1

loading...

Tuesday, March 19, 2019

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA


MAKALAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hukum Islam Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks dari al-syariah al- Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Dalam al-Qur'an maupun dalam al- Sunnah, istilah hukum Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syariah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh.
Secara harfiah syariah artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam Al-Quran diartikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama ushul al-fiqh, syariah adalah titah (kitab) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat), baik berupa tuntunan , pilihan, atau perantara (sebab, syarat, atau penghalang). Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (amaliyah).
Adapun pengertian hukum perdata Islam di Indonesia, dapat diurai dari hukum perdata. Apabila hukum perdata di perhadapkan dengan hukum pidana, maka hukum perdata berarti hukum privat (privat materiil), yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan, dan hukum pidana berarti hukum publik. Hukum perdata mengatur tentang hubungan-hubungan kekeluargaan, meliputi perkawinan dengan segala akibat hukumnya, tentang diri seseorang, kekayaan antara suami istri, kewajiban dan hak orangtua terhadap anak, perwalian, perpindahan harta, apakah pada saat pemilik masih hidup atau sudah mati, wakaf, hibah, shadaqah, dan lain-lain.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin dicapai yaitu sebagai berikut:
a. Apa yang disebut perkawinan ?
b. Apa tujuan dan hikmah perkawinan ?
c. Bagaimana penyelesaian UU perkawinan  ?

C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui pengertian perkawinan
b. Untuk mengetahui tujuan dan hikmah perkawinan
c. Untuk mengetahui penyelesaian UU perkawinan

 BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]
Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT. yang terdapat pada surah an-Nisa’ ayat 21 yang artinya:
Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada
Istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagi suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat

B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
            Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih sayang)[2].
1.      Hikmah Perkawinan
a.       Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat
b.      Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
c.       Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak
d.      Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam mencukupi keluarga
e.       Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar
f.       Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan[3]

C. Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum, kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sek aligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan  Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[4]

D. Asas-asas dalam UU Perkawinan
1.  Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata
a.       Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
b.      Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil.
c.       Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga.
d.      Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
e.       Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
f.       Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
g.      Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
2.      Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
a.       Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
b.      Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun  ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
c.       Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
d.      Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
e.       Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
f.       Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
g.      Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.[5]

E. Pelaksanaan UU Perkawinan
            Menurut ketentuan pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi: “Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat nikah”. Tata cara pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaannya, dan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat serta dihadiri dua orang saksi. Hukum Islam memberi ketentuan bahwa syarat-syarat ijab qabul dalam akad nikah adalah:
1.   Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2.   Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.
3.   Menggunakan kata-kata: nikah atau tazwij atau terjemah dari kata-kata nikah atau tazwij.
4.   Antara ijab dan qabul bersambungan.
5.   Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6.   Orang yang berkait dengan ijab qabul itu tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
7.   Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.[6]
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
                Pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih sayang).
1.   Hikmah Perkawinan
a.       Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat
b.      Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
c.       Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak
d.      Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam mencukupi keluarga
e.       Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar
f.       Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan            



DAFTAR PUSTAKA

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana. 2004.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. 2017.
http://scarmakalah.blogspot.com/2012/03/pengertian-dasar-hukum-dan-hikmah.html diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23
diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23



[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004, H 43
[2] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004, H 44

[3] http://scarmakalah.blogspot.com/2012/03/pengertian-dasar-hukum-dan-hikmah.html diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23
[4] https://www.suduthukum.com/2017/12/sejarah-lahirnya-uu-no1-tahun-1974.html diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 23.23
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Depok, Rajawali Pers, 2017, H 48
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Depok, Rajawali Pers, 2017, H 75

No comments:

Post a Comment