1

loading...

Thursday, December 6, 2018

MAKALAH FIQH JINAYAH “Pengertian, Macam, Sanksi, dan Pembuktian Jarimah Kisas dan Diyat”


MAKALAH FIQH JINAYAHPengertian, Macam, Sanksi, dan Pembuktian Jarimah Kisas dan Diyat





BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti dengan adanya firman Allah SWT
 { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ }
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia sudah mensiapkan paket-paket hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan ini. Walaupun kenyataan kejahatan ini tidak bisa 100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum Islam bertujuan menurunkan kadar statistik kejahatan yang melanda di negara Islam. Dalam hal ini, hukuman kejahatan tersebut dikategorikan dengan nama kisas dan diyat.

B.            Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Jarimah?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Jarimah Qishash-Diyat?
3.      Apa sajakah macam-macam Jarimah Qishash-Diyat?
4.      Apa sajakah sanksi dari Jarimah Qishash-Diyat?
5.      Bagaimanakah pembuktian Jarimah Qishash-Diyat?

C.           Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis dari makalah ini adalah Agar para mahasiswa dapat memahami penjelasan mengenai masalah pengertian, macam, sanksi dan pembuktian Jarimah Qishash-Diyat. dalam mata kuliah Fiqh Jinayah(Fiqh Pidana Islam).

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Jarimah
Yang dimaksud dengan kata-kata “Jarimah” ialah, larangann-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman Had atau Ta’zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan  perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata “syara’” pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap Jarimah apabila dilarang oleh Syara’. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut dengan kata-kata “ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.
Para fuqaha sering memakai kata-kata “jinayah” untuk “jarimah”. Semula pengertian “jinayah” ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata “jinayah” ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (meruguikan) jwa atau harta-benda ataupun lain-lainnya.
Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata “jinaya” hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qisas saja.
Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata “jinayah” dikalangan fuqaha, dapatlah kita katakana bahwa kata-kata “jinayah” dalam istilah fuqaha sama dengan kata-kata “jarimah”.[1]
Kata-kata jinayah juga dipakai dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA), akan tetapi dengan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang berlaku di kalangan fuqaha. Dalam KUHP RPA, terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana, yang didasarkan kepada berat ringanya hukuman, yaitu “jinayah”, “janhah”, dan “mukhalafah”.
“jinayah”, ialah suatu tindak pidana yang diancamkan hukuman mati (I’dam), atau kerja berat seumur hidup (asyghal syaqqah mu-abbadah), atau kerja berat sementara (asyghal syaqqah almuaqqatah) atau penjara (pasala 10 KUHP RPA).
“Janhah”, aalah suatu tindak pidana yang diancamkan hukuman kurungan lebih dari satu minggu atau denda lebih dari seratus piaster(qirsy= satu pound RPA) (pasal 11 KUHP RPA).
“Mukhalafah”, ialah suatu tindak pidana yang diancamkan hukuman kurungan tidak lebih dari satu minggu atau hukuman denda tidak lebih dari seratus piaster (pasal 12 KUHP RPA).
Dalam istilah fuqaha, ketiga macam tindak pidana tersebut dinamakan jinayah, sebab yang menjadi perhatian pada mereka ialah sifat kepidanaannya, sedang dalam KUHP RPA yang menjadi perhatian ialah berat-ringannya hukuman.[2]

B.            Pengertian Kisas dan Diyat
1.      Kisas
Kata kisas “qisas” (قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”. Sedangkan dalam istilah hukum islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong.
Qishash tidak dilakukan bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi). Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguhkannya.
Sedangan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefinisikannya dengan, “al-qisas adalah perbuatan(pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau  perbuatan pelaku tadi.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa qisas adalah pembalasan yang serupa yang dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak penganiayaan atau kejahatan yang merugikan orang lain sesuai dengan perbuatan atau pelanggarannya, baik itu terbunuh, melukai, merusak anggota badan, atau menghilangkan manfaatnya. Atau qisas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah utang nyawa dibayar dengan nyawa.
Secara istilah kisas yaitu:
 الْقِصَاصُ أَنْ يُفْعَلَ بِالْفَاعِلِ الْجَانِي مِثْلُ مَا فَعَلَ
Artinya: “Kisas adalah diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan”.[3]
Dalam hal ini, gambaran kisas adalah ketika X yang melakukan sebuah jarimah terhadap Y, maka Y atau ahli warisnya memiliki hak untuk memperlakukan pada X sesuai dengan jarimah apa yang X lakukan. Seperti contoh X membunuh Y maka ahli waris Y (Y atau ahli warisnya disebut mustahiq al-qishâsh) berhak menuntut agar X juga diperlakukan sama yaitu dibunuh.
Hukum kisas adalah wajib dijalankan oleh pemerintah ketika kasus tersebut diangkat oleh mustahiq al-qishâsh. Dari sisi mustahiq al-qishâsh pula di perkenankan (mubâh) untuk meminta dihukum kisas ketika mencukupi syarat-syaratnya. Mustahiq al-qishâsh juga diperkenan untuk melakukan perdamaian atau malah permaafan. Sedangkan yang paling afdal adalah permaafan, baru perdamaian.[4]
Ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. (Q.s. Al Baqarah (2) : 178)
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ


Artinya:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

2.       Diyat
Kata diyât (ديات) yang merupakan jamak dari diyat secara bahasa memiliki arti: “harta yang wajib bagi jiwa”. Sedangkan secara istilah pula adalah “harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya”.
Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari kisas. Maksudnya, dalam pembahasan kisas yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq al-qishâsh memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih kisas, memaafkan atau perdamaian. Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.[5]

C.           Macam-Macam Kisas dan Diyat
Maksud dari macam-macam kisas dan diyat adalah jenis-jenis dari kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara kisas atau diyat. Seorang ulama kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum kisas atau diyat.
1.      Pembunuhan sengaja (Al-qatlul-amdu= القتل العمد)
pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang pembunuh itu sengaja memukul orang lain dengan senjata seperti pedang, pisau, tombak, timah, atau apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata untuk memisahkan anggota jasad seperti barang yang ditajamkan seperti kayu, batu, api, dan jarum sebagai alat membunuh.
Pengertian tersebut didatangkan karena makna “العمد” adalah sengaja. Sengaja adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk diketahui kecuali dengan bukti yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa berupa penggunaan alat untuk membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai bukti kesengajaan. Secara kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati tempatnya pembunuhan dengan sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat untuk membunuh. adapun hukum yang harus diberikan pada orang yang melakukan pembunuhan ini yaitu wajib qisas artinya harus dibunuh juga.
2.      Pembunuhan yang menyamai sengaja (Al-qatlu syibhul amdi=القتل شبه العمد)
Maksudnya yaitu tindakan terhadap diri seseorang dengan alat atau cara yang biasanya tidak menyebabkan kematian tapi ternyata seseorang tersebut meninggal karena tindakan tersebut. Adapun hukum yang dijatuhkan pada orang yang melakukan pembunuhan menyamai sengaja yaitu tidak wajib qisas, namun harus membayar denda sama halnya pembunuhan tidak sengaja dapat mengansur selama 3 tahun sebanyak seper tiga.
Dari pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan sebuah pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali tamparan, atau dengan menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa mati, karena seperti ia memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai pembunuhan yang menyamai sengaja.[6]
3.      Pembunuhan yang tidak sengaja ( Al-qatlul Khata= القتل الخطأ)
Pembunuhan yang tidak sengaja/tersalah adalah sebuah pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam niat atau dzann pelaku: melempar sesuatu yang ia sangka hewan buruan, ternyata manusia. Atau sangka ia kafir harbî ternyata muslim. Maksud di sini adalah kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat.
Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’î yang diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur di sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.
Hukum yang diterapkan pada pembunuhan ini yaitu tidak wajib qisas dan wajib membayar denda berupa memerdekakan seorang membayar denda ringan dengan 100 ekor unta.
4.      Pencederaan/penganiayaan sengaja (Al-jarhul-amdu=  الجرح العمد)
pencederaan sengaja adalah segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.
5.      Pencederaan/penganiayaan yang tidak sengaja (Al-jarhul-khata= الجرح الخطأ).
pencederaan tidak sengaja adalah si pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena kepala orang sehingga pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.[7]
D.           Sanksi Kisas dan Diyat
1.      Pembunuhan sengaja (القتل العمد)
Pembunuhan sengaja ada beberapa jenis, yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qishash. Bila di maafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat. Jika sanksi qishash atau diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta’zir. Hukuman tambahan bagi jarimah ini adalah terhalangnya hak atas warisan dan wasiat.
2.      pembunuhan yang menyamai sengaja  
  hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kaffarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, dan hukuman tambahannya adalah terhalang menerima warisan dan wasiat.
3.      pembunuhan karena tersalah (القتل الخطأ)
sanksi pokok pembunuhan karena tersalah adalah diyat dan kaffarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat wasiat.[8]
4.      pencederaan sengaja (الجرح العمد)
terbagi menjadi 4 kategori;
Ø  pencederaan terhadap anggota dengan terputusnya, sanksinya adalah kisas atau membayar diyat dan ta’zîr.
Ø  pencederaan terhadap anggota dengan hilang kemanfaatannya. sanksinya membayar diyat atau ganti rugi
Ø  pencederaan luka terhadap selain kepala dan disebut sebagaiالجرح”, sanksinya dikisas atau ganti rugi, atau hukum keadilan.
Ø  pencederaan luka terhadap kepala atau wajah yang disebut denganالشجاع”. Sanksinya dikisas atau ganti rugi, atau hukum keadilan.
5.      pencederaan yang tersalah (الجرح الخطأ)
ia adalah diyat atau al-`Arsy. Maksud diyat di sini adalah diyat sempurna seperti yang telah diterangkan. Sedangkan al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyat. Pencederaan jenis ini tidak ada ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya telah dijelaskan diketerangan pencederaan sengaja (الجرح العمد).[9]
                                                                                                    
E.            Pembuktian Kisas dan Diyat
Setiap ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada terpidana, ia haruslah melalui proses peradilan. Ini merupakan konsep hukum umum dan konsep hukum Islam. Sedangkan proses membuktikan sebuah perbuatan itu benar-benar terjadi tentunya memerlukan aturan. Aturan ini disebut dengan hukum acara atau أحكام المرافعات”.
Dalam konsep hukum acara ini, fiqh Islam sudah mengatur secara jelas konsep menetapkan suatu hukum. Sesuatu itu harus dikuatkan dengan alat-alat bukti yang valid agar memudahkan dan menyakinkan hakim dalam memberi putusan.
Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan kisas atau diyat adalah sebagai berikut:
1.       Pengakuan (الإقرار)
syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang akan berakibatkan kisas atau diyat adalah harus jelas dan terperinci. Tidak sah pengakuan yang umum dan masih terdapat syubhat.
2.      Persaksian (الشهادة)
Dalam kasus pidana selain zina, syarat minimal adalah 2 orang saksi lelaki yang adil.
3.      Qarînah
Segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan dengan sesuatu yang masih samar, maka tanda itu menunjukkan kepada itu. Syarat dalam qarînah ada 2:
·      Ditemukannya perkara yang zahir yang diketahui dan patut menjadi asas untuk dipercayai.
·      Ditemukan persambungan (hubungan) yang menyambung antara perkara yang zahir dengan yang samar tadi.
4.      Menarik diri dari Bersumpah (النكول عن اليمين)
Ketika terdakwa menarik diri (mengelak) dari bersumpah yang diajukan kepada terdakwa melalui hakim. Akan tetapi, alat ini hanya dipakai oleh mazhab Hambali. Sedangkan mazhab Hanafi hanya terbatas pada kisas anggota dengan keadaan sengaja dan diyat ketika tersalah. Sedangkan kisas jiwa dan lainnya tidak boleh, akan tetapi terdakwa dipenjara sampai ia bersumpah atau mengaku.
5.      Al-Qasâmah
Sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus pidana pembunuhan. Ia dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki. Menurut mayoritas ulama; orang-orang yang bersumpah ialah ahli waris mangsa untuk menetapkan tuduhan bunuh terhadap terdakwa. Setiap orang perlu menyebut dalam sumpahnya:
Demi Allah yang tiada tuhan yang disembah melainkan-Nya, sesungguhnya orang ini telah memukulnya lalu dia mati” atau “Dia telah dibunuh oleh orang ini”.
Jika sebagian pewaris tidak mau bersumpah, maka waris yang lain akan diminta bersumpah untuk bilangan sumpahan yang tertinggal dan mengambil diyat masing-masing. Jika mereka tidak mau sumpah, atau tidak terdapat qarînah yang menandakan pembunuhan atau permusuhan nyata, sumpahan itu dipindahkan ke atas orang yang didakwa yang akan ditunaikannya oleh penjamin (العاقلة) sebanyak 50 kali. Tetapi jika orang yang didakwa tidak mempunyai penjamin, orang yang dituduh sendiri akan dimintai bersumpah sebanyak 50 kali, kemudian dia akan bebas.[10]

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.      Pengertian Jarimah adalah larangann-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman Had atau Ta’zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan  perbuatan yang diperintahkan.
2.      Pengertian kisas dan diyat
Ø  Kisas adalah “diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan”,
Ø  diyat adalah “harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya”.
3.      Macam-macam kejahatan yang berakibat kisas dan diyat adalah pembunuhan sengaja (القتل العمد), pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد), pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ), pencederaan sengaja (الجرح العمد), pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ).
4.      Sanksi dari kejahatan tersebut adalah dengan dikisas bagi pembunuhan sengaja. Ketika dimaafkan maka gugurlah kisas dan wajib bayar diyat. Ketika direlakan diyat maka ia dimaafkan tapi bagi pemerintah boleh menghukum dengan ta`zîr.
5.      Alat bukti untuk penetapan perkara pidana ini ada 5 yaitu; pengakuan,, persaksian, qarînah, menarik diri dari bersumpah, sumpah qasâmah.

B.            Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi Ahmad. 1993. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:Bulan Bintang.
Lubis Zulkarnain & Bakti Ritonga. 2016. Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah. Jakarta:Prenada Media.
Santoso Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta:Gema Insani Press


[1] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1993), h. 1-2.
[2] Ibid. h. 2.
[3]       Zulkarnain Lubis & Bakti Ritonga, Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:Prenamedia  Group,2016), h. 2-3.
[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1993), h. 7-8.
[5] Zulkarnain Lubis & Bakti Ritonga, Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:Prenamedia  Group, 2016), h. 4.
[6] Topo Santosos,  Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Gema Insani Press, 2003), h.34-35.
[7] Ibid. h. 35-36.
[8] Ibid. h. 37-38.
[9] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1993), h. 12-13.
[10] Ibid. h. 14-16.

No comments:

Post a Comment