1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH ‘ARIYAH (SIMPAN PINJAM)

MAKALAH ‘ARIYAH (SIMPAN PINJAM)

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu tauhid yang mengatur tata aturan, pedoman, konsep-konsep dasar muslim dalam kehidupan dunia dan akhirat. Seperti aturan thaharah, sholat, jenazah, zakat, puasa, haji dan umroh, muamalat, faraid, hikah, jinayat, hudud (hukuman), jihad (peperAngan), makanan dan penyembelihan, aqdiyah (hukum pengadilan) dan kitab al khilafah.
Fiqh muamalat adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi. Maka dari itu penulis mengangkat pembahasan mengenai ‘Ariyah (pinjaman) yang akan dijelaskan secara rinci berdasarkan sumber-sumber terpercaya sesuai dengan tuntunan syara’.

B.   Rumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat beberapa rumusan masalah, antara lain:
1.             Apa yang dimaksud dengan ‘ariyah?
2.             Apa saja landasan hukum ‘ariyah?
3.             Apa saja rukun dan syarat ‘ariyah?

C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari pembahasan ini adalah:
1.             Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘ariyah.
2.             Untuk mengetahui apa saja yang menjadi landasan hukum ‘ariyah.
3.             Untuk mengetahui apa saja yang menjadi rukun dan syarat ‘ariyah.




BAB II
PEMBAHASAN
‘ARIYAH (SIMPAN PINJAM)
A.  Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut istilah melalui firman allah dalam qs. An-Nisa’: 58 berbunyi :
 * ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”

Maksud dari ayat tersebut adalah kebolehan mengambil manfat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain tanpa harus diganti. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Akan tetapi jika hal tersebut diganti dengan sesuatu atau menginginkan imbalan itu tidak dapat disebut “ariyah.[1]
Menurut wahba zuhaili lafal ‘ariyah adalah nama bagi sesuatu yang dipinjam, diambil dari kata ara yang sinonimnya dzahaba waja’a (pergi dan datang).

B.  Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong-menolong (ariyah) sunnah. Sedangkan menurut Al-Ruyani yang dikutif dari taqiy al-din bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits yaitu:
1.             Qs. Al-maidah: 2
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
2.             Hadits Dari Abu Dawud


Artinya: “sampaikanlah amanat orang yang memebrikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (dikeluarkan oleh abu dawud).



Artinya: “barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”

3.             Hadits Riwayat Daruquthni


Artinya: “pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian”
4.             Hadits riwayat Bukhari


Artinya: “siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka allah akan melenyapkan hartanya”.[2]
5.             Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim


Artinya: “orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah dzalim (berbuat aniaya)”.

C.  Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanfiyah, rukun ‘ariyah adalah satu yaitu ijab dan kabul. Tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan. Menurut Syafi’iyah dan jumhur ulama , rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut :
1.             Kalimat mengutangkan (lafazh).
2.             Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah orang yang berhak menyerahkannya dengan syarat Baligh, berakal, tidak dimahjur (dibawah curatelle) seperti pemboros.
3.             Benda yang diutangkan, disyaratkan dua hal berikut ini yaitu:
a)    Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan. Seperti meminjam karung yang mudah hancur sehingga tidak dapan menyimpan padi.
b)   Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam benda-benda najis.
4.             Sighat. [3]

D.  Pembayaran pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa seperti sabda rasulullah pada hadits bukhari dan muslim.
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu dibolehkan, asal kelebihan tersebut kemauan dari yang berutang  maka ini menjadi nilai bagi yang membayar utang. Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi pinjaman dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Seperti sabda rasulullah yang dikeluarkan oleh Baihaqi yaitu:


Artinya: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah-satu cara dari sekian cara riba”.

E.  Meminjam Pinjaman Dan Menyewakannya
Abu hanifah dan malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut madzhab hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jamianan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.




F.   Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman kepada orang lain, kemudian barang tersebut rusak , ia berkewajiban menjaminnya baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut ibm abbas, aisyah, abu hurairah, syafi’i, dan ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh samurrah, rasulullah Saw bersabda:[4]


Artinya:   “pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Sementara menurut hanafiyah dan malikiyah bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena tindakannya yang berlebihan karena Rasulullah bersabda :



Artinya :  “peminjam tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban menggantiu kerusakan” (Hadits Riwayat Daruquthni”

G. Tata Krama Berutang
Ada beberapa hala yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang piutang tentang etika yang terkait didalamnya, sebagai berikut:
1.    Sesuai dengan Qs. Al-Baqarah:282, utang piutang suapaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Untuk dewasa ini tulisan harus di buat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
2.    Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya.
3.    Pihak berutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
4.    Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat pembayarannya karena lalali dalam pembayaran pinjaman sama dengan berbuat ladzim/aniaya.

H.  Perubahan Status ‘Ariyah Dari Amanah Kepada Dhaman
Menurut hanafiah status ‘ariyah dapat berubah dari amanah kepada dhaman (tanggungan) karena beberapa sebab yang telah dikemukakan dalam wadi’ah, antara lain:
1.             Ditelantarkan. Misalnya meenmpatkan barang yang dipinjamnya ditempat yang gampang hilang, atau sengaja memberitahukan tempatnya kepada pencuri.
2.             Tidak dijaga dengan baik ketika menggunakannya atau menyewakannya.
3.             Menggunakan barang yang dipinjam tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut adat kebiasaan.
4.             Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati. Misalnya peminjam diminta agar jangan sampai lupa menjaga barang yang dipinjamnya tetapi ia lupa. Maka dalam hal ini ia dibebani gantirugi.[5]










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
‘Ariyah menurut Bahasa adalah pinjaman, sedangkan menurut istilah pada Qs. Anisa’ :58 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. Maksudnya adalah  kebolehan mengambil manfat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain tanpa harus diganti. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Akan tetapi jika hal tersebut diganti dengan sesuatu atau menginginkan imbalan itu tidak dapat disebut “ariyah.
Yang menjadi Landasan hukum ‘Ariyah adalah Al-Qur’an dan Sunnah. antara lain:
1.             Qs. Al-Maidah : 2
2.             An-nisa’ : 58
3.             Hadits Riwayat Abu Dawud
4.             Hadits Riwayat Daruquthni
5.             Hadits Riwayat Bukhari
6.             Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
Menurut Hanfiyah, rukun ‘ariyah adalah satu yaitu ijab dan kabul. Menurut Syafi’iyah dan jumhur ulama , rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut :
1.             Kalimat mengutangkan (lafazh).
2.             Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima utang.
3.             Benda yang diutangkan
4.             Sighat.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ahmad wardi muslich. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Mohammad Anwar. 2009. Fiqh Muamalah. Bandung: Alma’arif.
Hasbi ash-Shaddieqy. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.




[1] Hendi Suhendi, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 91-93
[2] Hendi Suhendi, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 93-94
[3] Mohammad Anwar, 2009, Fiqh Muamalah, Bandung: Al-Ma’arif, Hal 105
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, 1984, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, Hal 144.
[5] Ahmad Wardi Muslich, 2010, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, Hal.478-479

No comments:

Post a Comment