MAKALAH PERBANDINGAN UNDANG – UNDANG PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PERBANKAN SYARI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Undang-undang Perbankan
Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, membedakan bank
berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1,
memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Perkembangan perbankan
syariah di Indonesia cukup pesat, hal ini terlihat dari data yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Pada Desember 2003 terdapat 3 Bank
Umum Syariah (BUS) dan 8 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan total asset lebih dari
7,8 triliun rupiah (belum termasuk BPRS). Kemudian pada Desember
2008 Unit Usaha Syariah bertambah menjadi 26 UUS, dan awal januari 2009
bertambah menjadi 5 BUS, dimana dua bank melakukan spin off yaitu
Bank BRI syariah dan Bank Bukopin Syariah.
Namun, dalam
perkembangannya belakangan bank syariah menghadapi beberapa tantangan yang
mesti dihadapi dan dituntut untuk dapat memberikan terobosan dalam rangka
mengembangkan potensi perbankan syariah, diantaranya tantangan bank syariah
adalah: 1) Ketidakmengertian masyarakat pada umumnya tentang produk-produk
unggulan perbankan syariah. 2) Kurang populernya produk-produk pembiayaan yang
secara teori dapat mendukung sektor rill, salah satunya yang cukup berpotensi
memberikan kontribusi pada sektor rill adalah pembiayaanmudharabah di
samping besarnya risiko yang harus dihadapi bank syariah dalam memberikan
pembiayaan tersebut. 3) Rentannya bank syariah terhadap risiko likuiditas
jika memberikan pembiayaan mudharabah. 4) Sumber daya manusia
yang terbatas.
Dengan semakin ketatnya
persaingan antar bank syariah maupun dengan bank konvensional, membuat bank
syariah dituntut untuk memiliki kinerja yang baik agar dapat bersaing dalam
memperebutkan pasar perbankan nasional di Indonesia. Meski pertumbuhan
aset perbankan syariah mampu mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu
35,6% dari 2007 yang sebesar Rp 36,5 triliun. Namun dengan total aset Rp 49,5
triliun pada 2008, pangsa pasar bank syariah baru mencapai 2,08% dari total
asset perbankan konvensional. Pencapaian ini masih jauh dari target yang
ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar 5% dari bank konvensional.
Bank di Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Menurut UU RI No.7 Tahun
1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak”.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah : “ bagaimana
perbandingan Undang – undang Perbankan Konvensional dan Perbankan Syari’ah” ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada rekan mahasiswa tentang Undang
– undang Perbankan Konvensional dan Perbankan Syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bank
di Indonesia
1.
Bank
Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris
“convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional
adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati
bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem
perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam
suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil
oleh Bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam
adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik
demi mendapatkan keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut
Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan
Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:[1]
1)
Bunga
sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan
apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2)
Besarnya
bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang
baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang
diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Ada beberapa keunggulan pada bank konvensional, yaitu:
1)
Metode
bunga telah lama dikenal masyarakat, Bank Konvensional lebih mudah menarik
nasabah penyimpan dana sehingga lebih mudah mendapatkan modal.
2)
Bank
Konvensional lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk.
3)
Nasabah
terbiasa dengan metode bunga dibandingkan metode bagi hasil .
4)
Persaingan
antar bank lebih menggairahkan dapat memacu untuk bekerja lebih baik
5)
Peraturan
perundang-undangan dan kebijakan Pemerintahan yang lebih mapan bagi bank
konvensional, sehingga bank lebih leluasa untuk bergerak lebih pasti.
Selain Keunggulan, Bank Konvensional juga mempunyai
kelemahan, yaitu:
1)
Faktor
manajemen yang ditandai oleh inkonsistensi penyaluran kredit, campur tangan
pemilik yang berlebihan dan manager yang tidak professional.
2)
Kredit
bermasalah karena prosedur pemberian kredit tidak potensi dan penampakan
pemberian kredit pada grup sendiri dan kalangan tertentu
3)
Praktik
curang seperti bank dalam bank dan transaksi fiktif
4)
Praktik
spekulasi yang terlalu ambisius dan tanpa perhitungan.
2.
Bank Syariah
a.
Sejarah bank syariah
Perbankan syariah pertama
kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya
kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan
fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk
sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit
Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen
ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan
konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima
bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri
secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat
dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir
Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas
bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama
maupun syariat islam.
Islamic Development Bank
(IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang
tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam walaupun utamanya bank tersebut
adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek
pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan
profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan
diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah
bank berbasis islam kemudian muncul. Di
Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank
of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank
(1979). Dia Asia Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973
berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims
Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk
menunaikan ibadah (haji).[2]
Di Indonesia pelopor
perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia Berdiri tahun 1991, bank ini
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan
dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.
Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga
ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan
pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. .Saat ini
keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU
No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
b.
Perkembangannya
Bank syariah di Indonesia
terhitung masih sangat muda, perkembangannya pun di Indonesia begitu lambat,
sebenarnya pembahasan tentang Bank Syariah sudah pernah dibahas pada tahun
1980-an, namun realisasinya terjadi pada tahun 1992 yang dilakukan oleh salah satu
bank pemerintah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, dengan hukum yang jelas.
Hingga tahun 2007 terdapat
3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank
Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki
unit usaha syariah adalah 19 bank di antaranya merupakan bank besar seperti
Bank Negeri Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). System
syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah
berkembang 104 BPR Syariah.[3]
Dengan telah
diberlakukannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
terbit tanggal 16 Juli 2008, maka perkembangan industry perbankan syariah
nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang
impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan asset lebih dari 65% per tahun
dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah
dalam mendukung perekonomian akan semakin signifikan
Prinsip syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum
yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :[4]
1)
Pembayaran
terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan
nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan
2)
Pemberi
dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi
yang meminjam dana. Islam
tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya
merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai
intrinsik.
3)
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak
diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui
dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
4)
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang
tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai
oleh perbankan syariah.
5)
Tidak menawarkan bunga tetapi bagi hasil dan yang
ditetapkan terlebih dahulu adalah rasio (nisbah) antara bagian keuntungan yang
didapat nasabah dan bagian keuntungan yang didapat oleh bank, misalnya 60:40
artinya 60 persen keuntungan bagi nasabah dan 40 persen keuntungan bagi bank.
Karena itu bagian keuntungan yang diterima nasabah tergantung dari keuntungan
yang didapat oleh bank.
6)
Besarnya keuntungan yang diterima oleh nasabah akan
meningkat apabila keuntungan bank sedang baik dan begitu juga sebaliknya.
Sesuai dengan prinsip di atas, menyimpan uang
di bank syariah termasuk kategori investasi. Besar-kecilnya perolehan kembalian
itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank
sebagai pengelola dana. Dengan
demikian, bank syariah tidak dapat hanya sekadar menyalurkan uang. Bank syariah
harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga lebih
menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.
Jadi untuk memberikan
gambaran perbedaan antara perbankan syariah dengan perbankan konvesional,
berikut dijelaskan secara garis besar perbedaan tersebut
Perbankan Konvesional
1)
System pendapatan berupa bunga yang sudah ditentukan
dimuka oleh bank
2)
Hubungan antara nasabah dan bank adalah kreditur –
debitur
3)
Dana nasabah diinvestasikan pada aset-aset yang sesuai
dengan kebijakan
4)
Prinsip dasar penghimpunan dana dan penyaluran dana dari
masyarakat tidak ada
Perbankan Syariah :
1)
System pendapatan bukan dengan bunga tetapi dengan prinsip
: mudarabah (bagi hasil) waidah (titipan),ijarah ( sewa ), murabahah (
penjualan kembali)
2)
Hubungan antara nasabah dengan bank adalah hubungan
kemitraan
3)
Dana nasabah diinvestasikan pada aset-aset yang sesuai
dengan prinsip syariah ( syariah complaiance )
4)
Prinsip dasar penghimpunan dana dan penyaluran dana dari
masyarakat harus sesuai dengan fatwa dewan
B. Aspek
Hukum Bank Konvensional dan Syariah
1.
Bank
Syariah
a.
Landasan
Hukum / Operasional Bank Syariah
Undang-Undang Dasar (UUD)
Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum.
UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan
sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD
1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu
sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen
Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang
menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada
ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:[5]
1.
Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
3.
Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.
Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
5.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992,
yang memosisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat,
memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang
ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal
1 Mei 1992 dengan modal awal Rp.106.126.382.000,00.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak
secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam
pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi
tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan
pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.
Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar
ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan
menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU
No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir
untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung
aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:[6]
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:[6]
·
Pertama,
Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
·
Kedua,
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi
kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK
untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan
fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional
bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem.[7]
Undang-undang yang secara spesifik mengatur
tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008.
Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia
mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang
Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank
kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya
pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1
poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9
menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan
fungsinya adalah menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan
berdasarkan akad-akad yang terdapat dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah,
wadi’ah, masyarakah, murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
1.
PBI
No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
2.
PBI
No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No.
6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah
3.
PBI
No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah[8]
Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di
atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur
pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah. Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti.
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah. Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan
eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan
agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani
permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan
mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan
beberapa masalah ekonomi Islam lainnya.
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada
tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah
sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi
syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip
Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak
bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa
DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa lahirnya UU. No. 10 tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 10 November
1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah
sebagai respon atas kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank
Syariah yang pertama berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia
sejak tanggal 1 Mei 1992.
Ketika Bank Muamalat
Indonesia (BMI) didirikan, landasan hukum bagi berdirinya Bank Syariah adalah
UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret
1992. [5] Celah landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang
menyinggung bahwa Bank dapat memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi
hasil. Selengkapnya UU. No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:[9]
Kredit adalah penyediaan
Uang atau Tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Friedman, membedakan antara
hukum Inggris (Anglo-American Law / Common Law) dengan Roman Law. Bagi negara
Indonesia yang menganut Sistem Roman Law, maka kodifikasi hukum secara formal
(positive) yang menegaskan kedudukan Bank Syariah didalam tata hukum nasional
adalah suatu keniscayaan.[6] Sangat disyukuri bahwa ternyata tujuh bulan
setelah diundangkannya UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah
beroperasinya BMI, landasan operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan
terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP
No. 72 tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
hasil (pada makalah ini selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat
(1) PP ini menyebutkan bahwa:
Bank berdasarkan prinsip
bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan
kegiatan usaka semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Lebih rinci lagi pada pasal
2 ayat (1) dan (2) PP No. 72 sbb :[10]
(1)
Prinsip
bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi
hasil berdasarkan syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi
hasil dalam :
a.
menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b.
menetapkan
imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c.
menetapkan
imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank
dengan prinsip bagi hasil.
(2)
Pengertian
prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan
usaha jual beli.
Kedudukan Bank Syariah
semakin mendapat tempat dengan diundangkannya UU. No. 10 tahun 1998 tanggal 10
November 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No 7 tahun 1992
tentang Perbankan. Kehadiran Undang-undang ini adalah lompatan yang sangat
strategis dari sisi politik hukum, karena tidak hanya lebih mempertegas
kedudukan Perbankan Syariah, tetapi telah memberikan peluang yang
sebesar-besarnya bagi pengembangan jaringan Perbankan Syariah. Peluang ini
terbuka lebar dengan mulai diperkenankannnya Bank Umum untuk beroperasi secara
dual system, yakni dapat beroperasi secara konvensional sekaligus beroperasi
sesuai prinsip syariah. Kebolehan ini secara tegas didapati pada pada Pasal 1
ayat
(3)
yang
mendefinisikan Bank Umum sebagai berikut:
Bank Umum adalah Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Berbeda dengan ketentuan
pada Bank Umum, terrhadap Bank Perkreditan Rakyat tidak dibenarkan beroperasi
secara dual system. Pada pasal 1 ayat (4) diatur sebagai berikut:
Bank Perkreditan Rakyat
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalulintas pembayaran.
Sebagai peraturan
pelaksanaan dari Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini, khususnya untuk
kepentingan Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat
Keputusan No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah. Peraturan ini kemudian dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Bank
Indonesia No 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan pelaksanaan ini memuat antara lain ketentuan
tentang Pendirian Bank, Perizinan, Kepemilikan, Kedudukan Dewan Pengawas
Syariah, Dewan Komisaris, Direksi dan Peminpin Kantor Cabang dan Kegiatan
Usaha.
Sejalan dengan bunyi pasal
1 ayat 3 UU No. 10 tahun 1998 yang memberi peluang kepada Bank Umum untuk
melaksanakan kegiatan Konvensional sekaligus juga melaksanakan kegiatan
operasional secara syariah, Bank Indonesia menerbitkan pula Peraturan Bank
Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor
Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.
Pembenaran terhadap Bank
Umum untuk beroperasi secara dual system ini telah disambut baik disamping juga
disambut dengan dengan kritik dari sebahagian cendekiawan muslim. Kritikan yang
disampaikan adalah terjadinya percampuran antara yang halal dengan yang haram
didalam satu institusi Bank. Sebagaimana kaedah Fiqh yang meneyebutkan apabila
bercampur yang halal dengan yang haram, maka akan menjadi haram.
Untuk beroperasi secara
dual system ini Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 memberikan
batasan-batasan sbb:[11]
Pasal 11
(1)
Bank
yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk
Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank.
(2)
Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit kerja di
kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas:
a.
mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;
b.
menempatkan
dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit
Syariah;
c.
menerima
dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit
Syariah; dan
d.
melakukan
kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit
Syariah.
Dari beberapa ketentuan diatas dapat dipahami bahwa Bank
yang menerapkan dual system berkewajiban mengelola dan menatausahakan serta
mengawasi unit syariahnya dengan sebaik-baiknya sehingga meskipun dalam
instansi bank yang sama, pengelolaan dan administrasinya terpisah dengan
semestinya, antara yang konvensional dengan yang syariah.
b.
Unsur-Unsur
Syariah Pada UU No. 10 tahun 1998
Unsur-Unsur Syariah pada
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, adalah yang bersumber dari Fiqh Muamalat,
seperti; Bay’ al-Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Ijarah dan Ijarah wa
Iqtina’. Dengan demikian hukum Islam telah dipergunakan sebagai bahan dalam
pembentukan hukum nasional. Sejalan dengan Teori Eksistensi yang dikemukan oleh
Ichtijanto bahwa hukum Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Hukum Islam
merupakan bahan utama unsur utama hukum Nasional.[12]
Unsur-unsur syariah didalam
Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini penulis kelompokkan sebagai pengakuan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Penegasan Prinsip Syariah
sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam, dengan beberap bentuknya.
1)
Pengakuan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Didalam Undang-Undang No.
10 tahun 1998 ini telah diakui bahwa bank dapat beroperasi dengan dengan
Prinsip Syariah, disamping sistem konvensional yang sudah ada, sesuai bunyi
pasal 1 ayat 3 dan4;
Ayat 3
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Ayat 4
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannnya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2)
Penegasan
Prinsip Syariah sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam
Pasal 1 ayat 13 menguraikan
Prinsip Syariah serta bentuk-bentuk kegiatan sesuai syariah sbb:
Prinsip Syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak lain (ijarah wa iqtina’)
Sesuai kedudukannya sebagai
Undang-undang maka uraian yang ada didalamnya bersifat umum, ringkas dan suple.
Sejalan dengan Stuffen theori dari Kelsen, bahwa sistem hukum pada hakikatnya
merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga
tertinggi. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang diatasnya. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam
peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya.
Sebaliknya semakin rendah peringkatnya semakin nyata dan operasional sifat
norma yang dikandungnya.
Penjabaran atas
undang-undang No. 10 tahun 1998 ini dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya,
yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian telah digantikan dengan
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Rincian kegiatan usaha Bank
Umum Syariah diatur pada pasal 36 dan 37 seperti berikut ini.
Pasal 36
Bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip
kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:
a.
melakukan
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara
lain:
1.
giro
berdasarkan prinsip wadi’ah
2.
tabungan
berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah; atau
3.
deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;
b.
melakukan
penyaluran dana melalui :
1.
prinsip
jual beli berdasarkan akad antara lain:
a) murabahah; b) istishna;
c) salam;
2.
prinsip
bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
a) mudharabah; b)
musyarakah;
3.
prinsip
sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:
a) ijarah; b) ijarah
muntahiya bittamlik;
4.
prinsip
pinjam meminjam berdasarkan akad qardh;
c.
melakukan
pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain:[13]
1. wakalah; 2. hawalah; 3.
kafalah; 4. rahn.
d.
membeli,
menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan
prinsip syariah;
e.
membeli
surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah
dan/atau Bank Indonesia;
f.
menerbitkan
surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
g.
memindahkan
uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip syariah;
h.
menerima
pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;
i.
menyediakan
tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip
wadi’ah yad amanah;
j.
melakukan
kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah;
k.
memberikan
fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah;
l.
memberikan
fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;
m.
melakukan
kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip syariah;
n.
melakukan
kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;
o.
melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui oleh Bank Indonesia
dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional.
Pasal 37
(1)
Selain
melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Bank dapat pula :
a.
Melakukan
kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf;
b.
melakukan
kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan
berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;
c.
melakukan
kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi
akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya
dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
d.
bertindak
sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah
sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
(2)
Bank
syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana
sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan
menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang
ditunjuk oleh pemerintah.
Meskipun Peraturan Bank
Indonesia No. 6/24/PBI/2004 lebih merinci unsur-unsur syariah dalam operasional
Perbankan, namun Peraturan ini tidaklah melakukan kodifikasi sebagaimana pada
kitab-kitab fiqh. Uraian yang ada sangat umum bahkan tidak memberikan definisi
yang memadai terhadap jenis-jenis produk perbankan apalagi mencantumkan rukun
dan syarat sebagaimana layaknya dalam literatur fiqh. Pertanyaan yang timbul
adalah; Bagaimana standard prinsip syariah dapat dijalankan oleh perbankan
syariah, jika pedoman dalam bentuk undang-undang tidak memberikan batasan yang
memadai ?. Pertanyaan ini akan terjawab dengan menelusuri peran Dewan Syariah
pada Perbankan Syariah sebagaimana diuraikan pada bahasan berikut ini.
c.
Peran
Dewan Syariah
Suatu hal yang spesifik
bagi perbankan syariah adalah; adanya kedudukan Dewan Syariah. Dewan Syariah
terbagi dua, pertama; Dewan Syariah yang bertugas di kantor pusat Bank dengan
nama “Dewan Pengawas Syariah” (DPS). DPS menjadi bahagian yang independen dari
organisasi suatu Bank Syariah dan berkedudukan di Kantor Pusat Bank. DPS
berfungsi mengawasi kegiatan usaha Bank agar sesuai dengan syariah. Dalam
pelaksanaan tugasnya mengawasi pelaksanaan operasional sesuai syariah DPS
tunduk kepada Fatwa-fatwa yang disusun Dewan Syariah Nasional.
Kedua; Dewan Syariah
Nasional sebagai lembaga yang dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), untuk
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan
syariah.[8]
Dengan adanya fungsi Dewan
Syariah Nasional ini, maka standardisasi prinsip syariah dapat diatur secara
nasional melalui fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.[9] Selanjutnya
masing-masing DPS di kantor Banknya masing-masing akan mengawasi pelaksanaan
sesuai pedoman yang disusun didalam fatwa. Disamping itu DPS akan menangani
permasalah syariah yang timbul didalam internal Bank maupun hubungannya dengan
nasabah Bank. Namun demikian DPS tidak berwenang mengeluarkan fatwa dan tidak dibenarkan
merekomendasikan pemasaran produk maupun jasa yang belum difatwakan DSN.
Kedudukan DSN maupun DPS
ini, diatur pada Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum
yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang merupakan
pengganti dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tahun
1999.
Pada Pasal 1 ayat 9 dan 10
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 diatur sbb:
Pasal 1 ayat 9
Dewan Syariah Nasional
adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan
memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam
kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Pasal 1 ayat 10
Dewan Pengawas Syariah
adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan
usaha Bank.
Pasal 27
(1)
Tugas,
wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah antara lain meliputi:
a.
memastikan
dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN;
b.
menilai
aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank;
c.
memberikan
opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara
keseluruhan dalam laporan publikasi Bank;
d.
mengkaji
produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN;
e.
menyampaikan
laporan hasil pengawasan syariah sekurangkurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada
Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.
Menurut hemat penulis adanya lembaga Dewan
Syariah yang berperan mengawasi Perbankan Syariah dan menerbitkan fatwa-fatwa
yang dibutuhkan dalam kaitan dengan operasional Bank adalah sangat bijaksana.
Dapat dibayangkan apabila berbagai ketentuan produk fiqh dituangkan dalam
Undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya secara terperinci, maka perbankan
menjadi sangat terikat dengan ketentuan yang ada dan sukar bergerak cepat
mengikuti dinamika yang ada pada sektor keuangan. Dengan adanya DSN, maka
berbagai hal yang timbul dapat segera dicarikan pemecahannya melalui rapat DSN
yang tidak melibatkan protokoler sebagaimana yang terjadi pada lembaga
legislative.
2.
Bank
Konvensional
Bank merupakan salah satu
lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting di dalam perekonomian suatu
negara sebagai lembaga perantara keuangan. Bank dalam Pasal 1 ayat (2) UU No.
10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank dapat diklasifikasikan
menurut fungsi, kepemilikan, status, dan cara menentukan harga. Menurut
fungsinya, bank dibedakan menjadi Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkeditan
Rakyat. Menurut kepemilikannya, bank dibedakan menjadi Bank Pemerintah, Bank
Swasta, dan Bank Campuran. Menurut statusnya, bank dibedakan menjadi Bank
Devisa dan Bank Non-Devisa. Dan menurut cara menentukan harganya, bank
dibedakan menjadi Bank Konvensional dan Bank Syariah.
Pasar keuangan memiliki
fungsi penting dalam mentransfer sumber daya perekonomian rumah tangga yang
ingin menyimpan sebagian pendapatannya ke rumah tangga dan perusahaan yang
ingin meminjam untuk membeli barang-barang investasi yang akan digunakan dalam
proses produksi. Proses mentransfer dana dari penabung ke peminjam disebut
perantara keuangan (financial intermediation). Banyak lembaga dalam
perekonomian bertindak sebagai perantara keuangan, tetapi hanya bank yang
memiliki otoritas hukum untuk menciptakan aset yang merupakan bagian dari
penawaran uang, seperti rekening cek. Karena itu, bank satu-satunya lemabga
keuangan yang secara langsung mempengaruhi penawaran uang (Mankiw, 2000)
Bank secara etimologis
berasal dari bahasa Italia yaitu kata benda yang berarti bangku /tempat duduk.
Bank disebut demikian karena pada abad pertengahan orang-orang yang memberikan
pinjaman melakukan usahanya di atas bangku-bangku. Bank atau Perbankan
sebagai suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain, selain itu juga
mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral (Thomas Suyatno)
Pengertian bank menurut
Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank-bank umum terdiri dari
bank-bank umum pemerintah, bank-bank umum swasta nasional devisa, bank-bank
swasta nasional nondevisa dan bank-bank asing dan campuran. Kegiatan utama
bank-bank umum adalah menghimpun dana masyarakat antara lain dalam bentuk giro,
deposito berjangka dan tabungan, serta menyalurkan kepada masyarakat dalam
bentuk kredit (Pohan, 2008).
Bank konvensional dapat
didefinisikan seperti pada pengertian bank umum pada pasal 1 ayat 3
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dengan menghilangkan kalimat “…dan atau
berdasarkan prinsip syariah …”•, sehingga definisi bank konvensional menjadi
“bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Konvensional sebenarnya
berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti
pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya
berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan).
Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah
disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan bunga yang diambil oleh Bank konvensional menjadi riba.
(konvensional) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran (untuk seterusnya penggunaan istilah bank umum merujuk kepada bank
konvensional).
Bank Umum merupakan bagian
dari perbankan nasional yang memiliki fungsi utama sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat serta pemberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dengan fungsi utama yang demikian, Bank Umum memiliki peranan yang strategis
dalam menyelaraskan dan menyeimbangkan unsur-unsur pemerataan pembangunan dan
hasil-hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional guna
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Memperhatikan peranan Bank Umum
yang demikian strategis, perkembangan Bank Umum yang semakin pesat dan
tantangan-tantangan, yang dihadapi Bank Umum yang semakin luas dan bersifat
internasional, maka landasan hukum Bank Umum perlu diperkokoh melalui penyempurnaan
ketentuan-ketentuan yang mengatur Bank Umum dan penerapan prinsip
kehati-hatian. Dengan landasan hukum yang semain kokoh tersebut, maka Bank Umum
diharapkan akan lebih mampu melindungi kepentingan masyarakat dan mampu
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yang memiliki peran strategis dalam
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.
Fungsi dan peran bank umum
dalam perekonomian sangat penting dan strategis. Bank umum sangat penting dalam
hal menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas
kebijakan moneter. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan
prinsip kehati-hatian.
Fungsi utama perbankan
Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta
bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Seperti yang diuraikan di bawah ini menunjukkan pentingnya keberadaan bank umum
dalam perekonomian modern (Manurung dan Rahardja, 2004):
1) penciptaan
uang,
2)
mendukung kelancaran mekanisme
pembayaran
3)
penghimpunan dana simpanan
4)
mendukung kelancaran transaksi
internasional,
5)
penyimpanan barang-barang dan
surat-surat berharga,
6)
pemberian jasa-jasa lainnya
Pada bank konvensional,
prinsip yang digunakan adalah:
1) Bunga
sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan
apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2)
Besarnya bunga adalah tetap, baik bank
sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan
banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak
bertambah.
Ada beberapa keunggulan
pada bank konvensional, yaitu:
1) Metode
bunga telah lama dikenal masyarakat, Bank Konvensional lebih mudah menarik
nasabah penyimpan dana sehingga lebih mudah mendapatkan modal.
2)
Bank Konvensional lebih kreatif dalam
menciptakan produk-produk.
3)
Nasabah terbiasa dengan metode bunga
dibandingkan metode bagi hasil .
4)
Persaingan antar bank lebih menggairahkan
dapat memacu untuk bekerja lebih baik
5)
Peraturan perundang-undangan dan
kebijakan Pemerintahan yang lebih mapan bagi bank konvensional, sehingga bank
lebih leluasa untuk bergerak lebih pasti.
Selain Keunggulan, Bank
Konvensional juga mempunyai kelemahan, yaitu:
1) Faktor
manajemen yang ditandai oleh inkonsistensi penyaluran kredit, campur tangan
pemilik yang berlebihan dan manager yang tidak profesional .
2)
Kredit bermasalah karena prosedur
pemberian kredit tidak potensi dan penampakan pemberian kredit pada grup
sendiri dan kalangan tertentu
3)
Praktik curang seperti bank dalam bank
dan transaksi fiktif
4)
Praktik spekulasi yang terlalu
ambisius dan tanpa perhitungan,
Selain itu ada beberapa
alasan mengapa banyak orang memanfaatkan jasa perbankan konvensional:
1) Pertimbangan
kemudahan lokasi atau aksesibilitas: lokasi kantor yg strategis, banyaknya ATM
2)
Kredibiltas / kepercayaan / keamanan
3)
Pelayanan yang cepat
4)
Jaringan yang luas dan maju, didukung
dengan promosi lewat media massa sehingga mudah dikenal masyarakat
Akan tetapi,
penerapan metode bunga dalam bank konvensional tetap menimbulkan resiko bagi
masyarakat. Penerapan metode bunga, terutama bagi masyarakat yang tingkat
ekonominya rendah atau masih lemah, dirasakan berat.
Bank
Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank
Konvensional pun memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan.
UUS secara teknik operasional berkaitan dengan produk-produknya juga
berdasarkan pada pasal 2 dan pasal 3 PBI No.9/19/PBI/2007 tentang elaksanaan
prinsip syariah dalam kegiatan menghimpun dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa bank syariah, serta SEBI No. 10/ 14/DPbS Jakarta, 17 maret 2009
perihal pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah, serta sebagaimana yanng
telah dipaparkan diatas. [14]
C. ANALISIS
Salah satu
perangkat dalam ekonomi syariah adalah adanya perangkat bank syariah. Nah
sebenarnya apa sih Bank syariah itu? Bagaimana cara kerja Bank Syariah itu? Apa
bedanya Bank Syariah dengan Bank lain yang umum banyak berkembang di masyarakat
(dalam banyak buku sering disebut dengan istilah bank konvensional) ? Nah
disini akan dibahas sekilas satu per satu
Pertama akan kita
bahas tentang persamaannya, yakni ada persamaan dalam hal sisi teknis
penerimaan uang, persamaan dalam hal mekanisme transfer, teknologi komputer
yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk mendapat pembiayaan
seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Dalam hal
persamaan ini semua hal yang terjadi pada Bank Syariah itu sama persis dengan
yang terjadi pada Bank Konvensional, nyaris tidak ada perbedaan.
Selanjutnya,
mengenai perbedaannya, antara lain meliputi aspek akad dan legalitas, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja.
Yang pertama
tentang akad dan legalitas. Akad dan legalitas ini merupakan kunci utama yang
membedakan antara bank syariah dan bank konvensional. “innamal a’malu bin
niat”, sesungguhnya setiap amalan itu bergantung dari niatnya. Dan dalam
hal ini bergantung dari aqadnya. Perbedaannya untuk aqad-aqad yang berlangsung
pada bank syariah ini hanya aqad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau
sewa menyewa. Tidak ada unsur riba’ dalam bank syariah ini.
Perbedaan
selanjutnya yaitu dalam hal struktur organisasi bank. Dalam bank syariah ada
keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur
organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya
ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris (nah.. tinggi banget
khan posisinya, jadi gak cuman main-main..). DPS ini ditetapkan pada saat Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahunnya.
Semenjak tahun
1997, seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia, dan demi
menjaga agar para DPS di setiap bank benar-benar tetap konsisten pada
garis-garis syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus
pada ekonomi syariah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional.
Selanjutnya,
perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional adalah pada usaha yang
dibiayai. Ada aturan bahwa usaha-usaha yang dibiayai oleh bank syariah ini
hanya lah usaha yang halal. Sedangkan untuk usaha yang haram, seperti usaha
asusila, usaha yang merusak masyarakat atau sejenisnya itu tidak akan dibiayai
oleh bank syariah.
Kemudian perbedaan
lainnya adalah pada lingkungan kerja bank syariah. Coba sekali-sekali pergi ke
bank syariah, pasti ketika kita memasuki kantor bank tersebut ada nuansa
tersendiri. Nuansa yang diciptakan untuk lebih bernuansa islami. Mulai dari
cara berpakaian, beretika dan bertingkahlaku dari para karyawannya. Yang pasti
jika masuk ke kantor bank syariah insya Allah benar-benar sejuk nuansanya.
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Periode 1992 sampai 1998, hanya terdapat satu Bank Umum Syariah dan 78 Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Tahun 1998 muncul UU
No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
PerubahanUU tersebut menimbulkan beberapa perubahan yang memberikan peluang
yang lebih besar bagi pengembangan bank syariah. Undang-undang tesebut telah
mengatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut
juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah
atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Akhir tahun 1999, bersamaan dengan dikeluarkannya UU perbankan maka
munculah bank-bank syariah umum dan bank umum yang membuka unit usaha syariah.
Sejak beroperasinyaBank Muamalat Indonesia (BMI), sebagai bank syariah yang
pertama pada tahun 1992, dengan satu kantor layanan dengan asset awal sekitar
Rp. 100 Milyar, maka data Bank Indonesia per 30 Mei 2007 menunjukkan bahwa saat
ini perbankan syariah nasional telah tumbuh cepat, ketika pelakunya terdiri
atas 3 BankBank Umum Syariah (BUS), 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 106 Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan asset kelolaan perbankan syariah
nasional per Mei 2007 telah berjumlah Rp. 29 triliyun.
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan konvensional dengan
syariah adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang
diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh
lembaga keuangan kepada nasabah (Muhammad, 2005). Kegiatan operasional bank
syariah menggunakan prinsip bagi hasil (profit
and loss sharing). Bank syariah tidak menggunakan bunga sebagai alat untuk
memperoleh pendapatan maupun membebankan bunga atas penggunaan dan pinjaman
karena bunga merupakan riba yang diharamkan.
Pengeretian
perbankan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya. Adapun berdasaran Undang–Undang
No.10 Tahun 1998 mengenai perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Menurut
Undang Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998, perbankan
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dengan
fungsi utama perbankan Indonesia adalah
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dan bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak
(Booklet Perbankan Indonesia, 2011:3).11 Pengertian Bank menurut UU RI No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah
dalam UU RI nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menjelaskan bahwa bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dana,
mengeluarkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit, dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Pengertian
Bank Umum menurut UU RI No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dalam UU RI nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan
Booklet Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Perizinan dan
Informasi Perbankan Bank Indonesia Tahun
2011, Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional.
Kegiatan
usaha bank umum konvensional terdiri dari:
1.
Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
2.
Memberikan kredit;
3.
Menerbitkan surat pengakuan hutang
4.
Membeli,
menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah
nasabahnya;
5.
Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan nasabah;
6.
Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau
meminjamkan dana kepada bank lain, baik
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
7.
Menerima pembayaran dari tagihan atas surat
berharga dan melakukan perhitungan
dengan atau antar pihak ketiga;
8.
Menyediakan
tempat untuk menyimpan
barang dan surat berharga;
9.
Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan
pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
10. Melakukan
penempatan dana dari nasabah kepada nasabah
lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
11. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit
dan kegiatan wali amanat;
12. Menyediakan
pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
13. Melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang tentang Perbankan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; Melakukan kegiatan dalam
valuta asing dengan memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh BI;
14. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank
atau perusahaan lain di bidang keuangan,
seperti sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
15. Melakukan
kegiatan penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, dengan syarat harus
menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
Hermansyah, bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang
perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan usaha milik negara, bahkan
lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.
Perbankan
syariah atau perbankan islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) islam.
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional berarti “menurut apa yang sudah
menjadi kebiasaan”. Dimana dapat kita ambil kesimpulan bahwa bank
konvensional adalah yang operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode
bunga sudah ada terlebih dahulu yang menjadi kebiasaan.
Perbandingan
antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
BANK ISLAM
|
BANK KONVENSIONAL
|
1.
Melakukan
investasi yang halal – halal saja.
2.
Berdasarkan
prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
3.
Profit
dan falah oriented.
4.
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk kemitraan.
5.
Penghimpunan
dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS.
|
1.
Investasi yang halal dan haram.
2.
Memakai perangkat bunga.
3.
Profit oriented.
4.
Hubungan dengan nasabah dalam
dalam bentuk hubungan debitor – kreditor.
5.
Tidak terdapat dewan sejenis.
|
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001.
Arifin, Zainul. Memahami Bank
Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : Alfabet, 1999.
Arifin, Zainul. Mekanisme Kerja
Perbankan Syariah dan Permasalahannya,jurnal Hukum Bisnis, vol. 1, 2000.
Edi Wibowo dan Untung Hendi Widoo, Mengapa Memilih
Bank Syariah, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.
Errico, Luca dan Mitra Farakhbaksh, Islamic Banking:
Issues in Prudential Regulations and Supervisions (International Monetary
Fund Working Paper, WP/98/30, 1998)
Hasan, Zubairi. Undang Undang Perbankan Syariah,
Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Hermansyah, Hukum Perbankan
Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009.
http://www. id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
Irmayanto, Juli. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta
: Media Ekonomi Publishing FE Universitas Trisakti, 1998.
Kasmir, Dasar – Dasar Perbankan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002.
Sjaehdeini, Sutan Remi. Jurnal Hukum Bisnis, vol 11, 2000.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali
Pers, 2010.
Poerwadarmita, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia,
cet. 96. Jakarta : Balai Pustaka, 1996.
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah
SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelsaikan sebuah
makalah yang berjudul “PERBANDINGAN
UNDANG – UNDANG PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PERBANKAN SYARIAH“. Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW,
karena perjuangan beliaulah kita beranjak dari zaman Jahiliyah ke zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan saat ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yan membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan, agar makalah ini kedepan bisa lebih baik. Atas perhatian
para pembaca kami mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
memenuhi tujuan, fungsi dan standar kompetensinya.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada semuah pihak yang telah membantu demi kelancaran makalah ini.
Sehingga makalah ini dapat di selsaikan tepat pada waktunya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Bengkulu,
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ...................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ................................................................................. 2
C.
Tujuan
................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bank
di Indonesia ............................................................................... 3
B.
Aspek
Hukum Bank Konvensional dan Syariah ................................ 8
C.
Analisis
................................................................................................ 29
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
........................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA
[3] Edi
Wibowo dan Untung Hendi Widoo, Mengapa Memilih Bank Syariah, Bogor :
Ghalia Indonesia, 2005. Hal. 21
[7] Luca
Errico dan Mitra Farakhbaksh, Islamic Banking: Issuesnin Prudential
Regulations and Supervision (International Monetary Fund Working Paper,
WP/98/30, 1998) hal. 6
[8] Irmayanto,
Juli, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Media Ekonomi
Publishing FE Universitas Trisakti, 1998. Hal. 61
[9] Zainul
Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,
Jakarta: Alfabet, 1999, hal. 198.
[11] Antonio,
Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema
Insani, 2001. Hal. 34
[14]Abdul ghafur ansori, Hukum
Perbankan Syariah. PT Refika Aditama. Bandung.2008. hlm55-57
No comments:
Post a Comment