LEMBAGA DI INDONESIA
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebelum kita
memahami Lembaga Keagamaan terlebih dahulu kita harus mengetahui Penjelasan
adanya tentang agama. Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang dianut
sebagian besar masyarakat yang merupakan tuntunan hidup. Agama, yang menyangkut
kepercayaan-kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan
masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat
manusia.
Pengertian Lembaga Agama, Secara umum
lembaga agama adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan
maksud untuk memajukan suatu kepentingan hidup beragama yang ada didalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]
Dewasa ini,
perkembangan lembaga di Indonesia sedikit demi sedikit mengalami kemajuan setelah
pasang surut beberapa abad yang lalu. Kini pendidikan Islam berkembang kembali
dengan ditandai munculnya beberapa lembaga pendidikan Islam.
Organisasi
Pendidikan Islam di Indonesia diawali dengan lahirnya Organisasi Muhammadiyah
yang memiliki visi dan misi serta tujuan dalam bidang pendidikan Islam. Begitu
pun selanjutnya semakin berkembang organisasi-organisasi lain serta muncul
lembaga-lembaga yang mendukung perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena itu,
makalah ini disusun untuk menjelaskan perkembangan lembaga-lembaga di
Indonesia.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
·
Bagaimana perkembangan Lembaga di Indonesia ?
·
Apa saja Macam macam Lembaga di Indonesia masa belanda, jepang dan sekarang ?
2.
Tujuan
Penulisan
·
Mahasiswa mampu mengetahui latar belakang lembaga keagaaman indonesia
·
Mahasiswa mampu mengetahui perkembangan lembaga
keagamaan di indonesia
·
Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui peran lembaga Keagamaan di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lembaga Keagamaan
1. Pengertian
Lembaga Keagamaan
Secara etimologi lembaga adalah asal
sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau
organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan
sesuatu usaha. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga mengandung
dua arti, yaitu: 1) pengertian secara fisik, materil, kongkrit, dan 2)
pengertian secara non-fisik, non-materil, dan abstrak.[2] Dalam bahasa inggris, lembaga disebut institute
(dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan
tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution,
yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian
fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik
disebut dengan pranata.
Secara terminologi, Amir Daiem mendefinisikan lembaga pendidikan
dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggung jawab terhadap
pendidikan. Rumusan definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan
penekanan pada sikap tanggung jawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga
dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan
keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk
organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku,
peranan-peranan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang
mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna tercapainya
kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan bahwa ada dua unsur yang kontradiktif
dalam pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik, materil, kongkrit
dan kedua pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua
versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi
fisik menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang
yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu
sistem yang berperan membantu mencapai tujuan. Adapun lembaga pendidikan islam
secara terminologi dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya
proses pendidikan islam. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan itu mengandung pengertian kongkrit berupa sarana dan prasarana dan
juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan
tertentu, serta penananggung jawab pendidikan itu sendiri.
B. Masa Pendudukan Belanda
1.
Lembaga
Keagamaan
Pada tahun 1931
berdasar atas usul dan saran Priesterraden Commisssie, maka ordonantie belanda tanggal 31 Januari
1931 yang tersebut dalam Staatblad 1931 No. 53 ditetapkan peraturan tentang 3
pokok ketentuan, pada bagian I tentang Peradilan Agama berisikan (Noeh dan
Adnan, 1983 : 35):
1) Bentuk Pengadilan Agama sebagai Priesterrad atau disebut pula
Raad Agama, dirubah menjadi Penghoeloe Gerecht yang terdiri atas seorang
penghulu sebagai hakim, didampingi dua orang penasehat dan seorang griffer
(panitera).
2) Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi hanya memeriksa
perkara-perkara yang bersangkutan dengan nikah, talak dan ruju’. Hadlanah,
wakaf dan lain-lain sebagainya dicabut
dan diserahkan kepada Landraad.
3) Diadakan beberapa tambahan tentang acara pada Pengadilan Agama.
4) Diadakan Mahkamah Islam Tinggi sebagai badan peradilan banding
atas keputusan Pengadilan Agama. Staatsblad tahun 1931 tersebut tidak
dilaksanakan sampai tahun 1937, disebabkan Gubernemen tidak mempunyai anggaran
belanja yang cukup dalam tahun-tahun malaise serta adanya reaksi dari kalangan
Islam (Lev, 1980: 36-7).
Tanggal 19 Februari 1937 dengan
keputusan gubernur jenderal yang termuat dalam
Staatsblad 1937 No. 116, dikeluarkan suatu peraturan yang
merubah kekuasaan Pengadilan Agama. Peraturan itu menambah beberapa pasal dalam
Staatsblad 1882 No. 152, antara lain yang terpenting adalah pasal 2 ayat (10)
yang berbunyi (Noeh dan Adnan, 1983 : 37): 1) Pengadilan Agama hanya
semata-mata hanya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan hukum
antara suami istri yang beragam Islam, begitu pula perkara-perkara lain tentang
nikah, talak dan ruju’ serta soal-soal perceraian dan menetapkan bahwa
syarat-syarat taklik sudah berlaku dengan pengertian bahwa dalam
perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan pembayaran uang atau penyerahan
harta benda adalah menjadi wewenang hakim biasa kecuali dalam perkara mahar
(mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya
menjadi wewenang pengadilan Agama.
Selanjutnya mulai tanggal 1 Januari 1938
berdasarkan Staatsblad 1937 No. 610 diadakan sebuah Mahkamah Islam Tinggi atau
disebut “Hof Voor Islamietische Zaken” Kekuasaan
Mahkamah Islam Tinggi pada pokoknya adalah sebagai Hakim Tertinggi dalam dua
bidang, yaitu :
a) Memutuskan perselisihan tentang kekuasaan antara Pengadilan
Agama yang dimintakan banding oleh orang yang bersangkutan
b) Mahkamah Islam Tinggi berkewajiban untuk memberikan saran-saran
pertimbangan masalah agama Islam apabila diminta oleh Gubernur Jenderal atau
pembesar lain atas perintahnya.
2. Lembaga Kehakiman
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh empat
badan Peradilan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechtspraaken,
a) Landgreceht dimana peradilan ini berlaku untuk semua golongan.
b) Inlandsche Rechtspraak atau Peradilan Pribumi, yang pada prinsipnya berlaku untuk
golongan Pribumi. Untuk daerah Jawa dan Madura Peradilan bawahan berupa
Districtsgerecht dan Regentschaosgerecht. Peradilan atasan dari kedua jenis
Peradilan itu adalah Peradilan Landraad. Untuk daerah Seberang Peradilan
bawahan berupa: Negorijrechtbank, Districsgerecht/ Districtsraad, dan
Magistraat-sgerecht. Sama dengan di daerah Jawa dan Madura Peradilan atasan
dari kesemua peradilan itu adalah Peradilan landraad.
c) Europeesche Rechtspraak (Peradilan Eropa), pada prinsipnya
berlaku untuk golongan Eropa, susunan peradilan ini pada tingkat banding
dikenal dengan Raad van Justitutie dan tingkat kasasi berupa Hoog Gerechtshof
van Nederlandsche Indie.
d) Peradilan Agama, peradilan ini mengadili perkara agama Islam.
Peradilan jenis ini terdapat: di Jawa dan Madura berupa: Priesterraad dan Hof
voor Islamictische Zaken; Di Banjarmasin dan Hoeloe Soengai berupa Qadi;
sedangkan di daerah lain seperti Palembang, Jambi, Pontianak, Ternate, Ambon,
Makasar dan lain-lain, disesuaikan dengan sebutan yang dikenal di daerahnya
masing-masing, dan pada umumnya menggunakan sebutan Qadi.
3.
Lembaga Pendidikan
1.
MULO ( Meer Uit gebreid lager school ), sekolah
tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa
Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun,yang pertama didirikan pada
tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak
zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903
telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.
2.
AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah
menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukkan golongan
bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama
didirikan tahun 1915. AMS in terdiri dari dua jurusan (afdeling-
bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam),
pada zaman Jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan
disebut SMA.
3.
HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga
negara tinggi adalah sekolah menengah kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk
golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka.
Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat
4.
Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu
sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III
(lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini
didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881.
(Sanjaya, 2007: 207).
5.
Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah
sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun
menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak
mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu.
6.
Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah
kelanjutan dari Ambachtsschool,berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3
tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk
menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.
7.
Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs).
Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan
pesat.
4. Lembaga Kemiliteran
Sementara peradilan yang merupakan bagian dari Peradilan Militer terdiri
dari Krijgsraad. Zeekrijgsraad,
dan Hoog Militer Gerechtshof. Krijgsraad merupakan peradilan militer yang terdapat di Cimahi,
Makasar dan Padang. Pengadilan Krijgsraad ini mempunyai kekuasaan dan berwenang
mengadili perkara tentara Belanda (KNIL) yang berpangkat Kapten ke bawah,
sedang Zeekrijgsraad merupakan pengadilan Militer yang pada prinsipnya sama
dengan Krijgsraad, perbedaannya hanyalah bahwa Peradilan ini diselenggarakan di
atas kapal perang. Sebagai Peradilan militer tertinggi adalah apa yang dikenal
dengan sebutan Hoog Militair Gerehtshof yaitu peradilan yang berkedudukan di
Batavia. Kewenangan dari Hoog Militair Gerehtshof adalah memeriksa perkara pada
tingkat banding dari Krijgsraad dan Zeekrijgsraad, serta merupakan Peradilan
pertama dan tertinggi dari kalangan tentara yang berpangkat perwira ke atas.
C.
Masa Penjajahan Jepang
1.
Lembaga Keagamaan
Peradilan Agama Masa Penjajahan Jepang Jepang menaklukkan
Indonesia kurang dari dua bulan, dan Jawa jatuh dalam waktu satu minggu,
tepatnya tanggal 8 Maret 1942. Dalam arti sebenarnya, pemerintah Belanda dengan
semua bentuk kehebatan solidaritasnya, secara praktis dan efisien hancur dalam
sekejap mata (Halim, 2000 : 67). Dimasa penjajahan Jepang tidak ada perubahan
yang berarti menyangkut Peradilan Agama. Keadaan yang sudah ada dilanjutkan
sampai Jepang kalah dalam Perang Dunia II (Daud Ali, 1993: 203). Dengan
Undang-undang No. 14 Tahun 1942, pemerintah Jepang menetapkan Peraturan
Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon. Pengadilan itu pada dasarnya
adalah lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada (Tresna, 1957 :
78-9).
Karena situasi yang tidak mendukung, Jepang tidak
melaksanakan perubahan besar secara praktis. Akan tetapi nama yang digunakan
untuk lembaga peradilan itu diganti dengan bahasa Jepang, seperti Pengadilan
Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten diganti dengan Keen
Hooin, Raad van Justitie (Pengadilan Negeri) diganti dengan Tihoo Hooin dan Pengadilan Agama diganti dengan Sooryo
Hooin (Halim, 2000 : 68). Tanggal 26 September 1943 lahir UU No. 34 Tahun 1942
yang isinya mencabut No. 14 Tahun 1942. Isinya antara lain mengatur kembali
susunan pengadilan. Selain peradilan yang sudah ada dalam UU Nno. 14 Tahun 1942
juga di tambah dengan dua peradilan yaitu (Tresna, 1957: 79):
1. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) lanjutan dari Raad van
Justitie
2. Saiko Hooin (Mahkamah Agung) lanjutan dari Hooggerechtshof
Kootoo Hooin adalah
pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi
golongan Eropa termasuk Tionghoa. Sedangkan Saikoo Hooin adalah Pengadilan
Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan
pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana (Halim, 2000 : 68).
Pada masa kedudukan Jepang, kedudukan peradilan agama sempat terancam ketika
akhir januari 1945, pemerintah Jepang mengajukan pertanyaan kepada Dewan
Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) tentang cara mengurus kas
masjid dan susunan penghulu dalam hubungan negara Indonesia merdeka. Jawaban
dari Dewan diberikan tanggal 14 april 1945 sebagia berikut : Dalam negara baru
yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan
Pengadilan Agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadakan seseorang yang
bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada
pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama (Halim, 2000
: 68).
Sementara
itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1.
Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim
Asy’ari.
2. Pondok
pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3. Mengizinkan
pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran
bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4.
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H.
Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
5.
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6.
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun
kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro
Ada juga Lembaga yang akan menjadi cikal bakal departemen
agama di indonesia, yakni pada zaman jepang di namai dengan Shumubu, setelah
mendarat di indonesia jepang membentuk lembaga yang mengurusi urusan agama
islam dan lembaga ini kemudian di sebut shumubu atau kantor urusan agama
tingkat pusat yang didirikan oleh pemerintahan jepang di indonesia. lembaga
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya kementerian agama setelah
kemerdekaan.
Dalam perjalananya sejarahnya, shumubu dibentuk jepang
bertujuan sebagai alat propagandan dan ulama ditarik ke dalam struktur shumubu,
meskipun dalam organisasi tersebut masih banyak campur tangan jepang namun umat
islam lebih bebas untuk mengembang islam dengan syarat tidak merugikan Dai
Nipoon Jepang.
2. Lembaga Pendidikan
Pendidikan.
Pada zaman Jepang, pendidikan mengalami peru-bahan. Sekolah Dasar (Gokumin
Gakko) diperuntukkan untuk semua warga masyarakat tanpa membedakan status
sosialnya. Pendidikan ini ditempuh selama enam tahun. Sekolah menengah
dibedakan menjadi dua, yaitu:
Shoto Chu
Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping itu, ada Sekolah Pertukangan (Kogyo
Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru yang
dibedakan menjadi tiga tingkatan. Sekolah Guru dua tahun (Syoto Sihan Gakko),
Sekolah Guru empat tahun (Guto Sihan Gakko), dan Sekolah Guru dua tahun (Koto
Sihan Gakko). Seperti pada zaman Belanda, Jepang tidak menyelenggarakan jenjang
pendidikan universitas. Yang ada hanya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai
Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai Gakko) di Bandung. Kedua
Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman Belanda. Untuk menyiapkan
kader pamong praja diselenggarakan Sekolah Tinggi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin)
di Jakarta.
Selain
itu, Penggunaan Bahasa Indonesia. Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli Bahasa
Indonesia berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa
bersejarah bagi Bahasa Indonesia. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang
melarang penggunaan Bahasa Belanda dan digantikan dengan Bahasa Indonesia.
Bahkan, pada tahun 1943 semua tulisan yang berbahasa Belanda dihapuskan diganti
dengan tulisan berbahasa Indonesia.
3. Lembaga Kemiliteran
Beberapa organisasi militer yang
dibentuk pemerintah Jepang, diantaranya:
1)
Heiho (pembantu prajurit Jepang) adalah kesatuan militer yang
dibentuk oleh pemerintah Jepang yang beranggotakan para pemuda Indonesia. Heiho
menjadi bagian Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Anggota Heiho
mendapat latihan kemiliteran agar mampu menggantikan prajurit Jepang di dalam
peperangan. Para anggota Heiho mendapat latihan untuk menggunakan senjata
(senjata anti pesawat, tank, artileri medan, mengemudi, dan sebagainya). Namun,
tidak ada satupun anggota Heiho yang berpangkat perwira. Pangkat perwira hanya
dipeuntukkan bagi orang-orang Jepang. Para anggota Heiho mendapat latihan
kemiliteran. Untuk itu, pemerin-tah Jepang menugaskan seksi khusus dari bagian
intelejen untuk melatih para anggota Heiho. Latihan dipimpin oleh Letnan Yana-gawa
dengan tujuan agar para pemuda Indonesia dapat melak-sanakan tugas intelejen.
2)
Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943. Menjelang
berakhirnya latihan kemiliteran angkatan ke 2, keluarlah surat perintah untuk
membentuk PETA. Namun, Letjen Kamakici Harada memutuskan agar pembentukkan PETA
bukan inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia.
3)
Gerakan 3A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia,
dan Jepang Pelindung Asia) merupakan organisasi sosial yang bertujuan untuk
mewadahi bangsa Indonesia agar lebih mudah untuk mengaturnya, terutama untuk
mencapai tujuan Jepang.
4)
Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera dibentuk untuk
menggantikan Gerakan 3 A. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan semangat bangsa Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang dalam
perang melawan Sekutu. Putera didirikan pada tanggal 1 Maret 1943 dipimpin oleh
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mansyur.
5)
Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa). Organisasi ini
dibentuk pada tahun 1944, setelah kedudukan pasukan Jepang semakin terdesak.
Tujuannya adalah untuk menggerakan seluruh rakyat Indonesia agar berbakti
kepada Jepang. Sebagai tanda bahwa rakyat benar-benar berbakti, maka rakyat
harus rela berkurban, baik harta benda maupun jiwa dan raga untuk kepentingan
perang Jepang. Rakyat Indonesia harus menyerah-kan emas, intan, dan segala
harta benda (terutama beras) untuk kepentingan perang.
D.
Masa sekarang
Pada masa sekarang sangat banyak sekali
Lembaga Lembaga Keagamaan di indonesia diantaranya adalah seperti di bawah ini
:
1.
Majlis Ta’lim
Dalam Kamus
Bahasa Indonesia pengertian
majlis adalah Lembaga (Organisasi) sebagai wadah pengajian dan kata
Majlis dalam kalangan ulama’ adalah lembaga masyarakat non pemerintah yang
terdiri atas para ulama’ Islam. Adapun arti
Ta’lim adalah Pengajaran , jadi
menurut arti dan pengertian di atas maka secara istilah Majlis Ta’lim adalah
Lembaga Pendidikan Non Formal Islam yang memiliki kurikulum sendiri/aturan
sendiri, yang diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh
jama’ah yang relatif banyak dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan
hubungan yang santun dan serasi antara manusia dan Allah, manusia dan sesamanya
dan manusia dan lingkungannya, dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa
kepada Allah SWT.
2.
Kantor Urusan Agama
Kantor
urusan agama adalah kantor yang melaksanakan sebagian tugas kantor kementerian
agama indonesia do kabupaten dan kota di bidang urusan agama islam dalam
wilayah kecamatan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut maka KUA memiliki
fungsi :
1. Menyelenggarakan
statistik dan dokumentasi
2. Menyelenggarakan
surat menyurat kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA kecamatan
3. Melaksanakan
pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal
dan ibadah sosial
3.
Badan Amil Zakat
Nasional
Badan
amil zakat nasional adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara
nasional. BAZNAS merupakan Lembaga pemerintah non struktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri agama. BAZNAS
berkedudukan di ibu kota negara. Lembaga amil zakat menurut UU no 23 tahun 2011
tentang pengelolaan zakat pasal 1 ayat 8 disebutkan bahwa lembaga amil zakat
adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu
pengumpulan, pendistribusian, dan pedaya gunaan zakat.
4.
Majelis Ulama
Indonesia
Majelis
ulama indonesia (MUI) adalah lembaga yang mewadahi para ulama, zu’ama dan
cendekiawan islam di indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum
muslimin di seluruh indonesia. majelis ulama indonesia berdiri pada tanggal 26
juli 1975 dijakarta, untuk membantu pemerintah dalam melakukan halhal yang
menyangkut dengan umat islam seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah
makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama islam dan hal hal yang
berkaitan dengan hubungan seorang penganut agama islam dengan lingkungganya.
5.
Perguruan Tinggi Islam
Kelahiran
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tidak lain karena usaha gigi ummat Islam,
yang mayoritas di Indonesia ini, dalam usaha mengembangkan system pendidikan
Islam yang lengkap, yang dimulai dari system pendidikan pesantren yang
sederhana sampai ketingkat perguruan tinggi. Secara formal pendirian lemabaga pendidikan
tinggi Islam baru dapat direalisasikan oleh pemerintah pada tahun 1950 dengan
peraturan pemerintah No. 37/1950 dengan menegrikan fakultas Agama UII menjadi
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) dipimpin oleh KH. Muhammad Adnan dengan
tiga jurusan yaitu, tarbiyah, Qadha, dan Dakwah. Tidak lama berselang
pemerintah juga mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta tepatnya
tanggal 1 Juni 1957 sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan pegawai negeri
dengan kemampuan akademik dan seni akademik tingkat diploma sebagai guru Agama
di SLTP.
6.
Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang
berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya,
madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada
ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan
fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun
negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.
Menurut Abuddin Nata, khususnya
di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara
lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata
pelajaran agama: Al-quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah
Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri
khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah
dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi
agama yang kuat, dan hanya berlangsung hingga kelas empat. Adapun madrasah
sebagai sekolah umum yang berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap
keberagamaan (riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni
bidang keahlian sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian
besar rata-rata lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus
madrasah negeri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lembaga
keagamaan adalah tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam bersama dengan
proses pembudayaan serta dapat mengikat individu yang berda dalam naungannya,
sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum.
Pendidikan Islam yang berlangsung
melalui proses operasional menuju tujuannya, memerlukan sistem yang konsistem
dan dapat mendukung nilai-nilai moral apiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut
diaktualisasikan berdasarkan otentasi kebutuhan perkembangan fitrah siswa yang
dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada.
Lembaga pendidikan Islam secara
umumbertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayalan dan pengalaman
peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlakmulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat berbangsa danbernegara.
Tugas
lembaga pendidikan pada intinya adalah sebagai wadah untuk memberikan
pengarahan, bimbingan dan pelatihan agar manusia dengansegala potensi yang
dimilikinya dan dapat dikembangkan dengan sebaik baiknya.Tugas lembaga
pendidikan Islam yang terpenting adalah dapat mengantarkan manusia kepada misi
penciptaannya sebagai hamba Allah sebagai kholifah fi Al-Ardhi, yaitu seorang
hamba yang mampu beribadahdengan baik dan dapat mengembangkan amanah untuk
menjaga dan untukmengelolah dan melesarikan bumi dengan mewujudkan kebahagiaan
dan kesejahteraan seluruh alam.
Beberapa jenis lembaga pendidikan
islam, yaitu keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah. Selain yang di
ungkapkan dari Abdul Mujib dan jusuf Mudzakkir juga akan dipaparkan tentang lembaga
pendidikan Islam Majelis Ta’lim dan Perguruan Tinggi Islam (IAIN).
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu
Pendidikan Islam. Cet. Ke-2.Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana.
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.
Ke-9. Jakarta: Kalam Mulia.
Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.
Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2010. Ilmu Pendidikan Islam
Dalam Perspektif Islam. Cet. K-10.Bandung: Rosda.
Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry, kamus ilmiah
populer (Surabaya: Arkola, 1994) hlm. 406
Muhimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 231
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm.
231.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam
di Indonesia, Bandung, 1996, hal 40
Dra.Hj.Enung K Rukiati dan Dra.Fenti
Hikmawati,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Bandung : Pustaka Setia ,
2006 ), Cet. 1, hal. 134
Zuhairi, dkk., Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 192
Hasbullah. 1996. KapitaselektaPendidikan Islam
di Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, hlm: 102-103
No comments:
Post a Comment