1

loading...
Showing posts with label MAKALAH PEMIKIRAN MODERN. Show all posts
Showing posts with label MAKALAH PEMIKIRAN MODERN. Show all posts

Tuesday, November 6, 2018

MAKALAH PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM EKSPEDISI NAPOLEON BONARPARTE


MAKALAH PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM
EKSPEDISI NAPOLEON BONARPARTE


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yeng telah Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.
                                                                               


                                                                                    Bengkulu, 16 Oktober 2018

                                                                                                            Penulis






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan modern yang beranjak dari Eropa Barat sejak abad XV dan menjalar ke seluruh dunia, muncul dengan fenomena yang berbeda-beda, walaupun tetap dengan satu spirit, yaitu spirit menentang segala hal yang berbau kuno. Sebaliknya, kehadiran Islam juga mempunyai fenomena-fenomena yang berbeda-beda, tetapi juga dengan satu spirit, yaitu spirit keterasingan dalam menghadapi cakrawala baru, padahal perjuangan Islam seharusnya lebih kokoh dengan situasi modern dengan segala perangkat dan eksistensinya, melalui pencerahan Islam yang baru. Jika Islam muncul terhadap pembaharuan terhadap potensi yang dimiliknya, justru akan hadir melindungi peran kreativitas dalam pembaharuan kehidupan manusia dan dinamika pemikirannya. Sebaliknya, bila Islam tidak eksis secara fenomenal, Islam justru akan dilindas oleh dinamika kehidupan. Dengan hanya mewarisi tradisi masa lampau sebagai realitas kehidupan hari ini, hari esok, maka cita-cita Islam di atas sulit diwujudkan.
Oleh karena itu, persentuhan dengan Perancis sebagai deputi (wakil) peradaban Barat modern bagi umat Islam di Mesir, telah memicu cakrawala agar meningkatkan taraf perilaku hidup terutama dalam pengejaran terhadap ketertinggalan di bidang Iptek. Tidak berlebihan bahwa ekspidisi Napoleon Bonaparte dengan bala militerya sebagian juga menyertakan ilmuwan, teknokrat dan pakar peradaban dianggap angin segar yang yang membawa berkah membangunkan Mesir dari mimpi buruk selama berabad-abad. Suatu keberuntungan besar, bahwa tipe penjajahan yang datang ke Mesir itu menyembunyikan genderang berkualitas yang seketika mampu merombak secara revolusioner decline (kemunduran) di Mesir. Sebagai suatu alasan dikemukakan, bahwa tokoh-tokoh militan Mesir mampu memobilisasi ide-ide pembaruannya sampai bergaung sangat keras di dunia Islam, termasuk Indonesia.
         Karakteristik pembaharuan di Mesir sangat tematis, dengan kata lain, kepekaan ide-ide pembaruan sangat menyentuh akar terdalam dari problema umat Islam ketika itu. Tidak luput pula dikemukakan bahwa gagasan modernisme Mesir telah dikemas dengan fasilitas intelektal modern yang pada saat itu dianggap amat baru, yaitu berupa media cetak majalah al-Urwah al-Wutsqa yang banyak memuat kreativitas pemikiran pembaruan cemerlang dari Afgani dan Abduh memang menjadi siraman segar yang amat dibutuhkan bagi dunia Islam.
Umat Islam Mesir untuk wilayah negara Arab dianggap terdepan dana bahkan tercepat mengalami sentuhan modern, dengan begitu dapat dipastikan bahwa tingkat kedewasaan modernisme sosial keagamaan pun telah menjadi model yang dikiblati oleh negara-negara Islam lainnya di luar kawasan itu.

B. Rumusan Masalah
1.       Bagaimana profil Napoleon Bonaparte.
2.      Bagaimana ekspedisi Napoleon Bonaparte dan tujuannya di Mesir.
3.      Bagaimana hasil dan ide-ide yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte.












BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Napoleon Bonaparte
Napoleon memperoleh gelar Bonaparte setelah berkuasa di Perancis pada tahun 1804. pada masanya, ia adalah seorang militer paling cemerlang yang mampu menguasai seluruh wilayah Barat dan Eropa. Ia dikenal sebagai manusia tidak kenal lelah, dan hidup dari satu peperangan ke peperangan yang lain. Napoleon sebenarnya masih berdarah Italia. Ia lahir di Ajaccio Pulau Kosika yang menjadi bagian kekuasaan Perancis. Ia anak keempat dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang pengacara keturunan bangsawan Italia Tuscan.
Napoleon mengenyam pendidikan di tiga tempat, yaitu dengan College d' Autun, sekolah tinggi militer Brienne selama lima tahun dan akademi militer di Perancis selama satu tahun. Ia lulus di akademi militer itu, sebagai prestasi ke-42 dari 58 siswa. Pada tahun itu pula, tanpa disadari, ia mengambil alih fungsi ayahnya sebagai kepala keluarga setelah ayahnya meninggal. Napoleon diangkat menjadi letnan dua dalam resimen La Fere. Dalam masa itu, ia belajar lebih banyak dengan membaca tulisan tentang strategi dan taktik perang.
Seak menjelang revolusi Perancis (1789), karier militerya teruji melalui serangkaian intrik politik memperebutkan kekuasaan dalam pemerintahan. Pada tahun 1793, ia diangkat menjadi ajudan jenderal dalam kesatuan militer konvensi nasional. Prestasinya ketika itu sukses mendongkel pasukan Inggris dari Toulon. Pada akhir tahun itu, ia dipromosikan menjadi brigadir jenderal dan kemudian diangkat menjadi komandan pasukan alteleri pasukan Perancis di Italia. Pada tahun 1794, ia dipenjara dan dipecat dari jabatannya dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan kekuasan konvensi nasional. Setelah dibebaskan, ia menarik diri, lalu mencoba menawarkan keahlihan militernya kepada seorang sultan dari Turki.
Pada tahun 1798, Napoleon mencoba bergaung dengan Paoli yang diizinkan kembali ke Korsika dengan Dewan Nasional. Namun ia ditolak oleh Paoli, kemudian ia kembali ke Perancis. Di sana ia diangkat lagi dengan pangkat letnan satu dalam resimen alteleri ke empat di Valence. Karena ancaman revolusi dalam negeri, menyebabkan ia diangkat menjadi komandan pasukan untuk memulihkan keamanan dalam negeri. Ketika kembali ke Paris, masyarakat menerimanya dengan baik, karena itu, pada tahun yang sama membentuk pemerintahan diktator.
B. Ekspedisi Napoleon Bonaparte dan Tujuannya
Di masa Sultan Salim I berkuasa, Mesir di bawah Dinasti Mamluk, sama sekali tidakberdaya, dan harus takluk serta membayar upeti. Walaupun kekuasaan masih dipegang oleh kaum Mamluk, secara formal berakhir pada tahun 1517 M. Namun Turki Usmani berambisi menaklukkan seluruh bagian dunia Islam, masih memberikan hak-hak kekuasaan secara eksklusif kepada penguasa Mamluk, sehingga di setiap wilayah kekuasaan Turki Usmani selalu ditempatkan seorang gubernur yang bertindak sebagai duta besar mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Lama-kelamaan wibawa dan prestise keperkasaan Turki Usmani melemah dan kian pudar di wilayah-wilayah yang dikuasai. Salah satu dari bukti kelemahan itu, tentara Perancis di bawah Napoleon Bonaparte dengan mudah mendarat di Alexadaria tanggal 2 Juni 1798. sembilan hari kemudian kota Rasyid yang terletak di sebelah timur Alexadaria jatuh pula. Pada tanggal 7 Juli 1798, tentara Napoleon menduduki di daerah piramid di dekat Kairo. Peperangan terjadi ditempat itu dan pasukan Mamluk akhirnya tidak sanggup mengimbangi tentang Napoleon yang diperlengkapi dengan senjata-senjata meriam. Selanjutnya pasukan Mamluk melarikan diri ke Kairo, akan tetapi di sana tidak mendapat simpatisan dari rakyat Mesir. Akhirnya kaum Mamluk terpaksa lari lagi ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 23 Juli, Napoleon telah dapat menguasai sepenuhnya negeri Mesir.
Ekspedisi Napoleon Bonaparte ke timur (Mesir), tidak hanya membawa tentara, namun bersama seribu orang sipil, seratus enam puluh ahli-ahli ilmu pengetahuan, dua set percetakan huruf latin, Arab, dam Yunani serta alat-alat ilmu pengetahuan yang dipakai dalam eksperimen-eksperimen ilmiah. Dalam rombongan Napoleon terdapat pula satu lembaga ilmiah bernama Institut d' Egypte yang tersusun dari empat bagian, yakni, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi-politik dan ilmu sastra seni.
Institut ini selain berfungsi untuk mengadakan penelitian ilmiah, juga sangat membantu Napoleon dalam memerintah Mesir dari result (hasil) penyelidikan para ahlinya.
Hasan Ibrahim Hasan berpendapat, Mesir selain negeri yang kaya raya, ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon yang berawal pada tanggal 2 Juni 1798 sudah merupakan rangkaian rencana ketika Louis XIV berkuasa, Leibniz dan lalu dimunculkan kembali perdana menteri Talyrand. Alasan mendasar dari ekspedisi Napoleon adalah keinginan untuk menguasai Timur terutama India yang ketika itu telah berada dalam pengaruh dan kekuasaan Inggris. Karena memang sejak revolusi Perancis dan revolusi industri di Barat, negara-negara industri mengalami kemajuan pesat. Ditambah lagi kebutuhan mereka meningkat, baik menyangkut bahan baku maupun pemasaran hasil industrinya. Oleh karenanya, Perancis dan Inggris adalah dua negara yang berkompetisi keras untuk menjadi negara superpower (adidaya) di dunia.
Hal lain yang memotivasi Napoleon sebagaimana yang dikemukakan Harun Nasution, adalah keinginan mengikuti jejak Alexander Macedonia yang memiliki capability (kemampuan) menguasai tiga benua. Oleh Napoleon, tempat yang paling strategis untuk tujuan tersebut adalah Mesir. Akan tetapi impian Napoleon untuk melanjutkan ekspedisi ke India digagalkan Palestina oleh pasukan Inggris, akhirnya tanggal 18 Agustus 1799 M., Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir, karena situasi politik yang berkembang di tanah airnya. Untuk sementara, ekspedisi yang ditinggalkannya dipimpin oleh Kleber. Pada tahun 1801, pasukan Perancis kembali menderita kekalahan beruntun dari armada Inggris. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801.
Berdasarkan dari beberapa deskripsi di atas, selain Mesir dijadikan batu loncatan untuk menguasai India, juga membawa semangat imperialisme menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Di samping itu, kedatangan Napoleon dianggap meniupkan angin segar bagi persentuhan antara dunia Arab (Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan ilmu pengetahuan tentang ketinggian peradaban Perancis.
Setelah Napoleon sukses menguasai Mesir secara totalitas, kemudian berusaha menarik simpatisan dan pendekatan dalam berbagai sektor, yakni, sektor sosial kultural dan politik keagamaan. Hal ini dapat diamati melalui sejumlah maklumat yang ditetapkan oleh Napoleon dengan cara menghormati pemeluk agama Islam dan tidak dianggap musuh. Mereka saling bersahabat dan Napoleon melibatkan orang-orang Mesir dalam sistem pemerintahan. Berikutnya, Napoleon menugaskan ilmuwan-ilmuwan untuk mendidik putra-putra Mesir.
C. Hasil dan Ide-ide yang Dibawa
Sudah menjadi kenyataan, setiap kolonial menguasai dan menduduki suatu negara tidak terlepas dari misi, cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karenanya, Napoleon menduduki Mesir mempunyai maksud tertentu dan itulah yang membuahkan hasil. Dari tujuan yang ada, maka timbullah ide-ide baru dalam mengikuti perkembangan dunia modern khususnya Mesir.
Suksesi Napoleon menduduki Mesir sangat singkat, karena kelemahan kaum Mamluk dan Mesir mempertahankan negaranya. Namun demikian, meninggalkan sejuta pengaruh yang menyebabkan Mesir bangkit dan belajar untuk menutupi kekurangan-kekurangannya.
Memahami keluguan dan keterbelakangan kaum muslimin, bangkitlah kesadaran selama ini, bahwa umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi komitmen ruh yang terkandung dalam Alquran. Artinya, Barat yang tidak secara langsung diilhami oleh spirit Alquran pun dapat maju dan jaya, karena pola hidup dan orientasi akal yang benar. Disinilah anggapan negatif terhadap dunia Barat dapat berubah dan ternyata Eropa jauh lebih maju dalam berbagai bidang ilmu dibandingkan dengan umat Islam. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan al-Jabarti yang dikutip oleh Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam, yaitu :
Saya lihat di sana, benda-benda percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.
 Mengiringi kutipan tersebut, Harun Nasution memberikan komentar sebagai berikut:
Demikianlah kesan seorang cendikiawan Islam pada waktu itu terhadap kebudayaan Barat. Ini mendeskripsikan betapa mundurnya umat Islam ketika itu. Keadaan berbalik menjadi seratus delapan puluh derajat. Kalau di periode klasik orang Barat kagum melihat kebudayaan dan peradaban Islam, di periode modern, kaum Islam yang terpesona melihat kebudayaan dan peradaban Barat.
Menyikapi kedua komentar di tas, maka dapat dipahami bahwa ketertinggalan yang dialami oleh kaum Islam ketika itu bukan semata-mata yang bersifat material saja, tetapi juga dalam bidang-bidang yang vital bagi kebahagiaan umat manusia.
Ada hal-hal beru selain kemajuan materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawa Napoleon, yaitu memperkenalkan :
1.   Sistem pemerintahan republik, selama ini belum ada diperkenalkan seorang kepada negera dipilih oleh parlemen yang berkuasa dalam masa tertentu dan harus tunduk kepada undang-undang dasar. Sedangkan undang-undang dasar itu sendiri dibuat bukan oleh kepala negara atau raja, melainkan oleh parlemen. Parlemenlah yang menentukan kredibilitas seorang kepala negara, yang kalau menyimpang dari perundang-undangan akan dijatuhkan dari jabatannya. Akan tetapi, sistem pemerintahan Islam selama ini bersifat absolut. Khalifah atau sultan yang memegang tampuk pemerintahan tidak jauh beda dengan raja atau kaisar, yang kekuasaannya tidak terbatas. Iapun tidak tunduk kepada undang-undang dasar, sebab kedudukan yang dipegangnya merupakan anugerah Tuhan, jadi ia hanya bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, bukan kepada parlemen, bila tidak mampu lagi.
2.    Ide persamaan (egalite), yaitu adanya persamaan kedudukan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan. Sebelumnya, rakyat Mesir tidak tahu menahu dalam soal pemerintahan, maka ketika itu, Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama al-Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia bisnis dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat undang-undang, memelihara ketertiban umum, dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis dengan rakyat Mesir. Selain itu, dibentuk pula suatu badan lain bernama Diwan al-Ummah yang pada waktu-waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional. Tiap-tiap daerah mengirimkan sembilan orang wakil ke sidang itu, masing-masing tiga dari golongan ulama, tiga dari golongan pedagang, satu dari masing-masing golongan petani, kepala desa, dan kepala suku bangsa Arab. Dewan ini mempunyai 180 orang anggota dan bersidang sekali dalam setiap tahun, yang diadakan pada tanggal 5 sampai 20 Oktober 1798. keputusan yang diambil ialah menganjurkan perubahan peraturan pajak yang telah ditetapkan oleh kerajaan Usmani.
3.   Ide kebangsaan yang terkandung dalam Maklumat Napoleon, bahwa orang Perancis adalah suatu bangsa (nation), dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir, jadi sungguhpun orang Islam, tapi berlainan bangsa dengan rakyat Mesir. juga maklumat itu mengandung kata-kata umat Mesir ( الامة المصرية ). Bagi orang Islam yang ada pada waktu itu hanyalah umat Islam ( الامة الاسلامية ), dan tiap-tiap orang Islam adalah saudaranya dan ia tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku-suku. Perbedaan yang mendasar adalah dari segi agama. Oleh karena itu, menerjemahkan kata nation ke dalam bahasa Arab juga sulit. Kata Arab yang dipakai adalah ( الملة ) seperti al-Millah al-Faransiah, padahal millah dalam kamus Arab berarti agama, lalu berkembang arti lain, untuk kata nation dipakai istilah qaum, sya'b dan ummah.
Oleh karena itu, ide yang terkandung dalam republik masih sulit ditanggap, karena masih dianggap berbeda jauh dengan praktek kenegaraan di dalam Islam sebagaimana sulitnya menerjemahkan kata republik ke dalam bahasa Arab. Kemudian sistem persidangan dan pemilihan ketua lembaga juga merupakan hal yang baru bagi rakyat Mesir. ketika para anggota dewan memilih ketua, mereka langsung saja menunjuk seorang ulama terkemuka yang sangat mereka hormati.






BAB III
PENUTUP
Ekspedisi Napoleon Bonaparte berawal pada tanggal 2 Juni 1798 M. sampai tanggal 31 Agustus 1801. Dari ekspedisi tersebut bertujuan untuk mematahkan hubungan Inggris dan India, ingin memperkenalkan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dicapai Perancis pada revolusi industri.
Deskripsi ide-ide Napoleon merupakan kontak pertama antara Mesir dan Barat (Eropa), walaupun belum mempunyai pengaruh nyata yang kuat kepada rakyat Mesir, namun lambat laun telah membuka mata umat Islam tentang kelemahan dan kemunduran yang mereka alami. Pada abad ke-19, ide-ide ini makin dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang bila dipraktekkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat Mesir.












DAFTAR PUSTAKA

Al-Baqli, M.Q. (ed.), al-Mukhtar min Tarikh al-Jabarti. Kairo: Maktabi al-Sya'b, 1958.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Ensiklopedia Nasional Indonesia. jilid II. Cet. I; Yogyakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.
Hasan, Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Jahdam Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1968.

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH PEMIKIRAN MODERN

MAKALAH PEMIKIRAN MODERN

BAB I

PENDAHULUAN

Pembaharuan dalam islam mengandung adanya tranformasi nilai yang mesti berubah bahkan adakalahnya di perlukan perombakan –perombakan terhadap sruktur atau tatanan yang sudah ada dianggap baku, sedangkan nilai tersebut tidak mempunyai akar yang kuat berdasarkan suber-sumber pokoknya alquran dan hadist.tanda-tanda perubahan itu terlihat secara trasparan . Titik tekan pembaharuan dalam istilah gerakan dan reformasi terhadap ajaran-ajaran islam yang tidak sesuai dengan orisinalitas alquran dan hadist baik dalm interpretasi tekstual maupun konstektual.
Menegaskan kembali proporsional ijtihat secara riil dengan pemberantasan terhadap taklid dan mengadakan perombakan sosial umat islam yang terbelakang kemudian mengiringnya mengadakan pencapaian kemajuan sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaharuan muncul dalam studi-studi modernisme di negara-negara islam penghujung abad ke 18 abad ke 19 banyak memunculkan tema –tama sentral tentang perlunya iptek sebagai pengikat perluasan upaya penaikan citra peradaban umat islam menapaki abad –abad berikutnya. Sehingga ada kecendrungan lebih bersemangat untuk proses islamisasi sains, yang di barat saat ini sains seakan bebas  nilai dari keikut sertaan agama memberikan masukan positif di dalamnya

1.      Apa Pengertian pembaharuan dalam islam?
2.      Bagaimana Pengertian, Metode Kajian Pemikiran Moderen?
  

BAB  II

PEMBAHASAN

Dalam kosa kata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai “perubahan”.Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dogmatis supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi modern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi – seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
1. Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
2. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.

Bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam (tajdid). Landasan tersebut adalah :
1.      Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad Jainuri—bahwa landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama. Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu, hal inilah yang membuka ruang adanya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia, diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya, DENGAN Al Qur’an yang merupakan petunjuk bagi umat manusia seluruh zaman, serta Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir.
Tidak adanya Nabi setelah Nabi SAW bukan berarti fungsi kenabian telah berakhir, akan tetapi diteruskan oleh para Ulama sebagai pewarisnya yang seharusnya menjewantahkan Al Qur’an dalam kehidupan umat manusia pada semua zaman.
2.      Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelaksanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya”.
3.      Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M).
Banyak tokoh – tokoh Islam yang mengadakan pembaruan dalam pemikiran demi untuk mencapai kembali kejayaan terdahulunya, seperti Ibnu Taimiyah, Mohammad Abduh dan lain – lain.

Lahirnya pemikiran moderen dalam Islam ini dilatarbelakangi oleh 2 (dua) faktor, yaitu :
1.      Faktor Eksternal
a.      Imperialisme Barat
Imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi akibat disintegrasi atau perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam yang terjadi jauh sebelum kehancuran peradaban Islam pada pertengahan abad ke-13 M., yaitu ketika munculnya dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat pada masa kekhilafahan bani Abbasiyah.
Setelah runtuhnya bangunan peradaban Islam, perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam bertambah parah dengan maraknya pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Islam yang mengakibatkan pudarnya kekuatan politik Islam dan lepasnya daerah-daerah yang sebelumnya menjadi bagian dari kekuasaan Islam.
Karena lemahnya politik Islam disertai dengan motivasi pencarian daerah baru sebagai pasar bagi perdagangan di dunia Timur yang sebagian besar penduduknya adalah umat Islam, Barat, sejak abad ke-16 M. menduduki daerah-daerah yang disinggahinya untuk dijadikan daerah penjajahan. Spanyol akhirnya menjajah Filipina, Belanda menjajah Indonesia selama ratusan tahun hingga memasuki abad 20 M. Inggris menjajah India, Malaysia dan sebagian negara-negara di Afrika dan Perancis menjajah banyak negeri di Afrika.
Karena imperialisme inilah, lahir para pemikir Islam yang berusaha membangunkan umat Islam dan mengajak mereka untuk bangkit menentang penjajahan, seperti Jamaluddin Al Afghani dengan ide Pan Islamismenya di India dan Khairuddin Pasya at-Tunisi dengan konsep negaranya di Tunisia.
b.      Kontak dengan modernisme di  Barat
Sejak abad 16 M. Barat mengalami suatu babak sejarahnya yang baru, yaitu masa moderen dengan lahirnya para pemikir moderen yang menyuarakan kemajuan ilmu pengetahuan dan berhasil menumbangkan kekuasaan gereja (agama). Karena keberhasilannya inilah dicapai peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi dunia.
Sementara itu, dunia Islam yang pada waktu itu sedang berada dalam kemundurannya, karena interaksinya dengan modernisme di Barat mulai menyadari pentingnya kemajuan dan mengilhami mereka untuk memikirkan bagaimana kembali memajukan Islam sebagaimana yang telah mereka capai di masa sebelumnya sehingga lahirlah para pemikir Islam seperti At Thahthawi dan Muhammad Abduh di Mesir, Muhammad Ali Pasya di Turki, Khairuddin At Tunisi di Tunisia dan Sayyid Ahmad Khan di India.
2.      Faktor Internal
a.       Kemunduran Pemikiran Islam
Kemunduran pemikiran Islam terjadi setelah ditutupnya pintu ijtihad karena pertikaian yang terjadi antara sesama umat Islam dalam masalah khilafiyah dengan pembatasan madzhab fikih pada imam yang empat saja, yaitu madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi dan madzhab Hambali. Sementara itu, bidang teologi didominasi oleh pemikiran Asy’ariah dan bidang tasawwuf didominasi oleh pemikiran imam Al-Ghazali.
Penutupan pintu ijtihad ini telah menimbulkan efek negatif yang sangat besar di mana umat Islam tak lagi memiliki etos keilmuan yang tinggi dan akal tidak diberdayakan dengan maksimal sehingga yang dihasilkan oleh umat Islam hanya sekadar pengulangan-pengulangan tulisan yang telah ada sebelumnya tanpa inovasi-inovasi yang diperlukan sesuai dengan kemajuan jaman.
Berkenaan dengan kemunduran pemikiran Islam ini, para pemikir Islam di jaman moderen dengan ide-ide pembaharuannya, menyuarakan pentingnya dibuka kembali pintu ijtihad.
b.      Bercampurnya ajaran Islam dengan unsur-unsur di luarnya.
Selain kemunduran pemikiran Islam, yang menjadi latar belakang lahirnya pemikiran moderen dalam Islam adalah bercampurnya agama Islam dengan unsur-unsur di luarnya.
Pada masa sebelum abad ke-19 M., umat Islam banyak yang tidak mengenal agamanya dengan baik sehingga banyak unsur di luar Islam dianggap sebagai agama. Maka tercampurlah agama Islam dengan unsur-unsur asing yang terwujud dalam bid’ah, khurafat dan takhayul.
Muhammad Abduh yang dilanjutkan dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia adalah para pemikir pembaharuan Islam yang penuh perhatian terhadap pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat di kalangan umat Islam.

BAB  III

PENUTUP
Pembaruan dalam Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan sesuai dengan perkembangan zaman yang di timbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. ( Aktualisasi dan Kontekstualisasi ajaran Islam ), dengan tidak merubah teks Al Qur’an dan al Hadits atau ajaran – ajaran bakunya.
Landasan Pembaruan Islam setidaknya ada 3 ( Tiga ), yakni :
1. Landasan Teologis
2. Landasan Normatif
3. Landasan Historis
Faktor Munculnya Pembaruan dalam Islam ada 2 ( dua ), yakni :
1.      Faktor Eksternal, meliputi Imperialisasi Barat dan Kontak dengan Modernisasi Barat
2.      Faktor Internal, meliputi Kemunduran pemikiran Islam dan Bercampurnya Ajaran Islam dengan unsur – unsur diluar Islam.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena itu kritik dan saran sangat diharapkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.
Husain Abdullah, Muhammad. Studi dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Nata, Abudin,Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. raja Grafindo Persada,2001
Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI, Tahun 1995.
Sani, Abdul. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Supadie, Didiek Ahmad dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2011