1

loading...

Tuesday, October 23, 2018

MAKALAH USHUL FIQH “Ijtihad dan Mujtahid”

MAKALAH USHUL FIQH  “Ijtihad dan Mujtahid”



 
 

A.    Pendahuluan
Fikih sebagai suatu ilmu tentang hukum Islam, ia tetap tumbuh dan berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman, karena berkaitan dengan segala perbuatan orang-orang mukallaf, baik ibadahnya maupun muamalahnya. Akan tetapi kehidupan dan perkembangan fikih ini tergantung pada kegiatan dan ijtihad para fuqoha’ dalam setiap masa.
Menurut Dr. Muhammad bin Alwi al-Maliki, Tasri’ Islam itu berdiri di atas ijtihad, karena nash-nash hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah, terbatas sekali seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lamu al-Muwaqi’in bahwa jumlah ayat al-Qur’an yang merupakan dasar-dasar hukum, lebih enam ribu ayat, dan jumlah hadis yang merupakan dasar hukum ada lima ratus hadis yang tersebar dalam ribuan hadis. Jadi dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan sunnah ada lima puluh ribu enam ratus nash, dan itulah menjadi dasar tasyri’ Islam yang selalu memberikan petunjuk bagi umat Islam hingga kini.
Al-Qur’an telah mengajarkan kaum muslimin, agar mereka berijtihad, dan mengistinbath, atau meminta petunjuk dari ilmu-ilmu-wan dan ahli pikir mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 83, yang artinya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri)”.
Yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas adalah ilmuwan Muslim dan ahli pikir. Ayat tersebut merupakan tantangan yang jelas kepada mujtahid untuk berijtihad dan mengistinbath. Oleh sebab itu penulis ingin membahas tentang mujtahid berdasarkan menurut pandangan ulama mulai dari pengertian, syarat-syarat dan tingkatannya.
A.    Ijtihad dan Mujtahid
1.      Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad merupakan derivasi ‘musytaq’ dari kata al-jahdu atau al-juhdu  yang berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai sesuatu yang sulit didapat.
Kata ijtihad berasal dari kata kerja “Ijtihada”  artinya bersungguh-sungguh, yakni hanya terpakai untuk hal-hal yang berat, seperti orang berkata:“Aku berusaha keras untuk mengangkat batu besar itu”. Kalimat ‘Ijtihad” tidak terpakai dalam hal-hal yang ringan seperti orang berkata:“Aku berusaha keras untuk mengangkat biji sawi itu.” Ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqih adalah:“Seorang ahli fiqih yang mencurahkan kesanggupanya dan berusaha keras untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syariat.”Dari definisi tersebut dan beberapa definisi lainnya dapat kita simpulkan bahwa: ijtihad adalah pengerahan usaha yang sungguh-sungguh hinga tingkat maksimal oleh seorang fakih atau ahli agama, guna menyelidiki dan memeriksa keterangan dari Al-Qur’an dan sunnah untuk memperoleh sangkaan yang berat atau hukum yang bersifat Zonni, dalam meng-istinbat-kan suatu hukum syara’ untuk diamalkan .Dapat di ambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut ;
1        Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
2         Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuwan disebut faqih.
3        Produk atau usaha yang di peroleh dari ijtihat itu adalah dugaan kuat tentang hukum syara yang bersifat ‘amaliah’.
4        Usaha ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.

2.      Kehujjahan ijtihad
Ijtihad sebagai upaya untuk menemukan hukum tentang suatu maslah yang belum disebutkan secara khusus dalam nash, merupakan kegiatan yang dibenarkan bahkan dianjurkanoleh Allah swt sebagaipencipta syari’at dan rasulNya. Pembenaran dan anjuran ijtihad itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat kita baca dalam al-quran dan sunah rasulNya.[5]
Petunjuk-petunjuk itu antara lain:
a.       QS. An Nisa : 59
“...Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasu (sunnahnya)...”
b.       QS An Nisa : 83
“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang  yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri. Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”
c.       QS Asy- Syura: 38
“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
d.       QS Ali Imran: 159
“Maka berkat Rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah menjauhkan diri dari sekitarmu, karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
e.       QS AL-Hasyr: 2
“Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka, sehingga mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan-tangan orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”
f.        Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ketika Nabi mengutuskan Muadz bin Jabal menjadi qadli (hakim) di Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz sebagai berikut :
Bagaimana engkau menetapkan hukum apabila dihadapkan kepada engkau suatu masalah. Muadz menjawab: saya putuskan berdasarkan Kitabullah (al-Quran). Rasul bertanya: bila engkau tidak temukan dalam Kitabullah? Jawab Muadz: saya putuskan dnengan Sunah Rasulullah. Kemudian Rasul bertanya lagi : kalau dalam Sunnah Rasulullah pun tidak enkau temukan? Muadz menjawab: saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan tidak akan saya lambatkan. Kemudian Rasul mengusap dada Muadz, sambil berkata: segala Puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah sebagaimana telah direstui oleh Rasulullah. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
g.       Hadist Nabi:
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap hal yang salah (HR. Tirmidzi).
h.       Hadist Nabi:
Apabila hakim telah memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala (HR Bukhari Muslim).
3.      Pengertian mujtahid
Mujtahid secara bahasa adalah orang yang melakukam ijtihad, sedangkan secara istilah orang yang berkompeten melakukan ijtihad. Mujtahid adalah orang yang berijtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan kemampuan dalam mengistinbadkan hokum syara.

4.      Syarat-Syarat menjadi mujtahid
1.    Menguasai Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama islam adalah himpunan syari’ah, tiang agama, sumber hikmah, mukjizat kerasulan, dan cahaya bagi mata kepala, dan mata hati oran beriman sangat perlu di ketahui seorang mujtahid secara mendalam. Namun al-Ghazali tidak mensyaratkan untuk mengetahui al-Qur’an secara menyeluruh, tapi cukuplah mengetahui dan memahami ayat-ayat hukum saja yang berjumlah sekitar 500 ayat, yaitu sejumlah ayat yang menunjukan ayat-ayat hukum secara langsung dengan tidak memasukkann ayat-ayat hukum yang menunjukkan hukum secara tersirat (tadbamun) atau keharusan adanya hukum (iltizam).
2.    Mengetahui hukum al-Sunnah
Pada perinsipnya, seorang mujtahid idealnya harus memiliki pengetahuan luastentang al-Sunnah, mencakup ilmu dirayat al-hadits, mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh, sabab al-wurud, kutub al-sittah dan buku-buku hadits yang ada kaitannya dengannya, mampu membedakan antara hadits shahih, hasan, atau dha’if, dan ilmu jarh wa al-ta’dil. Namun para ulama tidak mensyaratkan untuk mengetahui semua hal yang berhubungan dengan al-Sunnah, tapi minimal disyaratkan untuk mengetahui hadits-hadits yang ada hubungannya dengan hukum dan ia fokus pada hadits-hadits hukum tersebut.
3.    Mengetahui bahasa Arab
Wajib bagi seorang mujtahid mengetahui bahasa arab dalam arti menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmunya, sehingga mampu memahami pembicaraan orang-orang arab.hal ini karena al-Qur’an di turunkandalam bahasa Arab, dan hadits fi’li maupun taqriri yang di nukil oleh para sahabat juga di jelaskan dengan bahasa Arab.
4.    Mengetahui tema-tema yang sudah merupakan ijma
Seorang mujtahid perlu megetahui syarat ini agar tidak terjerumus mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma.
5.    Mengetahui Ushul al-Fiqh
Ilmu Ushul al-Fiqh sangat di tekankan untuk di kuasai oleh seorang mujtahid. Dengan ini, ia mampu meletakkan kaidah-kaidah secara proporsional,menggunakan dalil dengan baik, dan mengambil kesimpulan hukum. Termasuk dalam ilmu ini qiyas, aturan-aturannya, ketentuannya, syarata-syaratnya, sehingga ia mengetahui hal-hal yang masuk dalam qiyas dan yang tidak serta mempertemukan cabang hukum dengan asalnya. Oleh sebab itu, ia harus menhetahui sebanyak mungkin masalah-masalah Ushul al-Fiqh dan meneliti buku-buku Ushul al-Fiqh, baik yang besar maupun yang kecil menurut kemampuannya. Ushul al-Fiqh adalah tiang=tiang bangunan ijtihad dan fondasi yang berdiri di atasnya sendi-sendi konstruksi ijtihad”. Bahkan fakhr al-Razi menegaskan bahwa “ilmu terpenting bagi seorang mujtahid ialah Ushul al-Fiqh”.
6.    Mengetahui maksud-maksud syari’ah
Bagi seorang mujtahid sangat perlu mengetahui maksud-maksud syari’ah ini yang di jadikan tujuan di turunkannya al-Qur’an dan diutusnya Rasulullah saw ditetapkannya hukum-hukum untuk manusia.syari’ah islam diturunkan bertujuan untuk melindungi dan memelihara kepentingan manusia, baik material maupun spritual. Individu maupun sosial, atas dasar keadilan dan keseimbangan tanpa melewati batas ataupun menimbulkan kerugian. Pemeliharaan tersebut meliputi tiga tingkatan. Pertama, dhaririyyat yaitu hal-hal penting yang harus di penuhi untuk kelangsungan hidup manusia, yang tidak di penuhi akan menimbulkan kerusakan, krusuhan, dan kekacauan, seperti memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kedua, hajiyyat, yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan kelpangan dalam hidup, yang bilamana tidak dipenuhi maka manusia akan mengalami kesempitan dan kesulitan. Ketiga, tahsinat, yaitu hal-hal pelengkap.
7.    Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
Perlunya seorang mujtahid mengenal manusia dan kehidupan di sekitarnya agar jangan sampai berijtihad dalam hal-hal kosong yang tidak berguna, tetapi ia berijtihad terhadap hal-hal yang betu-betul terjadi pada individu-individu dan masyarakat sekelilingnya.
8.    Bersifat adil dan takwa
Ada juga persyaratan keperibadian yang kadangkala terabaikan, sehingga tak jarang pula terlihat orang-orang yang mungkin tinggi kadar ilmunya, terpenuhi persyaratan teknisnya secara akademis, tetapi keperibadiannya lemah dan akhlaknya kurang terpuji, sehingga ilmunya tidak dapat diharapkan terlalu banyak untuk membimbing umat dan membawa rahmat bagi manusia.
5.      Macam-Macam mujtahid
1.    Mujtahid “mustaqill”, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syariat secara langsung dari sumbernya yang pokok yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Contohnya: ialah para-para mujtahid dari kalangan salaf yang telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh.
2.    Mujtahid “muntasib’, yaitu mujtahid yang dalam meng-istinbath-kan hukum memilih atau mengikuti dasar-dasar istinbath imam mazhab tertentu, walaupun dalam masalah-masaalh furu’ ia berbeda dengan pendapat imamnya. Contohnya: ialah abu yusuf dan al-syaibani dari kalangan hanafiyah. Ibnu al-Qasim dan Asyhab dari kalangan Malikiyah. Buwaihi dan al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah.
3.    Mujtahid “mazhab”, yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya baik ushul maupun furu’nya persis sama. Mujtahid mazhab ini bisa juga di sebut sebagai mujtahid takbrij. Contohnya Hasan ibn Zayad dan al-Kurakhi dari kalangan hanafiyah. Abhary dan Ibnu abi Zaid dari kalangan malikiyah, Al-syairazi dan al-maruzi dari kalangan syafi’ah.
4.    Mujtahid “murajjib” yaitu mujtahid yang tidak meng-istinbat-kan hukum-hukum furu, tetapi ia mampu membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat. Contonya: al-Quduri dan al-Qinani dari kalangan Hanafiyah.
B.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa ijtihad dilakukan oleh mujtahid yang sudah memenuhi syarat-syarat tertentu. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
 Ijtihad dalam ilmu fiqih meliputi masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, dan masalah-masalah yang terdapat dalam kedua sumber tersebut, tetapi termasuk katagori yang zhanni Al-dalalal, baik masalah yang masuk kategori pertama maupun kedua perli ditangani dengan cara merujuk kepada sumber utama ajaran islam, al-Qur’an dan Hadits, kemudian menginterprestasikannya sesuai dengan masalah yang sedang diselesaikan, interprestasi itu dilakukan dengan memerhatikan jangkauan arti lafal atau kalimat yang terdapat didalam teks Al-Qur’an dan Hadits. Dalam kaitan ini Fathi Al-Darimi menyatakan, bahwa ijtihad memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya, dengan memerhatikan aspek kaidah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkan hukum dalam islam.
C.     Daftar Pustaka
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-islamiyah, Kairo: Diar al-Fikr al-‘Arabi, 1987, Jus II
Zuhaili, Wahbah al-, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Kitab, 1978
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tajrih Muhammadiyah, Cetakan kesatu, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hlm. 16.

No comments:

Post a Comment