MAKALAH DUNIA BAYANG-BAYANG (THE STORY OF THE CAVEMAN), METODE SOCRATIC DAN KEBENARAN UNIVERSAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senantiasa terkagum atas
apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh
panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatassannya. Dalam situasi itu
banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan ilahiah.
B.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak
menahan manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses
mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses
itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya
dapat dipertanggungjawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
C.
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang ini kita sebut
sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran,
fisika, matematika, dan lain sebagainya. Umat manusia lebih dulu memifikrkan
dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban
mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
D.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan
pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia.
Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan
kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dunia bayang-bayang?
2.
Apa
sajakah metode Socratic?
3.
Apa
itu kebenaran universal?
C.
Tujuan
Adapun
kami membuat makalah ini bertujuan untuk:
1.
Agar
pembaca mengetahui apa itu dunia bayang-bayang
2.
Agar
pembaca mengetahui apa saja metode Socratic
3.
Agar
pembaca paham dengan kebenaran universal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dunia Bayang-bayang: the story of the caveman
Socrates
menjadi persoalan yang amat pelik bagi sejarawa. Ada banyak tokoh yang mengenai
dia bisadipasikan hanya sedikit yang dapat diketahui, dan ada toko lain yang
mengenai dia bisa dipastikan bahwa banyak segi yangdapat diketahui; namun
perihal socrates ini tidak dapat dipastikan bahwa kita hanya mengetahui sedikit
atau banyak tentang dirinya. Tak diasingkan bahwa ia adalah warga Athena yang
sedang- sedang saja keadaannya, dan banyak menghabiskan waktunya untuk berdebat
serta mengajar filsafat kepada anak- anak muda, namun bukan untuk mendapatkan
bayaran sebagaimana kaum sofis.
Tak
diragukan pula bahwa ia adalah tokoh terkenaldi Athena, sebagai digambarkan
Aristhopenes dalam The Clouds.Dua murid Socrates, yakni Xenophon
dan Plato, banyak menulis tentang dia namun apa yang mereka tulis
sangatberlainan.Bahkan bila keduannya mengatkan sesuatu yang sama, Burnet
menilai bahwa Xenophon hanya mengekor plato. Dan bila apa yang mereka cerikan
saling berdeda, maka sejumlah kalangan mempercayai yang satu dan kalangan lain
mempercayai satu lagi, dan sisanya tak mempercayai keduannya[1].
Kaum sofis
yang dikenal dengan kemahirannya dalam olah penggunaan bahasa terutama melalui
retoriknya, senantiasa aktif mengembangkan dan mengangkat masalah-masalah
filsafat untuk diperdebatkan secara kritis. Kamu sofis inilah yang membawa
perubahan terhadap corak pemikiran dilsafat Yunani yang semula terarah pada
kosmos menjadi rearah pada teori pengethuan dan etika.
Menurut Socrates ada kebenaran
obyektif yang tidak bergantung kepada satu atau kita. Untuk mencapai kebenaran
obyektif menggunakan metode dialektika yang berarti bercakap-cakap atau dialog.
Dari metode dialektiknya ia
menemukan dan penemuan metode yang lain induksi dan definisi. Ia menggunakan
istilah induksi manakala pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus, lalu
menyimpulkannya dengan pengertian yang umum. Pengertian yang umum diperoleh
dari mengambil sifat-sifat yang sama (umum) dari masing-masing kasus khusus dan
ciri-ciri khusus yang tidak disetujui bersama adalah disisihkan. Ciri umum
tersebut dinamakan ciri esensi dan semua ciri khusus itu dinamakan ciri
eksistensi. Suatu definisi disebut dengan menyebutkan semua ciri esensi suatu
obyek dengan menyisihkan semua ciri eksistensinya. Demikianlah jalan untuk
memperoleh definisi tentang suatu persoalan.Socrates berpendapat bahwa ajaran
dan kehidupan adalah satu dan tak dapat di pisahkan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dasar dari segala
penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi secrotes,
pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Socrates
dengan pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan,
yaiitu dengan menghargai nilai-niai jasmaniah dan rohania yang keduanya tidak
dapat di pisahkan karena denga keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang
dihasilkan[2].
B.
Metode Socratic
1.
Gnoti
Seauton
Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran
atau pengetahuannya, seolah melangkah maju dari upaya menyingkap misteri satu
menuju misteri-misteri lain yang kian mekar, di dalam hidupnya. Manusia, dengan
pikiran atau pengetahuannya, seolah bergerak dari satu ketidaktahuan menuju
ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu
pengetahuan makin terus berkembang di dalam tatanan filosofi, agar mampu
memburu dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan
profesional) yang bertumbuh berbarengan dengan perkembangan pikiran,
pengetahuan, dan keilmuwan manusia.
Gnotie Seauton,
dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat
fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah
satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan
pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik.
Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh keuatan, tanggung jawab,
kesadaran bati, kematangan ,pemikiran atau intelektual dan rasa percaya diri
untuk membangun dirinya sebagai makhluk beradab yang makin matang (dewasa),
tahu diri, dan berendah hati.
Manusia, disamping membutuhkan kerendahan
hati, juga membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keteguhan batin untuk menegur
dan mendididk diri. Ia butuh kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimis hidup
didalam mengejar pengetahuan atau kearifan dimaksud.
Filsafat, karena itu, hendak menunjukkan
manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu-nya dengan pikiran dan keterampilan-keterampilan
teknologis (praktis operasional yang sempit atau terbatas).” Justru
sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkkan perjuangan manusia
yang berpengatahuan itu pada ini pergumulan dan tugas memanusiakan manusia sebagai
manusia beradab dan berbudaya didalam keutuhan eksistensinya. Manusia, secara
eksistensial “multidimensi”, dan karenanya, pengembangan pikiran dan
pengetahuannya pun, hendaknya merupakan sebuah tugas eksistensial yang utuh
dalam keberbagaian dimensinya itu[3].
2.
Maieutica-technic
Pandangan
Socrates yang terpenting adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawab
mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang
sesungguhnya bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah
pada orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya
terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu
menurut Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide
atau jawaban yang masih terpendam. dengan perkataan lain perlu semacam bidan
untuk membantu kelahiran sang ide dari dalam kalbu manusia. Maka pekerjaan
Socrates sehari-hari adalah berjalan-jalan di tengah kota, berkeliling di
pasar-pasar untuk berbicara dengan semua orang yang dijumpai untuk menggali
jawaban-jawaban terpendam mengenai berbagai persoalan. Dengan metode tanya
jawab yang disebut metode Socrates ini akan timbul pengertian yang disebut “maieutics” (menarik keluar seperti yang
dilakukan bidan). Pengertian tetang diri sendiri ini menurut Socrates sangat
penting buat tiap-tiap manusia Adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui
dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal lain
diluar dirinya. Ia mempunyai semboyan “belajar yang sesungguhnya pada
manusia adalah belajar tentang manusia”.[4]
3.
Dialetika
Dialektika berasal dari kata Yunani dialegestai yang berarti
bercakap-cakap atau berdialog. Metode Sokrates dinamakan dialektika karena di
dalamnya, dialog atau percakapan mempunyai peranan yang hakiki. Dalam suatu
kutipan yang terkenal, Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan
metodenya, yakni seni kebidanan atau dalam bahasa Yunani dinamai maieutike tekhne.
Maksudnya seperti ibunya adalah seorang bidan, demikian Sokrates membidani
jiwa-jiwa. Ia sendiri tidak menyampaikan pengetahuan tetapi dengan
pertanyaan-pertanyaan, ia justru membedah pengetahuan yang terdapat dalam jiwa
orang lain.
Jika pada poin sebelumnya agak panjang lebar dipaparkan tentang kritik
Sokrates terhadap kaum Sofis dengan menekankan peranan jiwa, maka sebenarnya
yang dimaksudkan adalah dari jiwalah pengetahuan menjadi mungkin. Dialektika
sebenarnya sederhana saja karena ia memulai dari aspek tertentu dari suatu
problem. Seocrates berkeyakinan bahwa melalui proses dialog setiap partisipan
dibantu untuk menjelaskan ide-idenya dan bergerak menuju hasil akhir berupa
definisi yang jelas mengenai apa yang dipermasalahkan pada awal dialog. Meski
sederhana namun terkadang dialektika ini mengandung ironi yang menyebabkan
perasaan kurang enak.
Kita pasti masih ingat kisah dialog antara Sokrates dan seorang pemuda
bernama Euthyphro. Dalam dialog tersebut ada hal yang sangat menarik dimana
Sokrates berlagak tidak mengerti banyak hal agar memancing lawan bicara
mengungkapkan segala pengetahuan yang dia miliki. Pertanyaan yang diungkapkan
oleh Sokrates dikemukakan secara tertib terarah sehingga ia tampak seperti
seorang bidan yang membedah rahim intelektual agar melahirkan pengetahuan yang
tertinggi.
Dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa kebenaran yang dipahami oleh
seorang filsuf tidak boleh hanya kebenaran pada diri sendiri, tetapi juga pada
orang lain. Demikian dialektika membuktikan hal itu. Sokrates tidak saja
mengungkapkan pertanyaan dalam sebuah dialektika. Diwaktu yang hampir
bersamaan, ia justru secara progresif mengoreksi pengertian tentang
konsep yang tidak lengkap dan tidak akurat. Dengan cara ini, seorang lawan
bicara secara bertahap dapat mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya. Kenapa
Sokrates sangat yakin dengan hal ini? Itu karena jiwa manusia mempunyai
kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Hal ini sudah dijelaskan dalam poin
sebelumnya. Bahkan kalaupun pengetahuan seseorang keliru maka, dialektika dapat
menjadi metode yang ampuh untuk mengungkapkan bahwa pengertian yang dimiliki
itu memang keliru dan harus dikoreksi. Dalam kenyataannya berhubungan dengan
dialog Sokrates, Plato mencatat bahwa tidak semua dialog berakhir dengan
kesimpulan tentang pengetahuan yang benar. Hal itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa Sokrates selalu berusaha agar tidak memaksakan konsep tertentu pada lawan
bicaranya.[5]
C.
Kebenaran Universal
Sebagaimana
para Sofis, Sokrates pun berbalik dari filsafat alam. Sebagaimana juga para
Sofis, Sokrates pun memilih manusia sebagai objek penyelidikannya dan ia
memandang manusia lebih kurang dari segi yang sama seperti mereka: sebagai
makhluk yang mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang
hidup dalam masyarakat. Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun memulai
filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari
kehidupan yang konkret. Tetapi ada satu perbedaan yang penting sekali antara
Sokrates dan kaum Sofis, yaitu Sokrates tidak menyetujui relativisme yang
dianut oleh kaum Sofis. Menurut Sokrates ada kebenaran objektif, yang tidak
tergantung pada saya atau pada kita. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak
memandang keyakinan Sokrates itu dari sudut “kebenaran” saja. Kebenaran tidak
diperoleh begitu saja sebagai ayam panggang terlompat kedalam mulut yang
ternganga, melainkan dicari dengan perjuangan seperti memperoleh segala barang
yang tertinggi nilainya. Socrates memandang akan adanya kebenaran objektif,
yang tidak bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok). Dalam
pembuktian hal ini Socrates menggunakan beberapa metode. Metode tersebut
bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan atau disebut juga
dengan dialog yang kemudian dianalisis. Metode ini dianggap memiliki preanan penting
dalam menggali kebenaran objektif. Contoh, ketika Ia ingin menemukan makna
adil, dia bertanya kepada pedagang, prajurit, penguasa dan guru. Dari semua
penjelasan yang diberikan oleh lapisan masyarakat itu dapat ditarik sebuah
benang merah yang bersifat universal tentang keadilan, dari sinilah menurut
Socrates kebenaran universal ditemukan. Atau menghasilkan jawaban pertama
(hipotesis pertama). Jika jawaban pertama menghasilkan konsekuensi yang
mustahil maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain dan begitulah
selanjutnya. Dan diskusi itu biasanya berakhir dengan aporia (kebingungan) dan
terkadang juga menghasilkan suatu defenisi yang dianggap berguna. Dan metode
ini disebut dialektika (dialog), yang berasal dari bahasa yunani yakni
dialeghesthai. Orang sofis berpendapat bahwa semua pengetahuan adalah relatif
keadaannya. Yang benar ialah pengetahuan yang umum ada dan pengetahuan yang
khusus ada. Dan pengetahuan yang khusus itulah yang relatif.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Socrates ada
kebenaran objektif yang tidak bergantung kepada satu atau kita. Untuk mencapai
kebenaran objektif menggunakan metode dialektika yang berarti bercakap-cakap
atau berdialog. Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan
tak dapat dipisahkan.
Dan juga, Socrates adalah
sorang filsuf Yunani yang hidup pada tahun 469-399 sebelum Masehi. Ia memiliki
pendapat bahwa membangkitkan dalam diri manusia rasa cinta akan kebenaran dan
kebaikan (Philosophia) yang membantu manusia berpikir dan hidup lurus.
Socrates memiliki dua kebijakan, yaitu Gnotie-Seauton atau
kenalilah dirimu dan Maieutica-Technic atau seni kebidanan.
Gnotie-Seauton,
dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat
fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah
satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan
pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik.
Maieutica-Technic,
dalam pemikiran Socrates adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawab
mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang
sesungguhnya bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah
pada orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya
terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu
menurut Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide
atau jawaban yang masih terpendam. dengan perkataan lain perlu semacam “bidan”
untuk membantu kelahiran sang ide dari dalam kalbu manusia.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.
[1]
Bertrand Rusell, sejarah filsafat barat
(Yogyakarta pustaka pelajar 2007), hal.3
[2]
Dr. Harun Hadi Wijono, sejarah filsafat
barat 1 (Yogyakarta kanisius 1980), hal.36
[3]
Sutarjo Adi Susilo, sejarah pemikiran
barat dari yang klasik sampai yang modern (Jakarta; rajawali pers 2013).
Hal. 21
[4]
Fahriansyah jurnal online;anti supisme
socrates
[5]
Dr. Harun Hadi Wijono, sejarah filsafat
barat 1 (Yogyakarta kanisius 1980), hal.39
[6]
Bertrand Rusell, sejarah filsafat barat
(Yogyakarta pustaka pelajar 2007), hal.6
No comments:
Post a Comment