1

loading...

Monday, March 18, 2019

MAKALAH HUKUM PERCERAIAN


MAKALAH
HUKUM PERCERAIAN

 

BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar belakang
Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia, sejahtera, dan kekal abadi. Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tidak sesuai dengan apa yang di impikan. Hambatan serta rintangannya pun bermacam-macam dan dating dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah perpisahan yang secara hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan perceraian. Karena kematianpun secara otomatis akan melekatkan status cerai kepada suami atau istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga berpengaruh dalam penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki atau tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bias dikatakan telah bubar.
Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang di inginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau tidak, tatacara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk di perhatikan. Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.
     B.     Rumusan masalah
1.      Apa Definisi dari perceraian ?
2.      Apa Sebab putusnya perkawinan?
3.      Bagaimana Factor-faktor penyebab perceraian ? 
4.      Bagaimana Tata cara perceraian ?
5.      Apa akibat perceraian ?
BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Definisi Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Fiqh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri. Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya , mereka bias meminta pemerintah untuk dipisahkan, selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang di peroleh selama pernikahan itu seperti rumah, mobil, perabotan, atau kontrakan. Dan bagaiman amereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka.[1]
Perceraian biasa disebut “ceraitalak” dan atas keputusan pengadilan disebut “ceraigugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9).
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.
     B.     Sebab putusnya perkawinan
Perkawinan merupakan penyatuan masing-masing sifat, pola pikir, dan kebiasaan yang berbeda yang oleh sebab itu dalam kehidupan berumah tangga selalu ada masalah atau konflik yang terjadi diantara suami dan istri. Dalam hal konflik tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri maka dapat menyebabkan berakhirnya putusnya perkawinan yang disebut perceraian. [2]
1)      Talak
Talak adalah sebuah istilah dari agama islam yang artinya perceraian antara suami dan istri.
2)      Khulu’
Khulu’ adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri pada suami dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.
3)      Syiqaq
Menurut istilah syiqaq berarti krisis memuncak yang terjadi  antara suami dan istri sehingga keduanya sering terja diperselisihan yang sehingga tidak dapat diatasi lagi.
4)      Fasakh
Fasakh berarti memutuskan pernikahan perkara ini di putuskan apabila pihak istri membuat pengaduan kepada hakim.
5)      Ta’liktalak
Arti dari pada Ta’liktalak adalah “menggantungkan” pada suatu hal yang memungkinkan terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.
6)      Ila
Ila ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
7)      Zhihar
Zhihar adalah ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu kandung atau mahramnya seperti adik atau kakak perempuannya.
8)      Li’an
Lian ialah sumpah seorang suami untuk meneguhkan tuduhannya bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain.
9)      Kematian
Kematian adalah akhir dari kehidupan ketiadaan nyawa dalam organism biologis.
      C.     Faktor – faktor penyebab perceraian
Ada banyak faktor yang menyebabkan perceraian bias menjadi sebuah keniscayaan dalam rumah tangga :[3]
1)      Ketidak setiaan suami dengan istri terhadap pasangannya
2)      Finansial mengalami ketidak stabilan
3)      Kesulitan mendapatkan keturunan
4)      Prinsip yang tidak sejalan antara suami dan istri
5)      Timbulnya kekerasan dalam rumah tangga
6)      Pernikahan tanpa cinta
7)      Ketidak harmonisan dalam rumah tangga
Selain dari faktor diatas, ada beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap perceraian :
1)      Usiah saat menikah
2)      Tingkat pendapatan
3)      Perbedaan perkembangan sosio emosional diantara pasangan
4)      Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian
       D.    Tata Cara Perceraian
Sejalan dengan prinsip atau asas UU Perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian. Maka percerain hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belapihak (UUPA), pasal 65, jo. Pasal 115 KHI).[4]
Adapun tata cara prosedur perceraian dapat dibedakan kedalam 2 macam sebagai berikut :
1.      Cerai Talak (permohonan)
Pasal 66 UU no 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama (UUPA) menyatakan : “Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak”. Kutipan di atas menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan adalah yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.
Selengkapnya tentang pengadilan tempat pemohon itu dianjurkan pada pasal 66 ayat 2,3,4 dan 5 UUPA menjelaskan:
1.      Pemohon sebagaimana yang dimaksut dalam ayat 1 kepada pengadilan yang daerahnya hokum meliputi tempat kediaman termohon kecuali termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
2.      Pemohon soal penguasaan anak, nafkah, anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar.

Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UUPA menyebutkan :
1.      Pemeriksaan pemohon cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat pemohon talak diatrakan kepanitra.
2.      Pemeriksaan pemohon cerai talak dilakukan dalam siding tertutup.

Langkah berikutnya, diatur dalam pasal 70 UUPA sebagaimana dirinci dalam pasal PP 16 NO 9/ 1975.
2.      Cerai Gugat
UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama dan kompilasi hukum islam di Indonesia. Pertama dalam PP No 9/1975 gugatan perceraian bisa diajukan oleh suami atau istri maka dalam UU No 7/1989 dan kompilasi, gugatan perceraian diajukan oleh istri. Kedua prinsipnya pengadilan tempat mengajukan perceraian dalam PP dianjurkan di pengadilan yang mewilayahi tempat penggugat maka dalam UU No 7/1989 dan kompilasi yang mewilayahi tempat kediaman tergugat.
Pasal 73 UU NO 7/1989
1.      Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat kecuali sang istri meninggalkan tempat kediaman bersama.
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepda dokter.    .
      E.     Akibat Perceraian
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.[5] Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres No 1 Tahun 1991. Ada 3 akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu :
1.      Terhadap Anak-Anaknya
Perceraian mungkin adalah salah satu keputusan yang sangat berat dan menyakitkan bagi kedua belah pihak, seperti orang tua yang mengalami kesedihan yang dalam karena perceraian, anak juga memiliki perasaan sedih, marah, penyangkalan, takut bersalah, yang sama dan mungkin reaksi yang lain yang akan timbul akibat perceraian tersebut seperti adanya rasa luka, rasa kehilangan, dan terlebih lagi mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah prilaku,sulit belajar, atau penarikan diri dari lingkungan social.

2.      Putusnya Perkawinan
Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut membentuk keluarga yangbahagia dan kekal. Pasal 1 undang-undang no. 1 tahun 1997 menegaskan: ‘perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal  berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”  Untuk itu, penjelasan umum, poain 4 hurup a menyatakan, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Karena itu undang-undang juga menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya bias dilakukan, jika ada alas an-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.
1.      Akibat putusnya perkawinan
Perkawinan dalam islam adalah ibadah dan mitsqab ghalidhan ( perjanjian kokoh). Oleh karena itu , apabila putusnya perkawinan atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya ,  akan tetapi ada akibat-akibat hokum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.
Dalam pasal 38 UU nomor 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena (a.) kematian, (b). perceraian. (c). atas keputusan pengadilan. Selanjutnya menurut pasal 41 UUP:

Akibat putusnya perkawinan karena petrceraian ialah:
a.       Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusanya.
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya memelihara dan pendidik yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebuit. Pengadilan menyatakan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau  menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.


BAB III
PENUTUP
    A.    Kesimpulan
Perceraian ialah pengapusan perkawian dengan putusan hakim, ataw  tututan salah satu pihak  dalam perkawinan itu. Syrat-syarat perceraian termasuk didalam pasal 39 undang undang perkawinan terdiri dari 3 ayat . Alsan –alsan perceraian tercakup lebih rinci dalam  ayat 2 uu perkawinan,dalam PP pasal  39. Akibat dari perceraian yaitu , Akibat bagi istri dan harta kekayaan,dan akibat terhadpat pada anak di bawa umur, serta masih ada akibat yang lainya.

       B.     Saran  
Demikian makalah yang kami tulis ini  semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai putusan perkawinan,kususnya perceraian.Kami menyadari bahwa dalam maklah ini masih terdapat banyak kekurangan  baik dari segi tulisan atawpun refensi yang menjadi bawan rujukan.Untuk itu kami dengan senagn hati menerima kritik dan saran yang di brikan guna menyempurnakan makalah kami.




DAFTAR PUSTAKA

Rofik, Ahmad. 2017. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Kota Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan.2004 Hukum Perdata Islam Din Indonesia. Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
    Ja’af  K humedi.  2014 . Hukum perdata  Isalm  Di Indonsia.  IAIN Raden Intan Lampung


[1] Ny. Soemiyati , Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 103
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty, 1982), h. 10.
[3] Untuk lebih lengkapnya bias lihat  Fauzi, Perceraian Siapa Takut..! (Jakarta :Restu Agung,2006).
[4] Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), hlm.66.
[5] J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta :Gramedia pusaka utama, 1992 ), h.104.

No comments:

Post a Comment