JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
JURNAL
PENDIDIKAN ISLAM DI ZAMAN SULTAN ABDUL AZIZ
Abstract
Before the founding of the Langkat
kingdom, the people there had embraced Islam. This is because the Langkat
region borders on Aceh which already has an Islamic kingdom and broadcasts
Islam to various regions, especially on the east coast of Sumatra. The kingdom
of Langkat, especially after being centered in Tanjung Pura, made Islam the
guideline and legitimacy of the Sultan's policies and the Growth of Islamic
Education Institutions in the Langkat Kingdom in 1912-1942 - Muaz Tanjung 319
kingdom in general. Communities that are predominantly Muslim in various
dynamics of life reflect strong Islamic behavior. In the early 20th century,
there were many public education institutions in East Sumatra, including in
Langkat. However, religious studies are not officially justified. Seeing this
situation, the sultan and other Muslims felt responsible for establishing a
stand-alone Islamic education institution. Although in the past Islamic
education continued to be taught to Muslim children, its implementation was
still limited only to mosques or teacher's private homes. Therefore, the
Kingdom of Langkat was motivated to improve the quality of Islamic education by
building independent educational institutions. Keywords: Education, Islamic
Kingdom, Langkat, Sumatra, Indonesia
Pendahuluan
Sebelum Indonesia merdeka,
pendidikan Islam tidak boleh diajarkan di lembaga pendidikan umum. Pemerintah
Belanda yang berkuasa pada waktu itu juga tidak memberikan perhatian terhadap
perkembangan pendidikan Islam. Ia tumbuh dan berkembang atas upaya umat Islam.
Lembaga pendidikan yang mereka dirikan ada yang menggunakan nama lembaga
pendidikan yang berasal dari Timur Tengah dan ada pula yang menggunakan bahasa
lokal. Di Aceh dikenal lembaga pendidikan yang bernama meunasah, rangkang, dan
dayah. Di Jawa disebut dengan pesantren dan di Sumatera Barat disebut dengan
surau. Meunasah berasal dari bahasa Arab, madrasah. Meunasah merupakan suatu
bangunan yang terdapat di setiap kampung. Bangunan ini digunakan selain sebagai
tempat sholat, juga digunakan sebagai tempat belajar dan membicarakan
masalah-masalah kemasyarakatan. Meunasah merupakan lembaga pendidikan terendah
pada masa itu. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki di bawah umur.
Sedangkan pendidikan untuk anak perempuan diberikan di rumah guru. Pendidikan
di meunasah ini dipimpin oleh Teungku Meunasah dan pendidikan anak perempuan
dipimpin oleh teungku perempuan yang disebut Teungku Inong.
Rangkang
merupakan tempat tinggal murid yang terletak di sekitar mesjid. Pendidikan yang
dilaksanakan di rangkang ini dapat disamakan dengan Madrasah Tsanawiyah yang di
dalamnya diajarkan kitab berbahasa Melayu dan ada juga yang berbahasa Arab
seperti nahw, sarf, tafsir, hadis dan fikih.2 Dayah berasal dan bahasa Arab, zawiyah.
Dayah ini didatangi khusus oleh orang dewasa yang telah mempunyai pengetahuan
dasar tentang keislaman. Pendidikan dayah ini dapat disamakan dengan madrasab
Aliyah. Materi yang diajarkan adalah fikih, bahasa Arab, tauhid,
tasawuf/akhlaq, ilmu bumi, sejarah/ tata negara, ilmu pasti dan fara’id. Selain
dayah yang telah disebut di atas, ada pula dayah Teuku Cik yang dapat disamakan
dengan perguruan tinggi atau akademi. Di sini diajarkan fikih, tafsir, hadis,
mantiq, ilmu falaq dan filsafat.3 Saat ini pengertian pesantren yang populer
adalah suatu lembaga pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu
agama Islam dan mengamalkannya sebagi pedoman hidup keseharian atau tafaqquh fi
ad-din dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Pesantren
yang berdiri di tanah air, khususnya di Jawa, pertama kali didirikan oleh
Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan sebutan Syaikh Maulana
Magribi (w. 12 Rabi’ul Awal 822H/8 April 1419M). Pada masa berikutnya lembaga
pendidikan pesantren makin banyak jumlahnya. Pada abad ke-19 jumlah pesantren
di Jawa saja telah berdiri tidak kurang dan 1.853 buah, dengan jumlah santri
sebanyak 16.500 orang. Sedangkan menjelang akhir abad ke-19 jumlahnya mencapai
14.929 buah dan jumlah santri sebanyak 222.663 orang.4
Pendidikan
surau pertama kali diperkenalkan oleh Syaikh Burhanuddin di Ulakan,
Minangkabau, sebagai tempat ibadah dan pendidikan tarekat
(1066-1111H/1646-1691M). Secara bertahap eksistensi surau sebagai lembaga
pendidikan Islam mengalami kemajuan dan pembaruan. Surau dengan sistem
pendidikannya yang khas mencapai puncak kejayaannya setidaknya hinga dasawarsa
kedua abad ke-20, ketika pendidikan sekuler Belanda dan madrasah diperkenalkan
kelompok Muslim modernis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pendidikan surau tetap
memainkan peran penting bagi masyarakat Islam Minangkabau sepanjang abad ke-19.
Menurut laporan Belanda tahun 1869 tidak ada desa di Minangkabau yang tidak
mempunyai surau.5 Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Langkat adalah sebuah
kerajaan yang dipimpin seorang sultan. Saat ini Langkat merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Meskipun hubungan dengan Sumatera Barat,
Aceh dan Jawa telah lama terjadi, namun lembaga pendidikan yang ada di tiga
daerah tersebut tidak berkembang dikerajaan Langkat. Masyarakat Langkat lebih
mengenal lembaga pendidikan madrasah dan sekolah Arab. Makalah ini akan
memaparkan pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berdiri di wilayah
Kerajaan Langkat pada tahun 1912-1942. Sejarah Singkat Kerajaan Langkat Langkat
diambil dari nama sebauh pohon yang buahnya kelat. Pada zaman dahulu pohon ini
banyak sekali di sekitar Kota Dalam. Pendiri kerajaan Langkat ini adalah Raja
Kahar pada pertengahan abad ke-18. Ia menjadikan Kota Dalam yang terletak
antara Stabat dengan Kampung Inai sebagai pusat pemerintahannya. Ia mendirikan
kerajaan Langkat dalam usia yang sudah lanjut, sekitar 77 tahun. Sejak itu nama
Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannnya
belum begitu luas dan pusat kerajaan masih berpindah-pindah. Setelah wafat, ia
digantikan oleh putranya Badiulzaman bergelar Sutan Bendahara, seorang yang
berpribadi kuat dan dengan cara damai telah memperluas daerahnya. Badiulzaman
mempunyai 4 orang anak laki-laki yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang
mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama
Kerjeruan Hitam tinggal di Kota Dalam. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia
digantikan oleh putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera
Malai, sebuah kampung dekat Kota Dalam. Keempat bersaudara ini memerintah
dengan otonomi masing-masing dengan Kejeruan Hitam sebagai pemimpin tertinggi
hingga memasuki abad ke-19. Pada tahun 1815 Siak menyerang dan menaklukkan
Langkat. Upaya untuk menegakkan kembali kedaulatan Langkat telah dilakukan
dengan meminta bantuan dari Kerajaan Deli, namun upaya tersebut tak berhasil.
Untuk jaminan kesetiaan, dua orang putra Langkat yaitu Putra dari Kejeruan Tuah
Hitam bernama Nobatsyah dan seorang putra Indra Bongsu bernama Raja Ahmad
dibawa ke Siak untuk diindroktinasi. Di Siak mereka dikawinkan dengan
putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin
dengan Tengku Kanah. Perkawinan Raja Ahmad ini melahirkan seorang putra bernama
Tengku Musa atau disebut juga Tengku Ngah. Oleh Sultan Siak jelas-jelas
ditekankan bahwa yang akan menaiki tahta Langkat adalah putra dari Nobatsyah
dan kelak yang akan memakai gelar Alamsyah. Setelah Nobatsyah dan Ahmad
dikembalikan ke Langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang
pertama dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai,
sedangkan yang kedua bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Namun
pemerintahan bersama ini tak bertahan lama, karena pada tahun 1820 terjadi
perebutan kekuasaan di antara keduanya. Peperangan perebutan kekuasaan ini
mengakibatkan tewasnya Raja Bendahara Nobatsyah. Dengan demikian, Kejeruan Muda
Ahmad menjadi penguasa tunggal di Kerajaan Langkat. Setelah Raja Ahmad wafat, ia
digantikan oleh putranya Tengku Musa yang ketika itu masih tinggal di Siak.
Tengku Musa ini mempunyai kepribadian yang sangat kuat dan oleh orang Langkat
ia dianggap sebagai pembangun daerah Langkat hingga kini. Pada tahun 1881
Langkat dibagi atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang
tertua, Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di
Binjai. Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia
Belanda dan pada tahun 1887 Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh
Belanda dengan memperoleh gelar Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah. Selain itu
ditetapkan pula putra bungsunya Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz sebagai
penggantinya. Sultan mengangkat putranya yang lain, Tengku Hamzah, menjadi Pangeran
Langkat Hilir, dan anaknya yang lain sebagai wakilnya di Pulau Kampai. Pada
tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan
abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai penggantinya dengan gelar
Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun 1893. Baginda Sultan Musa
kemudian bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh
Tuan Syekh Abdul Wahab. Di dalam pemerintah sehari-hari Sultan Abdul Aziz
karena masih muda, tidak dapat bertindak sendiri kecuali dengan persetujuan
abang-abangnya Tengku Sulung dan Tengku Hamzah. Pada tahun 1896, barulah Sultan
Abdul Azis resmi dilantik oleh Residen dan boleh bertindak sendiri. Pada tahun
1899 putra tertua dari Sultan, Tengku Mahmud, ditetapkan sebagai pengganti raja
dengan gelar Raja Muda.
Dinamika Sosial Keagamaan di Kerajaan
Langkat
Kerajaan Langkat adalah termasuk
kerajaan yang makmur. Sumber penghasilannya terutama berasal dari hasil
pertanian, pajak perkebunan asing, perdagangan dan hasil pertambangan minyak.
Ekspor lada dari daerah ini bermutu sangat baik lebih dari 800.000 kg dalam
setahun. Hasil lainnya adalah rotan, gambir, tembakau, beras, lilin, emas dan
gading. Sumber minyak yang ditemukan di Langkat ini merupakan sumur minyak
pertama bagi Indonesia, yaitu terletak di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei
Lepan, sekitar 110 kilometer barat laut Medan. Penemu sumur minyak pertama ini
adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, yang merupakan
ahli perkebunan tembakau di perusahaan Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan
perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Penemuan itu sendiri merupakan
buah perjalanan waktu dan ketabahan yang mengagumkan. Prosesnya dimulai setelah
Zijlker mengetahui adanya kemungkinan kandungan minyak di daerah tersebut. Ia
pun menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna
melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu dana diperoleh, perizinan pun
diurus. Persetujuan konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa,
diperoleh pada 8 Agustus 1883. Pada tahun 1891, dengan menggunakan perusahaan
bernama N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij mulai dibangun perusahaan
pengeboran minyak di desa tersebut dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892.7
Kekayaan kerajaan turut dinikmati oleh rakyatnya, ini dibuktikan bahwa setiap
tahun sultan mengeluarkan zakat atau sedekah dengan mengumpulkan rakyat di
masjid atau istana pada malam 27 Ramadhan. Kepada mereka diberikan uang sebesar
f 2,5 perorang. Ketika itu jumlah tersebut cukup untuk membeli beras sebanyak
50 kati. Selain itu sultan juga memberikan bantuan lain seperti minyak lampu
yang digunakan untuk penerangan di bulan Ramadhan. Wujud kemakmuran lainnya
terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa itu, seperti
istana-istana yang megah dan masjid yang dibangun dengan arsitektur yang indah.
Kemakmuran kerajaan Langkat ini juga diakui oleh John Anderson selaku wakil
pemerintah Inggris di Penang.8 Masa kejayaan kerajaan Langkat terlihat pada
masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah yang diangkat oleh
Belanda dengan beslit G.G. tanggal 23 Mei 1894 dan dilantik tanggal 10 Agustus
1896. Di masa pemerintahannya, ia mendirikan Mesjid Raya Azizi yang bentuknya
mencontoh Mesjid Raya Alor Star di Kedah. Ia juga mendirikan dua buah istana di
Tanjung Pura.9 Sebelum berdirinya kerajaan Langkat, masyarakat di sana telah
memeluk agama Islam. Hal ini dikarenakan wilayah Langkat berbatasan dengan Aceh
yang telah memiliki kerajaan Islam dan menyiarkan Islam ke berbagai daerah, terutama
di pantai timur Sumatera. Hubungan perdagangan dengan semenanjung Malaka juga
telah lama dilakukan, sehingga penyiaran Islam begitu pesan di kawasan ini.
Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama
Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan
kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai
dinamika kehidupannya mencerminkan perilaku keislaman yang kuat. Hal ini
tercermin dalam pelaksanaan ibadah shalat yang dilaksanakan secara berjamaah
dan banyaknya pelaksanaan pengajian-pengajian dengan tema aqidah dan taswuf.10
Untuk mendukung aktifitas masyarakat tersebut, sultan Langkat mendirikan
masjid-masjid yang indah dan besar, seperti Masjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid
Raya Stabat dan Binjai. Selain itu sultan juga mendirikan madrasah untuk
mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Gaji guru dan pegawai masjid serta biaya
perawatan gedung-gedung tersebut ditanggung oleh kerajaan. Dalam penerapan
syariat Islam, kerajaan Langkat memiliki guru-guru agama yang sekaligus
dijadikan sebagai penasehat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan
masalah hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat Melayu, seluruh warganya
terikat dengan adat resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh
agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan dengan
yang diajarkan atau diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan.
Jadi adat resam Melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat Melayu yang telah
diislamisasi. Disini, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi
nilai-nilai Islam ke dalam diri masyarakat Langkat.11 Sultan Langkat, H. Abdul
Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah pernah mengangkat seorang mufti bernama Syaikh H.
Muhammad Yusuf. Ulama ini berasal dari Minangkabau dan pernah belajar di
Makkah. Selain sebagai mufti, ia juga dipercayakan oleh sultan untuk membuka
persulukan Tarekat Naqsyabandiyah di Tanjung Pura. Ulama yang berpengaruh ini
pernah menjadi guru Syaikh Abdul Wahab Rokan ketika ia merantau ke Negeri
Sembilan. Ia wafat pada tahun 1323H/1905M di usia 107 tahun.12
A. Berdirinya Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Kerajaan Langkat
Di awal abad ke-20 di Sumatera
Timur banyak berdiri lembaga pendidikan umum, termasuk di Langkat. Terlebih
setelah lahirnya gerakan Politik Etis. Di sekolah diajarkan membaca, menulis
dan berhitung. Pelajaran agama secara resmi tidak dibenarkan. Melihat keadaan
ini, sultan dan umat Islam lainnya merasa bertanggungjawab untuk mendirikan
lembaga pendidikan Islam yang berdiri sendiri. Meskipun pada masa sebelumnya
pendidikan Islam tetap diajarkan kepada anak-anak Muslim, namun pelaksanaannya
masih berlangsung di masjid atau rumah guru. Oleh karena itu muncul pemikiran
untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam, perlu dibangun lembaga pendidikan
yang berdiri sendiri. Berikut adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
berdiri di Langkat pada tahun 1912-1942:
1. Madrasah Maslurah
Madrasah ini didirikan oleh sebuah organisasi bernama Jam’iyah
Mahmudiyah li Thalabil Khairiyah pada tanggal 1 Desember 1912 di Tanjung Pura.
Organisasi yang berkedudukan di Tanjung Pura Langkat ini didirikan dan dipimpin
oleh Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah. Sebagai pengurus harian
dipercayakannya kepada putranya Raja Muda Tengku Mahmud bin Abdul Aziz. Awalnya
masa bakti kepengurusan adalah satu tahun, namun setelah dilakukan evaluasi
bahwa waktu satu tahun itu terlalu singkat, maka diubah menjadi lima tahun.
Sedangkan pimpinan umumnya adalah sultan atau ahli waris tertuanya. Unsur
pengurus lainnya terdiri dari kalangan ulama, orang besar kerajaan, pemuka
masyarakat, dan aktivis yang ingin mengembangkan organisasi.13 Sejak didirikan
organisasi ini telah membina madrasah-madrasah dari tingkat Tajhiziyah masa belajar
4 tahun, Ibtidaiyah masa belajar 4 tahun, Tsanawiyah masa belajar 4 tahun, dan
alQismul ‘Ali masa belajar 2 tahun. Sedangkan guru-gurunya adalah para ustaz
yang telah mengabdikan diri di bidang pendidikan sejak sebelum organisasi ini
didirikan, ditambah lagi para guru muda. Madrasah ini memisahkan antara murid
laki-laki dan perempuan. Murid laki-laki belajar di gedung madrasah yang
didirikan di sebelah tenggara Masjid Raya Azizi, sedangkan murid perempuan
belajar di bekas istana sultan, lembaganya diberi nama Madrasah Maslurah lil
Banat. Sebagai pimpinan madrasah diangkat seorang ulama yang pernah belajar di
Makkah bernama Haji Ziadah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura pada tahun 1858.
Pendidikan agama di masa kecilnya ditempuh dengan mendatangi majelis-majelis
taklim yang diadakan oleh guru. Meskipun orangtuanya seorang hartawan, namun ia
tidak menyalahgunakan nikmat tersebut. Melihat kesungguhannya dalam mempelajari
ilmu agama, pada usia 20 tahun orangtuanya memberangkatkannya ke Makkah al
mukramah di samping untuk menunaikan ibadah haji, juga untuk menuntut ilmu
agama. Tidak diperoleh data yang lengkap tentang guru-gurunya, hanya saja
beliau semasa dengan ulama besar Indonesia Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaw.
2. Madrasah Ibtidaiyah Arabiyah
(Arabiyah School)
Madrasah ini didirikan oleh
organisasi Djam’iyatul Chairiyah pada tahun 1921. Gedungnya didirikan di
pekarangan Mesjid Jami’ Kota Binjai dengan biaya yang diperoleh dari masyarakat
dan dibantu oleh Sultan Abdul Aziz. Guru besarnya pertama kali diserahkan
kepada Kyai Abdul Karim Tamim dan pembantunya adalah Haji Abdul Halim Hasan.
Madrasah ini awalnya berjalan biasa-biasa saja, tapi setelah dipimpin oleh Haji
Muhammad Nur Ismail pada tahun 1923, madrasah ini mulai bergerak menuju
kemajuan dan perubahan. Pada tahun 1924 Kyai Abdul Karim Tamim berhenti dari
jabatan guru besarnya. Pada tahun 1925 jabatan tersebut diserahkan kepada Haji
Abdul Halim Hasan. Pembayaran honor guru madrasah ini awalnya melaui bantuan
Jam’iyatul Chairiyah dan uang sekolah yang dibayar muridmurid. Setelah dipimpin
oleh Haji Muhammad Nur Ismail, madrasah ini lepas dari organisasi Jam’iyatul
Chairiyah dan berdiri sendiri. Biaya yang diperlukan madrasah ini diupayakan
dari pendapatan madrasah saja. Sedangkan untuk perawatan gedung, tetap mendapat
bantuan dari Sultan Langkat. Meski demikian guru-guru yang mengajar tetap
menunjukkan kinerja yang baik. Pimpinan madrasah ini menilai bahwa umat Islam
di Sumatera Timur sangat kurang perhatiannya terhadap al-Qur’an dan sejarah peradaban
Islam. Oleh karena itu madrasah ini mengutamakan pembelajaran kedua mata
pelajaran tersebut. Sejak kelas terendah madrasah ini telah memberi pelajaran
al-Qur’an dan sejarah.17 Untuk memenuhi kebutuhan siswa-siswanya, maka
guru-guru madrasah ini telah menulis beberapa buku:
a Tarich Tamaddun Islam oleh H. Abdul
Halim Hasan pada tahun 1930.
b Tarich Siti Chadidjah oleh Abdul Rahim
Haitami pada tahun 1930.
c Sedjarah Perdjalanan Sjari’at Islam yang
diterdjemahkan dari kitab Tarich Tasjri’ Islamy oleh H. Abdul Halim Hasan dan
Zainal Arifin Abbas pada tahun 1933.
d Fardhoe ‘Ain oleh Abdul Rahim Haitami,
H. Abdul Halim Hasan, dan Zainal Arifin Abbas pada tahun 1935.
e Tarich Peperangan Tripoli diterjemahkan
oleh H. Abdul Halim Hasan pada tahun 1935.
f Tarich Nabi Moehammad SAW oleh Zainal
Arifin Abbas. Buku ini diterbitkan sejak tahun 1936. Pada tahun 1938 telah
terbit sebanyak enam jilid.
g Pimpinan Poeasa oleh H. Abdul Halim
Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdul Rahim Haitami pada tahun 1936.
h Tafsir Qoeranoel Karimoleh H. Abdul
Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdul Rahim Haitami. Tafsir ini
diterbitkan dalam bentuk majalah yang terbit sebulan sekali sejak bulan Maret
1937.
i
Biographie
Srikandi2 Islam oleh Abdul Rahim Haitami pada tahun 1937.
j
Tarich
Literatuur Islam oleh H. Abdoel Halim Hasan pada bulan November 1937.
3. Madrasah Tamimiyah
Madrasah ini didirikan di
pekarangan Mesjid Rambung atas prakarsa Kyai Haji Abdul Karim Tamim.
Murid-murid yang belajar di sini tidak hanya berasal dari Sumatera Timur, tapi
juga datang dari berbagai daerah lainnya. Di sini diajarkan ilmu-ilmu agama
untuk tingkat aliyah dan murid-murid yang tamat dari madrasah ini banyak yang
mengajar di berbagai tempat. Umat Islam memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap madrasah ini. Pada tahun 1938 muridnya berjumlah lebih dari 200 orang
dan pembelajaran dilakukan pada pagi dan sore hari.18 Bangunan lembaga
pendidikan ini sudah tak ditemukan, namun masjid K.H.A. Karim masih beridiri
kokoh di kota Binjai yang menurut keterangan putrinya di sekitar masjid itulah
madrasah tersebut didirikan.19 Di sebelah barat masjid ini terdapat makam K.H.
Abdul Karim dan H. Muhammad Syaikh bin Muhammad yang telah mewakafkan tanah
untuk bangunan masjid dan madrasah tersebut.
4. Ma’had ad-Diniyah
Lembaga pendidikan Islam yang
terletak di Kampung Limau Sundai Binjai ini didirikan pada tahun 1934. Ma’had
ini merupakan cabang dari Arabiyah School Binjai yang khusus diperuntukkan bagi
pelajar putri. Selain itu di ma’had ini juga diadakan kursus tablig. Jumlah
muridnya pada tahun 1939 lebih kurang seratus orang. Gurunya adalah Encik
Mardhiah Abdul Karib di bawah pimpinan dan penilikan Haji Abdul Halim Hasan.20
5. Madrasah at-Tarbiyatul Waladiyah
Madrasah Attarbiyatul Waladiyah
terletak di Desa Pulau Banyak Kecamatan Tanjung Pura. Madrasah ini didirikan
pada tahun 1942 atas inisiatif masyarakat yang tinggal di tiga kampung
(sekarang desa) yaitu Kampung Pulau Banyak, Batang Serai dan Baja Kuning.
Pendirian madrasah ini dipimpin langsung oleh tiga penghulu kampung tersebut,
yaitu Penghulu Daud dari Pulau Banyak, Penghulu Wongso dari Batang Serai dan
Penghulu Boiman dari Baja Kuning. Selain mereka, tercatat pula sebagai
pendirinya yaitu Marzuki, Kapten Marmad, H. Bahauddin, H. Ishak, dan Penghulu
Abdul Halim. Dengan semangat bersama, maka berdirilah sebuah madrasah yang
ketika itu berdinding tepas, beratap nipah, dan berlantai tanah. Di awal masa
berdirinya, Madrasah Attarbiyatul Waladiyah diasuh oleh guru-guru yang umumnya
tamat dari Jam’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura. Guru-guru yang pernah mengajar di
Madrasah ini adalah Thaharuddin Ali, Badaruddin Ali, Amaruddin Ali, Tuan Daud,
Zainal Abidin, Nahardin, Abdul Gani, Tuan Taat, Zainal Thaib, dan Kyai Ahmad
Sis.21 B. Kesimpulan Seiring dengan berdirinya lembaga pendidikan umum, berdiri
pula lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan yang baru tersebut merupakan
pembaruan dari keberlangsungan pendidikan Islam sebelumnya di masjid atau di
rumah guru. Lembaga pendidikan Islam yang berdiri di Langkat tidak menggunakan
nama lembaga pendidikan yang sudah dikenal di daerah lain seperti meunasah,
rangkang, dayah, pesantren, atau surau. Tetapi di daerah ini lembaga pendidikan
Islam yang didirikan menggunakan nama Madrasah, Ma’had Diniyah dan Arabiyah
School.
Daftar pusaka
A Hasymy, Kebudayaan Aceh dalam
Sejarah (Jakarta: Benua, 1983)
Abudin Nata (ed.), Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan LembagaLembaga Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Grasindo, 2001)
Akmaluddin Syahputra (Ed), Sejarah Organisasi
Pendidikan Sosial Jam’iyah Mahmudiyah Lithalabil Khairiyah Tanjung Pura
Langkat (Bandung: Perdana Mulya Sarana, 2012)
Akmaluddin Syahputra (Ed.). Sejarah
Organisasi Pendidikan dan Sosial Jam’iyah Mahmudiyah Lithalabil Khairiyah
Tanjung Pura Langkat (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2012)
Akmaluddin Syahputra, Sejarah Ulama
Langkat dan Tokoh Pendidik Jam’iyah Mahmudiyah li Thalibil Khairiyah
Tanjungpura Langkat (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. 2 (Ciputat: Logos, 2000)
Deli Gids 1938 (t.t.p: t.p., 1938)
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan
Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2001)
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Citapustaka Media,
2001)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 1999)
Khairul Ikhwan,Pangkalan Brandan, Sumur
Perintis Berusia 122 Tahun,
http://finance.detik.com/read/2007/03/08/125226/751565/
4/pangkalanbrandan-sumur-perintis-berusia-122-tahun
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995)
Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di
Sumatera Utara (Medan: Institut Agama Islam
Negeri Sumatera Utara, 1983)
Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat
Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1991)
Tuanku Luckman Sinar Basarshah, Bangun
dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, (t.t.p: t.p., t.t.)
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
No comments:
Post a Comment