MAKALAH KRITIK SEJARAH
“Kritik Sejarah terhadap Karya Sejarah Barat"
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kritik
sejarah
adalah sebuah metode tafsir
yang mempertimbangkan faktor historis dari suatu teks untuk dapat menggali
maknanya secara lebih mendalam. Sejarah tidak terlepas dari unsur subjektif
maka dari itu untuk meminimalisir hal tersebut dilakukannya kritik sumber
sejarah dengan tujuan “untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar
(palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil”[1]
kegiatan ini dimaksudkan sebagai proses analisis dari metodologi sejarah
terhadap kebenaran atau keaslian atau keotentikan terhadap sumber sejarah
seperti dokumen dari arsip-arsip maupun sumber sejarah lainnya. Sehingga dengan
dengan adanya tahapan kritik sumber ini dapat mengetahui kebenaran atau
keaslian dan keotentikan dari sumber sejarah tersebut sehingga sejarah yang
ditulis (historiografi) oleh sejarawan dapat di uji kebenarannya.
Adapun fungsi dan tujuan dari kritik
sumber adalah untuk membedakan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak
benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil, karena
dalam kehidupan nyata sehari-hari, manusia selain telah banyak berbuat yang
benar tidak jarang pula membuat kesalahan-kesalahan (disengaja ataupun tidak
disengaja), bahkan ada pula yang tidak segan-segan melakukan pemalsuan [sumber
sejarah] atau kejahatan lainnya oleh karena itu diperlukannya kritik terhadap
sumber sejarah. Dalam kritik terhadap sumber sejarah dibagi menjadi dua, yaitu Kritik
internal (uji kredibilitas) Merupakan kritik yang membangun dari dalam sejarah,
yang didasarkan pada arti sebenarnya dari suatu kesaksian sedangkan Kritik ekstern Merupakan kritik yang
membangun dari luar sejarah, yang dilakukan dengan mencari kebenaran sumber
sejarah melalui sejumlah pengujian terhadap berbagai aspek di luar sumber
sejarah.
Sebagai peradaban yang bersumber dan dipengaruhi oleh
Yunani Romawi, ilmu pengetahuan di Barat modern memiliki corak epistemologi
tersendiri yang berbeda dari pengetahuan yang berkembang di peradaban lainnya.
Epistemologi pengetahuan barat lebih bercorak rasional empirik dan memisahkan
diri dari hal-hal yang irrasional dan non rasional. Aliran-aliran filsafat
Yunani Kuno sangat berpengaruh pada pembentukan corak epistemologi ini.
Hampir-hampir bisa dikatakan bahwa pembentukan epistemologi Barat modern sepenuhnya
berakar pada ide-ide filsafat yang berkembang tanpa ada sentuhan corak keagamaan
sama sekali.
Dalam kaitannya dengan agama dan kehidupan spiritual
rohaniah, epistemologi Barat menampakkan diri sebagai epistemologi yang tidak
seimbang. Tidak seimbang antara aspek jasmaniah dengan rohaniah, antara
material dengan immaterial, antara dunia dengan akhirat, antara rasio dengan
jiwa. Demikian juga dalam masalah-masalah agama, epistemologi Barat berusaha
menjauhkan diri dari pengaruh dan keterlibatan agama dalam upaya mengembangkan
dan menghasilkan pengetahuan. Paper ini akan berusaha untuk mengungkap “fakta”
mengenai epistemologi Barat termasuk di dalamnya adalah karakteristik, kelemahan-kelemahan
dan dampak negatif dari epistemologi tersebut.
1.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
·
Bagaimana Sejarah Epistemologi Barat ?
·
Bagaimana
Karateristik Kritik Epistemologi Barat ?
·
Bagaimana
Komentar Ibnu Rusyd Terhadap Epistemologi Barat ?
2. Tujuan
Penulisan
·
Mahasiswa mampu mengetahui latar belakang Epistemologi Barat
·
Mahasiswa mampu mengetahui Karakteristik Epistemologi Barat
·
Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui Komentar Ibnu
Rusyd Terhadap Epistemologi Barat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Epistemologi Barat Modern
Sejarah
epistemologi di Barat bisa dibagi menjadi beberapa periode yaitu:
periode
filsafat Kuno, filsafat hellenis, abad pertengahan, abad modern. Periode
filsafat Kuno ini, pembahasan mengenai epistemologi baru dimulai sejak jaman
Plato (427-347 SM) yang termuat dalam bukunya Meno dan Republik. Menurutnya apa
yang kita anggap sebagai mengetahui sesuatu sebenarnya adalah proses mengingat
kembali oleh jiwa manusia. Dalam buku Meno tersebut, Plato membedakan antara
keyakinan yang benar (true belief) dengan pengetahuan (knowledge).
Dalam karya lainnya, Republik, Plato membedakan antara pengetahuan (knowledge)
dengan kebodohan (ignorance). Masing-masing dari ketiganya memiliki
objeknya sendiri-sendiri. Objek pengetahuan adalah "apa yang ada" (what
is or exists), objek dari ketidaktahuan adalah "apa yang tidak
ada" (what does not exist) dan objek dari keyakinan adalah
"entitas tengah" (intermediate entity) di antara keduanya,
yang sering disebut sebagai "apa yang sedang menjadi" (what is
becoming) atau objek dunia fisik beserta sifat-sifatnya yang bisa dicerap
oleh panca indera[2].
Aristoteles (384-322 SM) dalam karyanya De
Anima, membahas mengenai “objek persepsi” dan “pengetahuan perseptual.” Di
antara objek-objek persepsi tersebut dia membedakan antara objek persepsi yang
bersifat khusus, individual (proper) dan objek persepsi yang bersifat
umum (common). Objek persepsi yang sifatnya khusus dan individual adalah
objek-objek yang hanya bisa dipersepsi oleh satu macam pancaindera saja seperti
warna.2 Aristeoteles mengembangkan prinsip non-kontradiksi
penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan
Plato. Ia menyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir
dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam
ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang[3].
Pada Periode Hellenis, terdapat tiga aliran besar filsafat yaitu epikurianisme,
stoikisme dan skeptisisme. Epikurisme menyatakan bahwa semua persepsi manusia dianggap benar.
Pesepsi dalam pandangan epikurianisme, dengan demikian, sama pentingnya sebagai
sebuah media yang menghubungkan antara subjek pelaku (knower) dengan
objek benda-benda eksternal (known) yang ada di sekitarnya. Hal ini
selaras dengan pandangan seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles.[4] Sedangkan golongan Stoik menyatakan tentang “kesan kognitif” (cognitive
impression). Menurut Stoik, kesan kognitif tersebut tidak dapat keliru. Orang
yang memiliki pengetahuan hanya benar jika ada satu persetujuan tegas terhadap
kesan kognitifnya. Golongan Skeptik beranggapan bahwa pengetahuan apapun yang
didasarkan pada persepsi selalu bisa dipertanyakan keabsahannya. Argumen-argumen
kebalikan dari suatu pengetahuan perseptual ini bisa dimunculkan. Argumen skeptik lainnya menyangkut relativitas persepsi. Persepsi mengenai
sebuah objek tidaklah mutlak sifatnya. Ia bersifat relatif. Oleh karena adanya
relativitas dalam persepsi ini, menurut golongan skeptis, kita tidak dapat memperoleh
pengetahuan yang benar-benar valid mengenai objek-objek di luar kita jika kita menggunakan persepsi.
Pembahasan mengenai epistemologi pada abad pertengahan
berpusat pada pemikiran dua orang filosof yaitu Thomas Aquinas (1225-1274 M)
dan William of Ockham (1288-1348 M). Pengetahuan sejati (genuine) yang
menurut Thomas Aquinas disebut sebagai “scientia,” terikat dan dibatasi
oleh proposisiproposisi yang dibuktikan dengan silogisme demonstratif di
mana premis-premis dari silogisme tersebut telah diketahui dengan sendirinya.
Premis-premis ini merupakan prinsip-prinsip pertama (first principles) yang
kebenarannya telah diketahui dengan sendirinya (known per se), secara spontan dan tanpa melalui inferensi atau penyimpulan.
Prinsip-prinsip pertama dari silogisme demonstrative menurut Aquinas adalah
kebenaran yang pasti (necessary truth)[5].
Di lain pihak, Ockham memiliki pendirian yang berbeda dari Aquinas. Konsepsi
Aquinas tentang pengetahuan mengandaikan adanya sebuah kebenaran pasti sebagai
syarat dari silogisme untuk menarik kesimpulan yang benar, sehingga
pengetahuannya terbatas pada adanya kebenaran pasti (restricting knowledge
to necessary truths). Sedangkan Ockham sebaliknya menyatakan adanya
pengetahuan yang tidak bergantung pada adanya kebenaran yang pasti tersebut
tetapi pengetahuan mengenai kebenaran yang bersifat kontingen (knowledge of
contingent truths). Oleh karenanya menurutnya ada juga pengetahuan yang
kebenarannya tidak harus mengacu pada kebenaran pasti tetapi pada kebenaran
yang kontingen.
Pada periode Modern, pembahasan mengenai epistemologi
dimulai dengan munculnya filsafat rasionalisme Descartes (1596-1650 M). Ia menggunakan
metode keraguan yang menganggap bahwa proposisi apapun adalah salah (false) atau
layak dipertanyakan kebenarannya. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, pertama,
dia menentukan kriteria kepastian (criteria of certainity) berupa pikiran-pikiran
atau ide-ide yang jelas dan berbeda secara gamblang (distinct). Bahkan,
ia mengatakan bahwa kejelasan dan keunikan dari pemikiran ini cukup untuk
meyakinkannya tentang kebenaran pikiran tersebut. Kedua, dengan
menggunakan kriteria ini bersama-sama dengan pengetahuan tertentu bahwa
"ia ada" karena berpikir (cogito ergo sum), Descartes membangun
argumen kausal yang kompleks tentang keberadaan Tuhan Dari sini, dengan
memanfaatkan kriteria kejelasan dan keunikan, dapatlah dimasukkan proposisi
mengenai sensasi penginderaan yang dialami yang pada gilirannya dapat menghasilkan
pengetahuan.
Berbeda dari Descartes, menurut Spinoza (1632-1677 M)
kebenaran suatu ide haruslah diukur dengan kesesuaiannya terhadap objek-objek.
Dia tidak mengharuskan adanya kegamblangan dan pembedaan (clear and
distinct). Spinoza membagi tiga tingkatan pengetahuan. Pertama adalah
pengetahuan hasil dari persepsi pancaindera yang dia sebut sebagai “sign”. Ini
bukanlah pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya karena ia hanya berupa
imajinasi atau opini belaka. Kedua adalah pengetahuan tentang ciri-ciri atau
karakteristik (property) dari objek-objek
dan hubungan di antara properti-properti tersebut. Ketiga adalah pengetahuan
intuitif. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang memadai (adequate) karena
ia berasal dari ide mengenai keberadaan Tuhan[6].
B. Kritik Epistemologi Barat
Beberapa hal kritis menyangkut epistemologi
Barat ini di antaranya adalah karakteristik. setiap Epistemologi memiliki ciri
khas dan warnanya sendiri yang dipengaruhi oleh paradigma, landasan pemikiran
dan pengaruh-pengaruh lain yang kemudian membentuk suatu ciri khas yang
membedakan antara satu dengan yang lainnya. Epistemologi Barat pun dengan
demikian memiliki ciri-ciri tersendiri sebagaimana yang akan diuraikan berikut
ini.
1.
Akal dan Pancaindra sebagai Sumber Utama Pengetahuan Manusia
Ciri khas pertama dan mungkin utama dari teori pengetahun Barat
adalah sumber ilmunya yang hanya terbatas pada akal dan panca indra. Jika
dicermati semua aliran pemikiran yang bergulat di alam pikiran Barat baik itu rasionalisme,
empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, eksistensialisme,
humanisme, sekularisme, eksistensialisme, sosialisme, kapitalisme dan
isme-isme lainnya semuanya tidak terlepas dari landasan bahwa sumber ilmu kalau
bukan akal pastilah panca indra. Cara berpikir seperti ini bisa kita katakan
sebagai epistemologi sekuler, dimana wahyu tidak mendapatkan peranan sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Filsafat pengetahuan Barat bahkan telah mengangkat
dugaan dan keraguan sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk
mencapai kebenaran.
2.
Dikotomisasi
Dikotomisasi pada hakikatnya merupakan upaya pembagian atas dua
konsep yang saling bertentangan. Dikotomisasi pengetahuan ini muncul bersamaan
atau beriringan dengan masa renaissance di Barat. Sebelumnya, kondisi
sosio-religius maupun sosio-intelektual di Barat dikendalikan gereja.
Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah. Semua
temuan ilmiah bisa dianggap sah dan benar bila sesuai dengan doktrin-doktrin
gereja. Sebaliknya, bila temuan-temuan ilmiah yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan doktrin tersebut harus dibatalkan demi supremasi gereja.
Maka tidak jarang kemudian, banyak para ilmuwan yang tetap mempertahankan
kebenarannya, menjadi korban kekejaman gereja. Untuk merespon hal tersebut,
para ilmuwan mengadakan koalisi dengan raja untuk menumbangkan kekuasaan
gereja. Usaha tersebut berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja, kemudian
muncul renaissance. Masa renaissance ini melahirkan sekulerisasi
(pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari sekulerisasi ini lahirlah
dikotomisasi pengetahuan[7].
3.
Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa
segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai
berdasarkan manusia dan kepentingannya. Jadi, pusat pemikirannya adalah
manusia. Kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi kepada
kepentingan manusia. Pandangan moral lingkungan yang antroposentrisme disebut
juga sebagai human centered ethic, karena mengandaikan kedudukan dan
peran moral lingkungan hidup yang terpusat pada manusia. Maka tidak heran kalau
fokus perhatian dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan
kebahagian manusia di dalam alam semesta. Alam dilihat hanya sebagai objek,
alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Dengan demikian alam dilihat sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.
4.
Penentangan atas Dimensi Spiritual
Masalah yang paling besar dalam ilmu kontemporer adalah sikap Barat
terhadap agama yang dicirikan oleh ketidakpercayaan terhadap agama (disenchantment
towards religion). Hal ini berkaitan erat dengan sikap sarjana Barat yang
menganggap bahwa Tuhan dan agama hanyalah ilusi yang dihasilkan oleh manusia.
Sehingga dapat dipahami dampak destruktif terbesar dari worldview Barat
terhadap ilmu adalah berpalingnya ilmu, dengan sengaja maupun tidak, dari
tujuan awalnya yang mulia yakni untuk keadilan dan perdamaian menjadi
kezhaliman dan kekacauan. Akibat terburuknya bagi masyarakat adalah
pengingkaran terhadap Tuhan dan hari akhirat, juga agama menjadi musuh besar
dan musuh bebuyutan ilmu pengetahuan. Penolakan dan pengingkaran kemudian
mengarahkannya menuju pada kesimpulan bahwa kesenangan badani, kemakmuran
materi, kesuksesan dunia serta kebahagiaan pribadi adalah satu-satunya tujuan
hidup yang sangat berharga.
5.
Ketidakpastian Tiada Henti
Epistemologi Barat mengangkat keraguan (shak) menjadi kaidah
dasar yang melaluinya segala ilmu dan kebenaran diperoleh. Oleh karenanya
seringkali epistemologi seperti ini berakhir kepada kekeliruan dan skeptisisme[8]. Tidak
heran jika agnotisme, ateisme, utilitarianisme dan evolusionisme mulai
bermunculan setelah rasionalisme Barat diperkenalkan oleh Descartes pada abad
ke-17[9]. Akibat
dari epistemologi yang keliru ini maka selalu terjadi perombakan dalam
epistemologi Barat. Modernisme yang menegaskan objektivisme kini dirombak oleh
pasca modernisme yang mengagungkan relativisme dan subjektivisme. Karena
keraguan menjadi asas pencarian ilmu ini maka dalam falsafah Barat manusia
tidak akan dapat mencapai kepastian. Ketidakpastian ini berlaku disebabkan oleh
peminggiran sumber ilmu yang utama, yaitu wahyu, dan karena itu manusia tidak
lagi dapat mengetahui perkara-perkara yang pasti.
6.
Sekulerisasi
Sekularisasi muncul sebagai dampak dari proses modernisasi yang
terjadi pada masa pencerahan. Ini terjadi di dunia Barat ketika nalar agama
digantikan oleh nalar akal. Sedangkan sekularisme adalah pemusatan pikiran pada
dunia materi lebih banyak dari pada dunia spiritual. Masyarakat sekuler hanya
memikirkan kehidupan dunia dan benda-benda materi. Menurut Harvey Cox, bahwa
sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika,
pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. Ia juga membedakan antara makna
sekularisasi dan sekularisme, menurutnya sekularisme adalah nama sebuah
ideologi yang tertutup yang berfungsi sangat mirip dengan agama baru. Sedangkan
sekularisasi membebaskan masyarkat dari kontrol agama dan pandangan alam
metafisik yang tertutup
7.
Desakralisasi
Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr, Descartes adalah orang yang
sangat banyak memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu di Barat. Ketika
Descartes membuat basis baru bagi ilmu, dengan memunculkan kesadaran individu
sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum dimaknai secara profan dan sama
sekali tidak merujuk kepada "Aku" yang memiliki niali-nilai ilahi. Basis
baru yang dimunculkan Descartes ini berbeda jauh dengan tradisi para Sufi Islam
yang menafikan banyak hal profan dan memunculkan "Aku" ilahi. Seyyed
Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat antara lain ditandai
dengan mereduksi intelek menjadi akal (reason) dan intelligence dibatasi
dengan kecerdasan semata, yang semua itu merusak teologi, baik di kalangan
Islam maupun Kristen. Pencabutan pengetahuan dari karakter sucinya dan
menumbuhkan ilmu profan, membuat orang lupa akan keunggulan spiritual dalam
berbagai tradisi. Maka ilmu pengetahuan Barat yang profan menjadi sentral
sementara intuisi dan unsur-unsur yang bercorak ilahi menjadi peripheral[10]
8.
Empirisasi
Ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang
diperoleh melalui pengamatan indrawi, karena bagi mereka satu-satunya sumber
ilmu adalah pengalaman empiris melalui persepsi indrawi, lebih khususnya
melalui metode induksi. Metode deduksi yang ditempuh oleh akal atau nalar
seringkali dicurigai sebagai a priori, yakni tidak melalui pengalaman
atau tidak a posteriori. Karena dalam metode ilmiah modern konvensional,
akal dipakai sebagai alat bantu dalam memutuskan valid tidaknya pengamatan
indra yang dilakukan, tetapi bukan sebagai sumber ilmu yang independen. Sains
modern misalnya telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah adalah segala
sesuatu sejauh ia dapat diobservasi atau diamati oleh indera. Dengan demikian
segala objek yang jatuh di luar lingkup benda-benda yang dapat diobservasi
dianggap tidak sah sebagai objek ilmu sehingga dikeluarkan dari daftarnya.
Akibatnya, ilmu yang memaksakan diri mempelajari objek-objek yang tidak dapat
diobservasi (objek non-fisik dan metafisik) tidak akan dapat mencapai derajat
ilmiah, betapapun rasionalnya argumen yang dibangun untuk menopangnya. Dalam
pandangan epistemologi Barat, ilmiah hanya berarti bisa dibuktikan oleh
observasi dan pengalaman[11].
C. Ibnu Rusyd Pemikiran & Pengaruhnya
Di Barat
Kebesaran dan kejeniusan Ibn Rusyd bisa dilihat pada karya-karyanya. Dalam berbagai karyanya ia
selalu membagi pembahasannya ke dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik, dan
pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya
terhadap karya-karya filsuf besar terdahulu banyak sekali, antara lain ulasannya
terhadap karya-karya Aristoteles. Dalam ulasannya itu ia tidak semata-mata
memberi komentar (anotasi) terhadap filsafat Aristoteles, tetapi juga
menambahkan pandangan-pandangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang belum
pernah dilakukan oleh filsuf semasa maupun sebelumnya.
Kritik dan komentarnya itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di
Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada
kalangan ilmuwan Eropa sehingga muncul di sana suatu aliran yang dinisbatkan
kepada namanya, Avereroisme. Selain itu, ia juga banyak mengomentari
karya-karya filsuf muslim pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Bajjah, dan al-Ghazali. Komentar-komentarnya itu banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan Ibrani.
Para ahli sejarah berbeda pendapat akan jumlah buku-buku hasil karyanya.
Ermest Renan (1823-1892), seorang filosof Perancis mengatakan bahwa Ibn Rusyd
menulis sekitar 78 judul buku dalam berbagai bidang ilmu, denan rincian 39
judul tentang filsafat, lima tentang ilmu alam,
delapan tentang fikih, empat tentang ilmu falak, matematika dan
astronomi, dua tentang nahwu dan sastra dan 20 judul tentang kedokteran.
Kenyataan yang tak
terbantahkan bahwa kemajuan peradaban Barat (Eropa) sejak abad ke-12 tidak
terlepas dari sumbangan peradaban Arab-Islam yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
filosof saintis muslim. Orang-orang Barat menimba ilmu dari orang-orang Islam
dan membangun peradaban mereka setelah mendapat sentuhan dari peradaban Islam.
Oleh karena itu Gustave Lebon (Nasution, 1985: 74-75) mengakui
bahwa orang Arablah yang menyebabkan Barat mempunyai peradaban, mereka adalah
imam bagi Barat selama enam abad. Demikian
juga Rom Landau (Nasution, 1985: 74-75) menegaskan bahwa dari orang-orang
Arab-Islam inilah orang-orang Barat belajar berpikir objektif dan menurut
logika. Arab telah membukakan mata Barat untuk belajar berlapang dada dan
mengembangkan toleransi terhadap kaum minoritas. Hal tersebut membawa Barat
kepada kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh
ilmuwan, filosof dan saintis Barat banyak yang belajar dari filosof dan saintis
muslim. Banyak tokoh-tokoh ilmuwan dan
filosof muslim Abad Pertengahan mendapat tempat yang terhormat di kalangan
sarjana-sarjana Barat. Namun tokoh filosof dan pemikir muslim yang dianggap
paling berpengaruh dalam proses alih ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke
Barat adalah Ibn Rusyd[12].
Rasionalitas
filsafat Ibn Rusyd justru membawa angin segar bagi dunia Eropa, bahkan mampu
membebaskan Eropa dari cengkraman hegemoni gereja. Kehadiran filsafat Ibn Rusyd
telah mengobarkan api revolusi yang menghendaki pemisahan sains dari agama. Ibn
Rusyd, dengan kemampuannya mengomentari karya-karya Aristoteles, telah
membangkitkan kembali budaya berpikir yang telah lama redup dalam peradaban
tersebut. Kesadaran akan urgensi rasio dalam
memahami ayat-ayat Tuhan mulai berkembang subur di Eropa. Kristen dan Yahudi
mulai mengenal harmonisasi antara agama dengan filsafat. Muncullah dalam
sejarah Barat teolog-teolog rasionalis yang menjadi simbol perlawanan terhadap
gereja yang sangat hegemonik[13].
Dalam hal ini, figur Maimonides (Musa bin Maemun)
merupakan teolog Yahudi yang sangat berjasa bagi perkembangan pemikiran Ibn
Rusyd di Eropa. Ia adalah salah satu murid Ibn Rusyd yang sangat terpengaruh
oleh pemikiran-pemikirannya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pemikiran
Musa bin Maemun dalam memahami hubungan antara agama dan filsafat, klasifikasi
derajat intelektual manusia dalam berfilsafat, dan kesamaan tujuan antara
kitabnya Dillah Khayrin dengan Fashlu al-Maql. Inspirasi pemikiran Ibn
Rusyd telah menjadikan Musa bin Maemun mampu menafsirkan
permasalahan-permasalahan teologis dalam Yahudi, yang dianggap tidak sejalan
dengan rasio manusia. Karya-karya Musa bin Maemun yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Ibrani merupakan faktor terpenting bagi perkembangan filsafat Islam di
Eropa.
Selanjutnya, sejak abad ke-13 banyak sarjana-sarjana yahudi
yang menulis himpunan dan ringkasan atas terjemahan-terjemahan karya Ibn Rusyd
ke dalam bahasa Ibrani. Selain menterjemahkan karya-karya Ibn rusyd, para
sarjana Yahudi abad ke-14 juga menulis komentar-komentar terhadap karya Ibn
Rusyd. Tokoh yang paling
terkenal diantaranya adalah Lavi ben gerson dari Begnol dan Moses dari
Narbonne.
Dari sebagian
karya-karya terjemahan Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani ini kelak muncul
karya-karya terjemaham ke dalam bahasa Latin. Inilah yang kemudian mempengaruhi
pemikiran Eropa dan menguncang sendi-sendi kehidupan sosio-religius dalam
masyarakat barat. Pengaruhnya yang demikian besar terlihat dari adanya gerakan
averoisme, yaitu gerakan yang berkembang di Barat sejak abad ke-13 yang
berusaha mentransfer dan mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd ke dalam
peradaban Barat. Sampai abad ke-17 pengaruhnya tetap dominan dan buku-bukunya
tetap dipelajari di Universitas-universitas Barat. Gerakan inilah yang akhirnya
melahirkan Renaisans dalam masyarakat Barat, yaitu paham yang berusaha membangkitkan
kembali ilmu pengetahuan, setelah Barat mengalami masa-masa kegelapan.
Ada beberapa
faktor yang mendukung besarnya pengaruh Ibn Rusyd ke dalam peradaban Barat
(Iqbal, 2004: 93-94-). Pertama, dari segi lingkungan tempat tinggalnya, Ibn
Rusyd adalah ”orang Barat”. Ia lahir dan meninggal di Barat (Cordova, Spanyol).
Dari segi lingkungn inilah, sangat mudah bagi orang-orang Barat untuk mengakses
pemikirannnya. Apalagi keadaan ini dipengaruhi pula oleh sikap umat Islam di
belahan Timur yang kurang bersahabat dengan filsafat sejak al-Ghazali menyerang
filsafat dan mengkafirkan para filosof.
Kedua, Ibn Rusyd
adalah pemikir Muslim yang sangat tertarik pada pemikiran filosof Yunani,
Aristoteles. Ibn Rusyd berjasa dalam menghadirkan kembali warisan Yunani Kuno
kepada Barat. Ibn Rusyd-lah yang
menggali dan mengembalikan mutiara yang telah lama hilang terebut. Sehingga
orang Barat merasa berutang budi kepada Ibn Rusyd dan begitu menghormatinya.
Ketiga, dan yang paling penting adalah Ibn Rusyd
pemikir rasional dan berhasil mengembangkan gagasan-gagasan rasional ke Dunia
Barat. Ia Menempatkan posisi akal pada tempat yang tinggi. Inilah yang kemudian
berkembang dan sangat mempengaruhi pola pikir Barat sejak Abad Pertengahan
akhir.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tidak dapat dibantah bahwa perkembangan dan kemajuan
peradaban Barat yang spektakuler seperti sekarang ini tidak dapat dilepaskan
dari sentuhan peradaban Islam Abad Pertengahan, karena pada Abad Pertengahan,
Islam tampil sebagai puncak peradaban dunia.
Masyarakat Masyarakat Barat pada saat itu berada dalam abad
keterbelakangan, kemandegan berpikir dan kebekuan. Barat menimba
sebanyak-banyaknya capaian peradaban Islam tersebut. Tokoh yang paling
berpengaruh bagi Barat dalam transformasi peradaban tersebut adalah Ibn Rusyd
(Averroes). Proses transformasi
ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat terjadi melalui rute segitiga
perdagangan antara Spanyol-Sicilia-Syiria. Para
guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta tentara perang
Salib adalah pembawa-pembawa utama ilmu pengetahuan Islam ke Barat. Selain itu
jaur yang tak kalah pentingnya dalam proses transformasi ini adalah jalur
pendidikan.
Universitas-universitas seperti di kota Seville, Cordova,
Toledo, Granada, dan Valencia banyakdikunjungi pemuda-pemuda Eropa berkumpul di
kota-kota tersebut dan menimba ilmu pengetahuan Muslim. Demikian juga
orang-orang Yahudi Spanyol ikut serta dalam proses alih pengetahuan Islam
tersebut. Gagasan Averrroisme yang
ingin mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd dan berkembang di Barat sejak
abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya bertumpu pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para eksponen Averroisme dari
ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya. Penyimpangan yang paling jelas adalah
pandangan Ibn Rusyd tentang harmonisasi antara akal dan wahyu, filsafat dan
agama. Mereka hanya mengambil gagasan rasionalisme Ibn Rusyd.
SARAN
Dalam
pembuatan Makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak sekali terdapat
kekurangan, baik itu dari segi penulisan, penge-Editan, penempatan,
penganalisisan, penyuntingan dan lain sebagainya. Oleh karena itu Kritik,
Masukan, serta Saran sangat di harapkan oleh penulis, guna memperbaiki karya
tulis yang sederhana ini.
Daftar
Pustaka
Abed al-Jabir, Muhammad. (2000). Post
Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKS.
Asy’ari, Abuhasan. (2008). Ibn Rusyd. Jakarta :
Penerbit Dian rakyat
Ensiklopedi Islam Jilid 2. (1994). Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hove.
Hanafi, Hassan. (2003). Islamologi 1:
dari Teologi Statis ke Anarkis. Yogyakarta: LkiS.
Iqbal, Muhammad. (2004). Ibn Rusyd & Averroisme: Sebuah pemberontakan Terhadap Agama. Jakarta : Gaya
Media Pratama
Kompas, “Sapere Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan
Proyek Pencerahan Islam, rubrik Bentara: Rabu, 02 Maret 2005.
Nasution,
Hasyimsyah. (1999). Filsafat Islam.
Jakarta : Gaya
Media Pratama.
Nasution, Harun. (1973). Filasafat
dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Zainal
Abidin, Ahmad. (1975). Riwayat
Hidup Ibnu Rusyd (Averroes) : Filosof Islam terbesar di Barat. Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang.
Adian, Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan: Dari David Hume
sampai Thomas Kuhn. Bandung: Teraju, 2002.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and
Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
———. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu Dan Pandangan Alam.
Universiti Sains Malaysia, 2007.
Armis, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisasi
Ilmu. Ponorogo: CIOS, 2007.
Audi, Robert, ed. The Cambridge Dictionary of
Philosophy. 2nd ed. New York: Cambridge University Press, 1999.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, (Buku Kedua,
Pengantar kepada Teori Pengetahuan). Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hakim, Atang Abdul, and Beni Ahmad Saebani. Filsafat
Umum, Dari Mitologi sampai Teosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu, Sebuah
Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasyi Mizan, 2005.
[2] Routledge, Routledge Encyclopedia of Philosophy,
ed. by Edward Craig (London: Taylor & Francis, 1998), 114.
[3]Nuramin Saleh, “Sejarah Epistemologi,” Nuramin
Saleh, Pebruari 2012, http://toempesssatriani.blogspot.com /2012/02/sejarah-epistemologi.html.
[4] Ibid
[5] Robert Audi, ed., The Cambridge Dictionary of
Philosophy, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 1999).
[7] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik (Erlangga, 2005), 74–75.
[8] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Tinjauan Ringkas
Peri Ilmu Dan Pandangan Alam (Universiti Sains Malaysia, 2007), 5.
[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),22.
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Edinburg:
Edinburg University Press., 1981), 4–6.
[11] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah
Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasyi Mizan, 2005), 23–24.
[12] Iqbal, Muhammad. (2004). Ibn Rusyd & Averroisme:
Sebuah pemberontakan Terhadap Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama
[13] Kompas, “Sapere
Aude!” Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam, rubrik Bentara: Rabu,
02 Maret 2005
[14] Zainal Abidin, Ahmad. (1975). Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Averroes) : Filosof Islam terbesar di Barat.
Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang.
No comments:
Post a Comment