1

loading...

Wednesday, December 26, 2018

MAKALAH KRITIK SEJARAH


MAKALAH KRITIK SEJARAH

Kritik Sejarah terhadap Karya Sejarah Barat"

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kritik sejarah adalah sebuah metode tafsir yang mempertimbangkan faktor historis dari suatu teks untuk dapat menggali maknanya secara lebih mendalam. Sejarah tidak terlepas dari unsur subjektif maka dari itu untuk meminimalisir hal tersebut dilakukannya kritik sumber sejarah dengan tujuan “untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil”[1] kegiatan ini dimaksudkan sebagai proses analisis dari metodologi sejarah terhadap kebenaran atau keaslian atau keotentikan terhadap sumber sejarah seperti dokumen dari arsip-arsip maupun sumber sejarah lainnya. Sehingga dengan dengan adanya tahapan kritik sumber ini dapat mengetahui kebenaran atau keaslian dan keotentikan dari sumber sejarah tersebut sehingga sejarah yang ditulis (historiografi) oleh sejarawan dapat di uji kebenarannya.
Adapun fungsi dan tujuan dari kritik sumber adalah untuk membedakan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil, karena dalam kehidupan nyata sehari-hari, manusia selain telah banyak berbuat yang benar tidak jarang pula membuat kesalahan-kesalahan (disengaja ataupun tidak disengaja), bahkan ada pula yang tidak segan-segan melakukan pemalsuan [sumber sejarah] atau kejahatan lainnya oleh karena itu diperlukannya kritik terhadap sumber sejarah. Dalam kritik terhadap sumber sejarah dibagi menjadi dua, yaitu Kritik internal (uji kredibilitas) Merupakan kritik yang membangun dari dalam sejarah, yang didasarkan pada arti sebenarnya dari suatu kesaksian sedangkan Kritik ekstern Merupakan kritik yang membangun dari luar sejarah, yang dilakukan dengan mencari kebenaran sumber sejarah melalui sejumlah pengujian terhadap berbagai aspek di luar sumber sejarah.
Sebagai peradaban yang bersumber dan dipengaruhi oleh Yunani Romawi, ilmu pengetahuan di Barat modern memiliki corak epistemologi tersendiri yang berbeda dari pengetahuan yang berkembang di peradaban lainnya. Epistemologi pengetahuan barat lebih bercorak rasional empirik dan memisahkan diri dari hal-hal yang irrasional dan non rasional. Aliran-aliran filsafat Yunani Kuno sangat berpengaruh pada pembentukan corak epistemologi ini. Hampir-hampir bisa dikatakan bahwa pembentukan epistemologi Barat modern sepenuhnya berakar pada ide-ide filsafat yang berkembang tanpa ada sentuhan corak keagamaan sama sekali.
Dalam kaitannya dengan agama dan kehidupan spiritual rohaniah, epistemologi Barat menampakkan diri sebagai epistemologi yang tidak seimbang. Tidak seimbang antara aspek jasmaniah dengan rohaniah, antara material dengan immaterial, antara dunia dengan akhirat, antara rasio dengan jiwa. Demikian juga dalam masalah-masalah agama, epistemologi Barat berusaha menjauhkan diri dari pengaruh dan keterlibatan agama dalam upaya mengembangkan dan menghasilkan pengetahuan. Paper ini akan berusaha untuk mengungkap “fakta” mengenai epistemologi Barat termasuk di dalamnya adalah karakteristik, kelemahan-kelemahan dan dampak negatif dari epistemologi tersebut.

      1.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
·      Bagaimana Sejarah Epistemologi Barat ?
·      Bagaimana Karateristik Kritik Epistemologi Barat ?
·      Bagaimana Komentar Ibnu Rusyd Terhadap Epistemologi Barat ?
      2.      Tujuan Penulisan
·     Mahasiswa mampu mengetahui latar belakang Epistemologi Barat
·     Mahasiswa mampu mengetahui Karakteristik Epistemologi Barat
·     Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui Komentar Ibnu Rusyd Terhadap Epistemologi Barat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Epistemologi Barat Modern
Sejarah epistemologi di Barat bisa dibagi menjadi beberapa periode yaitu:
periode filsafat Kuno, filsafat hellenis, abad pertengahan, abad modern. Periode filsafat Kuno ini, pembahasan mengenai epistemologi baru dimulai sejak jaman Plato (427-347 SM) yang termuat dalam bukunya Meno dan Republik. Menurutnya apa yang kita anggap sebagai mengetahui sesuatu sebenarnya adalah proses mengingat kembali oleh jiwa manusia. Dalam buku Meno tersebut, Plato membedakan antara keyakinan yang benar (true belief) dengan pengetahuan (knowledge). Dalam karya lainnya, Republik, Plato membedakan antara pengetahuan (knowledge) dengan kebodohan (ignorance). Masing-masing dari ketiganya memiliki objeknya sendiri-sendiri. Objek pengetahuan adalah "apa yang ada" (what is or exists), objek dari ketidaktahuan adalah "apa yang tidak ada" (what does not exist) dan objek dari keyakinan adalah "entitas tengah" (intermediate entity) di antara keduanya, yang sering disebut sebagai "apa yang sedang menjadi" (what is becoming) atau objek dunia fisik beserta sifat-sifatnya yang bisa dicerap oleh panca indera[2].
       Aristoteles (384-322 SM) dalam karyanya De Anima, membahas mengenai “objek persepsi” dan “pengetahuan perseptual.” Di antara objek-objek persepsi tersebut dia membedakan antara objek persepsi yang bersifat khusus, individual (proper) dan objek persepsi yang bersifat umum (common). Objek persepsi yang sifatnya khusus dan individual adalah objek-objek yang hanya bisa dipersepsi oleh satu macam pancaindera saja seperti warna.2 Aristeoteles mengembangkan prinsip non-kontradiksi penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan Plato. Ia menyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang[3].
       Pada Periode Hellenis, terdapat tiga aliran besar filsafat yaitu epikurianisme, stoikisme dan skeptisisme. Epikurisme menyatakan bahwa semua persepsi manusia dianggap benar. Pesepsi dalam pandangan epikurianisme, dengan demikian, sama pentingnya sebagai sebuah media yang menghubungkan antara subjek pelaku (knower) dengan objek benda-benda eksternal (known) yang ada di sekitarnya. Hal ini selaras dengan pandangan seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles.[4] Sedangkan golongan Stoik menyatakan tentang “kesan kognitif” (cognitive impression). Menurut Stoik, kesan kognitif tersebut tidak dapat keliru. Orang yang memiliki pengetahuan hanya benar jika ada satu persetujuan tegas terhadap kesan kognitifnya. Golongan Skeptik beranggapan bahwa pengetahuan apapun yang didasarkan pada persepsi selalu bisa dipertanyakan keabsahannya. Argumen-argumen kebalikan dari suatu pengetahuan perseptual ini bisa dimunculkan. Argumen skeptik lainnya menyangkut relativitas persepsi. Persepsi mengenai sebuah objek tidaklah mutlak sifatnya. Ia bersifat relatif. Oleh karena adanya relativitas dalam persepsi ini, menurut golongan skeptis, kita tidak dapat memperoleh pengetahuan yang benar-benar valid mengenai objek-objek di luar  kita jika kita menggunakan persepsi.
Pembahasan mengenai epistemologi pada abad pertengahan berpusat pada pemikiran dua orang filosof yaitu Thomas Aquinas (1225-1274 M) dan William of Ockham (1288-1348 M). Pengetahuan sejati (genuine) yang menurut Thomas Aquinas disebut sebagai “scientia,” terikat dan dibatasi oleh proposisiproposisi yang dibuktikan dengan silogisme demonstratif di mana premis-premis dari silogisme tersebut telah diketahui dengan sendirinya. Premis-premis ini merupakan prinsip-prinsip pertama (first principles) yang kebenarannya telah diketahui dengan sendirinya (known per se), secara spontan dan tanpa melalui inferensi atau penyimpulan. Prinsip-prinsip pertama dari silogisme demonstrative menurut Aquinas adalah kebenaran yang pasti (necessary truth)[5]. Di lain pihak, Ockham memiliki pendirian yang berbeda dari Aquinas. Konsepsi Aquinas tentang pengetahuan mengandaikan adanya sebuah kebenaran pasti sebagai syarat dari silogisme untuk menarik kesimpulan yang benar, sehingga pengetahuannya terbatas pada adanya kebenaran pasti (restricting knowledge to necessary truths). Sedangkan Ockham sebaliknya menyatakan adanya pengetahuan yang tidak bergantung pada adanya kebenaran yang pasti tersebut tetapi pengetahuan mengenai kebenaran yang bersifat kontingen (knowledge of contingent truths). Oleh karenanya menurutnya ada juga pengetahuan yang kebenarannya tidak harus mengacu pada kebenaran pasti tetapi pada kebenaran yang kontingen.
Pada periode Modern, pembahasan mengenai epistemologi dimulai dengan munculnya filsafat rasionalisme Descartes (1596-1650 M). Ia menggunakan metode keraguan yang menganggap bahwa proposisi apapun adalah salah (false) atau layak dipertanyakan kebenarannya. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, pertama, dia menentukan kriteria kepastian (criteria of certainity) berupa pikiran-pikiran atau ide-ide yang jelas dan berbeda secara gamblang (distinct). Bahkan, ia mengatakan bahwa kejelasan dan keunikan dari pemikiran ini cukup untuk meyakinkannya tentang kebenaran pikiran tersebut. Kedua, dengan menggunakan kriteria ini bersama-sama dengan pengetahuan tertentu bahwa "ia ada" karena berpikir (cogito ergo sum), Descartes membangun argumen kausal yang kompleks tentang keberadaan Tuhan Dari sini, dengan memanfaatkan kriteria kejelasan dan keunikan, dapatlah dimasukkan proposisi mengenai sensasi penginderaan yang dialami yang pada gilirannya dapat menghasilkan pengetahuan.
Berbeda dari Descartes, menurut Spinoza (1632-1677 M) kebenaran suatu ide haruslah diukur dengan kesesuaiannya terhadap objek-objek. Dia tidak mengharuskan adanya kegamblangan dan pembedaan (clear and distinct). Spinoza membagi tiga tingkatan pengetahuan. Pertama adalah pengetahuan hasil dari persepsi pancaindera yang dia sebut sebagai “sign”. Ini bukanlah pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya karena ia hanya berupa imajinasi atau opini belaka. Kedua adalah pengetahuan tentang ciri-ciri atau karakteristik (property) dari objek-objek dan hubungan di antara properti-properti tersebut. Ketiga adalah pengetahuan intuitif. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang memadai (adequate) karena ia berasal dari ide mengenai keberadaan Tuhan[6].
B. Kritik Epistemologi Barat
Beberapa hal kritis menyangkut epistemologi Barat ini di antaranya adalah karakteristik. setiap Epistemologi memiliki ciri khas dan warnanya sendiri yang dipengaruhi oleh paradigma, landasan pemikiran dan pengaruh-pengaruh lain yang kemudian membentuk suatu ciri khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Epistemologi Barat pun dengan demikian memiliki ciri-ciri tersendiri sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini.
1.      Akal dan Pancaindra sebagai Sumber Utama Pengetahuan Manusia
Ciri khas pertama dan mungkin utama dari teori pengetahun Barat adalah sumber ilmunya yang hanya terbatas pada akal dan panca indra. Jika dicermati semua aliran pemikiran yang bergulat di alam pikiran Barat baik itu rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, eksistensialisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, sosialisme, kapitalisme dan isme-isme lainnya semuanya tidak terlepas dari landasan bahwa sumber ilmu kalau bukan akal pastilah panca indra. Cara berpikir seperti ini bisa kita katakan sebagai epistemologi sekuler, dimana wahyu tidak mendapatkan peranan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Filsafat pengetahuan Barat bahkan telah mengangkat dugaan dan keraguan sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk mencapai kebenaran.
2.      Dikotomisasi
Dikotomisasi pada hakikatnya merupakan upaya pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. Dikotomisasi pengetahuan ini muncul bersamaan atau beriringan dengan masa renaissance di Barat. Sebelumnya, kondisi sosio-religius maupun sosio-intelektual di Barat dikendalikan gereja. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah. Semua temuan ilmiah bisa dianggap sah dan benar bila sesuai dengan doktrin-doktrin gereja. Sebaliknya, bila temuan-temuan ilmiah yang tidak sesuai atau bertentangan dengan doktrin tersebut harus dibatalkan demi supremasi gereja. Maka tidak jarang kemudian, banyak para ilmuwan yang tetap mempertahankan kebenarannya, menjadi korban kekejaman gereja. Untuk merespon hal tersebut, para ilmuwan mengadakan koalisi dengan raja untuk menumbangkan kekuasaan gereja. Usaha tersebut berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja, kemudian muncul renaissance. Masa renaissance ini melahirkan sekulerisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari sekulerisasi ini lahirlah dikotomisasi pengetahuan[7].
3.      Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Jadi, pusat pemikirannya adalah manusia. Kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan manusia. Pandangan moral lingkungan yang antroposentrisme disebut juga sebagai human centered ethic, karena mengandaikan kedudukan dan peran moral lingkungan hidup yang terpusat pada manusia. Maka tidak heran kalau fokus perhatian dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan kebahagian manusia di dalam alam semesta. Alam dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam dilihat sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.
4.      Penentangan atas Dimensi Spiritual
Masalah yang paling besar dalam ilmu kontemporer adalah sikap Barat terhadap agama yang dicirikan oleh ketidakpercayaan terhadap agama (disenchantment towards religion). Hal ini berkaitan erat dengan sikap sarjana Barat yang menganggap bahwa Tuhan dan agama hanyalah ilusi yang dihasilkan oleh manusia. Sehingga dapat dipahami dampak destruktif terbesar dari worldview Barat terhadap ilmu adalah berpalingnya ilmu, dengan sengaja maupun tidak, dari tujuan awalnya yang mulia yakni untuk keadilan dan perdamaian menjadi kezhaliman dan kekacauan. Akibat terburuknya bagi masyarakat adalah pengingkaran terhadap Tuhan dan hari akhirat, juga agama menjadi musuh besar dan musuh bebuyutan ilmu pengetahuan. Penolakan dan pengingkaran kemudian mengarahkannya menuju pada kesimpulan bahwa kesenangan badani, kemakmuran materi, kesuksesan dunia serta kebahagiaan pribadi adalah satu-satunya tujuan hidup yang sangat berharga.
5.      Ketidakpastian Tiada Henti
Epistemologi Barat mengangkat keraguan (shak) menjadi kaidah dasar yang melaluinya segala ilmu dan kebenaran diperoleh. Oleh karenanya seringkali epistemologi seperti ini berakhir kepada kekeliruan dan skeptisisme[8]. Tidak heran jika agnotisme, ateisme, utilitarianisme dan evolusionisme mulai bermunculan setelah rasionalisme Barat diperkenalkan oleh Descartes pada abad ke-17[9]. Akibat dari epistemologi yang keliru ini maka selalu terjadi perombakan dalam epistemologi Barat. Modernisme yang menegaskan objektivisme kini dirombak oleh pasca modernisme yang mengagungkan relativisme dan subjektivisme. Karena keraguan menjadi asas pencarian ilmu ini maka dalam falsafah Barat manusia tidak akan dapat mencapai kepastian. Ketidakpastian ini berlaku disebabkan oleh peminggiran sumber ilmu yang utama, yaitu wahyu, dan karena itu manusia tidak lagi dapat mengetahui perkara-perkara yang pasti.
6.      Sekulerisasi
Sekularisasi muncul sebagai dampak dari proses modernisasi yang terjadi pada masa pencerahan. Ini terjadi di dunia Barat ketika nalar agama digantikan oleh nalar akal. Sedangkan sekularisme adalah pemusatan pikiran pada dunia materi lebih banyak dari pada dunia spiritual. Masyarakat sekuler hanya memikirkan kehidupan dunia dan benda-benda materi. Menurut Harvey Cox, bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. Ia juga membedakan antara makna sekularisasi dan sekularisme, menurutnya sekularisme adalah nama sebuah ideologi yang tertutup yang berfungsi sangat mirip dengan agama baru. Sedangkan sekularisasi membebaskan masyarkat dari kontrol agama dan pandangan alam metafisik yang tertutup
7.      Desakralisasi
Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr, Descartes adalah orang yang sangat banyak memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu di Barat. Ketika Descartes membuat basis baru bagi ilmu, dengan memunculkan kesadaran individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum dimaknai secara profan dan sama sekali tidak merujuk kepada "Aku" yang memiliki niali-nilai ilahi. Basis baru yang dimunculkan Descartes ini berbeda jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan banyak hal profan dan memunculkan "Aku" ilahi. Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat antara lain ditandai dengan mereduksi intelek menjadi akal (reason) dan intelligence dibatasi dengan kecerdasan semata, yang semua itu merusak teologi, baik di kalangan Islam maupun Kristen. Pencabutan pengetahuan dari karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, membuat orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi. Maka ilmu pengetahuan Barat yang profan menjadi sentral sementara intuisi dan unsur-unsur yang bercorak ilahi menjadi peripheral[10]
8.      Empirisasi
Ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan indrawi, karena bagi mereka satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman empiris melalui persepsi indrawi, lebih khususnya melalui metode induksi. Metode deduksi yang ditempuh oleh akal atau nalar seringkali dicurigai sebagai a priori, yakni tidak melalui pengalaman atau tidak a posteriori. Karena dalam metode ilmiah modern konvensional, akal dipakai sebagai alat bantu dalam memutuskan valid tidaknya pengamatan indra yang dilakukan, tetapi bukan sebagai sumber ilmu yang independen. Sains modern misalnya telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi atau diamati oleh indera. Dengan demikian segala objek yang jatuh di luar lingkup benda-benda yang dapat diobservasi dianggap tidak sah sebagai objek ilmu sehingga dikeluarkan dari daftarnya. Akibatnya, ilmu yang memaksakan diri mempelajari objek-objek yang tidak dapat diobservasi (objek non-fisik dan metafisik) tidak akan dapat mencapai derajat ilmiah, betapapun rasionalnya argumen yang dibangun untuk menopangnya. Dalam pandangan epistemologi Barat, ilmiah hanya berarti bisa dibuktikan oleh observasi dan pengalaman[11].
C. Ibnu Rusyd Pemikiran & Pengaruhnya Di Barat
Kebesaran dan kejeniusan Ibn Rusyd bisa dilihat pada karya-karyanya. Dalam berbagai karyanya ia selalu membagi pembahasannya ke dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya terhadap karya-karya filsuf besar terdahulu banyak sekali, antara lain ulasannya terhadap karya-karya Aristoteles. Dalam ulasannya itu ia tidak semata-mata memberi komentar (anotasi) terhadap filsafat Aristoteles, tetapi juga menambahkan pandangan-pandangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh filsuf semasa maupun sebelumnya.
Kritik dan komentarnya itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada kalangan ilmuwan Eropa sehingga muncul di sana suatu aliran yang dinisbatkan kepada namanya, Avereroisme. Selain itu, ia juga banyak mengomentari karya-karya filsuf muslim pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Komentar-komentarnya itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani.
Para ahli sejarah berbeda pendapat akan jumlah buku-buku hasil karyanya. Ermest Renan (1823-1892), seorang filosof Perancis mengatakan bahwa Ibn Rusyd menulis sekitar 78 judul buku dalam berbagai bidang ilmu, denan rincian 39 judul tentang filsafat, lima tentang ilmu alam,  delapan tentang fikih, empat tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, dua tentang nahwu dan sastra dan 20 judul tentang kedokteran.
Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa kemajuan peradaban Barat (Eropa) sejak abad ke-12 tidak terlepas dari sumbangan peradaban Arab-Islam yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh filosof saintis muslim. Orang-orang Barat menimba ilmu dari orang-orang Islam dan membangun peradaban mereka setelah mendapat sentuhan dari peradaban Islam. Oleh karena itu Gustave Lebon (Nasution, 1985: 74-75) mengakui bahwa orang Arablah yang menyebabkan Barat mempunyai peradaban, mereka adalah imam bagi Barat selama enam abad.  Demikian juga Rom Landau (Nasution, 1985: 74-75) menegaskan bahwa dari orang-orang Arab-Islam inilah orang-orang Barat belajar berpikir objektif dan menurut logika. Arab telah membukakan mata Barat untuk belajar berlapang dada dan mengembangkan toleransi terhadap kaum minoritas. Hal tersebut membawa Barat kepada kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh ilmuwan, filosof dan saintis Barat banyak yang belajar dari filosof dan saintis muslim.  Banyak tokoh-tokoh ilmuwan dan filosof muslim Abad Pertengahan mendapat tempat yang terhormat di kalangan sarjana-sarjana Barat. Namun tokoh filosof dan pemikir muslim yang dianggap paling berpengaruh dalam proses alih ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat adalah Ibn Rusyd[12].
Rasionalitas filsafat Ibn Rusyd justru membawa angin segar bagi dunia Eropa, bahkan mampu membebaskan Eropa dari cengkraman hegemoni gereja. Kehadiran filsafat Ibn Rusyd telah mengobarkan api revolusi yang menghendaki pemisahan sains dari agama. Ibn Rusyd, dengan kemampuannya mengomentari karya-karya Aristoteles, telah membangkitkan kembali budaya berpikir yang telah lama redup dalam peradaban tersebut. Kesadaran akan urgensi rasio dalam memahami ayat-ayat Tuhan mulai berkembang subur di Eropa. Kristen dan Yahudi mulai mengenal harmonisasi antara agama dengan filsafat. Muncullah dalam sejarah Barat teolog-teolog rasionalis yang menjadi simbol perlawanan terhadap gereja yang sangat hegemonik[13].
Dalam hal ini, figur Maimonides (Musa bin Maemun) merupakan teolog Yahudi yang sangat berjasa bagi perkembangan pemikiran Ibn Rusyd di Eropa. Ia adalah salah satu murid Ibn Rusyd yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikirannya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pemikiran Musa bin Maemun dalam memahami hubungan antara agama dan filsafat, klasifikasi derajat intelektual manusia dalam berfilsafat, dan kesamaan tujuan antara kitabnya Dillah Khayrin dengan Fashlu al-Maql. Inspirasi pemikiran Ibn Rusyd telah menjadikan Musa bin Maemun mampu menafsirkan permasalahan-permasalahan teologis dalam Yahudi, yang dianggap tidak sejalan dengan rasio manusia. Karya-karya Musa bin Maemun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani merupakan faktor terpenting bagi perkembangan filsafat Islam di Eropa.
Selanjutnya, sejak abad ke-13 banyak sarjana-sarjana yahudi yang menulis himpunan dan ringkasan atas terjemahan-terjemahan karya Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani. Selain menterjemahkan karya-karya Ibn rusyd, para sarjana Yahudi abad ke-14 juga menulis komentar-komentar terhadap karya Ibn Rusyd. Tokoh yang paling terkenal diantaranya adalah Lavi ben gerson dari Begnol dan Moses dari Narbonne.
Dari sebagian karya-karya terjemahan Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani ini kelak muncul karya-karya terjemaham ke dalam bahasa Latin. Inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran Eropa dan menguncang sendi-sendi kehidupan sosio-religius dalam masyarakat barat. Pengaruhnya yang demikian besar terlihat dari adanya gerakan averoisme, yaitu gerakan yang berkembang di Barat sejak abad ke-13 yang berusaha mentransfer dan mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd ke dalam peradaban Barat. Sampai abad ke-17 pengaruhnya tetap dominan dan buku-bukunya tetap dipelajari di Universitas-universitas Barat. Gerakan inilah yang akhirnya melahirkan Renaisans dalam masyarakat Barat, yaitu paham yang berusaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan, setelah Barat mengalami masa-masa kegelapan.
Ada beberapa faktor yang mendukung besarnya pengaruh Ibn Rusyd ke dalam peradaban Barat (Iqbal, 2004: 93-94-). Pertama, dari segi lingkungan tempat tinggalnya, Ibn Rusyd adalah ”orang Barat”. Ia lahir dan meninggal di Barat (Cordova, Spanyol). Dari segi lingkungn inilah, sangat mudah bagi orang-orang Barat untuk mengakses pemikirannnya. Apalagi keadaan ini dipengaruhi pula oleh sikap umat Islam di belahan Timur yang kurang bersahabat dengan filsafat sejak al-Ghazali menyerang filsafat dan mengkafirkan para filosof.
Kedua, Ibn Rusyd adalah pemikir Muslim yang sangat tertarik pada pemikiran filosof Yunani, Aristoteles. Ibn Rusyd berjasa dalam menghadirkan kembali warisan Yunani Kuno kepada Barat. Ibn Rusyd-lah  yang menggali dan mengembalikan mutiara yang telah lama hilang terebut. Sehingga orang Barat merasa berutang budi kepada Ibn Rusyd dan begitu menghormatinya.
Ketiga,  dan yang paling penting adalah Ibn Rusyd pemikir rasional dan berhasil mengembangkan gagasan-gagasan rasional ke Dunia Barat. Ia Menempatkan posisi akal pada tempat yang tinggi. Inilah yang kemudian berkembang dan sangat mempengaruhi pola pikir Barat sejak Abad Pertengahan akhir.[14]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tidak dapat dibantah bahwa perkembangan dan kemajuan peradaban Barat yang spektakuler seperti sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari sentuhan peradaban Islam Abad Pertengahan, karena pada Abad Pertengahan, Islam tampil sebagai puncak peradaban dunia.  Masyarakat Masyarakat Barat pada saat itu berada dalam abad keterbelakangan, kemandegan berpikir dan kebekuan. Barat menimba sebanyak-banyaknya capaian peradaban Islam tersebut. Tokoh yang paling berpengaruh bagi Barat dalam transformasi peradaban tersebut adalah Ibn Rusyd (Averroes). Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spanyol-Sicilia-Syiria. Para guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta tentara perang Salib adalah pembawa-pembawa utama ilmu pengetahuan Islam ke Barat. Selain itu jaur yang tak kalah pentingnya dalam proses transformasi ini adalah jalur pendidikan.
Universitas-universitas seperti di kota Seville, Cordova, Toledo, Granada, dan Valencia banyakdikunjungi pemuda-pemuda Eropa berkumpul di kota-kota tersebut dan menimba ilmu pengetahuan Muslim. Demikian juga orang-orang Yahudi Spanyol ikut serta dalam proses alih pengetahuan Islam tersebut. Gagasan Averrroisme yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd dan berkembang di Barat sejak abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya bertumpu pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para eksponen Averroisme dari ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya. Penyimpangan yang paling jelas adalah pandangan Ibn Rusyd tentang harmonisasi antara akal dan wahyu, filsafat dan agama. Mereka hanya mengambil gagasan rasionalisme Ibn Rusyd.

SARAN
Dalam pembuatan Makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak sekali terdapat kekurangan, baik itu dari segi penulisan, penge-Editan, penempatan, penganalisisan, penyuntingan dan lain sebagainya. Oleh karena itu Kritik, Masukan, serta Saran sangat di harapkan oleh penulis, guna memperbaiki karya tulis yang sederhana ini.

Daftar Pustaka
Abed al-Jabir, Muhammad. (2000). Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKS.
Asy’ari, Abuhasan. (2008). Ibn Rusyd. Jakarta: Penerbit Dian rakyat
Ensiklopedi Islam Jilid 2. (1994). Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove.
Hanafi, Hassan. (2003). Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis. Yogyakarta: LkiS.
Iqbal, Muhammad. (2004). Ibn Rusyd & Averroisme: Sebuah pemberontakan Terhadap Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama
Kompas, “Sapere Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam, rubrik Bentara: Rabu, 02 Maret 2005.
Nasution, Hasyimsyah. (1999). Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nasution, Harun. (1973). Filasafat dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Zainal Abidin, Ahmad. (1975). Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Averroes) : Filosof Islam terbesar di Barat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Adian, Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume
sampai Thomas Kuhn. Bandung: Teraju, 2002.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.

———. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu Dan Pandangan Alam. Universiti Sains Malaysia, 2007.

Armis, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. Ponorogo: CIOS, 2007.

Audi, Robert, ed. The Cambridge Dictionary of Philosophy. 2nd ed. New York: Cambridge University Press, 1999.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, (Buku Kedua, Pengantar kepada Teori Pengetahuan). Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Hakim, Atang Abdul, and Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum, Dari Mitologi sampai Teosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasyi Mizan, 2005.


[1] Sjamsuddin (2007: 131)
[2] Routledge, Routledge Encyclopedia of Philosophy, ed. by Edward Craig (London: Taylor & Francis, 1998), 114.
[3]Nuramin Saleh, “Sejarah Epistemologi,” Nuramin Saleh, Pebruari 2012, http://toempesssatriani.blogspot.com /2012/02/sejarah-epistemologi.html.
[4] Ibid
[5] Robert Audi, ed., The Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 1999).
[6] Routledge, Routledge Encyclopedia of Philosophy.
[7] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Erlangga, 2005), 74–75.
[8] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu Dan Pandangan Alam (Universiti Sains Malaysia, 2007), 5.
[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),22.
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Edinburg: Edinburg University Press., 1981), 4–6.
[11] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasyi Mizan, 2005), 23–24.
[12] Iqbal, Muhammad. (2004). Ibn Rusyd & Averroisme: Sebuah pemberontakan Terhadap Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama
[13] Kompas, “Sapere Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam, rubrik Bentara: Rabu, 02 Maret 2005
[14] Zainal Abidin, Ahmad. (1975). Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Averroes) : Filosof Islam terbesar di Barat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

No comments:

Post a Comment