1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH DUNIA BAYANG-BAYANG (THE STORY OF THE CAVEMAN), METODE SOCRATIC DAN KEBENARAN UNIVERSAL

MAKALAH DUNIA BAYANG-BAYANG (THE STORY OF THE CAVEMAN), METODE SOCRATIC DAN KEBENARAN UNIVERSAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senantiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatassannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan ilahiah.
B.          Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses  mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggungjawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
C.          Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang ini kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya. Umat manusia lebih dulu memifikrkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
D.         Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran.





B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dunia bayang-bayang?
2.      Apa sajakah metode Socratic?
3.      Apa itu kebenaran universal?

C.    Tujuan
Adapun kami membuat makalah ini bertujuan untuk:
1.      Agar pembaca mengetahui apa itu dunia bayang-bayang
2.      Agar pembaca mengetahui apa saja metode Socratic
3.      Agar pembaca paham dengan kebenaran universal




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Dunia Bayang-bayang: the story of the caveman
Socrates menjadi persoalan yang amat pelik bagi sejarawa. Ada banyak tokoh yang mengenai dia bisadipasikan hanya sedikit yang dapat diketahui, dan ada toko lain yang mengenai dia bisa dipastikan bahwa banyak segi yangdapat diketahui; namun perihal socrates ini tidak dapat dipastikan bahwa kita hanya mengetahui sedikit atau banyak tentang dirinya. Tak diasingkan bahwa ia adalah warga Athena yang sedang- sedang saja keadaannya, dan banyak menghabiskan waktunya untuk berdebat serta mengajar filsafat kepada anak- anak muda, namun bukan untuk mendapatkan bayaran sebagaimana kaum sofis.
Tak diragukan pula bahwa ia adalah tokoh terkenaldi Athena, sebagai digambarkan Aristhopenes dalam The Clouds.Dua murid Socrates, yakni Xenophon dan Plato, banyak menulis tentang dia namun apa yang mereka tulis sangatberlainan.Bahkan bila keduannya mengatkan sesuatu yang sama, Burnet menilai bahwa Xenophon hanya mengekor plato. Dan bila apa yang mereka cerikan saling berdeda, maka sejumlah kalangan mempercayai yang satu dan kalangan lain mempercayai satu lagi, dan sisanya tak mempercayai keduannya[1].
Kaum sofis yang dikenal dengan kemahirannya dalam olah penggunaan bahasa terutama melalui retoriknya, senantiasa aktif mengembangkan dan mengangkat masalah-masalah filsafat untuk diperdebatkan secara kritis. Kamu sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran dilsafat Yunani yang semula terarah pada kosmos menjadi rearah pada teori pengethuan dan etika.
Menurut Socrates ada kebenaran obyektif yang tidak bergantung kepada satu atau kita. Untuk mencapai kebenaran obyektif menggunakan metode dialektika yang berarti bercakap-cakap atau dialog.
Dari metode dialektiknya ia menemukan dan penemuan metode yang lain induksi dan definisi. Ia menggunakan istilah induksi manakala pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkannya dengan pengertian yang umum. Pengertian yang umum diperoleh dari mengambil sifat-sifat yang sama (umum) dari masing-masing kasus khusus dan ciri-ciri khusus yang tidak disetujui bersama adalah disisihkan. Ciri umum tersebut dinamakan ciri esensi dan semua ciri khusus itu dinamakan ciri eksistensi. Suatu definisi disebut dengan menyebutkan semua ciri esensi suatu obyek dengan menyisihkan semua ciri eksistensinya. Demikianlah jalan untuk memperoleh definisi tentang suatu persoalan.Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat di pisahkan satu dengan yang lain. Oleh karena  itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi secrotes, pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Socrates dengan pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaiitu dengan menghargai nilai-niai jasmaniah dan rohania yang keduanya tidak dapat di pisahkan karena denga keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan[2].
                                   
B.  Metode Socratic
1.      Gnoti Seauton
Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah melangkah maju dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain yang kian mekar, di dalam hidupnya. Manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah bergerak dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu pengetahuan makin terus berkembang di dalam tatanan filosofi, agar mampu memburu dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan profesional) yang bertumbuh berbarengan dengan perkembangan pikiran, pengetahuan, dan keilmuwan manusia.
Gnotie Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik. Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh keuatan, tanggung jawab, kesadaran bati, kematangan ,pemikiran atau intelektual dan rasa percaya diri untuk membangun dirinya sebagai makhluk beradab yang makin matang (dewasa), tahu diri, dan berendah hati.
Manusia, disamping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keteguhan batin untuk menegur dan mendididk diri. Ia butuh kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimis hidup didalam mengejar pengetahuan atau kearifan dimaksud.
Filsafat, karena itu, hendak menunjukkan manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu-nya dengan pikiran dan keterampilan-keterampilan teknologis (praktis operasional yang sempit atau terbatas).” Justru sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkkan perjuangan manusia yang berpengatahuan itu pada ini pergumulan dan tugas memanusiakan manusia sebagai manusia beradab dan berbudaya didalam keutuhan eksistensinya. Manusia, secara eksistensial “multidimensi”, dan karenanya, pengembangan pikiran dan pengetahuannya pun, hendaknya merupakan sebuah tugas eksistensial yang utuh dalam keberbagaian dimensinya itu[3].

2.      Maieutica-technic
Pandangan Socrates yang terpenting adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawab mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang sesungguhnya bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah pada orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu menurut Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide atau jawaban yang masih terpendam. dengan perkataan lain perlu semacam bidan untuk membantu kelahiran sang ide dari dalam kalbu manusia. Maka pekerjaan Socrates sehari-hari adalah berjalan-jalan di tengah kota, berkeliling di pasar-pasar untuk berbicara dengan semua orang yang dijumpai untuk menggali jawaban-jawaban terpendam mengenai berbagai persoalan. Dengan metode tanya jawab yang disebut metode Socrates ini akan timbul pengertian yang disebut “maieutics” (menarik keluar seperti yang dilakukan bidan). Pengertian tetang diri sendiri ini menurut Socrates sangat penting buat tiap-tiap manusia Adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal lain diluar dirinya. Ia mempunyai semboyan “belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar tentang manusia”.[4]
                                       
3.      Dialetika
Dialektika berasal dari kata Yunani dialegestai yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Sokrates dinamakan dialektika karena di dalamnya, dialog atau percakapan mempunyai peranan yang hakiki. Dalam suatu kutipan yang terkenal, Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yakni seni kebidanan atau dalam bahasa Yunani dinamai maieutike tekhne. Maksudnya seperti ibunya adalah seorang bidan, demikian Sokrates membidani jiwa-jiwa. Ia sendiri tidak menyampaikan pengetahuan tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan, ia justru membedah pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain.
Jika pada poin sebelumnya agak panjang lebar dipaparkan tentang kritik Sokrates terhadap kaum Sofis dengan menekankan peranan jiwa, maka sebenarnya yang dimaksudkan adalah dari jiwalah pengetahuan menjadi mungkin. Dialektika sebenarnya sederhana saja karena ia memulai dari aspek tertentu dari suatu problem. Seocrates berkeyakinan bahwa melalui proses dialog setiap partisipan dibantu untuk menjelaskan ide-idenya dan bergerak menuju hasil akhir berupa definisi yang jelas mengenai apa yang dipermasalahkan pada awal dialog. Meski sederhana namun terkadang dialektika ini mengandung ironi yang menyebabkan perasaan kurang enak.
Kita pasti masih ingat kisah dialog antara Sokrates dan seorang pemuda bernama Euthyphro. Dalam dialog tersebut ada hal yang sangat menarik dimana Sokrates berlagak tidak mengerti banyak hal agar memancing lawan bicara mengungkapkan segala pengetahuan yang dia miliki. Pertanyaan yang diungkapkan oleh Sokrates dikemukakan secara tertib terarah sehingga ia tampak seperti seorang bidan yang membedah rahim intelektual agar melahirkan pengetahuan yang tertinggi.
Dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa kebenaran yang dipahami oleh seorang filsuf tidak boleh hanya kebenaran pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Demikian dialektika membuktikan hal itu. Sokrates tidak saja mengungkapkan pertanyaan dalam sebuah dialektika. Diwaktu yang hampir bersamaan, ia justru secara progresif  mengoreksi pengertian tentang konsep yang tidak lengkap dan tidak akurat. Dengan cara ini, seorang lawan bicara secara bertahap dapat mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya. Kenapa Sokrates sangat yakin dengan hal ini? Itu karena jiwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Hal ini sudah dijelaskan dalam poin sebelumnya. Bahkan kalaupun pengetahuan seseorang keliru maka, dialektika dapat menjadi metode yang ampuh untuk mengungkapkan bahwa pengertian yang dimiliki itu memang keliru dan harus dikoreksi. Dalam kenyataannya berhubungan dengan dialog Sokrates, Plato mencatat bahwa tidak semua dialog berakhir dengan kesimpulan tentang pengetahuan yang benar. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Sokrates selalu berusaha agar tidak memaksakan konsep tertentu pada lawan bicaranya.[5]

C.  Kebenaran Universal
Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun berbalik dari filsafat alam. Sebagaimana juga para Sofis, Sokrates pun memilih manusia sebagai objek penyelidikannya dan ia memandang manusia lebih kurang dari segi yang sama seperti mereka: sebagai makhluk yang mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup dalam masyarakat. Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari kehidupan yang konkret. Tetapi ada satu perbedaan yang penting sekali antara Sokrates dan kaum Sofis, yaitu Sokrates tidak menyetujui relativisme yang dianut oleh kaum Sofis. Menurut Sokrates ada kebenaran objektif, yang tidak tergantung pada saya atau pada kita. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak memandang keyakinan Sokrates itu dari sudut “kebenaran” saja. Kebenaran tidak diperoleh begitu saja sebagai ayam panggang terlompat kedalam mulut yang ternganga, melainkan dicari dengan perjuangan seperti memperoleh segala barang yang tertinggi nilainya. Socrates memandang akan adanya kebenaran objektif, yang tidak bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok). Dalam pembuktian hal ini Socrates menggunakan beberapa metode. Metode tersebut bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan atau disebut juga dengan dialog yang kemudian dianalisis. Metode ini dianggap memiliki preanan penting dalam menggali kebenaran objektif. Contoh, ketika Ia ingin menemukan makna adil, dia bertanya kepada pedagang, prajurit, penguasa dan guru. Dari semua penjelasan yang diberikan oleh lapisan masyarakat itu dapat ditarik sebuah benang merah yang bersifat universal tentang keadilan, dari sinilah menurut Socrates kebenaran universal ditemukan. Atau menghasilkan jawaban pertama (hipotesis pertama). Jika jawaban pertama menghasilkan konsekuensi yang mustahil maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain dan begitulah selanjutnya. Dan diskusi itu biasanya berakhir dengan aporia (kebingungan) dan terkadang juga menghasilkan suatu defenisi yang dianggap berguna. Dan metode ini disebut dialektika (dialog), yang berasal dari bahasa yunani yakni dialeghesthai. Orang sofis berpendapat bahwa semua pengetahuan adalah relatif keadaannya. Yang benar ialah pengetahuan yang umum ada dan pengetahuan yang khusus ada. Dan pengetahuan yang khusus itulah yang relatif.[6]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
          Menurut Socrates ada kebenaran objektif yang tidak bergantung kepada satu atau kita. Untuk mencapai kebenaran objektif menggunakan metode dialektika yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan.
        Dan juga, Socrates adalah sorang filsuf Yunani yang hidup pada tahun 469-399 sebelum Masehi. Ia memiliki pendapat bahwa membangkitkan dalam diri manusia rasa cinta akan kebenaran dan kebaikan (Philosophia) yang membantu manusia berpikir dan hidup lurus. Socrates memiliki dua kebijakan, yaitu Gnotie-Seauton atau kenalilah dirimu dan Maieutica-Technic atau seni kebidanan.
Gnotie-Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik.
Maieutica-Technic, dalam pemikiran Socrates adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawab mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang sesungguhnya bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah pada orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu menurut Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide atau jawaban yang masih terpendam. dengan perkataan lain perlu semacam “bidan” untuk membantu kelahiran sang ide dari dalam kalbu manusia.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.







[1] Bertrand Rusell, sejarah filsafat barat (Yogyakarta pustaka pelajar 2007), hal.3
[2] Dr. Harun Hadi Wijono, sejarah filsafat barat 1 (Yogyakarta kanisius 1980), hal.36
[3] Sutarjo Adi Susilo, sejarah pemikiran barat dari yang klasik sampai yang modern (Jakarta; rajawali pers 2013). Hal. 21
[4] Fahriansyah jurnal online;anti supisme socrates
[5] Dr. Harun Hadi Wijono, sejarah filsafat barat 1 (Yogyakarta kanisius 1980), hal.39
[6] Bertrand Rusell, sejarah filsafat barat (Yogyakarta pustaka pelajar 2007), hal.6


No comments:

Post a Comment