MAKALAH PEMIKIRAN MODERN
BAB I
PENDAHULUAN
Pembaharuan dalam islam
mengandung adanya tranformasi nilai yang mesti berubah bahkan adakalahnya di
perlukan perombakan –perombakan terhadap sruktur atau tatanan yang sudah ada
dianggap baku, sedangkan nilai tersebut tidak mempunyai akar yang kuat
berdasarkan suber-sumber pokoknya alquran dan hadist.tanda-tanda perubahan itu
terlihat secara trasparan . Titik tekan pembaharuan dalam istilah gerakan
dan reformasi terhadap ajaran-ajaran islam yang tidak sesuai dengan
orisinalitas alquran dan hadist baik dalm interpretasi tekstual maupun
konstektual.
Menegaskan kembali
proporsional ijtihat secara riil dengan pemberantasan terhadap taklid dan
mengadakan perombakan sosial umat islam yang terbelakang kemudian mengiringnya
mengadakan pencapaian kemajuan sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaharuan
muncul dalam studi-studi modernisme di negara-negara islam penghujung abad ke
18 abad ke 19 banyak memunculkan tema –tama sentral tentang perlunya iptek sebagai
pengikat perluasan upaya penaikan citra peradaban umat islam menapaki abad
–abad berikutnya. Sehingga ada kecendrungan lebih bersemangat untuk proses
islamisasi sains, yang di barat saat ini sains seakan bebas nilai dari
keikut sertaan agama memberikan masukan positif di dalamnya
1. Apa Pengertian pembaharuan dalam islam?
2. Bagaimana Pengertian, Metode Kajian Pemikiran Moderen?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kosa kata
“Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian muncul
berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan,
yaitu modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan
fundamentalisme.
Di samping kata tajdid,
ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan,
yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan
sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai “perubahan”.Kedua
kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut,
yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta
praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Kata tajdid sendiri
secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang
seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika
bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid
seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam
kembali.
Berkaitan hal tersebut,
maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut
dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam
bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai
dan prinsip-prinsip Islam dogmatis supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan
lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran
dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman. Terkait
dengan ini, maka dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran
tersebut dalam perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Pembaharuan Islam
adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi modern. Dengan
demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau
menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas
keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena
betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman
lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan,
pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa
sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi
mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Dalam Islam sendiri,
seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam
haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah
akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang
akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
Tajdid yang dimaksud
oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan
tetapi – seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah
mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan
yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma
“mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku
tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah
memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala
setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia
ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis
digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru)
yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan
segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan
teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali
bukan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
1. Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari
hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja
adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya
mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
2. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan
berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa
“memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau
menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.
Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu
mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah,
akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika
aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Bahwa pembaruan Islam
merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam.
Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa
saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi
gerakan pembaruan Islam (tajdid). Landasan tersebut adalah :
1. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan
bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan
tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan
tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad Jainuri—bahwa
landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam).
Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan
rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang
mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia,
baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min
al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan
dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah
hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di
akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan
duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama. Konsep universalisme Islam itu
meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua
jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama,
dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok
tertentu, hal inilah yang membuka ruang adanya aktualisasi dan kontekstualisasi
Islam.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang
diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai
seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa
Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia, diyakini
pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang
paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian
agama yang diturunkan sebelumnya, DENGAN Al Qur’an yang merupakan petunjuk bagi
umat manusia seluruh zaman, serta Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir.
Tidak adanya Nabi setelah Nabi SAW bukan berarti
fungsi kenabian telah berakhir, akan tetapi diteruskan oleh para Ulama sebagai
pewarisnya yang seharusnya menjewantahkan Al Qur’an dalam kehidupan umat
manusia pada semua zaman.
2. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini
adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun
al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelaksanaan
tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan
melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang
kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat
ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu
kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah
status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri
harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya
maupun perilakunya. Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya
teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada
setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya”.
3. Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih
ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya
berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik
secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun
membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai
pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir,
filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia
sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang
dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai
mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan
ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam
bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka
telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang
kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad
sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan;
Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa
kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang
terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa
terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad
XIII M (peralihan ke abad XIV M).
Banyak tokoh – tokoh Islam yang mengadakan pembaruan
dalam pemikiran demi untuk mencapai kembali kejayaan terdahulunya, seperti Ibnu
Taimiyah, Mohammad Abduh dan lain – lain.
Lahirnya
pemikiran moderen dalam Islam ini dilatarbelakangi oleh 2 (dua) faktor,
yaitu :
1. Faktor Eksternal
a. Imperialisme Barat
Imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi akibat disintegrasi atau perpecahan
yang terjadi di kalangan umat Islam yang terjadi jauh sebelum kehancuran
peradaban Islam pada pertengahan abad ke-13 M., yaitu ketika munculnya
dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat pada masa
kekhilafahan bani Abbasiyah.
Setelah runtuhnya bangunan peradaban Islam, perpecahan
yang terjadi di tubuh umat Islam bertambah parah dengan maraknya
pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Islam yang
mengakibatkan pudarnya kekuatan politik Islam dan lepasnya daerah-daerah yang
sebelumnya menjadi bagian dari kekuasaan Islam.
Karena lemahnya politik Islam disertai dengan motivasi
pencarian daerah baru sebagai pasar bagi perdagangan di dunia Timur yang
sebagian besar penduduknya adalah umat Islam, Barat, sejak abad ke-16 M.
menduduki daerah-daerah yang disinggahinya untuk dijadikan daerah penjajahan.
Spanyol akhirnya menjajah Filipina, Belanda menjajah Indonesia selama ratusan
tahun hingga memasuki abad 20 M. Inggris menjajah India, Malaysia dan sebagian
negara-negara di Afrika dan Perancis menjajah banyak negeri di Afrika.
Karena imperialisme inilah, lahir para pemikir Islam
yang berusaha membangunkan umat Islam dan mengajak mereka untuk bangkit
menentang penjajahan, seperti Jamaluddin Al Afghani dengan ide Pan Islamismenya
di India dan Khairuddin Pasya at-Tunisi dengan konsep negaranya di Tunisia.
b. Kontak
dengan modernisme di Barat
Sejak
abad 16 M. Barat mengalami suatu babak sejarahnya yang baru, yaitu masa moderen
dengan lahirnya para pemikir moderen yang menyuarakan kemajuan ilmu pengetahuan
dan berhasil menumbangkan kekuasaan gereja (agama). Karena keberhasilannya
inilah dicapai peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi dunia.
Sementara
itu, dunia Islam yang pada waktu itu sedang berada dalam kemundurannya, karena
interaksinya dengan modernisme di Barat mulai menyadari pentingnya kemajuan dan
mengilhami mereka untuk memikirkan bagaimana kembali memajukan Islam
sebagaimana yang telah mereka capai di masa sebelumnya sehingga lahirlah para
pemikir Islam seperti At Thahthawi dan Muhammad Abduh di Mesir, Muhammad Ali
Pasya di Turki, Khairuddin At Tunisi di Tunisia dan Sayyid Ahmad Khan di India.
2. Faktor
Internal
a. Kemunduran
Pemikiran Islam
Kemunduran
pemikiran Islam terjadi setelah ditutupnya pintu ijtihad karena pertikaian yang
terjadi antara sesama umat Islam dalam masalah khilafiyah dengan pembatasan
madzhab fikih pada imam yang empat saja, yaitu madzhab Maliki, madzhab Syafi’i,
madzhab Hanafi dan madzhab Hambali. Sementara itu, bidang teologi didominasi
oleh pemikiran Asy’ariah dan bidang tasawwuf didominasi oleh pemikiran imam
Al-Ghazali.
Penutupan
pintu ijtihad ini telah menimbulkan efek negatif yang sangat besar di mana umat
Islam tak lagi memiliki etos keilmuan yang tinggi dan akal tidak diberdayakan
dengan maksimal sehingga yang dihasilkan oleh umat Islam hanya sekadar
pengulangan-pengulangan tulisan yang telah ada sebelumnya tanpa inovasi-inovasi
yang diperlukan sesuai dengan kemajuan jaman.
Berkenaan
dengan kemunduran pemikiran Islam ini, para pemikir Islam di jaman moderen
dengan ide-ide pembaharuannya, menyuarakan pentingnya dibuka kembali pintu
ijtihad.
b. Bercampurnya
ajaran Islam dengan unsur-unsur di luarnya.
Selain
kemunduran pemikiran Islam, yang menjadi latar belakang lahirnya pemikiran
moderen dalam Islam adalah bercampurnya agama Islam dengan unsur-unsur di
luarnya.
Pada
masa sebelum abad ke-19 M., umat Islam banyak yang tidak mengenal agamanya
dengan baik sehingga banyak unsur di luar Islam dianggap sebagai agama. Maka tercampurlah agama Islam dengan unsur-unsur asing yang terwujud dalam
bid’ah, khurafat dan takhayul.
Muhammad Abduh yang dilanjutkan dengan muridnya
Muhammad Rasyid Ridha dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia adalah para pemikir
pembaharuan Islam yang penuh perhatian terhadap pemberantasan takhayul, bid’ah
dan khurafat di kalangan umat Islam.
BAB III
PENUTUP
Pembaruan dalam Islam
adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan sesuai dengan perkembangan
zaman yang di timbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. ( Aktualisasi
dan Kontekstualisasi ajaran Islam ), dengan tidak merubah teks Al Qur’an dan al
Hadits atau ajaran – ajaran bakunya.
Landasan Pembaruan
Islam setidaknya ada 3 ( Tiga ), yakni :
1. Landasan Teologis
2. Landasan Normatif
3. Landasan Historis
Faktor Munculnya
Pembaruan dalam Islam ada 2 ( dua ), yakni :
1. Faktor Eksternal, meliputi Imperialisasi Barat dan Kontak dengan
Modernisasi Barat
2. Faktor Internal, meliputi Kemunduran pemikiran Islam dan Bercampurnya
Ajaran Islam dengan unsur – unsur diluar Islam.
Penyusun menyadari
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena itu kritik dan saran sangat
diharapkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran
dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.
Husain Abdullah, Muhammad. Studi dasar-dasar
Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Nata, Abudin,Metodologi Studi Islam. Jakarta
: PT. raja Grafindo Persada,2001
Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis Gerakan
Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI, Tahun
1995.
Sani, Abdul. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1998
Supadie, Didiek Ahmad dan Sarjuni. Pengantar
Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2011
|
No comments:
Post a Comment