
Ijtihad
adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
2
Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah
mencapai derajat tertentu di bidang keilmuwan disebut faqih.
3
Produk
atau usaha yang di peroleh dari ijtihat itu adalah dugaan kuat tentang hukum
syara yang bersifat ‘amaliah’.
4
Usaha
ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.
2. Kehujjahan ijtihad
Ijtihad
sebagai upaya untuk menemukan hukum tentang suatu maslah yang belum disebutkan
secara khusus dalam nash, merupakan kegiatan yang dibenarkan bahkan
dianjurkanoleh Allah swt sebagaipencipta syari’at dan rasulNya. Pembenaran dan
anjuran ijtihad itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat kita baca
dalam al-quran dan sunah rasulNya.[5]
Petunjuk-petunjuk
itu antara lain:
a.
QS.
An Nisa : 59
“...Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasu (sunnahnya)...”
b.
QS
An Nisa : 83
“Dan
apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri. Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu,
tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”
c.
QS
Asy- Syura: 38
“dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
d.
QS
Ali Imran: 159
“Maka
berkat Rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah menjauhkan diri
dari sekitarmu, karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal.”
e.
QS
AL-Hasyr: 2
“Dan
Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka, sehingga mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan-tangan orang mukmin.
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan”
f.
Dalam
hadis Nabi disebutkan bahwa ketika Nabi mengutuskan Muadz bin Jabal menjadi
qadli (hakim) di Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz sebagai berikut :
Bagaimana
engkau menetapkan hukum apabila dihadapkan kepada engkau suatu masalah. Muadz
menjawab: saya putuskan berdasarkan Kitabullah (al-Quran). Rasul
bertanya: bila engkau tidak temukan dalam Kitabullah? Jawab Muadz: saya
putuskan dnengan Sunah Rasulullah. Kemudian Rasul bertanya lagi : kalau
dalam Sunnah Rasulullah pun tidak enkau temukan? Muadz menjawab: saya
akan berijtihad dengan pemikiran saya dan tidak akan saya lambatkan. Kemudian
Rasul mengusap dada Muadz, sambil berkata: segala Puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah sebagaimana telah direstui oleh
Rasulullah. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
g.
Hadist
Nabi:
Umatku
tidak akan melakukan kesepakatan terhadap hal yang salah
(HR. Tirmidzi).
h.
Hadist
Nabi:
Apabila
hakim telah memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya
benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ijtihadnya keliru maka ia mendapat
satu pahala (HR Bukhari Muslim).
3. Pengertian mujtahid
Mujtahid
secara bahasa adalah orang yang melakukam ijtihad, sedangkan secara istilah
orang yang berkompeten melakukan ijtihad. Mujtahid adalah orang yang berijtihad
atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan kemampuan dalam
mengistinbadkan hokum syara.
4. Syarat-Syarat menjadi mujtahid
1. Menguasai Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama islam
adalah himpunan syari’ah, tiang agama, sumber hikmah, mukjizat kerasulan, dan
cahaya bagi mata kepala, dan mata hati oran beriman sangat perlu di ketahui
seorang mujtahid secara mendalam. Namun al-Ghazali tidak mensyaratkan untuk
mengetahui al-Qur’an secara menyeluruh, tapi cukuplah mengetahui dan memahami
ayat-ayat hukum saja yang berjumlah sekitar 500 ayat, yaitu sejumlah ayat yang
menunjukan ayat-ayat hukum secara langsung dengan tidak memasukkann ayat-ayat
hukum yang menunjukkan hukum secara tersirat (tadbamun) atau keharusan adanya
hukum (iltizam).
2. Mengetahui hukum al-Sunnah
Pada perinsipnya, seorang mujtahid
idealnya harus memiliki pengetahuan luastentang al-Sunnah, mencakup ilmu
dirayat al-hadits, mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh, sabab al-wurud,
kutub al-sittah dan buku-buku hadits yang ada kaitannya dengannya, mampu
membedakan antara hadits shahih, hasan, atau dha’if, dan ilmu jarh wa
al-ta’dil. Namun para ulama tidak mensyaratkan untuk mengetahui semua hal yang
berhubungan dengan al-Sunnah, tapi minimal disyaratkan untuk mengetahui
hadits-hadits yang ada hubungannya dengan hukum dan ia fokus pada hadits-hadits
hukum tersebut.
3. Mengetahui bahasa Arab
Wajib bagi seorang mujtahid mengetahui
bahasa arab dalam arti menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmunya, sehingga mampu
memahami pembicaraan orang-orang arab.hal ini karena al-Qur’an di turunkandalam
bahasa Arab, dan hadits fi’li maupun taqriri yang di nukil oleh para sahabat
juga di jelaskan dengan bahasa Arab.
4. Mengetahui tema-tema yang sudah
merupakan ijma
Seorang mujtahid perlu megetahui syarat
ini agar tidak terjerumus mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma.
5. Mengetahui Ushul al-Fiqh
Ilmu Ushul al-Fiqh sangat di tekankan
untuk di kuasai oleh seorang mujtahid. Dengan ini, ia mampu meletakkan kaidah-kaidah
secara proporsional,menggunakan dalil dengan baik, dan mengambil kesimpulan
hukum. Termasuk dalam ilmu ini qiyas, aturan-aturannya, ketentuannya,
syarata-syaratnya, sehingga ia mengetahui hal-hal yang masuk dalam qiyas dan
yang tidak serta mempertemukan cabang hukum dengan asalnya. Oleh sebab itu, ia
harus menhetahui sebanyak mungkin masalah-masalah Ushul al-Fiqh dan meneliti
buku-buku Ushul al-Fiqh, baik yang besar maupun yang kecil menurut
kemampuannya. Ushul al-Fiqh adalah tiang=tiang bangunan ijtihad dan fondasi
yang berdiri di atasnya sendi-sendi konstruksi ijtihad”. Bahkan fakhr al-Razi
menegaskan bahwa “ilmu terpenting bagi seorang mujtahid ialah Ushul al-Fiqh”.
6. Mengetahui maksud-maksud syari’ah
Bagi seorang mujtahid sangat perlu
mengetahui maksud-maksud syari’ah ini yang di jadikan tujuan di turunkannya
al-Qur’an dan diutusnya Rasulullah saw ditetapkannya hukum-hukum untuk
manusia.syari’ah islam diturunkan bertujuan untuk melindungi dan memelihara
kepentingan manusia, baik material maupun spritual. Individu maupun sosial,
atas dasar keadilan dan keseimbangan tanpa melewati batas ataupun menimbulkan
kerugian. Pemeliharaan tersebut meliputi tiga tingkatan. Pertama, dhaririyyat
yaitu hal-hal penting yang harus di penuhi untuk kelangsungan hidup manusia,
yang tidak di penuhi akan menimbulkan kerusakan, krusuhan, dan kekacauan,
seperti memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kedua, hajiyyat,
yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan kelpangan dalam
hidup, yang bilamana tidak dipenuhi maka manusia akan mengalami kesempitan dan
kesulitan. Ketiga, tahsinat, yaitu hal-hal pelengkap.
7. Mengenal manusia dan kehidupan
sekitarnya
Perlunya seorang mujtahid mengenal
manusia dan kehidupan di sekitarnya agar jangan sampai berijtihad dalam hal-hal
kosong yang tidak berguna, tetapi ia berijtihad terhadap hal-hal yang
betu-betul terjadi pada individu-individu dan masyarakat sekelilingnya.
8. Bersifat adil dan takwa
Ada juga persyaratan keperibadian yang
kadangkala terabaikan, sehingga tak jarang pula terlihat orang-orang yang
mungkin tinggi kadar ilmunya, terpenuhi persyaratan teknisnya secara akademis,
tetapi keperibadiannya lemah dan akhlaknya kurang terpuji, sehingga ilmunya
tidak dapat diharapkan terlalu banyak untuk membimbing umat dan membawa rahmat
bagi manusia.
5. Macam-Macam mujtahid
1. Mujtahid “mustaqill”, yaitu mujtahid
yang mampu menggali hukum-hukum syariat secara langsung dari sumbernya yang
pokok yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Contohnya: ialah para-para mujtahid dari kalangan
salaf yang telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh.
2. Mujtahid “muntasib’, yaitu mujtahid yang
dalam meng-istinbath-kan hukum memilih atau mengikuti dasar-dasar istinbath
imam mazhab tertentu, walaupun dalam masalah-masaalh furu’ ia berbeda dengan
pendapat imamnya. Contohnya: ialah abu yusuf dan al-syaibani dari kalangan
hanafiyah. Ibnu al-Qasim dan Asyhab dari kalangan Malikiyah. Buwaihi dan
al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah.
3. Mujtahid “mazhab”, yaitu mujtahid yang
mengikuti imam mazhabnya baik ushul maupun furu’nya persis sama. Mujtahid
mazhab ini bisa juga di sebut sebagai mujtahid takbrij. Contohnya Hasan ibn
Zayad dan al-Kurakhi dari kalangan hanafiyah. Abhary dan Ibnu abi Zaid dari
kalangan malikiyah, Al-syairazi dan al-maruzi dari kalangan syafi’ah.
4. Mujtahid “murajjib” yaitu mujtahid yang
tidak meng-istinbat-kan hukum-hukum furu, tetapi ia mampu membandingkan
beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang
di pandang paling kuat. Contonya: al-Quduri dan al-Qinani dari kalangan
Hanafiyah.
B. Kesimpulan
Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan, bahwa ijtihad dilakukan oleh mujtahid yang sudah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu
saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid seseorang harus
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Ijtihad dalam ilmu fiqih meliputi
masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits, dan masalah-masalah yang terdapat dalam kedua sumber tersebut, tetapi
termasuk katagori yang zhanni Al-dalalal, baik masalah yang masuk kategori
pertama maupun kedua perli ditangani dengan cara merujuk kepada sumber utama
ajaran islam, al-Qur’an dan Hadits, kemudian menginterprestasikannya sesuai
dengan masalah yang sedang diselesaikan, interprestasi itu dilakukan dengan
memerhatikan jangkauan arti lafal atau kalimat yang terdapat didalam teks
Al-Qur’an dan Hadits. Dalam kaitan ini Fathi Al-Darimi menyatakan, bahwa ijtihad
memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di
dalamnya, dengan memerhatikan aspek kaidah kebahasaan dan tujuan umum
disyariatkan hukum dalam islam.
C. Daftar Pustaka
Zahrah, Muhammad Abu,
Tarikh al-Madzahib al-islamiyah, Kairo: Diar al-Fikr al-‘Arabi, 1987, Jus II
Zuhaili, Wahbah al-,
al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Kitab, 1978
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad
Majlis Tajrih Muhammadiyah, Cetakan kesatu, (Jakarta: Logos Publishing
House, 1995), hlm. 16.
No comments:
Post a Comment