KEUANGAN PUBLIK ISLAMBAITUL MAAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kegiatan perekonomian
yang ada di masyarakat
setiap negera bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang tentunya akan berimbas
pulapada kesejahteraan negara. Bila berbicara masalah perekonomian mau
tidak mau proses kelancarannya sangat dipengaruhi oleh
adanya lembaga keuangan sebagai lembaga yang ikut memperlancar kegiatan
perekonomian.
Salah satu
lembaga keuangan saat
ini yang perkembangannya
memperlihatkan kemajuan pesat adalah lembaga
keuangan Islam yang berupa
baitul maal yang
saat ini secara lengkap disebut
dengan baitul maal
wat tamwil.Telah terbukti bahwa kegiatan ekonomi sering kali memerlukan
adanya dukungan dari lembaga keuangan sebagai darah (uang) untuk memperlancar kegiatan perekonomian tersebut.
Baitul maal wat
tamwil Sebagai sebuah lembaga
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)
sekaligus sebagai lembaga intermediasi antara
penghimpunan penyaluran dana dari
dan untuk masyarakat (Tho’in, 2011).
Baitul maal ini
sudah ada sejak zaman Rasulullah
SAW, tetapi yang paling kelihatan perannya adalah sejak
zaman Khulafaur Rasyidin yaitu dari masa Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan
Khalifah Ali bin AbiThalib (Herlina, 2013).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian baitul maal
Baitul Māl berasal dari bahasa arab bait yang artinya
rumah, dan al-Māl yang berarti harta. Jadi secara etimologis (ma’na lughawi)
Baitul Māl berarti rumah untuk mengumpulkan dan menyimpan harta. Secara
terminologis (istilah), Baitul Māl adalah sebuah departement tempat penampungan
keuangan negara dan dari sanalah semua kebutuhan keuangan negara akan di
belanjakan. [1]Jadi,
Baitul Māl dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah lembaga
atau pihak yang Baitul Māl berasal dari bahasa arab bait yang berarti rumah,
Dan Al- Maal yang berarti harta.
Jadi secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Māl berarti
rumah untuk mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik negara
baik pendapatan maupun pengeluaran.Setiap harta baik, tanah, bangunan, barang
tambang, uang, komoditas perdagangan maupun harta benda lainya dimana kaum
muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara‟ dan tidak di tentukan individu
pemiliknya, walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya, maka secara
hukum, harta-harta itu adalah hak Baitul Māl, yakni sudah dianggap sebagai
pemasukan bagi Baitul Māl. Secara hukum, harta-harta itu adalah milik Baitul
Māl, baik yang benar-benar masuk ke dalam tempat penyimpanan Baitul Māl maupun
yang belum.Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang
yang berhak menerimanya atau untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin,
atau untuk biaya penyebarluasan dakwah adalah harta yang di catat sebagai
pengeluaran Baitul Māl, baik telah dikeluarkan secara nyata maupun yang masih
berada dalam tempat penyimpanan Baitul Māl.
Dengan demikian, Baitul Māl dengan makna seperti ini mempunyai
pengertian sebagai sebuah lembaga atau pihak yang menangani harta negara, baik
pendapatan maupun pengeluaran.Baitul Māl dapat juga diartikan secara fisik
sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi
pendapatan negara.
B.
Sejarah Baitul Māl
Keberadaan Baitul Māl secara histories ada sejak Nabi
Muhammad SAW. Munculnya ide Baitul Māl adalah ketika muslimin mendapatkan
ghanimah (harta rampasan perang) pada perang badar. Pada masa Rasulullah SAW
ini Baitul Māl lebih mempunyai pengertian sebagai pihak yang menangani setiap
harta benda kaum muslimin baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Karena
saat itu Baitul Māl belum mempunyai tempat khusus untuk untuk menyimpan harta
dan benda yang di peroleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang di
peroleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Bahkan Rasulullah tidak
menyimpan hingga sehari semalam, atau dengan kata lain bila harta itu datang
pagi- pagi, akan segera dibagikan sebelum tengah hari tiba.
Demikian jika harta itu datang siang hari, maka akan
segera dibagikan sebelum malam hari tiba, Oleh karena itu saat itu belum ada
atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu
bagi pengelolanya. Adanya Baitul Māl sebagai tempat yang mengelola harta negara
baik pemasukan atau pengeluaran juga mempermudah para Amir dan Khalifah
memungut dan mengelola zakat pada setiap orang muslim.
Pada masa Abu Bakar, dibuatlah kebijakan-kebijakan untuk
pengembangan Baitul Māl dan pengangkatan penanggung jawab Baitul Māl. Dan Abu
Ubaid ditunjuk sebagai penanggung jawab Baitul Māl. Setelah 6 bulan, Abu Bakar
pindah ke Madinah dan bersamaan itu di bangunlah sebuah rumah untuk Baitul Māl.
Sistem pendistribusian yang lama tetap di lanjutkan, ia sangat memperhatikan
keakuratan penghitungan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayarannya.[2]
Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara disimpan
dalam Baitul Māl untuk langsung di distribusikan seluruhnya kepada kaum
muslimin hingga tidak ada yang tersisa.Seperti halnya Rasulullah Saw, Abu Bakar
Ash-Shidiq juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan, sebagian
diberikan kaum muslimin sebagian yang lain tetap menjadi tangunggan negara. Di
samping itu, ia juga mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang yang murtad
untuk kemudian di manfaatkan demi kepentingan umat Islam secara keseluruhan.[3]
Dalam mendistribusikan Baitul Māl tersebut, Abu Bakar menerapkan
prinsip kesamarataan, memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat
Rasulullah Saw dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu
memeluk Islam dengan sahabat yang baru memeluk Islam, antara hamba dan orang
merdeka, dan antara pria dan wanita. Menurutnya dalam hal keutamaan beriman,
Allah SWT yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan
hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
Dengan demikian selama masa pemerintahan Abu Bakar
Ash-shidiq, harta Baitul Māl tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama
karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin bahkan ketika Abu
Bakar wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Pada
awal kepemimpinannya beliau mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari sehingga dengan penuh keterbukaan dan keterusterangan
beliau mengatakan kepada ummatnya bahwa perdagangan beliau tidak mencukupi
untuk memenuhi adanya beban sebagai kepala negara akan mengurangi aktivitas
dagangnya karena sibuk mengurusi urusan negara.
tersebut kurang mencukupi sehingga di tetapkan 2.000 atau
25.000 dirham menurut keterangan lain mencapai 6.000 dirham pertahun.
Namun menariknya dari kepemimpinan Abu Bakar adalah
ketika mendekati wafatnya, yaitu kebijakan internal dengan mengembalikan
kekayaan kepada negara karena melihat kondisi negara yang belum pulih dari
krisis ekonomi. Beliau lebih mementingkan kondisi rakyatnya dari pada
kepentingan individu dan keluarganya. Gaji yang selama ini di ambil dari Baitul
Māl maka di kembalikan, dengan menjual sebagian tanah yang di milikinya dan
seluruh penjualanya di gunakan untuk pendanaan negara.
Pada masa Umar ibn al-Khattab, seiring dengan semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab,
pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini
membutuhkan perhatian khusus untuk mengelolanya agar bisa di manfaatkan secara
benar, efektif, dan efisien. Setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat,
khalifah Umar bin Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta
Baitul Māl sekaligus, tetapi dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada,
bahkan diantaranya di pergunakan sebagai cadangan. Cikal bakal Baitul Māl
memang telah diterapkan pada masa Rasulullah dan dilanjutkan Kesulitan beliau
di ketahui halayak umum terutama Siti Aisyah dan dengan kesepakatan bersama
selama kepemimpinan beliau Baitul Māl termasuk di antara mereka yang paling
awal memeluk Islam.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar menjadi
khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan
nama Abdullah bin Abi Quhafah, ia adalah satu di antara empat Khalifah yang
diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk.mengeluarkan
kebutuhan Khalifah Abu Bakar yaitu sebesar dua setengah atau tiga perempat
dirham setiap harinya dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian
biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan. Abu Bakar, dan semakin dikembangkan fungsinya pada masa
Umar ibn al-Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen.Maka
dibentuklah perangkat administrasi yang baik untuk menjalankan roda
pemerintahan yang besar. Ia mendirikan institusi administrasi yang hampir tidak
mungkin dilakukan pada abad ke tujuh sesudah masehi. Pada masa Umar juga umat
Islam banyak yang berhasil menaklukan negara lain maka semakin banyaklah harta
yang yang mengalir ke kota Madinah. Untuk menyimpan harta-harta tersebut,
Baitul Māl yang reguler dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota
dan kemudian di bangun cabang-cabangnya di ibukota propinsi pada masa ini Umar
ibn al-Khattab menunjuk Abdullah bin Arqom dan Abdurrahman bin Ubaid Al-Qari
serta Muqayad sebagai asistennya.[4]Walaupun
pada masa ini uang dan properti Baitul Māl di kontrol oleh pejabat keuangan
atau disimpan dalam penyampaian (seperti zakat dan ushr) mereka tidak memiliki
wewenang untuk membuat keputusan. Kekayaan negara itu di tujukan pada
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat harus di belanjakan sesuai
prinsip-prinsip Qur‟an.
Pada masa Umar ibn al-Khattab, Baitul Māl menerima
pemasukan dari sesuatu yang halal dan sesuai dengan aturan syari‟ah dan mendistribusikanya
kepada yang berhak.Bersamaan dengan reorganisasi lembaga Baitul Māl, sekaligus
sebagai perealisasian salah satu fungsi negara Islam, yaitu fungsi jaminan
sosial, Khalifah Umar ibn al-Khattab membentuk sistem diwan yang menurut
pendapat terkuat didirikan pada tahun 20 H.[5]
Dalam rangka ini Umar ibn al-Khattab menunjuk sebuah komite nasab ternama yang
terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal, Dan Jabir bin Mut‟im
untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan
kelasnya.
Untuk mendistribusikan harta Baitul Māl, Khalifah Umar
ibn al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu seperti:
a.
Departemen
pelayanan militer, departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan
kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. besarnya jumlah dana bantuan
ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
b.
Departemen
kehakiman dan eksekutif, departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran
gaji para hakim dan pejabateksekutif. Besarnya gaji ini di tentukan dua hal,
yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar
terhindar dari praktek suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan
kalaupun terjadi perbedaan hal itu tetap dalam batas-bats kewajaran.
c.
Departemen
pendidikan dan pengembangan Islam, departemen ini mendistribusikan bantuan dan
bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti
guru dan juru dakwah.
d.
Departemen jaminan
sosial, departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh
fakir miskin dan orang yang menderita.
Selama masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, sistem
administrsai Baitul Māl, baik di tingkat pusat maupusn daerah telah berjalan
dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan lancar maka pendapatan Baitul Māl
mengalami surplus. Dalam pendistribusian Baitul Māl Khalifah Ali bin Abi Thalib
menerapkan sistem pemerataan Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berpendapat
bahwa seluruh pendapatan negara yang disimpan dalam Baitul Māl maka harus
didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada dana sedikitpun yang tersisa.
Distrisibusi dilakukan sekali dalam sepekan yakni pada hari kamis merupakan
hari pendistribusianya atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua perhitungan
diselesaikan dan, pada hari sabtu, penghitungan baru dimulai. Ali bin Abi Thalib, yang juga mendapat santunan dari
Baitul Māl, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai
separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan
C.
Ruang Lingkup Baitul Maal
Menurut pendapat Suhrawardi K. Lubis, baitul maal dilihat
dari segi istilah fikih adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas
mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal
pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran
dan lain-lain (Maman, 2012).Baitul Maal jika dilihat dari namanya berasal dari
bahasa Arab, yaitu kata bait yang memiliki makna "rumah", serta
berasal dari kata al-maal yang yang memiliki arti atau makna "harta"
(Dahlan, 1999).Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki
kewajiban atau tugas khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang
dimiliki oleh umat, dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran negara (Zallum,
1983).[6]
D.
Peran dan fungsi baitul maal
a.
Institusi Baitul
Maal
Baitul mal merupakan institusi yang dominan dalam perekonomian Islam.
Institusi ini secara jelas merupakan entitas yang berbeda dengan penguasa atau
pemimpin negara. Namun, keterkaitannya sangatlah kuat, karena institusi Baitul
Maal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari
sebuah negara Islam. Dalam banyak literatur sejarah peradaban dan ekonomi Islam
klasik, mekanisme Baitul Maal selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah
sebagai kepala negara. Artinya berbagai keputusan yang menyangkut Baitul Maal
dan segala kebijakan institusi tersebut secara dominan dilakukan oleh khalifah.
Fungsi dan
eksitensi Baitul Maal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa
Rasulullah saw maupun pada masa kekhalifahan setelah beliau wafat. Namun,
secara konkrit pelembagaan Baitul Maal baru dilakukan pada masa Umar Bin
Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami
perubahan. Lembaga Baitul Maal itu berpusat di ibu kota Madinah dan memiliki
cabang di provinsi-provinsi wilayah Islam.
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah saw hingga kepemimpinan
Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan
lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut
langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Maal
selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan
pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga
diambil keputusan menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut,
maka Baitul Maal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk
pengelolaan dana tersebut.[7]
b.
Hirarkhi Organisasi
dan Opperasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam operasionalnya institusi baitul mal
dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan
pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul mal sebagai bendahara negara.
Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola Khumz, jizyah,
Kharaj17 dan seterusnya.Yusuf Qardhawy (1988)[8] membagi Baitul Maal menjadi empat bagian
(divisi)kerja berdasarkan pos penerimaanya, merujuk pada aplikasi masa Islam
klasik:
a.
Departemen khusus
untuk sedekah (zakat)
b.
Departemen khusus
untuk menyimpan pajak dan upeti
c.
Departemen khusus
untuk ghanimah dan rikaz
d.
Departemen khusus
untuk harta yang tidak diketahui pewarisnya atau yang terputus hak warisnya
(misalnya karena pembunuhan)
Ibn Taimiyah
mengungkapkan bahwa dalam administrasi keuangan negara, dalam Baitul Maal telah
dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan
tersebut diantaranya:
a.
Diwan al-Rawatib
yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri tentara.
b.
Diwan al Jawali wal
Mawarist al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll takes (jizyah) dan harta
tanpa waris.
c.
Diwan al Kharaj
yang berfungsi untuk memungut kharaj.
d.
Diwan al Hilali
yang berfungsi mengurusi pajak buah-buahan.
Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan
dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah
digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan
strategi pengoleksian dan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada
perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada waktu tertentu.Merujuk pada
apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Maal dalam
operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah
ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi
kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari
departemen lain yaitu departemen pajak atau upeti.
Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang
dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian
fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema
takaful, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
c.
Pengelola (Amil)
Pengelolaan dana yang terhimpun dalam lembaga Baitul Maal
merupakan isu yang cukup sensitif, sehingga memerlukan pengelola yang memiliki
integritas dan profesionalitas tinggi baik secara moral maupun secara teknis.
Ketidakjujuran pengelola atau kesalahan pengelola dana bukan hanya menurunkan
popularitas lembaga Baitul Maal, tapi juga menjalar pada ketidakpercayaan pada
kepemimpinan negara. Karena memang Baitul Maal merupakan institusi konkrit dari
sebuah negara.
Bagian zakat yang diberikan pada pengelola zakat tentu
dalam kerangka pemasukan negara berasal dari zakat ini. Besarnya bagian buat
pengelola zakat ini.
Dalam Al Qurthubi 177, Imam Nawawi berkata “Wajib bagi
seorang imam menugaskan seorang petugas untuk mengambil zakat sebab nabi dan
para kholifah sesudah beliaupun selalu mengutus petugas zakat ini, hal tersebut
dilakukan karena diantara manusia ada yang memiliki harta tetapi tidak tahu
(tidak bisa menghitung) apa yang wajib dikeluarkan baginya, selain itu adapula
orang-orang yang kikir sehingga wajib bagi penguasa mengutus seseorang untuk
mengambilnya”[9].
Adapun kadar upah atau gaji yang diberikan kepada mereka
adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang kira-kira
dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri sangat
relatif, tergantung pada waktu dan tempat. Ini adalah pendapat mazhab Mâliki
dan jumhur ulama, hanya saja, Abû Hanîfah membatasi pemberian upah amil
tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul. Sementara
itu Imam Syafi’ie membolehkan pengambilan upah sebesar seperdelapan dari total
dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk
hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul.
Pengertian Amil dapat dicermati dalam surat QS (9) At
Taubah ayat 60 dan merupakan petunjuk yang kuat tentang adanya petugas yang
memungut zakat dan membagikan zakat dan mereka itulah yang ditugaskan oleh
pemerintah, serta menjadi profesinya yang mereka mendapat gaji dari pekerjaan
tersebut. Adapun Amil yang ada sekarang ini sifatnya panitia yang bergerak
dalam bidang sosial dan bertugas membantu keberlangsungan zakat, dan tugas itu
sendiri sifatnya insidental bukan menjadi pekerjaan rutinitas, kecuali jika di
antara anggota badan sosial tersebut (panitia) ada yang termasuk bagian dari
delapan asnaf (golongan) maka ia berhak atas bagian zakat, disisi lain mengingatkan
akan suatu kebenaran adalah tugas seluruh umat Islam, inilah yang menjadi
pembeda definisi Amil Zakat yang sebenarnya.
E.
Peranan Baitul Maal di Masa Awal
Karena dasar keyakinan dan perbuatan setiap Muslim
ditetapkan dalam Al-Qur’an, Rasulullah SAW. Memulai dakwahnya di Makkah dengan
menjelaskan Ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengajak penduduk Makkah kepada Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, beliau mengajak setiap orang yang baru masuk Islam
dengan mengajarkan Qur’an dan berinfaq di jalan Allah. Di tahun ke 7 hijrah
Rasulullah banyak mengirim para sahabat untuk berdakwah dan mengembangkan
Islam. Dengan pengiriman itu dibutuhkan biaya untuk perjalanan yang terkadang
ditanggung oleh Baitul Maa.[10]
Selain itu, Rasulullah menggunakan dana Baitul Maal untuk
memberikan hadiah kepada utusan-utusan datang untuk memeluk agama Islam dengan
kisaran-kisaran tertentu. Rasulullah mengutus Bilal untuk mengurus masalah
pemberian hadiah ini. Pada pemerintahan Umar bin Khattab, beliau pernah
mendaftar kaum Muslim untuk diberi hadiah dengan kisaran-kisaran tertentu.Pada
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, beliau membagi dua dana Baitul Maal, yaitu
dana untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin Muslim dan kebutuhan fakir miskin
non-muslim.Maka dapat dilihat bahwa, pemerintahan Islam menggunakan dana Baitul
Maaluntuk kepentingan-kepentingan kesejahteraan kaum Muslim dan non Muslim
(social welfare).
F.
Baitul Maal dan Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dan kebijakan
ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah dewasa ini semakin jauh dari
nilai-nilai Islam. Apa yang dikenal sebagai ekonomi pasar, dapat dipandang
sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam mengontrol
keberlangsungan dan kesejahteraan warga negara. Keadaan ini diperparah dengan
adanya kebijakan global dan kesediaan pemerintah Indonesia untuk bergabung
dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di mana setiap orang bebas untuk
berkontribusi dalam perdagangan global dengan kekuatan modalnya masing-masing.
Semua manajemen pasar diciptakan bagaimana mendorong agar masyarakat berbelanja
sebanyak-banyaknya. Trik-trik pasar semacam Multi Level Marketing (MLM) dalam
berbagai bentuknya telah menggejala sejak awal tahun sembilan puluhan.
Kehadiran mall-mall dan mini market dengan trik diskon
besar-besaran, beli 2 gratis 1, special price dan sebagainya, telah membius
masyarakat untuk berbelanja sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan
kemampuannya. Akhirnya tidak sedikit di antara mereka yang terpaksa harus
berurusan dengan lembaga-lembaga keuangan, baik yang dikelola pemerintah
mauupun oleh swasta, yang pada kenyataannya bukannya membantu tetapi mencekik.Lihatlah
kemudian bagaimana watak dan karakter masyarakat yang telah berubah, dengan
mudahnya terjerat dalam berbagai cara-cara mendapatkan uang secara instan.
Sejarah mencatat, bagaimana masyarakat Sulawesi Selatan khususnya telah
terjebak dalam permainan Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Milik Bersama yang
telah menelan ratusan milyar dana masyarakat. Tidak cukup dengan itu, kini
sementara ditangani kasus penipuan berkedok “penggandaan uang”. Fenomena ini
telah menghancurkan ratusan rumah tangga dan melemparkannya ke dalam
kebangkrutan.
Kondisi masyarakat semacam ini, menjadi sebuah pintu
masuk sekaligus peluang bagi Baitul Maal untuk mengambil peran dalam memulihkan
dan menyembuhkan penyakit ekonomi masyarakat. Baitul Maal harus menata diri
sesuai dengan syariat Islam dan menegaskan eksistensinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan untuk kemudian tampil sebagai pemain utama dalam
menata ekonomi umat. Saya tidak melihat ada solusi lain kecuali menegaskan dan
mengeksistensikan kembali peran dan fungsi Baitul Maal di tengah-tengah
masyarakat Muslim khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Secara perlahan-lahan, Baitul Maal dapat berperan dengan
cara mendorong masyarakat muslim untuk menyadari dan melaksanakan kewajiban
zakatnya. Selanjutnya melakukan penataan administrasi dan pengelolaan simpan
pinjam berdasarkan syariat Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdsarkan pembahasan yang di bahas di maklah ini,kita
bisa mengambil banyak pelajaran tentang baitul maal,dan bisa menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. satu-satunya solusi dalam mengatasi persoalan
keuangan, harta benda dan kehidupan sosial ekonomi umat secara keseluruhan,
adalah kembali kepada perintah Al Quraan dan Hadis, yaitu bagaimana menerapkan
secara benar konsep-konsep ekonomi syariah beserta seluruh perangkat
pendukungnya. Sudah saatnya seluruh masyarakat dan pemerintah menyadari hal
ini, dan berusaha memberi jalan dan peluang.
B.
Saran
Mudah-mudahan dengan di buat nya makalah ini bisa
menimbulkan rasa untuk mengimplementasikannya di dalam kehidupan sehar-hari,apa
bila ada kesalahan dalam penulisan makalah,kritik dan saran sangat di butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
1 Qal‟ahji,
Muhammad Rawwas,Ensiklopedi Fiqh Umar ibn al-Khattab ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999) ,v.
2 Sabzwari,M.A,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta:
PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995), 44.
3Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Terj. Soeroyo
(Yogyakarta:PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995),320.
4 Muhammad
Ilfana,Ilfan Ro‟ana, Sitem
Ekonomi Pemerintahan Umar
Bin Al-Khattab (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), 150.
5 Jurnal Akuntansi Dan Pajak, Vol 14, No. 02, Januari 2014.
6 Sakti,ali Ekonomi Islam , (Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing, 2007), h.385-387.
7 Dr. Qardhawi,yusuf (2011), Hukum Zakat, Studi Komparatif
Mengenai Status daan Filsafat ZakatBerdasarkan Qur’an dan Hadis, (terjemahan)
Cet. Keduabelas, Litera Antar Nusa, Jakarta, h. 545-561.
8 diwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
,h.134
[1] Qal‟ahji, Muhammad Rawwas,1999. Ensiklopedi Fiqh Umar ibn al-Khattab (
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, ) ,v.
320.
[4] Ilfan Muhammad Ilfana
Ro‟ana,1997 Sitem Ekonomi Pemerintahan
Umar Bin Al-Khattab
(Jakarta:Pustaka Firdaus), 150.
[8] Dr. Yusuf Qardhawi (2011), Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai
Status daan Filsafat ZakatBerdasarkan Qur’an dan Hadis, (terjemahan) Cet.
Keduabelas, Litera Antar Nusa, Jakarta, h. 545-561.
No comments:
Post a Comment