MAKALAH FIQH JINAYAH“Pengertian, Macam, Sanksi, dan Pembuktian Jarimah Kisas dan Diyat”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia
pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti
dengan adanya firman Allah SWT
{ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ }
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam
dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama
manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi.
Kejahatan tersebut berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia sudah mensiapkan paket-paket
hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan ini. Walaupun kenyataan
kejahatan ini tidak bisa 100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum
Islam bertujuan menurunkan kadar statistik kejahatan yang melanda di negara
Islam. Dalam hal ini, hukuman kejahatan tersebut dikategorikan dengan nama
kisas dan diyat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan
Jarimah?
2.
Apakah yang dimaksud dengan Jarimah Qishash-Diyat?
3.
Apa sajakah macam-macam Jarimah Qishash-Diyat?
4.
Apa sajakah sanksi dari Jarimah Qishash-Diyat?
5.
Bagaimanakah pembuktian Jarimah Qishash-Diyat?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis
dari makalah ini adalah Agar para mahasiswa dapat memahami penjelasan mengenai
masalah pengertian, macam, sanksi dan pembuktian Jarimah Qishash-Diyat. dalam
mata kuliah Fiqh Jinayah(Fiqh Pidana Islam).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jarimah
Yang dimaksud dengan kata-kata
“Jarimah” ialah, larangann-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan
hukuman Had atau Ta’zir. Larangan-larangan
tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau
meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Dengan kata-kata “syara’” pada pengertian tersebut di atas, yang
dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap Jarimah apabila dilarang
oleh Syara’. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut dengan kata-kata
“ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.
Para fuqaha sering memakai
kata-kata “jinayah” untuk “jarimah”. Semula pengertian “jinayah” ialah hasil
perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja.
Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata “jinayah” ialah perbuatan
yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (meruguikan) jwa atau
harta-benda ataupun lain-lainnya.
Akan tetapi kebanyakan fuqaha
memakai kata-kata “jinaya” hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau
anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan
sebagainya. Adapula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada
jarimah hudud dan qisas saja.
Dengan mengenyampingkan perbedaan
pemakaian kata-kata “jinayah” dikalangan fuqaha, dapatlah kita katakana bahwa
kata-kata “jinayah” dalam istilah fuqaha sama dengan kata-kata “jarimah”.[1]
Kata-kata jinayah juga dipakai
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA), akan
tetapi dengan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang berlaku di
kalangan fuqaha. Dalam KUHP RPA, terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana,
yang didasarkan kepada berat ringanya hukuman, yaitu “jinayah”, “janhah”, dan
“mukhalafah”.
“jinayah”, ialah suatu tindak
pidana yang diancamkan hukuman mati (I’dam), atau kerja berat seumur hidup (asyghal
syaqqah mu-abbadah), atau kerja berat sementara (asyghal syaqqah almuaqqatah)
atau penjara (pasala 10 KUHP RPA).
“Janhah”, aalah suatu tindak pidana
yang diancamkan hukuman kurungan lebih dari satu minggu atau denda lebih dari
seratus piaster(qirsy= satu pound RPA) (pasal 11 KUHP RPA).
“Mukhalafah”, ialah suatu tindak
pidana yang diancamkan hukuman kurungan tidak lebih dari satu minggu atau
hukuman denda tidak lebih dari seratus piaster (pasal 12 KUHP RPA).
Dalam istilah fuqaha, ketiga macam
tindak pidana tersebut dinamakan jinayah, sebab yang menjadi perhatian pada
mereka ialah sifat kepidanaannya, sedang dalam KUHP RPA yang menjadi perhatian
ialah berat-ringannya hukuman.[2]
B.
Pengertian Kisas dan Diyat
1.
Kisas
Kata kisas “qisas”
(قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari
jejak”. Sedangkan dalam istilah hukum islam, maknanya adalah pelaku kejahatan
dibalas seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia
memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong.
Qishash tidak
dilakukan bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh
yaitu dengan membayar diat (ganti rugi). Pembayaran diat diminta dengan baik,
umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah
membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguhkannya.
Sedangan
Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefinisikannya dengan, “al-qisas adalah
perbuatan(pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama
atau perbuatan pelaku tadi.
Jadi dapat
kita simpulkan bahwa qisas adalah pembalasan yang serupa yang dilakukan
terhadap seseorang yang melakukan tindak penganiayaan atau kejahatan yang
merugikan orang lain sesuai dengan perbuatan atau pelanggarannya, baik itu
terbunuh, melukai, merusak anggota badan, atau menghilangkan manfaatnya. Atau
qisas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah
utang nyawa dibayar dengan nyawa.
Secara istilah
kisas yaitu:
“الْقِصَاصُ أَنْ يُفْعَلَ بِالْفَاعِلِ الْجَانِي مِثْلُ مَا فَعَلَ”
Dalam hal ini,
gambaran kisas adalah ketika X yang melakukan sebuah jarimah terhadap Y, maka Y
atau ahli warisnya memiliki hak untuk memperlakukan pada X sesuai dengan
jarimah apa yang X lakukan. Seperti contoh X membunuh Y maka ahli waris Y (Y
atau ahli warisnya disebut mustahiq al-qishâsh) berhak menuntut
agar X juga diperlakukan sama yaitu dibunuh.
Hukum kisas
adalah wajib dijalankan oleh pemerintah ketika kasus tersebut diangkat oleh mustahiq
al-qishâsh. Dari sisi mustahiq al-qishâsh pula di perkenankan
(mubâh) untuk meminta dihukum kisas ketika mencukupi syarat-syaratnya. Mustahiq
al-qishâsh juga diperkenan untuk melakukan perdamaian atau malah permaafan.
Sedangkan yang paling afdal adalah permaafan, baru perdamaian.[4]
Ayat-ayat
Al-quran yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى
بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya
:
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih”. (Q.s. Al Baqarah (2) :
178)
وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:
“Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.”
مِنْ
أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا
بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ
جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ
جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ
فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Artinya:
“Oleh karena
itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
2.
Diyat
Kata diyât (ديات) yang
merupakan jamak dari diyat secara bahasa memiliki arti: “harta yang
wajib bagi jiwa”. Sedangkan secara istilah pula adalah “harta yang wajib
disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa
yang selainnya”.
Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari kisas. Maksudnya, dalam
pembahasan kisas yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq
al-qishâsh memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih kisas, memaafkan atau
perdamaian. Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian.
Ketika mustahiq al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak
mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat
kepada mustahiq al-qishâsh.[5]
C.
Macam-Macam Kisas dan Diyat
Maksud dari macam-macam kisas dan diyat adalah jenis-jenis dari
kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara kisas atau diyat. Seorang ulama
kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global ada 5
jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum kisas atau diyat.
1. Pembunuhan sengaja (Al-qatlul-amdu= القتل العمد)
pembunuhan
sengaja adalah pembunuhan yang pembunuh itu sengaja memukul orang lain dengan
senjata seperti pedang, pisau, tombak, timah, atau apa saja yang dapat
digunakan sebagai senjata untuk memisahkan anggota jasad seperti barang yang
ditajamkan seperti kayu, batu, api, dan jarum sebagai alat membunuh.
Pengertian
tersebut didatangkan karena makna “العمد”
adalah sengaja. Sengaja adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk
diketahui kecuali dengan bukti yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa
berupa penggunaan alat untuk membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai
bukti kesengajaan. Secara kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati
tempatnya pembunuhan dengan sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat
untuk membunuh. adapun hukum yang harus diberikan pada orang yang melakukan
pembunuhan ini yaitu wajib qisas artinya harus dibunuh juga.
2. Pembunuhan
yang menyamai sengaja (Al-qatlu syibhul amdi=القتل شبه العمد)
Maksudnya
yaitu tindakan terhadap diri seseorang dengan alat atau cara yang biasanya
tidak menyebabkan kematian tapi ternyata seseorang tersebut meninggal karena
tindakan tersebut. Adapun hukum yang dijatuhkan pada orang yang melakukan
pembunuhan menyamai sengaja yaitu tidak wajib qisas, namun harus membayar denda
sama halnya pembunuhan tidak sengaja dapat mengansur selama 3 tahun sebanyak
seper tiga.
Dari
pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan sebuah
pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali tamparan,
atau dengan menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa mati, karena seperti ia
memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai
pembunuhan yang menyamai sengaja.[6]
3. Pembunuhan
yang tidak sengaja ( Al-qatlul Khata= القتل الخطأ)
Pembunuhan
yang tidak sengaja/tersalah adalah sebuah pembunuhan yang tidak ada niat
membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam niat atau dzann
pelaku: melempar sesuatu yang ia sangka hewan buruan, ternyata manusia. Atau
sangka ia kafir harbî ternyata muslim. Maksud di sini adalah
kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat.
Termasuk di
dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’î yang
diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi
orang yang lain yang tidur di sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.
Hukum yang
diterapkan pada pembunuhan ini yaitu tidak wajib qisas dan wajib membayar denda
berupa memerdekakan seorang membayar denda ringan dengan 100 ekor unta.
4. Pencederaan/penganiayaan
sengaja (Al-jarhul-amdu= الجرح العمد)
pencederaan
sengaja adalah segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong
anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap
dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.
5. Pencederaan/penganiayaan
yang tidak sengaja (Al-jarhul-khata= الجرح الخطأ).
pencederaan
tidak sengaja adalah si pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi
tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa
sengaja batu jatuh terkena kepala orang sehingga pecah dan terlihat tulang
kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan
menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.[7]
D.
Sanksi Kisas dan Diyat
1.
Pembunuhan sengaja
(القتل العمد)
Pembunuhan
sengaja ada beberapa jenis, yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman
tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qishash. Bila di maafkan oleh
keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat. Jika sanksi qishash
atau diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta’zir. Hukuman tambahan
bagi jarimah ini adalah terhalangnya hak atas warisan dan wasiat.
2.
pembunuhan yang menyamai sengaja
hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kaffarat,
sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, dan hukuman tambahannya
adalah terhalang menerima warisan dan wasiat.
3.
pembunuhan karena tersalah
(القتل الخطأ)
sanksi pokok pembunuhan
karena tersalah adalah diyat dan kaffarat. Hukuman penggantinya adalah puasa
dan ta’zir, dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat
wasiat.[8]
4.
pencederaan sengaja
(الجرح العمد)
terbagi menjadi 4 kategori;
Ø pencederaan
terhadap anggota dengan terputusnya, sanksinya adalah kisas atau membayar diyat
dan ta’zîr.
Ø pencederaan
terhadap anggota dengan hilang kemanfaatannya. sanksinya membayar diyat
atau ganti rugi
Ø pencederaan
luka terhadap selain kepala dan disebut sebagai “الجرح”, sanksinya dikisas atau ganti rugi, atau hukum
keadilan.
Ø pencederaan
luka terhadap kepala atau wajah yang disebut dengan
“الشجاع”. Sanksinya dikisas atau ganti rugi, atau hukum
keadilan.
5. pencederaan
yang tersalah (الجرح الخطأ)
ia adalah diyat atau al-`Arsy.
Maksud diyat di sini adalah diyat sempurna seperti yang telah
diterangkan. Sedangkan al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyat.
Pencederaan jenis ini tidak ada ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya
telah dijelaskan diketerangan pencederaan sengaja (الجرح العمد).[9]
E.
Pembuktian Kisas dan Diyat
Setiap ketetapan hukum yang
dijatuhkan kepada terpidana, ia haruslah melalui proses peradilan. Ini
merupakan konsep hukum umum dan konsep hukum Islam. Sedangkan proses
membuktikan sebuah perbuatan itu benar-benar terjadi tentunya memerlukan
aturan. Aturan ini disebut dengan hukum acara atau “أحكام
المرافعات”.
Dalam konsep hukum acara ini, fiqh
Islam sudah mengatur secara jelas konsep menetapkan suatu hukum. Sesuatu itu
harus dikuatkan dengan alat-alat bukti yang valid agar memudahkan dan
menyakinkan hakim dalam memberi putusan.
Alat-alat bukti dalam menetapkan
sebuah kejahatan yang mengakibatkan kisas atau diyat adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan (الإقرار)
syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang
akan berakibatkan kisas atau diyat adalah harus jelas dan terperinci.
Tidak sah pengakuan yang umum dan masih terdapat syubhat.
2. Persaksian (الشهادة)
Dalam kasus pidana selain zina, syarat minimal
adalah 2 orang saksi lelaki yang adil.
3. Qarînah
Segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan
dengan sesuatu yang masih samar, maka tanda itu menunjukkan kepada itu. Syarat
dalam qarînah ada 2:
·
Ditemukannya perkara yang zahir
yang diketahui dan patut menjadi asas untuk dipercayai.
·
Ditemukan persambungan (hubungan)
yang menyambung antara perkara yang zahir dengan yang samar tadi.
4. Menarik diri
dari Bersumpah (النكول عن اليمين)
Ketika terdakwa menarik diri (mengelak) dari
bersumpah yang diajukan kepada terdakwa melalui hakim. Akan tetapi, alat ini
hanya dipakai oleh mazhab Hambali. Sedangkan mazhab Hanafi hanya terbatas pada
kisas anggota dengan keadaan sengaja dan diyat ketika tersalah.
Sedangkan kisas jiwa dan lainnya tidak boleh, akan tetapi terdakwa dipenjara
sampai ia bersumpah atau mengaku.
5. Al-Qasâmah
Sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus
pidana pembunuhan. Ia dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki. Menurut
mayoritas ulama; orang-orang yang bersumpah ialah ahli waris mangsa untuk
menetapkan tuduhan bunuh terhadap terdakwa. Setiap orang perlu menyebut dalam
sumpahnya:
“Demi Allah yang tiada tuhan yang disembah
melainkan-Nya, sesungguhnya orang ini telah memukulnya lalu dia mati” atau
“Dia telah dibunuh oleh orang ini”.
Jika sebagian pewaris tidak mau bersumpah,
maka waris yang lain akan diminta bersumpah untuk bilangan sumpahan yang
tertinggal dan mengambil diyat masing-masing. Jika mereka tidak mau
sumpah, atau tidak terdapat qarînah yang menandakan pembunuhan atau
permusuhan nyata, sumpahan itu dipindahkan ke atas orang yang didakwa yang akan
ditunaikannya oleh penjamin (العاقلة)
sebanyak 50
kali. Tetapi jika orang yang didakwa tidak mempunyai penjamin, orang yang
dituduh sendiri akan dimintai bersumpah sebanyak 50 kali, kemudian dia akan
bebas.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam,
maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian Jarimah adalah larangann-larangan
syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman Had atau Ta’zir.
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang, atau meninggalkan perbuatan
yang diperintahkan.
2.
Pengertian kisas dan diyat
Ø Kisas adalah “diperlakukan
pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan”,
Ø diyat adalah “harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari
segi jiwa atau pada apa yang selainnya”.
3.
Macam-macam kejahatan yang
berakibat kisas dan diyat adalah pembunuhan sengaja
(القتل العمد), pembunuhan yang menyamai sengaja
(القتل شبه العمد), pembunuhan
yang tidak sengaja (القتل الخطأ),
pencederaan
sengaja
(الجرح العمد), pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ).
4.
Sanksi dari kejahatan tersebut
adalah dengan dikisas bagi pembunuhan sengaja. Ketika dimaafkan maka gugurlah
kisas dan wajib bayar diyat. Ketika direlakan diyat maka ia
dimaafkan tapi bagi pemerintah boleh menghukum dengan ta`zîr.
5.
Alat bukti untuk penetapan perkara
pidana ini ada 5 yaitu; pengakuan,, persaksian, qarînah, menarik diri
dari bersumpah, sumpah qasâmah.
B.
Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga
para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi Ahmad. 1993. Asas-asas
Hukum Pidana Islam. Jakarta:Bulan Bintang.
Lubis Zulkarnain & Bakti
Ritonga. 2016. Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah. Jakarta:Prenada Media.
Santoso Topo. 2003. Membumikan
Hukum Pidana Islam. Jakarta:Gema Insani Press
[3]
Zulkarnain
Lubis & Bakti Ritonga, Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah,
(Jakarta:Prenamedia Group,2016), h. 2-3.
[5]
Zulkarnain Lubis & Bakti Ritonga, Dasar-dasar
Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:Prenamedia
Group, 2016), h. 4.
[7]
Ibid. h. 35-36.
No comments:
Post a Comment