MAKALAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum Islam Istilah “Hukum
Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh
al-Islamy atau dalam konteks dari al-syariah al-
Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan
Islamic Law. Dalam al-Qur'an maupun dalam al- Sunnah, istilah hukum
Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syariah yang
dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh.
Secara harfiah syariah artinya jalan ke
tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam
Al-Quran diartikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam
terminologi ulama ushul al-fiqh, syariah adalah titah (kitab) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat), baik
berupa tuntunan , pilihan, atau perantara (sebab, syarat, atau penghalang).
Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (amaliyah).
Adapun pengertian hukum perdata Islam di
Indonesia, dapat diurai dari hukum perdata. Apabila hukum perdata di perhadapkan
dengan hukum pidana, maka hukum perdata berarti hukum privat (privat materiil),
yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan, dan hukum pidana
berarti hukum publik. Hukum perdata mengatur tentang hubungan-hubungan
kekeluargaan, meliputi perkawinan dengan segala akibat hukumnya, tentang diri
seseorang, kekayaan antara suami istri, kewajiban dan hak orangtua terhadap
anak, perwalian, perpindahan harta, apakah pada saat pemilik masih hidup atau
sudah mati, wakaf, hibah, shadaqah, dan lain-lain.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin
dicapai yaitu sebagai berikut:
a. Apa yang disebut
perkawinan ?
b. Apa tujuan dan hikmah
perkawinan ?
c. Bagaimana penyelesaian
UU perkawinan ?
C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui
pengertian perkawinan
b. Untuk mengetahui tujuan
dan hikmah perkawinan
c. Untuk mengetahui
penyelesaian UU perkawinan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2
disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.[1]
Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik
dari firman Allah SWT. yang terdapat pada surah an-Nisa’ ayat 21 yang artinya:
Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang
telah kamu berikan pada
Istrimu, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagi suami istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram
cinta dan kasih sayang)[2].
1.
Hikmah Perkawinan
a.
Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat
b.
Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
c.
Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan
anak-anak
d.
Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin
dan sungguh-sungguh dalam mencukupi keluarga
e.
Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga
dan yang lain bekerja diluar
C. Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami
rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan
Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik
atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum, kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam
pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang
Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres
perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang
keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat
Islam.Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat
(volksraad).
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat
keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat
Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada
Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan
mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi
tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan
Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan
Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia
(PERSAHI, 1963).
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat
menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R.
02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada
DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan
kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya
undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk
melindungi hak-hak kaum wanita, dan sek aligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita.
Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[4]
D. Asas-asas dalam UU Perkawinan
1.
Asas-asas
perkawinan menurut KUHPerdata
a.
Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat
dilanggar.
b.
Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan
di depan pegawai catatan sipil.
c.
Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan di bidang hukum keluarga.
d.
Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang.
e.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami
dan isteri.
f.
Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
g.
Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan
isteri itu.
2.
Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
a.
Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
b.
Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki
satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami,
namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974),
dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
c.
Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga
batiniah.
d.
Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan
undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
e.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan
isteri.
f.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari
perkawinan tersebut.
g.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri
tersebut.[5]
E. Pelaksanaan UU Perkawinan
Menurut
ketentuan pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi: “Perkawinan dilangsungkan
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai
pencatat nikah”. Tata cara pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut ketentuan
hukum agama dan kepercayaannya, dan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat
serta dihadiri dua orang saksi. Hukum Islam memberi ketentuan bahwa
syarat-syarat ijab qabul dalam akad nikah adalah:
1. Adanya
pernyataan mengawinkan dari wali.
2. Adanya
pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.
3. Menggunakan kata-kata: nikah atau tazwij atau terjemah dari
kata-kata nikah atau tazwij.
4. Antara ijab dan qabul bersambungan.
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang berkait dengan ijab qabul itu tidak sedang dalam ihram
haji atau umrah.
7. Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang, yaitu: calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua
orang saksi.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram
cinta dan kasih sayang).
1. Hikmah Perkawinan
a.
Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat
b.
Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
c.
Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan
anak-anak
d.
Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin
dan sungguh-sungguh dalam mencukupi keluarga
e.
Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga
dan yang lain bekerja diluar
f.
Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum
Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana. 2004.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Depok: Rajawali Pers. 2017.
http://scarmakalah.blogspot.com/2012/03/pengertian-dasar-hukum-dan-hikmah.html diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23
diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul
23.23
[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004, H 43
[2] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004, H 44
[3] http://scarmakalah.blogspot.com/2012/03/pengertian-dasar-hukum-dan-hikmah.html diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23
[4] https://www.suduthukum.com/2017/12/sejarah-lahirnya-uu-no1-tahun-1974.html diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23
No comments:
Post a Comment