1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH PERBANDINGAN UNDANG – UNDANG PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PERBANKAN SYARI’AH

MAKALAH PERBANDINGAN UNDANG – UNDANG PERBANKAN  KONVENSIONAL DAN PERBANKAN SYARI’AH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1, memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia cukup pesat, hal ini terlihat dari data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.  Pada Desember 2003 terdapat 3 Bank Umum Syariah (BUS) dan 8 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan total asset lebih dari 7,8 triliun rupiah (belum termasuk BPRS).  Kemudian pada Desember 2008  Unit Usaha Syariah bertambah menjadi 26 UUS, dan awal januari 2009 bertambah menjadi 5 BUS, dimana dua bank melakukan spin off yaitu Bank BRI syariah dan Bank Bukopin Syariah. 
Namun, dalam perkembangannya belakangan bank syariah menghadapi beberapa tantangan yang mesti dihadapi dan dituntut untuk dapat memberikan terobosan dalam rangka mengembangkan potensi perbankan syariah, diantaranya tantangan bank syariah adalah: 1) Ketidakmengertian masyarakat pada umumnya tentang produk-produk unggulan perbankan syariah. 2) Kurang populernya produk-produk pembiayaan yang secara teori dapat mendukung sektor rill, salah satunya yang cukup berpotensi memberikan kontribusi pada sektor rill adalah pembiayaanmudharabah di samping besarnya risiko yang harus dihadapi bank syariah dalam memberikan pembiayaan tersebut.  3) Rentannya bank syariah terhadap risiko likuiditas jika memberikan pembiayaan mudharabah.  4) Sumber daya manusia yang terbatas.
Dengan semakin ketatnya persaingan antar bank syariah maupun dengan bank konvensional, membuat bank syariah dituntut untuk memiliki kinerja yang baik agar dapat bersaing dalam memperebutkan pasar perbankan nasional di Indonesia.  Meski pertumbuhan aset perbankan syariah mampu mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 35,6% dari 2007 yang sebesar Rp 36,5 triliun. Namun dengan total aset Rp 49,5 triliun pada 2008, pangsa pasar bank syariah baru mencapai 2,08% dari total asset perbankan konvensional. Pencapaian ini masih jauh dari target yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar 5% dari bank konvensional.
Bank di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Menurut UU RI No.7 Tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak”.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :  “ bagaimana perbandingan Undang – undang Perbankan Konvensional dan Perbankan Syari’ah” ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada rekan mahasiswa tentang Undang – undang Perbankan Konvensional dan Perbankan Syari’ah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bank di Indonesia
1.      Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:[1]
1)      Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2)      Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Ada beberapa keunggulan pada bank konvensional, yaitu:
1)      Metode bunga telah lama dikenal masyarakat, Bank Konvensional lebih mudah menarik nasabah penyimpan dana sehingga lebih mudah mendapatkan modal.
2)      Bank Konvensional lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk.
3)      Nasabah terbiasa dengan metode bunga dibandingkan metode bagi hasil .
4)      Persaingan antar bank lebih menggairahkan dapat memacu untuk bekerja lebih baik
5)      Peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintahan yang lebih mapan bagi bank konvensional, sehingga bank lebih leluasa untuk bergerak lebih pasti.
Selain Keunggulan, Bank Konvensional juga mempunyai kelemahan, yaitu:
1)      Faktor manajemen yang ditandai oleh inkonsistensi penyaluran kredit, campur tangan pemilik yang berlebihan dan manager yang tidak professional.
2)      Kredit bermasalah karena prosedur pemberian kredit tidak potensi dan penampakan pemberian kredit pada grup sendiri dan kalangan tertentu
3)      Praktik curang seperti bank dalam bank dan transaksi fiktif
4)      Praktik spekulasi yang terlalu ambisius dan tanpa perhitungan.
2.      Bank Syariah
a.       Sejarah bank syariah
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah (haji).[2]
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. .Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
b.      Perkembangannya
Bank syariah di Indonesia terhitung masih sangat muda, perkembangannya pun di Indonesia begitu lambat, sebenarnya pembahasan tentang Bank Syariah sudah pernah dibahas pada tahun 1980-an, namun realisasinya terjadi pada tahun 1992 yang dilakukan oleh salah satu bank pemerintah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, dengan hukum yang jelas.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank di antaranya merupakan bank besar seperti Bank Negeri Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). System syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.[3]
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka perkembangan industry perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan asset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian akan semakin signifikan
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :[4]
1)      Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan
2)      Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana. Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
3)      Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah     pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
4)      Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
5)      Tidak menawarkan bunga tetapi bagi hasil dan yang ditetapkan terlebih dahulu adalah rasio (nisbah) antara bagian keuntungan yang didapat nasabah dan bagian keuntungan yang didapat oleh bank, misalnya 60:40 artinya 60 persen keuntungan bagi nasabah dan 40 persen keuntungan bagi bank. Karena itu bagian keuntungan yang diterima nasabah tergantung dari keuntungan yang didapat oleh bank.
6)      Besarnya keuntungan yang diterima oleh nasabah akan meningkat apabila keuntungan bank sedang baik dan begitu juga sebaliknya.
Sesuai dengan prinsip di atas, menyimpan uang di bank syariah termasuk kategori investasi. Besar-kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian, bank syariah tidak dapat hanya sekadar menyalurkan uang. Bank syariah harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.
Jadi untuk memberikan gambaran perbedaan antara perbankan syariah dengan perbankan konvesional, berikut dijelaskan secara garis besar perbedaan tersebut
Perbankan Konvesional
1)      System pendapatan berupa bunga yang sudah ditentukan dimuka  oleh bank
2)      Hubungan antara nasabah dan bank adalah kreditur – debitur
3)      Dana nasabah diinvestasikan pada aset-aset yang sesuai dengan kebijakan
4)      Prinsip dasar penghimpunan dana dan penyaluran dana dari masyarakat tidak ada
Perbankan Syariah :
1)      System pendapatan bukan dengan bunga tetapi dengan prinsip : mudarabah  (bagi hasil) waidah (titipan),ijarah ( sewa ), murabahah ( penjualan kembali)
2)      Hubungan antara nasabah dengan bank adalah hubungan kemitraan
3)      Dana nasabah diinvestasikan pada aset-aset yang sesuai dengan prinsip syariah ( syariah complaiance )
4)      Prinsip dasar penghimpunan dana dan penyaluran dana dari masyarakat  harus sesuai dengan fatwa dewan

B.     Aspek Hukum Bank Konvensional dan Syariah
1.      Bank Syariah
a.       Landasan Hukum / Operasional Bank Syariah
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:[5]
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 
2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 
3.      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  
4.      Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 
5.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini  diatur dalam undang-undang.
Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal Rp.106.126.382.000,00.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.
Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:[6]
·         Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
·         Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem.[7]
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad yang terdapat dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadi’ah, masyarakah, murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.  
1.      PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
2.       PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah 
3.       PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah[8]
Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip  Syariah  adalah  prinsip  hukum  Islam  dalam kegiatan  perbankan  berdasarkan  fatwa  yang  dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.  
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah.  Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti. 
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi Islam lainnya. 
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya UU. No. 10 tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai respon atas kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank Syariah yang pertama berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia sejak tanggal 1 Mei 1992.
Ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan, landasan hukum bagi berdirinya Bank Syariah adalah UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 1992. [5] Celah landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang menyinggung bahwa Bank dapat memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi hasil. Selengkapnya UU. No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:[9]
Kredit adalah penyediaan Uang atau Tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Friedman, membedakan antara hukum Inggris (Anglo-American Law / Common Law) dengan Roman Law. Bagi negara Indonesia yang menganut Sistem Roman Law, maka kodifikasi hukum secara formal (positive) yang menegaskan kedudukan Bank Syariah didalam tata hukum nasional adalah suatu keniscayaan.[6] Sangat disyukuri bahwa ternyata tujuh bulan setelah diundangkannya UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah beroperasinya BMI, landasan operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP No. 72 tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil (pada makalah ini selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat (1) PP ini menyebutkan bahwa:
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan usaka semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Lebih rinci lagi pada pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 72 sbb :[10]
(1)    Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam :
a.       menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b.      menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c.       menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
(2)    Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
Kedudukan Bank Syariah semakin mendapat tempat dengan diundangkannya UU. No. 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Kehadiran Undang-undang ini adalah lompatan yang sangat strategis dari sisi politik hukum, karena tidak hanya lebih mempertegas kedudukan Perbankan Syariah, tetapi telah memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan jaringan Perbankan Syariah. Peluang ini terbuka lebar dengan mulai diperkenankannnya Bank Umum untuk beroperasi secara dual system, yakni dapat beroperasi secara konvensional sekaligus beroperasi sesuai prinsip syariah. Kebolehan ini secara tegas didapati pada pada Pasal 1 ayat
(3)    yang mendefinisikan Bank Umum sebagai berikut:
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Berbeda dengan ketentuan pada Bank Umum, terrhadap Bank Perkreditan Rakyat tidak dibenarkan beroperasi secara dual system. Pada pasal 1 ayat (4) diatur sebagai berikut:
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini, khususnya untuk kepentingan Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini kemudian dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan pelaksanaan ini memuat antara lain ketentuan tentang Pendirian Bank, Perizinan, Kepemilikan, Kedudukan Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, Direksi dan Peminpin Kantor Cabang dan Kegiatan Usaha.
Sejalan dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UU No. 10 tahun 1998 yang memberi peluang kepada Bank Umum untuk melaksanakan kegiatan Konvensional sekaligus juga melaksanakan kegiatan operasional secara syariah, Bank Indonesia menerbitkan pula Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.
Pembenaran terhadap Bank Umum untuk beroperasi secara dual system ini telah disambut baik disamping juga disambut dengan dengan kritik dari sebahagian cendekiawan muslim. Kritikan yang disampaikan adalah terjadinya percampuran antara yang halal dengan yang haram didalam satu institusi Bank. Sebagaimana kaedah Fiqh yang meneyebutkan apabila bercampur yang halal dengan yang haram, maka akan menjadi haram.
Untuk beroperasi secara dual system ini Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 memberikan batasan-batasan sbb:[11]
Pasal 11
(1)   Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank.
(2)   Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas:
a.       mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;
b.      menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;
c.       menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; dan
d.      melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
Dari beberapa ketentuan diatas dapat dipahami bahwa Bank yang menerapkan dual system berkewajiban mengelola dan menatausahakan serta mengawasi unit syariahnya dengan sebaik-baiknya sehingga meskipun dalam instansi bank yang sama, pengelolaan dan administrasinya terpisah dengan semestinya, antara yang konvensional dengan yang syariah.
b.      Unsur-Unsur Syariah Pada UU No. 10 tahun 1998
Unsur-Unsur Syariah pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, adalah yang bersumber dari Fiqh Muamalat, seperti; Bay’ al-Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Ijarah dan Ijarah wa Iqtina’. Dengan demikian hukum Islam telah dipergunakan sebagai bahan dalam pembentukan hukum nasional. Sejalan dengan Teori Eksistensi yang dikemukan oleh Ichtijanto bahwa hukum Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Hukum Islam merupakan bahan utama unsur utama hukum Nasional.[12]
Unsur-unsur syariah didalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini penulis kelompokkan sebagai pengakuan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Penegasan Prinsip Syariah sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam, dengan beberap bentuknya.
1)      Pengakuan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Didalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 ini telah diakui bahwa bank dapat beroperasi dengan dengan Prinsip Syariah, disamping sistem konvensional yang sudah ada, sesuai bunyi pasal 1 ayat 3 dan4;

Ayat 3
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Ayat 4
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannnya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2)      Penegasan Prinsip Syariah sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam
Pasal 1 ayat 13 menguraikan Prinsip Syariah serta bentuk-bentuk kegiatan sesuai syariah sbb:
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak lain (ijarah wa iqtina’)
Sesuai kedudukannya sebagai Undang-undang maka uraian yang ada didalamnya bersifat umum, ringkas dan suple. Sejalan dengan Stuffen theori dari Kelsen, bahwa sistem hukum pada hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga tertinggi. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang diatasnya. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya. Sebaliknya semakin rendah peringkatnya semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya.
Penjabaran atas undang-undang No. 10 tahun 1998 ini dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian telah digantikan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Rincian kegiatan usaha Bank Umum Syariah diatur pada pasal 36 dan 37 seperti berikut ini.
Pasal 36
Bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:
a.       melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara lain:
1.      giro berdasarkan prinsip wadi’ah
2.      tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah; atau
3.      deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;
b.      melakukan penyaluran dana melalui :
1.      prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain:
a) murabahah; b) istishna; c) salam;
2.      prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
a) mudharabah; b) musyarakah;
3.      prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:
a) ijarah; b) ijarah muntahiya bittamlik;
4.      prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh;
c.       melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain:[13]
1. wakalah; 2. hawalah; 3. kafalah; 4. rahn.
d.      membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah;
e.       membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
f.       menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
g.      memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip syariah;
h.      menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;
i.        menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah;
j.        melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah;
k.      memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah;
l.        memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;
m.    melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip syariah;
n.      melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;
o.      melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui oleh Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional.
Pasal 37
(1)    Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Bank dapat pula :
a.       Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf;
b.      melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;
c.       melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
d.      bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
(2)    Bank syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.
Meskipun Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 lebih merinci unsur-unsur syariah dalam operasional Perbankan, namun Peraturan ini tidaklah melakukan kodifikasi sebagaimana pada kitab-kitab fiqh. Uraian yang ada sangat umum bahkan tidak memberikan definisi yang memadai terhadap jenis-jenis produk perbankan apalagi mencantumkan rukun dan syarat sebagaimana layaknya dalam literatur fiqh. Pertanyaan yang timbul adalah; Bagaimana standard prinsip syariah dapat dijalankan oleh perbankan syariah, jika pedoman dalam bentuk undang-undang tidak memberikan batasan yang memadai ?. Pertanyaan ini akan terjawab dengan menelusuri peran Dewan Syariah pada Perbankan Syariah sebagaimana diuraikan pada bahasan berikut ini.
c.       Peran Dewan Syariah
Suatu hal yang spesifik bagi perbankan syariah adalah; adanya kedudukan Dewan Syariah. Dewan Syariah terbagi dua, pertama; Dewan Syariah yang bertugas di kantor pusat Bank dengan nama “Dewan Pengawas Syariah” (DPS). DPS menjadi bahagian yang independen dari organisasi suatu Bank Syariah dan berkedudukan di Kantor Pusat Bank. DPS berfungsi mengawasi kegiatan usaha Bank agar sesuai dengan syariah. Dalam pelaksanaan tugasnya mengawasi pelaksanaan operasional sesuai syariah DPS tunduk kepada Fatwa-fatwa yang disusun Dewan Syariah Nasional.
Kedua; Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga yang dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah.[8]
Dengan adanya fungsi Dewan Syariah Nasional ini, maka standardisasi prinsip syariah dapat diatur secara nasional melalui fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.[9] Selanjutnya masing-masing DPS di kantor Banknya masing-masing akan mengawasi pelaksanaan sesuai pedoman yang disusun didalam fatwa. Disamping itu DPS akan menangani permasalah syariah yang timbul didalam internal Bank maupun hubungannya dengan nasabah Bank. Namun demikian DPS tidak berwenang mengeluarkan fatwa dan tidak dibenarkan merekomendasikan pemasaran produk maupun jasa yang belum difatwakan DSN.
Kedudukan DSN maupun DPS ini, diatur pada Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang merupakan pengganti dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999.
Pada Pasal 1 ayat 9 dan 10 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 diatur sbb:
Pasal 1 ayat 9
Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 1 ayat 10
Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank.
Pasal 27
(1)   Tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah antara lain meliputi:
a.       memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;
b.      menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank;
c.       memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi Bank;
d.      mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN;
e.       menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurangkurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.
Menurut hemat penulis adanya lembaga Dewan Syariah yang berperan mengawasi Perbankan Syariah dan menerbitkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan dalam kaitan dengan operasional Bank adalah sangat bijaksana. Dapat dibayangkan apabila berbagai ketentuan produk fiqh dituangkan dalam Undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya secara terperinci, maka perbankan menjadi sangat terikat dengan ketentuan yang ada dan sukar bergerak cepat mengikuti dinamika yang ada pada sektor keuangan. Dengan adanya DSN, maka berbagai hal yang timbul dapat segera dicarikan pemecahannya melalui rapat DSN yang tidak melibatkan protokoler sebagaimana yang terjadi pada lembaga legislative.
2.      Bank Konvensional
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting di dalam perekonomian suatu negara sebagai lembaga perantara keuangan. Bank dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank dapat diklasifikasikan menurut fungsi, kepemilikan, status, dan cara menentukan harga. Menurut fungsinya, bank dibedakan menjadi Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkeditan Rakyat. Menurut kepemilikannya, bank dibedakan menjadi Bank Pemerintah, Bank Swasta, dan Bank Campuran. Menurut statusnya, bank dibedakan menjadi Bank Devisa dan Bank Non-Devisa. Dan menurut cara menentukan harganya, bank dibedakan menjadi Bank Konvensional dan Bank Syariah.
Pasar keuangan memiliki fungsi penting dalam mentransfer sumber daya perekonomian rumah tangga yang ingin menyimpan sebagian pendapatannya ke rumah tangga dan perusahaan yang ingin meminjam untuk membeli barang-barang investasi yang akan digunakan dalam proses produksi. Proses mentransfer dana dari penabung ke peminjam disebut perantara keuangan (financial intermediation). Banyak lembaga dalam perekonomian bertindak sebagai perantara keuangan, tetapi hanya bank yang memiliki otoritas hukum untuk menciptakan aset yang merupakan bagian dari penawaran uang, seperti rekening cek. Karena itu, bank satu-satunya lemabga keuangan yang secara langsung mempengaruhi penawaran uang (Mankiw, 2000)
Bank secara etimologis berasal dari bahasa Italia yaitu kata benda yang berarti bangku /tempat duduk. Bank disebut demikian karena pada abad pertengahan orang-orang yang memberikan pinjaman melakukan usahanya di atas bangku-bangku.  Bank atau Perbankan sebagai suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain, selain itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral (Thomas Suyatno)
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank-bank umum terdiri dari bank-bank umum pemerintah, bank-bank umum swasta nasional devisa, bank-bank swasta nasional nondevisa dan bank-bank asing dan campuran. Kegiatan utama bank-bank umum adalah menghimpun dana masyarakat antara lain dalam bentuk giro, deposito berjangka dan tabungan, serta menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit (Pohan, 2008).
Bank konvensional dapat didefinisikan seperti pada pengertian bank umum pada pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dengan menghilangkan kalimat “…dan atau berdasarkan prinsip syariah …”•, sehingga definisi bank konvensional menjadi “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang diambil oleh Bank konvensional menjadi riba. (konvensional) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (untuk seterusnya penggunaan istilah bank umum merujuk kepada bank konvensional).
Bank Umum merupakan bagian dari perbankan nasional yang memiliki fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta pemberi jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan fungsi utama yang demikian, Bank Umum memiliki peranan yang strategis dalam menyelaraskan dan menyeimbangkan unsur-unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Memperhatikan peranan Bank Umum yang demikian strategis, perkembangan Bank Umum yang semakin pesat dan tantangan-tantangan, yang dihadapi Bank Umum yang semakin luas dan bersifat internasional, maka landasan hukum Bank Umum perlu diperkokoh melalui penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang mengatur Bank Umum dan penerapan prinsip kehati-hatian. Dengan landasan hukum yang semain kokoh tersebut, maka Bank Umum diharapkan akan lebih mampu melindungi kepentingan masyarakat dan mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yang memiliki peran strategis dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.
Fungsi dan peran bank umum dalam perekonomian sangat penting dan strategis. Bank umum sangat penting dalam hal menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip kehati-hatian.
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.  Seperti yang diuraikan di bawah ini menunjukkan pentingnya keberadaan bank umum dalam perekonomian modern (Manurung dan Rahardja, 2004):
1)      penciptaan uang,
2)      mendukung kelancaran mekanisme pembayaran
3)      penghimpunan dana simpanan
4)      mendukung kelancaran transaksi internasional,
5)      penyimpanan barang-barang dan surat-surat berharga,
6)      pemberian jasa-jasa lainnya
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1)      Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2)      Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Ada beberapa keunggulan pada bank konvensional, yaitu:
1)      Metode bunga telah lama dikenal masyarakat, Bank Konvensional lebih mudah menarik nasabah penyimpan dana sehingga lebih mudah mendapatkan modal.
2)      Bank Konvensional lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk.
3)      Nasabah terbiasa dengan metode bunga dibandingkan metode bagi hasil .
4)      Persaingan antar bank lebih menggairahkan dapat memacu untuk bekerja lebih baik
5)      Peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintahan yang lebih mapan bagi bank konvensional, sehingga bank lebih leluasa untuk bergerak lebih pasti.
Selain Keunggulan, Bank Konvensional juga mempunyai kelemahan, yaitu:
1)      Faktor manajemen yang ditandai oleh inkonsistensi penyaluran kredit, campur tangan pemilik yang berlebihan dan manager yang tidak profesional .
2)      Kredit bermasalah karena prosedur pemberian kredit tidak potensi dan penampakan pemberian kredit pada grup sendiri dan kalangan tertentu
3)      Praktik curang seperti bank dalam bank dan transaksi fiktif
4)      Praktik spekulasi yang terlalu ambisius dan tanpa perhitungan,
Selain itu ada beberapa alasan mengapa banyak orang memanfaatkan jasa perbankan konvensional:
1)      Pertimbangan kemudahan lokasi atau aksesibilitas: lokasi kantor yg strategis, banyaknya ATM
2)      Kredibiltas / kepercayaan / keamanan
3)      Pelayanan yang cepat
4)      Jaringan yang luas dan maju, didukung dengan promosi lewat media massa sehingga mudah dikenal masyarakat
Akan tetapi, penerapan metode bunga dalam bank konvensional tetap menimbulkan resiko bagi masyarakat. Penerapan metode bunga, terutama bagi masyarakat yang tingkat ekonominya rendah atau masih lemah, dirasakan berat.
Bank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Konvensional pun memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan.
UUS secara teknik operasional berkaitan dengan produk-produknya juga berdasarkan pada pasal 2 dan pasal 3 PBI No.9/19/PBI/2007 tentang elaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan menghimpun dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah, serta SEBI No. 10/ 14/DPbS Jakarta, 17 maret 2009 perihal pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah, serta sebagaimana yanng telah dipaparkan diatas. [14]

C.    ANALISIS
Salah satu perangkat dalam ekonomi syariah adalah adanya perangkat bank syariah. Nah sebenarnya apa sih Bank syariah itu? Bagaimana cara kerja Bank Syariah itu? Apa bedanya Bank Syariah dengan Bank lain yang umum banyak berkembang di masyarakat (dalam banyak buku sering disebut dengan istilah bank konvensional) ? Nah disini akan dibahas sekilas satu per satu
Pertama akan kita bahas tentang persamaannya, yakni ada persamaan dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua hal yang terjadi pada Bank Syariah itu sama persis dengan yang terjadi pada Bank Konvensional, nyaris tidak ada perbedaan.
Selanjutnya, mengenai perbedaannya, antara lain meliputi aspek akad dan legalitas, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja.
Yang pertama tentang akad dan legalitas. Akad dan legalitas ini merupakan kunci utama yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional. “innamal a’malu bin niat”, sesungguhnya setiap amalan itu bergantung dari niatnya. Dan dalam hal ini bergantung dari aqadnya. Perbedaannya untuk aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya aqad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa. Tidak ada unsur riba’ dalam bank syariah ini.
Perbedaan selanjutnya yaitu dalam hal struktur organisasi bank. Dalam bank syariah ada keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris (nah.. tinggi banget khan posisinya, jadi gak cuman main-main..). DPS ini ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahunnya.
Semenjak tahun 1997, seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia, dan demi menjaga agar para DPS di setiap bank benar-benar tetap konsisten pada garis-garis syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus pada ekonomi syariah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional.
Selanjutnya, perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional adalah pada usaha yang dibiayai. Ada aturan bahwa usaha-usaha yang dibiayai oleh bank syariah ini hanya lah usaha yang halal. Sedangkan untuk usaha yang haram, seperti usaha asusila, usaha yang merusak masyarakat atau sejenisnya itu tidak akan dibiayai oleh bank syariah.
Kemudian perbedaan lainnya adalah pada lingkungan kerja bank syariah. Coba sekali-sekali pergi ke bank syariah, pasti ketika kita memasuki kantor bank tersebut ada nuansa tersendiri. Nuansa yang diciptakan untuk lebih bernuansa islami. Mulai dari cara berpakaian, beretika dan bertingkahlaku dari para karyawannya. Yang pasti jika masuk ke kantor bank syariah insya Allah benar-benar sejuk nuansanya.
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Periode 1992 sampai 1998, hanya terdapat satu Bank Umum Syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan. PerubahanUU tersebut menimbulkan beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan bank syariah. Undang-undang tesebut telah mengatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Akhir tahun 1999, bersamaan dengan dikeluarkannya UU perbankan maka munculah bank-bank syariah umum dan bank umum yang membuka unit usaha syariah. Sejak beroperasinyaBank Muamalat Indonesia (BMI), sebagai bank syariah yang pertama pada tahun 1992, dengan satu kantor layanan dengan asset awal sekitar Rp. 100 Milyar, maka data Bank Indonesia per 30 Mei 2007 menunjukkan bahwa saat ini perbankan syariah nasional telah tumbuh cepat, ketika pelakunya terdiri atas 3 BankBank Umum Syariah (BUS), 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 106 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan asset kelolaan perbankan syariah nasional per Mei 2007 telah berjumlah Rp. 29 triliyun.
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan konvensional dengan syariah adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah (Muhammad, 2005). Kegiatan operasional bank syariah  menggunakan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Bank syariah tidak menggunakan bunga sebagai alat untuk memperoleh pendapatan maupun membebankan bunga atas penggunaan dan pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.
Pengeretian perbankan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan  usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adapun berdasaran  Undang–Undang No.10 Tahun 1998 mengenai perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau bentuk  – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Undang Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998, perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Perbankan  Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dengan fungsi utama perbankan  Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak (Booklet Perbankan Indonesia, 2011:3).11 Pengertian Bank menurut  UU RI No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dalam UU RI nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menjelaskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dana, mengeluarkannya kepada masyarakat  dalam bentuk kredit, dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Pengertian Bank Umum menurut UU RI No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dalam UU RI nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan Booklet Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan  Bank Indonesia Tahun 2011,  Bank Konvensional adalah Bank  yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional.
Kegiatan usaha bank umum konvensional terdiri dari:
1.       Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan  berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
2.      Memberikan kredit;
3.      Menerbitkan surat pengakuan hutang
4.       Membeli,  menjual atau menjamin atas risiko sendiri   maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
5.      Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
6.      Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank  lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan  wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
7.      Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan  melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
8.       Menyediakan  tempat  untuk  menyimpan  barang dan surat  berharga;
9.      Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
10.  Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah  lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di  bursa efek;
11.  Melakukan  kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
12.  Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
13.  Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang tentang Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang  berlaku; Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi  ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
14.   Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau  perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna  usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan  memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
15.  Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk  mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat  harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi  ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Menurut Hermansyah, bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat  bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang  dimilikinya.
Perbankan syariah atau perbankan islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional berarti “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Dimana dapat kita ambil kesimpulan bahwa bank konvensional adalah yang operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu yang menjadi kebiasaan.
Perbandingan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
BANK ISLAM
BANK KONVENSIONAL
1.      Melakukan investasi yang halal – halal saja.
2.      Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
3.      Profit dan falah oriented.
4.       Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan.
5.      Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS.
1.      Investasi yang halal dan haram.
2.      Memakai perangkat bunga.
3.      Profit oriented.
4.      Hubungan dengan nasabah dalam dalam bentuk hubungan debitor – kreditor.
5.      Tidak terdapat dewan sejenis.

DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001.
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta : Alfabet, 1999.
Arifin, Zainul. Mekanisme Kerja Perbankan Syariah dan Permasalahannya,jurnal Hukum Bisnis, vol. 1, 2000.
Edi Wibowo dan Untung Hendi Widoo, Mengapa Memilih Bank Syariah, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.
Errico, Luca dan Mitra Farakhbaksh, Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and Supervisions (International Monetary Fund Working Paper, WP/98/30, 1998)
Hasan, Zubairi. Undang Undang Perbankan Syariah, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009.
http://www. id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah 
Irmayanto, Juli. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : Media Ekonomi Publishing FE Universitas Trisakti, 1998.
Kasmir, Dasar – Dasar Perbankan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Sjaehdeini, Sutan Remi. Jurnal Hukum Bisnis, vol 11, 2000.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.
Poerwadarmita, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 96. Jakarta : Balai Pustaka, 1996.

KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelsaikan sebuah makalah yang berjudul “PERBANDINGAN UNDANG – UNDANG PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PERBANKAN SYARIAH“. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW, karena perjuangan beliaulah kita beranjak dari zaman Jahiliyah ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan saat ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yan membangun dari para pembaca sangat kami harapkan, agar makalah ini kedepan bisa lebih baik. Atas perhatian para pembaca kami mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat memenuhi tujuan, fungsi dan standar kompetensinya.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semuah pihak yang telah membantu demi kelancaran makalah ini. Sehingga makalah ini dapat di selsaikan tepat pada waktunya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.  


                                                                                          Bengkulu,  

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C.     Tujuan ................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Bank di Indonesia  ............................................................................... 3
B.     Aspek Hukum Bank Konvensional dan Syariah  ................................ 8
C.     Analisis ................................................................................................ 29

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ........................................................................................... 34


DAFTAR PUSTAKA


 
[1] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009. Hlm. 7
[2] Ibid,. Hlm.  18
[3] Edi Wibowo dan Untung Hendi Widoo, Mengapa Memilih Bank Syariah, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005. Hal. 21
[4] Hasan, Zubairi, Undang Undang Perbankan Syariah, Jakarta : Rajawali Pers,  2009. Hlm. 29
[5] Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2010. Hlm 58
[6] Hasan, Zubairi, Undang Undang Perbankan Syariah, Jakarta : Rajawali Pers , 2009. Hlm. 31-32
[7] Luca Errico dan Mitra Farakhbaksh, Islamic Banking: Issuesnin Prudential Regulations and Supervision (International Monetary Fund Working Paper, WP/98/30, 1998) hal. 6
[8] Irmayanto, Juli, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Media Ekonomi Publishing FE Universitas Trisakti, 1998. Hal. 61
[9] Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alfabet, 1999, hal. 198.
[10] Kasmir, Dasar – Dasar Perbankan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. Hal 31-37
[11] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001. Hal. 34
[12] Remy, Sutan Sjaehdeini, Jurnal Hukum Bisnis, vol 11, 2000. Hal. 29.
[13] Arifin, Zainul, Mekanisme Kerja Perbankan Syariah dan Permasalahannya, 2000. Hal. 47
[14]Abdul ghafur ansori, Hukum Perbankan Syariah. PT Refika Aditama. Bandung.2008. hlm55-57

No comments:

Post a Comment