1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH WADI’AH

MAKALAH WADI’AH

TEORI WADI’AH

A.      Pendahuluan
Wadi’ah merupakan salah satu akad yang digunakan oleh banx syari’ah untuk produk penghimpunan dana pihak ketiga. Wadi’ah merupakan prinsif simpanan murni dari pihak yang menyimpan atau menitipkan kepada pihak yang menerima titipan untuk dimanfaatkan atau tidak di manfaatkan sesuai dengan ketentuan. Titipan harus dijaga dan dipelihara oleh pihak yang menerima titipan, dan titipan ini dapat diambil sewaktu-waktu pada saat dibutuhkan oleh pihak yang menitipkanya. Dalam akad wadi’ah, bank syari’ah dapat menawarkan dua produk perbankan yang telah dikenal oleh masyarakat luas yaitu giro dan tabungan. Kedua produk ini dapat ditawarkan dengan mengunakan akad wadi’ah, yaitu giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah yang akan dibahas lebih dalam dalam makalah ini.

B.       Pembahasan
1.    Pengertian Wadi’ah
Wadi’ah secara  bahasa dapat diartikan dengan meninggalkan atau titipan. Sedang untuk secara istilah wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Adapun menurut para ulama antara lain:
a.    menurut Hanafiyya, wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu barang yang dimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan isyarat.
b.    menurut Safiiyyah dan malikiyyah wadi’ah adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimilik atau barang yang secara khusus dimiliki seorang dengan cara-cara tertentu.[1]
2.    Dasar hukum Wadi’ah
Wadi’ah adalah suatu akad yang diperbolehkan oleh Syara’ berdasarkan Al-Quran, sunnah dan ijma’.Waid’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikanya pada waktu pemilik memintak kembali, firman Allah Swt.
( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 ÇËÑÌÈ
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagaimana Tuhannya (Al-Baqarah:28).
Orang yang menerima titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinaya terhadap barang titipan.berdasarkan sabdah nabi yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dan bapaknya.
3.    Rukun Wadi’ah
Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul.” Sedangkan menurut Jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
a.    Benda yang dititipkan (al-ain al-muda’ah)
b.    Shighat­
c.    Orang yang menitipkan (al-mudi’)
d.   Orang yang dititipi (al-muda’)
4.  Syarat -Syarat Wadi’ah
Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan diatas yaitu:
a.    Syarat-Syarat Benda yang ditittipkan adalah sebagai berikut:
a)    Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh di dalam air, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib menganti.
b)   Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda  yang mempunyai nilai.
b.    Syarat-Syarat Shighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat shighat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas dan adakalanya dengan sindiran.
c.    Syarat orang yang menitipkan
a)    Berakal, dengan demikian tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang belum berakal.
b)   Baligh, dengan demikian menurut syafi’iyah wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh (masih dibawah umur).
d.   Syarat Orang yang dititpi.
a)    Berakal, Tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan padanya.
b)   Baligh, Hanfiyah tidak menjadikan baliqh sebagai syarat untuk orang yang dititipi melainkan cukup ia sudah mumayyiz
c)    Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipiharus orang yang diduga kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.[2]

5.  Hukum Menerima Benda Titipan
Dijelaskan oleh Sulaiman Rasyid bahwa hukum menerima benda-benda titipan ada empat macam, yaitu sunnat, haram, wajib dan makruh,secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:
a.       Sunnat, disunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran, tolong-menolong secara umum hukumnya sunnat. Hal ini dianggap sunnat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula menerima titipan.
b.      Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
c.       Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan menerima benda-benda titipan, berati memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan hingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
d.      Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mempu menjaga benda-benda titipan, tapi dia kurang yakin atau ragu pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini di makruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan berhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkanya.

6.  Rusak Dan Hilangnya Benda Titipan
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapanya harus disertai dengan sumpah supaya perkataanya itu kuat kedudukanya menurut hukum, namu ibnu AI-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut diatas sudah dapat diterima ucapanya secara hukum tampa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut ibnu Taimiyah apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelolah tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib mengantinya.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan milik orang lain ternya barang=barang titipan tersebut tidak dapat ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya. Jika terdapat surat dengan tulisannya sendiri, yang berisi adanya pengakuaan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadiakan pegangan karena tulisan dianggap sama dengan perkataan apabila tulisan tersebut ditulis oleh dirinya sendiri
Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunanakan untuk kepentingan agama islam, dengan mendahuluan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang prnting.

7.  Status Wadi’ah
Para ulama mazhab sepkat bahwa wadi’ah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) yang dianjurkan (disunnahkan), dan dalam menjaga harta yang dititipkan diberikan pahala. Titipan tersebut semata-mata merupakan amanah (kepercayaan) bukan bersifat ganti rugi sehingga orang yang dititipi tidak dibebani ganti kerugian kecuali karena melampawi batas atau teledor.
Atas dasar itu, apabila si pemilik barang memintak kembali barang yang dititipkan maka orang yang dititipi wajib mengembalikanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 58.[3]

C.    Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat kita simpulkan wadi’ah adalah suatu yang di titipkan oleh pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Dasar hukum wadi’ah akad yang di perbolehkan oleh syara. Serta mempunyai rukun dan syarat
1)   Benda yang dititipkan
2)   Shighat
3)   Orang yang dititipi
4)   Orang yang menitipkan
Serta hukum orang yang menerima benda titipan
1)   Sunnat
2)   Wajib
3)    Haram
4)    Makruh
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya maka ucapan harus disertai denga sumpah untuk memperkuat kedudukannya menurut hukum. sedangkan untuk status wadi’ah merupakan perbuatan kurba atau mendekatkan diri kepada Allah semata-mata untuk mendapatkan pahala.

D.    Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca semua.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalah, 2010, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Dimyauddin Djuwaini, Pemgantar Fiqih Muamalah, 2008, Yogyakarta:Celeban Timur.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah , 2014, Jakarta: Rajawali Pres.




[1] Dimyauddin Djuwaini, Pemgantar Fiqih Muamalah,(Yogyakarta:Celeban Timur, 2008).h 173-175
[2] Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalah.(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010). h 459-461
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pres, 2014 ). h 183-185.

No comments:

Post a Comment