MAKALAH WADI’AH
TEORI WADI’AH
A.
Pendahuluan
Wadi’ah merupakan salah satu akad yang digunakan
oleh banx syari’ah untuk produk penghimpunan dana pihak ketiga. Wadi’ah
merupakan prinsif simpanan murni dari pihak yang menyimpan atau menitipkan
kepada pihak yang menerima titipan untuk dimanfaatkan atau tidak di manfaatkan
sesuai dengan ketentuan. Titipan harus dijaga dan dipelihara oleh pihak yang
menerima titipan, dan titipan ini dapat diambil sewaktu-waktu pada saat
dibutuhkan oleh pihak yang menitipkanya. Dalam akad wadi’ah, bank syari’ah
dapat menawarkan dua produk perbankan yang telah dikenal oleh masyarakat luas
yaitu giro dan tabungan. Kedua produk ini dapat ditawarkan dengan mengunakan
akad wadi’ah, yaitu giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah yang akan dibahas lebih
dalam dalam makalah ini.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Wadi’ah
Wadi’ah secara
bahasa dapat diartikan dengan meninggalkan atau titipan. Sedang untuk
secara istilah wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak kepada
pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Adapun menurut para ulama antara lain:
a. menurut
Hanafiyya, wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu
barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan
isyarat.
b. menurut
Safiiyyah dan malikiyyah wadi’ah adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah
barang yang dimilik atau barang yang secara khusus dimiliki seorang dengan
cara-cara tertentu.[1]
2.
Dasar
hukum Wadi’ah
Wadi’ah adalah
suatu akad yang diperbolehkan oleh Syara’ berdasarkan Al-Quran, sunnah dan
ijma’.Waid’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikanya
pada waktu pemilik memintak kembali, firman Allah Swt.
( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 ÇËÑÌÈ
Jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagaimana Tuhannya
(Al-Baqarah:28).
Orang yang menerima titipan tidak
berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana
mestinya atau melakukan jinaya terhadap barang titipan.berdasarkan sabdah nabi
yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dan
bapaknya.
3.
Rukun
Wadi’ah
Menurut
Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul.” Sedangkan menurut
Jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
a. Benda
yang dititipkan (al-ain al-muda’ah)
b. Shighat
c. Orang
yang menitipkan (al-mudi’)
d. Orang
yang dititipi (al-muda’)
4. Syarat -Syarat Wadi’ah
Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun
yang telah disebutkan diatas yaitu:
a. Syarat-Syarat
Benda yang ditittipkan adalah sebagai berikut:
a) Benda
yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh di
dalam air, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib
menganti.
b) Syafi’iyah
dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai.
b. Syarat-Syarat
Shighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat shighat adalah ijab harus dinyatakan
dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas dan adakalanya dengan
sindiran.
c. Syarat
orang yang menitipkan
a) Berakal,
dengan demikian tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang belum berakal.
b) Baligh,
dengan demikian menurut syafi’iyah wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh
anak yang belum baligh (masih dibawah umur).
d. Syarat
Orang yang dititpi.
a) Berakal,
Tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini
dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta,
sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan
padanya.
b) Baligh,
Hanfiyah tidak menjadikan baliqh sebagai syarat untuk orang yang dititipi
melainkan cukup ia sudah mumayyiz
c) Malikiyah
mensyaratkan orang yang dititipiharus orang yang diduga kuat mampu menjaga
barang yang dititipkan kepadanya.[2]
5. Hukum Menerima Benda Titipan
Dijelaskan
oleh Sulaiman Rasyid bahwa hukum menerima benda-benda titipan ada empat macam,
yaitu sunnat, haram, wajib dan makruh,secara lengkap dijelaskan sebagai
berikut:
a. Sunnat,
disunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia
sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Wadi’ah adalah salah
satu bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran,
tolong-menolong secara umum hukumnya sunnat. Hal ini dianggap sunnat menerima
benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula menerima titipan.
b. Wajib,
diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain
tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda
tersebut.
c. Haram,
apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan.
Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan
menerima benda-benda titipan, berati memberikan kesempatan (peluang) kepada
kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan hingga akan menyulitkan pihak yang
menitipkan.
d. Makruh,
bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mempu menjaga
benda-benda titipan, tapi dia kurang yakin atau ragu pada kemampuannya, maka
bagi orang seperti ini di makruhkan menerima benda-benda titipan sebab
dikhawatirkan dia akan berhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak
benda-benda titipan atau menghilangkanya.
6. Rusak Dan Hilangnya Benda Titipan
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa
benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka
ucapanya harus disertai dengan sumpah supaya perkataanya itu kuat kedudukanya
menurut hukum, namu ibnu AI-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut diatas
sudah dapat diterima ucapanya secara hukum tampa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut ibnu Taimiyah apabila seseorang yang
memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang
mencuri, sementara hartanya yang ia kelolah tidak ada yang mencuri, maka orang
yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib mengantinya.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya
terdapat benda-benda titipan milik orang lain ternya barang=barang titipan
tersebut tidak dapat ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima
titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya. Jika terdapat surat dengan
tulisannya sendiri, yang berisi adanya pengakuaan benda-benda titipan, maka
surat tersebut dijadiakan pegangan karena tulisan dianggap sama dengan
perkataan apabila tulisan tersebut ditulis oleh dirinya sendiri
Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah
sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa
pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara
yang wajar, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunanakan untuk kepentingan
agama islam, dengan mendahuluan hal-hal yang paling penting diantara
masalah-masalah yang prnting.
7. Status Wadi’ah
Para ulama mazhab sepkat bahwa wadi’ah merupakan
perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) yang dianjurkan (disunnahkan),
dan dalam menjaga harta yang dititipkan diberikan pahala. Titipan tersebut
semata-mata merupakan amanah (kepercayaan) bukan bersifat ganti rugi sehingga
orang yang dititipi tidak dibebani ganti kerugian kecuali karena melampawi
batas atau teledor.
Atas dasar itu, apabila si pemilik barang memintak
kembali barang yang dititipkan maka orang yang dititipi wajib mengembalikanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 58.[3]
C.
Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat kita simpulkan wadi’ah
adalah suatu yang di titipkan oleh pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Dasar
hukum wadi’ah akad yang di perbolehkan oleh syara. Serta mempunyai rukun dan
syarat
1) Benda
yang dititipkan
2) Shighat
3) Orang
yang dititipi
4) Orang
yang menitipkan
Serta hukum orang yang
menerima benda titipan
1) Sunnat
2) Wajib
3) Haram
4) Makruh
Jika
orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa
adanya unsur kesengajaan darinya maka ucapan harus disertai denga sumpah untuk
memperkuat kedudukannya menurut hukum. sedangkan untuk status wadi’ah merupakan
perbuatan kurba atau mendekatkan diri kepada Allah semata-mata untuk
mendapatkan pahala.
D.
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi
yang menjadi pokok bahasan Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya
juga para pembaca semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, fiqh
muamalah, 2010, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Dimyauddin Djuwaini, Pemgantar
Fiqih Muamalah, 2008, Yogyakarta:Celeban Timur.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah
, 2014, Jakarta: Rajawali Pres.
[1]
Dimyauddin Djuwaini, Pemgantar Fiqih
Muamalah,(Yogyakarta:Celeban Timur, 2008).h 173-175
[2]
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalah.(Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2010). h 459-461
[3]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah
(Jakarta: Rajawali Pres, 2014 ). h 183-185.
No comments:
Post a Comment