MAKALAH ‘ARIYAH (SIMPAN PINJAM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu tauhid yang
mengatur tata aturan, pedoman, konsep-konsep dasar muslim dalam kehidupan dunia
dan akhirat. Seperti aturan thaharah, sholat, jenazah, zakat, puasa, haji dan
umroh, muamalat, faraid, hikah, jinayat, hudud (hukuman), jihad (peperAngan),
makanan dan penyembelihan, aqdiyah (hukum pengadilan) dan kitab al khilafah.
Fiqh muamalat adalah ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan
manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi. Maka dari itu penulis
mengangkat pembahasan mengenai ‘Ariyah (pinjaman) yang akan dijelaskan secara
rinci berdasarkan sumber-sumber terpercaya sesuai dengan tuntunan syara’.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat beberapa rumusan masalah,
antara lain:
1.
Apa yang dimaksud dengan
‘ariyah?
2.
Apa saja landasan hukum
‘ariyah?
3.
Apa saja rukun dan syarat
‘ariyah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari pembahasan ini adalah:
1.
Untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan ‘ariyah.
2.
Untuk mengetahui apa saja
yang menjadi landasan hukum ‘ariyah.
3.
Untuk mengetahui apa saja
yang menjadi rukun dan syarat ‘ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
‘ARIYAH (SIMPAN
PINJAM)
A. Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut
istilah melalui firman allah dalam qs. An-Nisa’: 58 berbunyi :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya : “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”
Maksud dari ayat tersebut adalah
kebolehan mengambil manfat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada
orang lain tanpa harus diganti. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah
adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara
Cuma-Cuma (gratis). Akan tetapi jika hal tersebut diganti dengan sesuatu atau
menginginkan imbalan itu tidak dapat disebut “ariyah.[1]
Menurut wahba zuhaili lafal ‘ariyah
adalah nama bagi sesuatu yang dipinjam, diambil dari kata ara yang sinonimnya
dzahaba waja’a (pergi dan datang).
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong-menolong
(ariyah) sunnah. Sedangkan menurut Al-Ruyani yang dikutif dari taqiy
al-din bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun
landasan hukumnya berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits yaitu:
1.
Qs. Al-maidah: 2
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä w
(#q=ÏtéB uȵ¯»yèx©
«!$# wur
tök¤¶9$# tP#tptø:$#
wur yôolù;$#
wur yÍ´¯»n=s)ø9$#
Iwur tûüÏiB!#uä
|Møt7ø9$# tP#tptø:$#
tbqäótGö6t WxôÒsù
`ÏiB öNÍkÍh5§
$ZRºuqôÊÍur 4
#sÎ)ur ÷Läêù=n=ym
(#rß$sÜô¹$$sù 4
wur öNä3¨ZtBÌøgs
ãb$t«oYx© BQöqs%
br& öNà2r|¹
Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$#
ÏQ#tptø:$# br&
(#rßtG÷ès? ¢
(#qçRur$yès?ur n?tã
ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur
( wur (#qçRur$yès?
n?tã ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur 4
(#qà)¨?$#ur ©!$#
( ¨bÎ) ©!$#
ßÏx© É>$s)Ïèø9$#
ÇËÈ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keredhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya”.
2.
Hadits Dari Abu Dawud
Artinya:
“sampaikanlah amanat orang yang memebrikan amanat kepadamu dan janganlah
kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (dikeluarkan oleh abu dawud).
Artinya:
“barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
3.
Hadits Riwayat Daruquthni
Artinya: “pinjaman
yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang
menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian”
4.
Hadits riwayat Bukhari
Artinya: “siapa
yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka allah akan
membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka allah akan
melenyapkan hartanya”.[2]
5.
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
Artinya:
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah
dzalim (berbuat aniaya)”.
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanfiyah, rukun ‘ariyah
adalah satu yaitu ijab dan kabul. Tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab
kabul dengan ucapan. Menurut Syafi’iyah dan jumhur ulama , rukun ‘ariyah adalah
sebagai berikut :
1.
Kalimat mengutangkan (lafazh).
2.
Mu’ir yaitu orang
yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima
utang. Syarat bagi mu’ir adalah orang yang berhak menyerahkannya dengan
syarat Baligh, berakal, tidak dimahjur (dibawah curatelle) seperti
pemboros.
3.
Benda yang diutangkan,
disyaratkan dua hal berikut ini yaitu:
a) Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah
‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan. Seperti meminjam karung yang
mudah hancur sehingga tidak dapan menyimpan padi.
b) Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang
pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam
benda-benda najis.
4.
Sighat. [3]
D. Pembayaran pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu
kepada orang lain berarti memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang
wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan
melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan
salah satu perbuatan dosa seperti sabda rasulullah pada hadits bukhari dan
muslim.
Melebihkan bayaran dari sejumlah
pinjaman itu dibolehkan, asal kelebihan tersebut kemauan dari yang
berutang maka ini menjadi nilai bagi
yang membayar utang. Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar
hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau
pinjam.
Jika penambahan tersebut dikehendaki
oleh orang yang berutang atau telah menjadi pinjaman dalam akad perutangan,
maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Seperti
sabda rasulullah yang dikeluarkan oleh Baihaqi yaitu:
Artinya: “tiap-tiap piutang
yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah-satu cara dari sekian cara riba”.
E. Meminjam Pinjaman Dan Menyewakannya
Abu hanifah dan malik berpendapat
bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain.
Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang
tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut madzhab hanbali, peminjam
boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya
selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram
hukumnya menurut hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik
barang.
Jika peminjam suatu benda
meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan
kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara
keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jamianan
kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang
barang-barang pinjaman kepada orang lain, kemudian barang tersebut rusak , ia
berkewajiban menjaminnya baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demikian menurut ibm abbas, aisyah, abu hurairah, syafi’i, dan
ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh samurrah, rasulullah Saw bersabda:[4]
Artinya: “pemegang berkewajiban menjaga apa yang
ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Sementara menurut hanafiyah dan
malikiyah bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali
karena tindakannya yang berlebihan karena Rasulullah bersabda :
Artinya : “peminjam tidak berkewajiban mengganti
kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban
menggantiu kerusakan” (Hadits Riwayat Daruquthni”
G. Tata Krama Berutang
Ada beberapa hala
yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang piutang tentang etika
yang terkait didalamnya, sebagai berikut:
1. Sesuai dengan Qs. Al-Baqarah:282, utang piutang suapaya
dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi
laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Untuk dewasa ini tulisan harus di buat
diatas kertas bersegel atau bermaterai.
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang
mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya.
3. Pihak berutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada
pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan maka yang
berpiutang hendaknya membebaskannya.
4. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya
dipercepat pembayarannya karena lalali dalam pembayaran pinjaman sama dengan
berbuat ladzim/aniaya.
H. Perubahan Status ‘Ariyah Dari Amanah Kepada Dhaman
Menurut hanafiah status ‘ariyah dapat
berubah dari amanah kepada dhaman (tanggungan) karena beberapa sebab
yang telah dikemukakan dalam wadi’ah, antara lain:
1.
Ditelantarkan. Misalnya
meenmpatkan barang yang dipinjamnya ditempat yang gampang hilang, atau sengaja
memberitahukan tempatnya kepada pencuri.
2.
Tidak dijaga dengan baik
ketika menggunakannya atau menyewakannya.
3.
Menggunakan barang yang
dipinjam tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut adat kebiasaan.
4.
Menyalahi cara menjaga
barang yang disepakati. Misalnya peminjam diminta agar jangan sampai lupa
menjaga barang yang dipinjamnya tetapi ia lupa. Maka dalam hal ini ia dibebani
gantirugi.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
‘Ariyah menurut Bahasa adalah
pinjaman, sedangkan menurut istilah pada Qs. Anisa’ :58 yang artinya “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”. Maksudnya adalah kebolehan
mengambil manfat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain
tanpa harus diganti. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah
adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara
Cuma-Cuma (gratis). Akan tetapi jika hal tersebut diganti dengan sesuatu atau
menginginkan imbalan itu tidak dapat disebut “ariyah.
Yang menjadi Landasan hukum ‘Ariyah
adalah Al-Qur’an dan Sunnah. antara lain:
1.
Qs. Al-Maidah : 2
2.
An-nisa’ : 58
3.
Hadits Riwayat Abu Dawud
4.
Hadits Riwayat Daruquthni
5.
Hadits Riwayat Bukhari
6.
Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim
Menurut Hanfiyah, rukun ‘ariyah
adalah satu yaitu ijab dan kabul. Menurut Syafi’iyah dan jumhur ulama , rukun
‘ariyah adalah sebagai berikut :
1.
Kalimat mengutangkan (lafazh).
2.
Mu’ir yaitu orang
yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima
utang.
3.
Benda yang diutangkan
4.
Sighat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi Suhendi. 2010. Fiqh
Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ahmad wardi muslich.
2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Mohammad Anwar. 2009. Fiqh
Muamalah. Bandung: Alma’arif.
Hasbi ash-Shaddieqy.
1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
[1]
Hendi Suhendi, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Hal. 91-93
[2] Hendi
Suhendi, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal.
93-94
[3]
Mohammad Anwar, 2009, Fiqh Muamalah, Bandung: Al-Ma’arif, Hal 105
[4]
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1984, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan
Bintang, Hal 144.
[5]
Ahmad Wardi Muslich, 2010, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, Hal.478-479
No comments:
Post a Comment