MAKALAH PPMDI TENTANG MUHAMMAD ABDUH DAN IDE-IDE PEMBAHARUANNYA
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum Warrahmatullahi
Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat, anugerah, dan karunia,
sehingga dengan izin-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula
shalawat beriring salam juga kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil `alamin). Makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah PPMDI dengan baik dan tepat waktu. Yang berjudul “MUHAMMAD ABDUH DAN IDE-IDE PEMBAHARUANYA.”
Kami sangat
menyadari sepenuhnya bahwa dalam membuat makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak yang harus diperbaiki, mengingat keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, untuk segala kritik dan saran yang
sifatnya membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita telah mengetahu, banyak kalngan
pemikir dan pengamat yang muncul dalam perkembangan islam, di antaranya adalah
Muhammad abduh, yang berusaha untuk mewujudkan sebuah keadaan yang baik. Sebuah kondisi
yang sesuai dengan tuntunan islam dan dapat menghadapi tuntutan zaman. Muhammad
abduh dengan pemikiranya berusaha untuk memperbaiki pemikiran-pemikiran yang
telah ada yang terdahulu. Kesalahan-kesalahan tidak terletak pada
pemikiran-pemikiran yang telah ada, tetapi terletak pada suut pandang pemahaman
yang yang dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, tidak terlepas dari
pandangan yang jumud, tqkid, dan tidak berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
B. Rumusan Masalah
1.
Biografi Muhammad Abduh
2.
Ide-ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Biografi Muhammad ‘Abduh
2.
Memahami Ide-ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
‘Abduh
lahir di pedusunan delta Nil Mesir pada tahun 1849. Keluarganya terkenal
berpegang teguh kepada ilmu dan agama. Ayahnya beristri dua. Muhammad ‘Abduh
muda merasakan sejak dini sulitnya hidup dalam keluarga poligami. Hal ini
menjadi pokok persoalan yang dia sampaikan dengan sangat yakin di kemudian hari
ketika dia menegaskan perlunya pembaruan keluarga dan hak-hak wanita. Dalam usia 12 tahun ‘Abduh telah hapal al-Qur’an. Kemudian,
pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahmadi. Mesjid
ini sering disebut “Mesjid Syeikh Ahmad”, yang kedudukannya dianggap sebagai
level kedua setelah Al-Azhar dari segi menghapal dan belajar al-Qur’an.
Pelajaran di mesjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2 tahun. Namun ‘Abduh
merasa tak mengerti apa-apa. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan:
“Satu setengah tahun saya belajar di mesjid
Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang
salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghapal istilah-istilah
tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak
merasa penting apa kita meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.”
Inilah latar belakang dari pokok pembaruannya dalam bidang pendidikan di
kemudian hari. Pada saat ‘Abduh berumur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865,
‘Abduh menikah dan bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya berlangsung
selama 40 hari. Karena ia harus pergi ke Tanta untuk belajar kembali. Pamannya
‘Abduh, seorang Syeikh (guru spiritual) Darwisy Khadr–seorang sufi dari Tarekat
Syadzili–telah membangkitkan kembali semangat belajar dan antusiasme ‘Abduh
terhadap ilmu dan agama. Syeikh ini mengajarkan kepadanya disiplin etika dan
moral serta praktek kezuhudan tarekatnya. Meski ‘Abduh tidak lama bersama
Syeikh Darwisy, sepanjang hidupnya ‘Abduh tetap tertarik kepada kehidupan
ruhaniah tasawuf. Namun kemudian dia jadi kritis terhadap banyak bentuk
lahiriah dan ajaran tasawuf, dan karena kemudian dia memasuki kehidupan
Jamaluddin Al-Afghani yang karismatis itu. Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan
isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Harapannya itu
tak terpenuhi. Ia keluar karena proses belajar yang berlangsung menonjolkan
ilmu dan hapalan luar kepala tanpa pemahaman, seperti pengalamannya di Tanta.
Inilah juga yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam
bidang pendidikan. Tiga tahun setelah ‘Abduh di Al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani
datang ke Mesir. Segera saja ‘Abduh bergabung bersamanya. Di bawah bimbingan
al-Afghani, ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu
sosial serta politik. Sekelompok pelajar muda Al-Azhar bergabung bersamanya,
termasuk pemimpin Mesir di kemudian hari, Sa’d Zaghlul. Afghani aktif
memberikan dorongan kepada murid-muridnya ini untuk menghadapi intervensi Eropa
di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu.
‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia itu,
lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik. ‘Abduh menyelesaikan studinya pada
tahun 1877, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Ia mengajarkan Akhlak karya
Ibn Miskawaih, Muqoddimah Ibn Khaldun, dan sejarah kebudayaan Eropa
karya Guizot yang diterjemahkan oleh Tahthawi ke bahasa Arab. Muhammad ‘Abduh
meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di
Kairo dan Aleksandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada
dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan
tindakannya yang reformatif, terasa ada pengakuan bahwa Mesir dan Islam merasa
kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan
mendalam spiritualnya.
B. Ide-ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
1.
Jumud: Faktor Utama Kemunduran Umat Islam
‘Abduh berpandangan bahwa penyakit
yang melanda negara-negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di
kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan adanya
tuntutan dunia Islam modern. Selama beberapa abad di masa silam, kaum Muslimin
telah menghadapi kemunduran dan sebagai hasilnya mereka tidak mendapatkan
dirinya sebagai siap sedia untuk menghadapi situasi yang kritis ini. Ia
berpendapat bahwa sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena
ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam.
Jumud yaitu keadaan membeku/statis, sehingga umat tidak mau menerima peubahan,
yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-Jumud
‘illatun tazawwul). Seperti dikemukakan ‘Abduh dalam al-Islam baina
al-’Ilm wa al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke
tubuh Islam oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan
politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak mementingkan
pemakaian akal, jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan
dalam hal ilmu pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada pemerintah. Keadaan
ini seperti ini, menurutnya, adalah bid’ah. Masuknya bid’ah ke
dalam tubuh Islam-lah yang membawa umat lepas dari ajaran Islam yang
sesungguhnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, ‘Abduh, sebagaimana Abdul
Wahhab, berusaha mengembalikan umat seperti pada masa salaf, yaitu di
zaman sahabat dan ulama-ulama besar. Namun, yang membedakan faham ‘Abduh dengan
Abdul Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli
itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan keadaan modern
sekarang ini.
2.
Pembaruan ‘Abduh dalam Masalah Ijtihad
Faham Ibn Taimiyyah yang menyatakan
bahwa ajaran-ajran Islam terbagi ke dalam dua kategori: Ibadah dan Mu’amalah,
diambil dan ditonjolkan oleh ‘Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang
terdapat dalam Qur’an dan hadits bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya,
ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar
dan prinsip umum tidak terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena
sifatnya yang umum tanpa perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan
dengan zaman. Penyesuaian dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan
dengan mengadakan interpretasi baru. Untuk itu, Ijtihad perlu dibuka.
Dalam kitab Tarikh Hashri al-Ijtihad dikutip pendapat ‘Abduh mengenai
ijtihad sebagai berikut:
“Sesungguhnya kehidupan
sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal baru yang
belum pernah ada pada zaman sebelumnya.
Ijtihad adalah jalan yang telah ada dalam
syariat Islam sebagai sarana untuk menghubungkan hal-hal baru dalam kehidupan
manusia dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam telah dibahas
seluruhnya oleh para ulama terdahulu….”
Selanjutnya, menurut ‘Abduh, untuk
orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang muamalah dan
hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Quran dan hadis dan
disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut
zaman. Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh
memeranginya. Karena taklid di bidang muamalah menghentikan
pikir dan akal berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab,
perkembangan susunan masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya. Pendapat
tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi pada akal.
Qur’an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam, menurutnya
adalah agama rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman
seseorang takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali mengikat
tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang bertentangan
dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan dengan akal, maka harus
dicari interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami secara rasional.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa. Tentang hal ini
Muhammad ‘Abduh berkata:
“Mesti ada suatu pembebasan
akal dari belenggu taqlid, dan mesti memahami agama sesuai dengan jalan yang
ditempuh oleh pada kaum salaf sebelum
terjadi perpecahan…….dan umat Islam mesti berpaling kepada kekuatan akal
sebagai kekuatan terbesar manusia….”
3.
Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Islam (Pendidikan)
Seperti dikutip Fazlur Rahman, ‘Abduh
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam (sunnatullah,
yang tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya). Sunnatullah adalah
ciptaan Allah SWT. Wahyu juga berasal dari Allah. Jadi, karena keduanya datang
dari Allah, tidak dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti
sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai dengan
Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi ilmu pengetahuan.
Dengan penuh semangat, ‘Abduh menyuarakan penggalian sains dan penanaman
semangat ilmiah Barat. Kemajuan Eropa ia tegaskan karena belahan dunia ini
telah mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Ia membantah bahwa Islam tidak
mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia ingin membuktikan bahwa Islam adalah
agama rasional yang dapat menjadi basis kehidupan modern. Sebagai konsekuensi
dari pendapatnya, ‘Abduh berupaya untuk memperbarui pendidikan dan pelajaran
modern, yang dimaksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu
menyelesaikan persoalan modern. Pendidikan adalah hal terpenting dalam
kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu. Program yang
diajukannya–sebagai salah satu fondasi utama–adalah memahami dan menggunakan
Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Menurutnya, sekolah
negeri (sekuler) harus diwarnai dengan agama yang kuat. Namun, rupanya,
pendapatnya itu mendapat tantangan berat dari ulama konservatif yang belum
mengetahui faedah dari perubahan yang dianjurkan ‘Abduh. Keberatan final ‘Abduh
berkenaan dengan upaya meniru pendidikan Barat disebabkan pengalaman bahwa
orang yang meniru bangsa lain, dan meniru adat bangsa lain, membukakan pintu bagi
masuknya musuh. Segelintir orang yang terbaratkan telah menggunakan slogan
asing, seperti “kebebasan, nasionalisme, etnisitas”. ‘Abduh memperjuangkan
sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencakup pendidikan
universal bagi semua anak, laki-laki dan perempuan. Semuanya harus punya
kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Semuanya harus
mendapat pendidikan agama, yang mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti
perbedaan antara Kristen dan Islam. Isi
dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang
dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat
pendidikan minimum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka. Kurikulum
sekolah ini harus meliputi:
a. buku ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan
ajaran Sunni dan tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian.
b. teks ringkas yang memaparkan secara garis besar
fondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan mana yang benar dan yang
salah.
c. teks ringkas sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan
shahabat, dan sebab-sebab kejayaan Islam.
Sedangkan untuk sekolah menengah
haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, militer, kedokteran, atau ingin
bekerja ada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi, antara lain:
a. buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seno
logika, prinsip penalaran.
b. teks tentang doktrin, yang menyampaikan soal-soal
seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindarkan
konflik, pembahasan lebih irnci mengenai perbedaan antara Kristen dan Islam,
dan keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akherat.
c. teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah,
penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin.
d. Serta teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukan
dan penyebaran Islam. Adapun pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan
kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup: (1) tafsir
al-Qur’an; (2) ilmu bahasa dan bahasa Arab; (3) ilmu hadis; (4) studi moralitas
(etika); (5) prinsip-prinsip fiqh; (6) seni berbicara dan meyakinkan; dan (7)
teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.
4.
Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Keluarga dan Wanita
Menurut ‘Abduh, blok bangunan
terpenting dari masyarakat baru adalah individu. Umat terdiri dari unit-unit
keluarga. Kalau unit-unit ini tidak memberikan lingkungan yang sehat dan
fungsional bagi perkembangan individu di dalamnya, maka masyarakat akan ambruk.
Abduh berkata:
“Sesungguhnya umat terdiri
rumah-rumah (unit-unit keluarga). Jika unit-unit keluarga baik, maka umat pun
akan baik. Barangsiapa yang tidak memiliki keluarga maka ia pun tidak memiliki
umat. Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang memiliki hak,
kebebasan beraktivitas, perasaan, dan akal yang sama. Dan ketahuilah bahwa
laki-laki yang berupaya menindas wanita supaya dapat menjadi tuan dirumahnya
sendiri, berarti menciptakan generasi budak…”
Menurut ‘Abduh, jika wanita memang
punya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria
tak berlaku lagi. Di tempat lain, dia menulis, bahwa menurut al-Qur’an ada dua
jenis wanita, wanita saleh dan wanita durhaka. kepemimpinan pria berlaku hanya
terhadap istri yang mengacau atau durhaka. ‘Abduh juga berpendapat bahwa,
penyebab perpecahan atau firnah dalam masyarakat adalah karena pria mengumbar
hawa nafsunya. Tak seperti penulis kontemporer lainnya, dia tak mengatakan
bahwa penyebabnya adalah karena wanita, atau karena kapasitas wanita untuk
membangkitkan gairah seks pria. Berikut ini adalah argumentasi ‘Abduh dalam
memperotes poligami:
a. jika seorang wanita dapat dimiliki oleh semua pria,
dan setiap wanita boleh jadi pasangan setiap pria, maka api kecemburuan akan
berkobar di hati manusia, dan masing-masing akan berupaya membela keinginanya.
Ini akan menyebabkan pertumpahan darah.
b. Wanita pada sifatnya tak mampu menyediakan kebutuhan
hidupnya, dan tak mampu melindungi dirinya dari bahaya, khususnya ketika sedang
hamil dan melahirkan. Kalau pria tak menyadari tanggung jawab memebelanya
dan hak-haknya, maka dia dan keturunannya akan mendapat bahaya.
c. Pria Muslim baru akan terdorong untuk bekerja keras
agar menjadi pemerhati tanggungannya yang baik. Kalau tak ada istri dan anak
dia tidak akan mendapat masa depan. Jika keturunannya tak jelas, maka pria tak
akan berjuang menafkahi anak seperti itu.
d. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya
berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristri lebih dari
satu. Maka karena keadilan dalam poligami itu mustahil, maka poligami harus
dilarang.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syeikh
Muhammad abduh dalam tologi lebih cendrung berpahamkan mu’tazilah dan lebih
mengedepankan akal dari pada wahyu. Dalam satu
sisi beliau sangat berjasa dalam memberikan gambaran yang jelas tentang
keperluan umat islam kepada pembaharuan, khusus nya dalam urusan-urusan
kedunian, seperti dalam urusan pertanian, pertukangan, pengindustrian,
pengangkutan, perumahan, persekolahan, pelajar dan pengajaran, kebudayaan,
kesenian, adat istiadat dan lain-lain sebagainya kita tentu menerimah
modernisasinya dan bahkan menganjurkannya. Khusus di bidang pendidikan Muhammad
abduh mampu merubah metode pengajaran bersifat hafalan kepada penalaran atau
lebih dekat dengan diskusi.
DAFTAR
PUSTAKA
Yvonne
Haddad, “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para
Perintis Zaman baru Islam (Bandung: Mizan, 1998) Cet. III, hlm. 36.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), Cet. IX, hlm. 59.
Albert Hourani, Arabic
Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1933), hlm.
23ff.
Yvonne Hadda, Op. Cit., hlm. 38.
Murtadha Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, (Jakarta:
Beunebi Cipta, tt), hlm. 67.
Muhammad
‘Abduh, Al-Islam Baina al-Din wa al-Madaniyyah (Mesir: Haiat
al-Mishriyyah al-’Ammah lil-Kitab, 1993). hlm. 164.
Harun Nasution, Op.Cit., hlm. 63.
Ibid., hlm. 64.
Syeikh
Agha Bazrak at-Teherani, Tarikh Hashri al-Ijtihad, (Qum: al-Khayyam,
1401 H), hlm. 28.
Dalam
al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menggambarkan posisi akal yang tinggi
dengan lafadz: afalâ ta’qilûn, afalâ yatadabbarûn, dll.
Muhammad
‘Ammarah, Al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam (Beirut:
Al-Muassassah al-Islamiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981), hlm. 47.
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intellektual (Bandung:
Pustaka, 1995), hlm. 58.
Muhammad ‘Ammarah, Al-Imam Muhammad ‘Abduh, Op.Cit.
hlm. 207.
Yvonne
Haddad, Op.Cit., hlm. 59.
Muhammad ‘Ammarah, Op. Cit., hlm. 222-223.
Lihat juga Yvonne Haddad, Ibid.
Muhammad ‘Abduh, “Al-Usrah wa al-Mar’ah”, disusun dan
diedit oleh Muhammad ‘Ammarah, al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam,
Op.Cit., hlm. 231.
Muhammad ‘Abduh, Tafsir, yang dikutip Yvonne
Haddad, Op. Cit. hlm. 65
No comments:
Post a Comment